Search This Blog

Friday, August 26, 2005

"Judicial Review" UU Penyiaran Tak Berkait Bisnis


Jakarta, Kompas - Tindakan masyarakat penyiaran mengajukan judicial review atas UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sama sekali tak berkait dengan urusan bisnis, tetapi murni karena ada bagian yang melanggar kebebasan pers dan UUD 1945. Kalangan pengelola televisi berpendapat kondisi bisnis mereka sampai sekarang baik-baik saja, apalagi masa penyesuaian lembaga penyiaran televisi terhadap aturan dalam UU Penyiaran berlangsung lima tahun.

Hal itu dikemukakan Uni Lubis mewakili Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI). Ia menjawab pernyataan anggota Komisi I DPR Effendy Choirie dalam diskusi panel: UU Penyiaran dan Kebebasan Pers di Indonesia di Jakarta, Sabtu (10/5). ATVSI adalah satu dari lembaga penyiaran televisi yang mengajukan judicial review UU Penyiaran.

Diskusi diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) itu menghadirkan pembicara antara lain Menneg Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif, Effendi Gazali (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia), dan Gatri Gayatri (Universitas Moestopo).

Menurut Effendy, pendapat bahwa UU Penyiaran membelenggu pers adalah fitnah besar dan pembodohan masyarakat. UU tersebut dibuat justru untuk mengutamakan kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia yang selama ini ditindas. Frekuensi radio dan televisi sejak lama hanya dimiliki orang-orang dari kalangan istana, sedang akses masyarakat nyaris tak ada.

Namun, ia mengakui pengajuan judicial review merupakan hak masyarakat. Akan tetapi, pihak yang mengajukan keberatan UU tersebut menurut dia bukan dalam konteks filosofi melainkan konteks bisnis. "Mereka mengkhawatirkan desentralisasi kepemilikan frekuensi yang memungkinkan orang daerah berkesempatan memiliki televisi sendiri," katanya.

Effendy mengatakan, dengan aturan baru itu pihak televisi swasta tak akan bisa segera meraih keuntungan dan lebih lama mencapai titik impas.

Sekalipun demikian, ia mempersilakan lembaga penyiaran mengajukan uji material UU tersebut. "Ini kan demokrasi. Tapi, kalau nanti mereka menang dan kita kembali memakai UU yang lama jangan kaget. Untuk urusan siaran relai harus ada aturan. Lembaga pemerintah semacam Deppen akan ada lagi dan akan lebih membelenggu gerak mereka," katanya.

Lubis mengatakan, industri televisi memang padat modal. Untuk siaran, gaji pegawai, dan lainnya dalam sebulan dibutuhkan dana Rp 5-10 miliar. "Tetapi, judicial review tak ada kaitannya dengan bisnis," tambahnya. (TRI)