Search This Blog

Tuesday, March 27, 2007

Nyepi ke Yogya

HARI Raya Nyepi, jatuh pada 19 Maret lalu, menjadi libur panjang. Sabtu-Minggu-Senin menjadi tanggal merah. Selama tiga hari itu kantor-kantor tutup. Apalagi di Bali. Tepat pada hari Nyepi, suasana betul-betul sepi. Hanya pasukan adat, dalam bahasa lokal disebut pecalang, yang boleh bergerak. Penyeberangan dari Banyuwangi ke Gilimanuk diliburkan. Bandar udara diistirahatkan. Pendeknya, seluruh Indonesia bersatu dengan Bali, menjadi negeri yang sepi.

Hari libur itu juga kami manfaatkan untuk mewujudkan rencana lama: naik kereta api. Berbulan-bulan Darrel minta naik kereta api. Setiap kali melihat film Thomas and Friend, ia berteriak-teriak: ‘’wah, kereta apinya panjang ya… Aku mau naik thomas yang biru.’’ Thomas adalah nama kereta api yang baik hati. Dalam film kartun tiga dimensi itu, Thomas bersama teman-temannya berkelana ke sana ke mari, menembus derasnya salju, untuk melayani warga. Pokoknya hebatlah.
******
Beruntung ayah dan mommy punya banyak kenalan di PT Kereta Api Indonesia. Sehingga meski libur panjang, antrean pembeli tiket membludak, kami tidak punya kesulitan untuk membeli tiket. Pokoknya, lancarrrrrrrrrrrr!!!
Ayah membeli tiket pada hari Kamis, alias sehari sebelum keberangkatan. Di loket sudah ada tulisan: Taksaka habis. Argolawu habis. Argobromo Anggrek, habis. Dengan pertolongan seorang kenalan, kami bisa mendapatkan tiket. Menurut kebijakan PT KAI, memang ada tiket yang dialokasikan untuk keperluan darurat. Tidak banyak, paling cuma delapan tempat duduk. Alhamdulillah, kami tidak berurusan dengan calo, yang menjual tiket dengan harga Rp 300.000, alias naik Rp 80.000 per lembar.
**********
''Nanti jangan sampai Darrel ditinggal sendirian. Nanti, jangan sampai Ayah ketiduran. Kalau sampai Darrel bangun, terus jalan-jalan sendiri, bahaya. Jangan lupa membawa minuman. Jangan lupa membawa tissue basah untuk lap kalau pipis...''
Duh, banyak pesan dari mommy. Memang wajar sih, kan ini perjalanan panjang, 10 jam lebih...
Lagi pula, kereta api di Indonesia, meski eksekutif sekalipun, kurang begitu aman. Gerbong seringkali dibuka, yang membuat penumpang bisa melompat dari dalam. Sebaliknya, dari luar, pencoleng juga bisa masuk. Jangan bandingkan laju kereta Indonesia dengan sepur van Europe, atau van Amrik...
Kalau kita sudah terbiasa berkelana dengan kereta api di Eropa, akan terasa betapa sepur Indonesia tidak nyaman. Stasiunnya kurang bersahabat bagi calon penumpang: tempat duduknya kurang, WC-nya pelit kebersihan, jadwalnya banyak molor.
*********

Mommy ikut mengantar Darrel ke dalam kereta. ''Awas, ati-ati ya Darrel! tidak boleh jalan-jalan. Tidak boleh nangis,'' kata Mommy.
''Ya Mommy. I love you,'' kata Darrel.
Mommy kemudian berpelukan dengan Darrel.
Mommy kemudian pergi.
Setelah itu, Darrel kembali ke kebiasaan lama: lompat-lompat di atas kursi. Sampai jam 23. lewat, ia baru tidur....
Tidak nyaman baginya untuk bobok. Kursinya susah direbahkan. Sementara kakinya belum bisa menjangkau pijakan di depannya. Terpaksalah blingsatan, bergerak kiri kanan, untuk tidur...
Pelajaran penting: lain kali kalau pergi dengan kereta api, bawalah bantal, demi kenyamanan. Bantal pemberian KAI selain tipis, tidak nyaman, acapkali berbau.
Taksaka meninggalkan Gambir jam 20.45, on schedule. Tapi ia baru mendarat di Stasiun Gambir jam 06.45, meleset satu jam dari jadwal.
Eyang Kakung sudah menjemput dengan Pak Hadi, sopir keluarga, di stasiun. Alhamdulillah, Eyang Kakung sehat. Di rumah, Darrel ketemu Eyang Puteri. Alhamdulillah, beliau juga sehat...

*************
Tanpa janjian, ternyata Om Andi dan Tante Maya juga pergi ke Yogya. Mereka naik Adam Air, pada Sabtu pagi. Mereka dapat tiket murah, Rp 240.000, hanya Rp 20.000 di atas tiket kereta api.
''OK Andi, besok saya jemput kalau begitu,'' kata Ayah, pada Jumat siang.
''OK Mas, terima kasih.''
Kedatangan Om Andi dan Tante Maya membuat suasana liburan menjadi lebih meriah. Berempat kami berjalan-jalan ke ''Resto Jambon'', tempat makan dan minum di daerah Godean. Lokasinya kira-kira dari Nogotirto, masuk ke Utara sekitar 5 Kilometer. Tempatnya lumayan nyaman.
Kami datang pada hari Minggu, jam 13.00. Walah... tempatnya penuh. Hampir satu jam kami butuhkan untuk menunggu datangnya pesanan.
Pelajaran penting: jangan datang pas jadwal makan siang, di restoran yang ramai.
Selama satu jam menunggu itu, Darrel luar biasa gesit. Ia berlarian ke sana ke mari. Bergantian kami harus mengikutinya. Ia tidak boleh lepas dari pandangan mata, dan jangkauan tangan.
Makanannya memang lumayan nyaman di lidah.
Menu khasnya adalah udang berkecap, gurame bakar, kangkung tumis. Sebetulnya itu menu yang biasa. Hanya saja, karena disajikan di tengah-tengah kolam yang ikannya ''kecepek-kecepek'', rasanya jadi enak bin lezat...
Lepas dari Resto Jambon, kami berjalan ke Kasongan untuk membeli gerabah. Om Andi dan Tante Maya yang sibuk berbelanja. Ayah dan Darrel di dalam mobil, tidur....



Friday, March 16, 2007

Tatkala Jakarta Banjir




TELEPON berdering-dering dari mbak Yeni, mbak Tiwi, Ibu di Yogya, juga Tante Atik di Libya. ''Piye mas, kebanjiran ora?''

Percakapan itu terjadi pada awal Februari lalu. Hari itu, 2 Februari 2002, Jakarta dilanda hujan deras banget, dari sore sampai sore berikutnya. Harinya Jumat. Gara-gara hujan, saya berangkat ke kantor siang-siang.

Untuk salat Jumat, juga terganggu. Sebagian jalan di komplek terendam air --lihat tuh, di gambar pertama. Hujan juga masih deras. Ketika sampai di masjid, khotibnya belum datang. Ia rupanya terjebak banjir. Sungai di samping masjid juga heboh: airnya meluap, arusnya deras. Wah...

Kami bersyukur, komplek kami, Permata Timur, di Jati Cempaka, 200 meter dari perbatasan Jakarta Timur-Bekas, bebas banjir. Bebas banjir tidak berarti kami bebas dari rendaman air. Di beberapa lokasi, air menggenang. Tapi maksimum 20 cm.

Jauh lebih menyesakkan adalah mereka yang tinggal di komplek-kompleks langganan banjir. Kawannya Mommy, namanya Machsus, tinggal di Pondok Karya, Jalan Bangka, Jakarta Selatan.
Rumahnya kerendam ''cuma'' dua meter. Ketika hujan sedikit reda, airnya menyusut hingga ''cuma'' sepinggang orang dewasa.

***
Rumah kami, alhamdulillah, tetap nyaman. Ada beberapa bocor. Di jalan depan rumah, ada air menggenang (lihat tuh, ada gambar mbak minah dan pak rejo). Di halaman belakang, air juga mengucur cukup deras. Tapi, alhamdulillah lagi, aman.

Di halaman belakang, persis yang menempel teras, air sempat naik hingga tinggal 5 centimeter dari teras. Saya sempat deg-degan. Sebetulnya sudah ada saluran air cukup besar, yang langsung membuang air di situ ke selokan. Tapi hari itu selokannya airnya luber. Jadinya, air hujan agak lambat terbuang.
****
Sumur resapan membuat air hujan dengan cepat teresap. Sewaktu membangun halaman belakang, kami membangun tiga sumur resapan. Ada batu besar, kerikil, ijuk, pasir, dsb, yang kami tanam di halaman belakang. Ilmu sumur resapan itu kami dapatkan dari internet. Kami buat saja, mengikuti gambar, langsung diterapkan.

Banyak orang yang tidak membuat sumur resapan. Alasannya macam-macam. Di antaranya, sumur resapan dinilai hanya membuang biaya. Memang, sumur resapan tidak bisa dilihat, sebagaimana kalau kita membeli pot, menanam anggrek, atau membuat pagar. Sumur resapan adanya di bawah tanah, jadinya manfaat langsungnya tidak terasa seketika.

Padahal, sumur resapan punya arti penting untuk menyerap air ke dalam tanah. Sehingga tidak semua air hujan harus menggelontor, masuk ke selokan. Ketika Jakarta didera banjir seperti awal Februari lalu, arti pentingnya sumur resapan digaungkan lagi. Sampai-sampai, Gubernur menyatakan, akan mendenda rumah tangga yang tidak membuat sumur resapan.

Yah, tapi nasi sudah terlanjur matang. Banjir sudah terjadi. Meski demikian, rasanya belum terlambat untuk membuat sumur resapan, bagi yang belum memiliki. Seperti halnya: belum terlambat membuat banjir kanal timur, belum terlambat mendandani situ-situ yang sudah mendangkal, dan belum terlambat meresikkan sampah di pintu air Manggarai.

Kalau di rumah saya air relatif aman, tidak demikian halnya dengan kompleks dekat rumah, Jatiwaringin Antilope. Air menggenangi jalanan, hampir satu meter. Air bertamu ke rumah-rumah, hingga lebih dari satu meter.

Pernahkah Anda merasakan air masuk ke rumah, lima centimeter saja? Risih. Badan kita rasanya gatal-gatal. Serba tidak nyaman.

Di Cipinang Muara, air sampai setinggi tiga meter. Sekali lagi, tiga meter!! Di Kelapa Gading, juga sekitar tiga meter. Di Kampung Melayu, Pengadegan (ini dekat kantor saya), juga hampir sama ketinggiannya.

Banjir di Cipinang membuat jalanan Kalimalang lumpuh total. Pemilik mobil di Cipinang Indah (ini komplek bagus lo!), memindahkan mobilnya ke pinggir jalan Kalimalang. Komplek Cipinang Indah memang mengenaskan. Rumah-rumah bagus yang mahal itu terletak di Cekungan, lebih rendah dari Kalimalang.

Ketika hujan datang, air langsung menggenang. Susah untuk mencari jalur keluar.

Banjir Jakarta memberi pelajaran penting, tak hanya bagi pemerintah, tapi juga bagi warga. Setidaknya para warga disadarkan kembali akan pentingnya menjaga kebersihan. Juga akan arti penting bekerjasama dengan tetangga untuk membersihkan selokan.