Search This Blog

Friday, August 05, 2005

Bencana Aceh: MANUSIA DI UJUNG COBAAN TUHAN

KOMPAS Rabu, 29-12-2004. Halaman: 7


UMAT manusia-khususnya di bumi Serambi Mekkah, Nanggroe Aceh
Darussalam-sedang diuji keimanannya.
Bencana tsunami yang meluluhlantakkan bumi Aceh menunjukkan
betapa manusia sebagai ciptaan Allah tidaklah ada artinya sama sekali.
Manusia berada di ujung coban Allah.
Uni Z Lubis, wartawati stasiun televisi TV7, melihat langsung
betapa dampak korban bencana tsunami di negara lain yang sering kita
lihat melalui layar kaca maupun berita media cetak terpapar langsung
di depan mata.
Betapa mayat anak-anak, laki-laki perempuan, tua muda
bergelimpangan di seantero jalanan dan Lapangan Blang Padang, Banda
Aceh.
Jerit tangis memilukan pecah menyambut kedatangan Wakil Presiden
(Wapres) Jusuf Kalla di Rumah Sakit Kesehatan Kodam (Kesdam), Senin
(27/12) siang. "Tolong, Pak, tolonglah kami, Pakà," Beberapa
perempuan memburu Wapres Jusuf Kalla dan memegangi tangannya. Wajah
mereka tampak lusuh. Sangat lelah. Pakaian robek di beberapa tempat.
Sisa-sisa lumpur masih menempel di kaki, juga di pakaian. Sekujur
tubuh penuh dengan luka-luka akibat tergores benda kasar.
Lorong-lorong Rumah Sakit Kesdam memang dipenuhi dengan ratusan
korban. Rumah sakit itu menjadi satu-satunya instalasi perawatan
kesehatan yang masih berfungsi, meski tidak sepenuhnya.
Seorang perempuan, Eli, menangis seraya meraih tangan Wapres. Di
pelukannya terdapat anak perempuan berusia sekitar 11 tahun. Sebelah
matanya dibalut dengan perban karena luka parah. Sambil sesenggukan,
Eli meminta bantuan pengobatan bagi mata anaknya. Ibu dan anak itu
selamat, sementara suami dan keluarga lainnya tak jelas
nasibnya. "Cuma kami berdua yang tersisa, Pak, tolonglahà," isak
Eli. Air bah yang datang sekejap setinggi tak kurang dari 6 meter
menggulung keluarganya. Wapres tercenung.
Di bagian belakang rumah sakit, terhampar 415 mayat. Kondisi
mereka sangat mengenaskan. Perut menggembung penuh air. Tubuh penuh
luka-luka. Bau pun merebak.
Wapres Jusuf Kalla menyandarkan tubuhnya pada sebuah tiang di
lorong rumah sakit. Tak ada kata yang terucap dari mulutnya. Sejumlah
anggota rombongan menggumamkan kalimat, inna lillahi wa inna ilaihi
rajiÆun à astagfirullah alazimà.
Ketika rombongan hendak meninggalkan Rumah Sakit Kesdam, tangis
kembali pecah di lorong rumah sakit. "Kami belum makan, Pak,
tolonglah," kata seorang ibu.
Ada anggota rombongan yang merogoh dompet hendak memberikan uang
kepada mereka, namun ditolak. "Kami perlu makanan dan pakaian, bukan
uang," kata mereka. Ekonom Muhammad Iksan yang ikut dalam rombongan
itu membuka ranselnya dan mengeluarkan baju kaus dan celana yang ia
bawa sebagai pakaian ganti.
Wapres langsung memerintahkan agar siang itu juga makanan dan
minuman didatangkan dengan cara apa pun, kalau perlu dari
Medan.
Sedikitnya 800 mayat dibaringkan di pinggir jalan. Sebagian
ditutupi daun, robekan kertas koran, plastik, apa saja. Ada warga
yang masih mencoba membalik-balik jenazah, sekadar memastikan apakah
itu anggota keluarganya atau orang yang mereka kenal.
Betapa akibat bencana alam di Aceh amat dahsyat. Lebih dahsyat
dari gambaran yang sudah muncul di liputan berita internasional atas
kondisi di sejumlah negara yang terkena musibah yang sama.
"Kenapa ya Aceh kok selalu dirundung duka?"
***

Aceh lumpuh. Listrik, telekomunikasi, air bersih dan air minum,
serta bahan bakar minyak juga menipis.
Di sepanjang jalan saya gundah juga. Bagaimana mengirim berita
dan gambar ke Jakarta kalau saluran telepon tak berfungsi? Kalaupun
ada telepon satelit atau Flexi Telkom lokal yang bisa digunakan,
bagaimana kalau baterainya habis?
Saya geleng-geleng kepala membaca tulisan seorang pakar
komunikasi di Kompas edisi Selasa (28/12), yang membandingkan liputan
bencana di Aceh dan Nias dengan liputan Munas Golkar di Bali! Jelas
bagaikan bumi dan langit kondisi dan fasilitasnya. Analisis pakar
tersebut didasarkan pada ketidaktahuannya soal kondisi Aceh
pascagempa dan badai tsunami.
Bisa dikatakan, kunjungan rombongan Wapres adalah titik awal
terbukanya komunikasi dengan Banda Aceh.
Kini Banda Aceh hancur, rumah-rumah pimpinan daerah di sekeliling
Lapangan Blang Padang di pusat kota berantakan. Namun tidak semuanya.
Pesawat DC-3 Dakota yang dipajang seperti prasasti di sana tampak
utuh. Bersih. Masjid Baiturrahim berdiri tegak. Sekeliling masjid
hancur. Sulit dimengerti memang, bagian itu bisa selamat, sementara
bagian lainnya tidak.
Begitu mendarat di Bandara Polonia, kami memutuskan kondisi Aceh
harus diketahui rakyat Indonesia, juga dunia. Rakyat Aceh butuh
bantuan. Jeritan tangis itu terus terngiang di telinga, "Tolonglah
kamià." (Uni Z Lubis, dari Banda Aceh, NAD)

No comments: