Search This Blog

Saturday, July 30, 2005

Komputer dan Mobil


EJAANNYA ''mobil''. Tapi, Darrel menyebutnya ''bin''. Ia memang belum bisa menyebut kata mobil dengan baik. Huruf konsonan ''l'' oleh dia dilafalkan ''n''. Maka, kata ''komputer'' ia ucapkan dengan ''puten''.

Tiap anak kecil memang mempunyai bahasa sendiri. Bahasa yang tak mudah dipahami oleh orang dewasa. Sehingga orang dewasa acap kali menyebutnya sebagai bahasa planet. Kesulitan mencerna ucapan anak adalah milik hampir semua orang tua. Lihatlah naskah yang saya ambilkan dari milis ''ayahbunda-online'', mengenai keluhan para orang tua terhadap kemampuan balitanya berbicara.

''Sebaiknya Taya diperiksakan ke klinik tumbuh kembang karena usia 2 tahun rata-rata 75% pembicaraannya sudah bisa dimengerti oleh orang lain.

Coba juga untuk menstimulasi bicaranya dengan memberinya kesempatan bicara.
Ada pengalaman teman yang anaknya terlambat bicara setelah diperiksa &
diobservasi ternyata karena kurang stimulasi (ortu bekerja dan pengasuhnya
pendiam sehingga jarang mengajak bicara).

Kalau mengenai Ruben, mungkin bisa diobservasi lagi mba, apakah memang ia
belum bisa mengucapkan huruf-huruf tertentu atau memang ada sesuatu pada
organ bicaranya. COba untuk tidak menggunakan bahasa bayi jika berkomunikasi
dengan Ruben, sehingga ia terbiasa mendengar dan berkomunikasi dengan bahasa
yang benar (misalnya pengucapan susu dan bukan jadi cucu...)...

Dulu Kayla (skrg 22 bln) juga belum bisa mengucapkan huruf f (kalo bilang
elephant jadi eleson, tivi jadi tisi) dan r (motor jadi motoy). Jadi tiap
dia mengucapkan kata itu, saya ulangi pelan2 sambil memandang dia, jadi dia
bisa lihat bentuk mulut kita dalam mengucapkannya. Sekarang sih udah lumayan
tuh...



Sesungguhnya persoalan tidak serumit di atas. Dua pekan lalu, televisi menyiarkan penelitian sebuah klinik psikologi anak, di Amerika. Sayang saya lupa detailnya. Dosen di situ menemukan, anak sebetulnya sudah bicara lewat kode-kode, yang dituturkan lewat jarinya.

Mau kucing? Maem? Semuanya bisa diwujudkan lewat gerak jari.

Bukti Habibie Tak Serius Periksa Soeharto; Wakil "Panji Masyarakat" Dipanggil Polisi

Jakarta, Bernas

Bocornya pembicaraan telepon Presiden BJ Habibie dengan Jaksa AGung Andi M Ghalib yang kemudian terekspose di media massa menandakan dua hal. Pertama, Kejaksaan Agung menjadi instrumen untuk melanggengkan kekuasaan dan kedua, BJ Habibie tidak serius menangani pemeriksaan terhadap dugaan KKN mantan Presiden Soeharto.

Demikian benang merah dari berbagai pendapat yang dihubungi Bernas secara terpisah, Jumat (19/2). Mereka adalah Rektor UGM, Prof Ichlasul Amal, Ketua PAN Dr Amien Rais, pengamat dari UGM Dr Riswandha Imawan, dosen UI dan Undip Prof Dr Dimyati Hartono, Direktur PHBI Hendardi, Koordinator Pekerja ICW (Indonesian Corruption Wacth) Teten Masduki, Ketua PNI, Ny Supeni dan tokoh PDI Sabam Sirait, dan anggota FPP DPR Zarkasih Noor.

"Kalau itu betul suara Habibie dan Ghalib, maka Habibie membongkar praktek mencampuri urusan kejaksaan. Habibie menggunakan instrumen hukum untuk kepentingan politik," kata pengamat politik dari UGM Dr Riswandha Imawan. Riswandha sendiri yakin, suara rekaman itu adalah otentik suara Habibie dan Ghalib.

Dihubungi di Jakarta, Ketua FPP DPR Zarkasih Noor menilai, melihat materi pembicaraan membuktikan pemeriksaan terhadap mantan Presiden Soeharto hanya dagelan, tidak sungguh-sungguh. "Bahkan bila diterjemahkan lebih dalam lagi, dapat ditarik kesimpulan Presiden Habibie terang-terangan ingin melindungi Soeharto," ujar Zarkasih.

Menurutnya, pernyataan-pernyataan Presiden Habibie dan Jaksa Agung Andi Ghalib tentang pengusutan terhadap mantan presiden Soeharto selama ini, hanya kamuflase atau membohongi rakyat. "Pemerintah sekarang telah kehilangan wibawa, sehingga pembicaraan pejabat negara yang harus dijaga kerahasiaannya dengan mudah dapat diacak-acak," katanya.

Mantan anggota FPDI DPR Sabam Sirait menyatakan, kasus sadap-menyadap sebenarnya sudah berlangsung lama dan telah dianggap hal yang biasa, meskipun tidak ada buktinya. "Karena memang sulit untuk dibuktikan hingga sekarang. Sebenarnya dengan kasus itu, maka sudah tak pantas lagi bagi rakyat Indonesia untuk mempercayai lagi kepada Presiden Habibie," kata Sabam.

Panji diperiksa
Dalam perkembangan kasus ini, Jumat kemarin Wakil Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat, Uni Zulfiani Lubis, dipanggil Mabes Polri. Menurut Kadispen Polri Brigjen (Pol) Togar M Sianipar, karena bukan delik aduan, polisi bisa langsung bertindak tanpa menunggu laporan dari masyarakat. Itulah sebabnya Mabes Polri memanggil Uni seketika.

Setelah memeriksa Uni, Kasubdispenum Mabes Polri Kolonel Pol M Saleh kepada wartawan mengatakan, Uni diperiksa selama empat setengah jam dalam kapasitas sebagai saksi.

Saleh enggan memberi keterangan tentang materi pemeriksaan. Uni diciduk polisi dari kantor Panjimas, Jl Kemang Selatan Raya 111 H pukul 15.30 WIB. Pencidukan itu sangat mendadak, tanpa surat pemanggilan terlebih dulu.

Meski telah dipersiapkan kendaraan khusus untuk menjemput Uni, Uni lebih suka menaiki kendaraannya sendiri. Ia didampingi pengacara T Mulya Lubis.

Mau apa mereka?
Para tokoh masyarakat, khususnya mahasiswa sebagai ujung tombak tokoh reformasi, seharusnya bertanya secara langsung kepada Presiden, Menhankam/Pangab dan Jaksa Agung perihal kebenaran substansi pembicaraan yang telah beredar luas itu.

Demikian Dr Amien Rais seusai membubuhkan tanda tangan dalam Aksi Sejuta Tanda Tangan untuk Kedamaian Bangsa di Bulevar UGM, Jumat (19/2) siang. "Para tokoh masyarakat dan mahasiswa harus bertanya langsung karena ketiganya disebut-sebut dalam rekaman itu. Maunya apa mereka itu sesungguhnya?" ujar Amien.

Sedangkan Rektor UGM Prof Dr Ichlasul Amal MA mengatakan, tidak ada yang luar biasa dalam kasus penyadapan pembicaraan per telepon antara Habibie dengan Andi Ghalib, karena mudah dilakukan oleh siapa saja yang paham teknologi komunikasi. Tapi dari sisi politik, kasus itu dinilainya sangat luar biasa. "Dari pembicaraan itu bisa kita lihat bagaimana Ghalib yang tidak tegas dalam memproses pengadilan Soeharto. Peredaran rekaman itu juga tampaknya dilandasi dengan motif politik tertentu," kata Rektor UGM ini.

Dari padangan Amien Rais, pembicaraan itu menunjukkan adanya konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan Menhankam/Pangab dan Jakgung untuk melindungi Soeharto dan kroni-kroninya. "Jadi, ini (pengadilan terhadap Soeharto) betul-betul kasus yang besar tapi dijadikan sebagai dagelan yang tidak lucu," kata Amien.

Menurut Amien, rakyat luar biasa terkejut dan jadi tahu apa yang sebenarnya terjadi bahwa pengadilan terhadap Soeharto dan kroni-kroninya hanya merupakan sandiwara untuk menenangkan rakyat.

Baik Amal dan Amien menilai ada kedekatan kasus telepon Habibie-Andi Ghalib dengan kasus Watergate yang dialami Presiden AS Nixon di tahun 70- an. "Ini perbandingan terbalik dengan kasus watergate di AS di awal 70-an. Skandal itu sangat terkenal dan sangat memalukan karena Presiden ketahuan menyadap telepon orang lain. Bedanya, kalau di AS yang menyadap si penguasa tapi kalau di sini justru penguasa yang disadap teleponnya. Jadi saya kira, buat yang melakukan skandal itu tidak bakal rugi besar. Jika yang melakukan Habibie mungkin bisa saja dia bisa dituntut untuk mundur seperti Nixon," kata Amien Rais.

Menurut Teten Masduki, isi pembicaraan Habibie-Ghalib menunjukkan bahwa posisi Kejagung masih juga mendapat intervensi kekuasaan eksekutif. Pernyataan Teten disampaikan pada wartawan, Jumat (19/2/1999).

Teten menyimpulkan, Habibie terus berusaha mendesak Ghalib untuk memprioritaskan pengusutan terhadap pengusaha Arifin Panigoro dan Yusuf Wanandi ketimbang pada mantan presiden Soeharto. Arifin Panigoro dikenal sebagai orang kaya yang proreformasi. Beberapa langkahnya sering dijegal kelompok lain. Usulan mengusut Arifin dan Yusuf, menurut Riswandha adalah untuk mengelabuhi urusan Soeharto. "Dalam pembicaraan sering ada kata "anu", itu menunjukkan ada orang ketiga yang tidak berani mereka sebut yaitu Soeharto. Mereka masih sungkan," kata Riswandha.

Atas fakta tersebut, Teten mendesak Kejagung menghentikan pemeriksaan pada Soeharto. "Kalau tidak segera dihentikan, saya khawatir akan terjadi manipulasi karena adanya intervensi itu," kata Teten.

Lalu kapan pengusutan Soeharto dilakukan? "Kita tunggu Kejakgung hasil reformasi. Ini perlu dilakukan ketimbang menumbuhkan kemarahan rakyat," jawab Teten.

Lebih lanjut Teten juga menyatakan, Ghalib harus mempunyai kesadaran moral. "Kalau dia punya kesadaran moral, maka Ghalib harus mengundurkan diri. Dia tidak mempunyai integritas yang perlu diperjuangkan oleh seorang Jaksa Agung," ujar Teten.

Teten yakin suara yang ada di kaset adalah benar-benar suara Habibie-Ghalib. Dia mengaku sudah mendengarkan isi kaset itu bersama pengacara T Mulya Lubis, jauh sebelum Panji menurunkannya minggu ini. "Kalau perlu, rekaman itu disiarkan lewat RRI dan diadakan voting di tengah rakyat. Pasti rakyat akan setuju kalau itu suara Habibie-Ghalib," kata Teten.

Sedangkan Guru besar Fakultas Hukum Ui Jakarta dan Undip Semarang, Prof Dr Dimyati Hartono SH menegaskan sadap menyadap dalam dunia politik bukan merupakan hal baru. Selama ini banyak pula aparatur negara yang melakukan praktek tersebut demi kepentingan tugasnya. "Hanya masalahnya apakah sadap menyadap itu dilakukan sesuai konteks tugasnya atau tidak. Dan apakah penyadapan itu sudah dilakukan sesuai prosedur atau tidak," ujar Dimyati kepada wartawan di sela-sela pelapasan jenazah Prof Soehardjo Ss SH di kampus Undip Pleburan Semarang, Jumat (19/2).

Menyinggung pihak mana yang paling bertanggungjawan atas dugaan terjadinya kebocoran itu, Dimyati mengatakan secara logika jika pembicraan itu terjadi dalam lingkup kepresidenan yang tidak semua orang bisa masuk, maka yang paling bertanggungjawab adalah Sekretaris Negara.

Bocornya pembicaraan telepon, menurut Ny Supeni menurunkan kredibilitas pemerintahan Habibie, sekaligus menjadi awal dari semua kesalahan pemerintahan Habibie. Hal itu dikatakan Ny Supeni kepada wartawan di Hotel Sahid Kusuma, Jumat (19/2) malam.

Kaget dan marah
Kasus itu membuat kaget dan marah. Hal itulah yang membuat Habibie langsung memerintahkan Pangab mengusut tuntas. "Pak Habibie ya otomatis ya mesti ya kaget dan marah," ujar Menkeh Muladi ketika ditemui wartawan seusai mengikuti rapat Paripurna DPR RI di Jakarta Jumat (19/2). Sementara di tempat yang sama Dirjen PUOD Ryass Rasyid menilai penyadapan itu sebagai tindakan yang sangat memuakkan.

Apakah artinya Habibie mengakui itu percakapannya dengan AM Ghalib? "Saya tidak menyatakan itu, tapi dia sudah memerintahkan Pangab untuk mengusut. Itu termasuk pelanggaran HAM yang luar biasa, menyangkut keamanan negara," kata Muladi.

Menurut Muladi bila pembicaraan presiden di telepon saja bisa disadap tentunya yang lainpun akan bisa dilakukan. Padahal menurutnya penyadapan hanya boleh dilakukan kalau negara dalam keadaan darurat sipil atau dalam keadaan perang.

Tentang UU yang mengatur masalah komunikasi ini Muladi menerangkan pada tahun 1985 melalui UU nomor 11 tahun 1985, pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional tentang telekomunikasi. UU tersebut diratifikasi dari konvensi Nairobi tahun 1982.

Namun selain itu ada UU nomor 5 tahun 1964. Dalam pasal 22 UU ini disebutkan barang siapa, menyatakan adanya berita atau menyebarluaskan berita yang diperoleh tanpa hak diancam dengan pidana kurungan satu tahun dan denda Rp 100.000.

Apakah isi percakapan termasuk rahasia negara, Muladi menilainya relatif. Menurutnya ada pasal lain yang mengaturnya yaitu pasal 322 KUHP. Pasal itu menyatakan bahwa membuka suatu rahasia, diancam dengan pidana yang relatif cukup berat.

Lupa teknologi
Dihubungi di Jakarta, Sarwono Kusumaatmadja menyatakan, bocornya pembicaraan Habibie-Ghalib menunjukkan bahwa Habibie sebagai orang yang canggih dalam iptek, lupa menerapkan penguasaan ipteknya pada praktek politik. Kritik ini disampaikan Sarwono pada wartawan di Jakarta, Jum'at (19/2/1999).

"Habibie lengah. Dia lupa berpikir iptek tentang politik. Padahal dia orang iptek. Harusnya dia sadar kalau dia adalah sosok penting dan menjadi pusat perhatian," kata Sarwono.

Sarwono juga menyatakan, penyadapan pembicaraan lewat telepon bukanlah hal yang luar biasa di negeri ini. "Penyadapan sering dilakukan pada aktivis pro demokrasi. Karlina Leksono pun pernah menjadi korbannya," ujar adik mantan Menlu Mochtar Kusumaatmadja ini.

Kini, yang bisa dilakukan Habibie, kata Sarwono, hanyalah menyesali diri. "Orang canggih iptek kok lupa," kata Sarwono sambil tersenyum.(yos/son/gg/jj/ant/ppj/sry)

Friday, July 29, 2005

Inul Semakin Berkibar...


Uni Zulfiani Lubis:

Wawancara | 04/05/2003

Pertarungan Rhoma Irama, si Raja dangdut, dengan Inul Daratista, si Ratu Ngebor, belum mereda. Uni Z. Lubis, seorang perempuan karier yang berkecimpung di dunia pers, ikut prihatin atas pengekangan kreativitas terhadap Inul. Lebih-lebih, Inul yang diasosiasikan sebagai figur perempuan yang sukses merambah wilayah publik, banyak bersinggungan dengan dunia yang sekarang ditekuni mantan wapemred majalah Panjimas ini.

Sebagai sesama perempuan, Uni bisa merasakan “intimidasi” atas Inul, sembari menerawang jauh betapa dalam secuil pengalaman keagamaannya pernah mengalami segregasi perempuan dan laki-laki di ruang publik. Berikut petikan wawancara Ulil Abshar-Abdalla (Kajian Islam Utan Kayu) dengan Uni Z. Lubis, Ketua Harian Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI) pada 1 Mei 2003:

Saya ingin bertanya ke Anda tentang masalah Inul dan kaitannya dengan masalah perempuan. Inul adalah biduan perempuan dan banyak bersinggungan dengan dunia Anda. Apakah Anda merasakan adanya tekanan atau diskriminasi dari masyarakat terhadap perempuan pekerja seperti Inul?
Dalam amatan saya, ternyata banyak orang yang salah sangka, termasuk Rhoma Irama yang belakangan paling gencar mempermasalahkan Inul. Mungkin dia berpikir, dengan mengangkat isu bahwa dengan goyang ngebornya, Inul telah melecehkan derajat perempuan, maka dia akan mendapat dukungan dari banyak kalangan perempuan. Yang terjadi justru sebaliknya: Inul malah disukai kalangan perempuan, ibu-ibu dan segmen masyarakat lainnya. Saya suka pribadi Inul, dan sempat bertemu berkali-kali. Saya bisa mengatakan bahwa, Inul adalah seorang artis yang personality-nya bagus. Anaknya sopan dan baik.

Mungkin karena aslinya orang dusun, maka ada bawaan karakter itu?

Sebetulnya, kalau kita ngomong terus terang, banyak juga penyanyi dangdut yang muasalnya dari dusun juga. Tapi karena kemudian dia menjadi seperti “Bimbi” (lagu Titik Puspa yang menceritakan perempuan desa yang berubah setelah ke kota, Red), berubahlah gayanya. Sampai hari ini, menurut saya, Inul tidak berubah wataknya, kecuali dia semakin sibuk. Dia termasuk orang yang mudah diakses dan sangat dekat dengan pers. Saya khawatir, orang yang ingin menjatuhkan Inul dengan membuat kontroversi, hasilnya justru malah berbalik, Inul semakin berkibar.

Goyang Inul selalu dikaitkan masalah isu-isu moral. Ada tudingan bahwa goyang Inul telah meningkatkan kasus pemerkosaan dan pornografi. Tanggapan Anda?
Seperti termuat dalam Tajuk Rencana Kompas (1/05/2003), Inul memang menonjol, tapi biduan seperti Inul itu ada ratusan yang tidak mencuat. Mereka ada di tiap-tiap wilayah. Bagi saya, ada pertanyaan besar: mengapa selama ini mereka tidak mengomentari mereka, tapi hanya Inul yang relatif sudah mencuat yang “ditembak.”

Kalau mau jujur, selama ini penari-penari latar di televisi, bajunya malah lebih terbuka dari atas sampai bawah. Bahkan goyangnya tidak kalah sensual dan erotis, apalagi kalau pakai gaya salsa. Dalam gaya salsa, antara laki-laki dan perempuan terlihat hampir bergesek-gesekan. Inul itu, ‘kan masih sendiri. Coba Anda perhatikan goyang salsa! Itu sudah nyaris seperti melakukan “hubungan” di atas panggung. Anda juga mesti cermati, Inul tidak pernah tampil dengan pakaian terbuka, meski ketat.



Tentu ada kritikan yang tertuju pada Inul. Bagaimana goyang Inul menurut Anda?

Saya setuju dengan pihak yang mengkritisi Inul dari kalangan perempuan. Kalau ketemu Inul secara pribadi, saya merasa senang, dan saya nilai anaknya memang menyenangkan. Tapi bukan berarti saya senang dengan goyangnya, karena dari sisi variasinya, goyang Inul tidak banyak, begitu-begitu saja. Buat saya, kalau sudah melihat sekali dua kali, saya sudah bosan. Kalau dia nyanyi dangdut, rock, atau Latin, goyangnya begitu-begitu saja. Tidak ada koreografinya. Mungkin, kalau dari segi variasi, Liza Natalia lebih bagus.

Hanya saja, ketidaksukaan saya menonton Inul, tidak perlu membuat saya mesti membenci atau melarang dia tampil. Kita sudah sama-sama dewasa; kalau tidak suka goyangnya, ya tidak usah ditonton.

Ada yang mengatakan tindakan Rhoma Irama merupakan bentuk pembatasan kreativitas kesenian. Tanggapan Anda?
Bagi saya simpel saja. Bila dianalogkan dengan agresi Amerika menyerang Irak, ujung-ujungnya masalah ekonomi juga. Menurut saya, artis-artis dangdut yang sudah senior, termasuk Rhoma Irama sendiri, tidak rela saja menghadapi kenyataan menjadi the second. Sekarang Anda perhatikan saja! Kalau ada pertunjukan Inul, pamfletnya tertulis begini: saksikan goyang ngebor Inul, didukung oleh Kristina, Iis Dahlia, Elvi Sukaesih dan lain-lain. Siapa coba yang bisa menerima kenyataan seperti itu?

Tadi Anda mengutip majalah Time bahwa pangkal masalahnya adalah persoalan hipokrisi atau kemunafikan di masyarakat kita. Fenomena itu sudah ada dari dulu. Tapi mengapa permasalahan terfokus pada diri Inul, yang perempuan, dan “orang dusun” pula?
Mungkin, para politisi dan tokoh-tokoh yang bermasalah juga lebih suka kalau persoalan Inul saja yang mencuat. Dengan demikian, masalah mereka jadi menguap. Jadi, yang untung secara tak langsung adalah para koruptor, dan mereka yang bermasalah dengan rakyat, bukan yang dekat dengan rakyat.

Tapi sebetulnya, ada yang lebih bermasalah daripada Inul, yaitu aerobik. Pakaian aerobik, seperti acara senam di sebuah saluran TV swasta, pakaiannya juga ketat, transparan, dan gerak-geraknya juga tak kalah erotis. Makanya, aneh saja kalau orang mempermasalahkan Inul semata. Menurut saya, kalau mereka itu ingin membikin Inul tidak populer, caranya jangan seperti itu. Dampaknya malah membuat Inul semakin melambung.


Menurut Anda, bagaimana cara menyikapi fenomena Inul secara proporsional?

Memang, setelah ada ancaman boikot dari Rhoma Irama dan kawan-kawannya, berkembang pembicaraan di antara jurnalis yang tergabung dalam ATVSI. Saya katakan, seharusnya kita tak pernah tunduk pada tekanan-tekanan seperti itu, apalagi dari sebagian kecil publik. Itu sikap kami.

Dari isu Inul, saya ingin beralih ke pengalaman agama Anda. Anda kan perempuan masih muda yang cukup sukses dalam karir Anda. Adakah kaitan kesuksesan Anda dengan agama Anda? Bagaimana sih agama disosialisasikan pada diri Anda semasa kecil?
Pengalaman saya belajar agama dari keluarga dan sekolah tergolong agak “miskin.” Dari kecil, saya memang hidup dalam keluarga muslim. Ayah saya termasuk seorang muslim yang taat. Ketika saya SD, ayah yang menjadi hakim, ditugaskan di daerah terpencil. Otomatis saya ikut dalam suasana kampung. Seperti biasa, setiap maghrib ada pengajian Alqur’an. Saya pun ikut mengaji. Ketika itu gurunya dibayar dengan imbalan kayu bakar dan minyak tanah di botol, ditambah dengan keharusan menimbakan air untuk keluarga guru. Nostalgia itu terjadi di Sumba Besar.

Itulah pengalaman kecil saya. Kemudian saya ke Yogya dan mencoba hidup dalam lingkungan yang baru. Poinnya, saya tidak banyak mendapat pengajaran agama dari orang tua. Itu justru saya dapatkan dengan ikut teman-teman mengaji.

Sewaktu Anda mengaji, dikaitkan dengan kesadaran gender yang sekarang makin semarak, adakah pengalaman yang terasa diskrimitif?
Waktu itu tak terasa, sebab sejak kecil saya memang lebih banyak bergaul dengan anak laki-laki. Saya termasuk satu-satunya anak perempuan yang ikut main sepak bola; bangun tidur loncat pagar, lantas main bola. Dari kecil, saya hanya punya teman perempuan sedikit. Makanya, teman laki-laki saya, tidak lagi menganggap saya berbeda, karena sudah menjadi bagian dari mereka. Kalau main sepak bola, lalu bola melayang ke muka, saya tidak pernah menangis. Saya sering diajak berantem, tapi kadang saya lebih galak dari anak laki-laki.

Saya tak pernah mengalami bentuk-bentuk diskriminasi. Ketika di bangku SD, SMP dan SMA, saya sering dapat ranking satu. Itu membuat saya punya perasaan superior atas teman laki-laki. Saya merasa mengalahkan mereka. Tapi waktu di kuliah, karena di sana sudah berkumpul banyak anak pintar, saya jadi tidak berarti apa-apa.

Tapi, saya mengalami keanehan dalam pola hubungan gender di masa kuliah. Itu terjadi ketika kuliah di IPB. Suasana keagamaan di kampus saat itu memang cukup kuat. Suatu ketika, pernah terjadi segregasi tempat duduk mahasiswa dan mahasiswi, karena memang ada teman-teman yang mengondisikan begitu. Saya ingat betul, ketika itu Prof. Andi Hakim Nasution marah besar. “Siapa yang bikin seperti ini? katanya. “Coba berbaur lagi! Saya tidak mau mengajar dalam kondisi seperti ini,” kata dia.

Apakah Anda menganggap segregasi antara laki-laki dan perempuan di ruang publik sebagai bentuk diskriminasi?
Memang ada teman yang punya keyakinan atas keharusan segregasi. Saya punya pendapat lain. Bagi saya, tak harus ada pemisah seperti itu. Saat itu, saya baru sadar, ada orang-orang yang memahami agama Islam seperti itu, lalu mempraktekkan bentuk-bentuk segregasi itu ketika kuliah. Tapi saya tidak pernah berdebat soal agama dengan mereka. Hanya saja, perasaan saya menganggap itu janggal. Saya merasa tak punya kompetensi atau pengetahuan keagamaan yang cukup untuk mendebat mereka.

Dengan akal sehat Anda saja dan sebagai perempuan, di mana letak kejanggalan pemisahan laki-laki dan perempuan?
Saya tidak habis mengerti mengapa pemisahan itu harus dilakukan di lingkungan kuliah. Tapi saya punya masalah juga karena tidak berusaha memahami atau belajar tentang ajaran-ajaran agama secara lebih serius. Makanya, saya tidak punya pengetahuan memadai mengapa itu mesti dilakukan. Hanya saja, saya merasa —karena lingkungan saya sejak kecil tidak dibentuk begitu— perlu mempertanyakan mengapa dan untuk apa itu harus dilakukan. Pertanyaan itu muncul saja, tanpa harus mengaitkannya dengan soal agama, karena saya tidak menguasai bidang itu.

Apakah Anda punya pengalaman keagamaan bersifat pribadi yang terasa unik?
Ya, saya mempelajari agama pertama kali justru karena saya dipaksa. Posisi saya menjadi pimpinan redaksi, sebelumnya wakil pimpinan umum, di majalah Panjimas ketika itu “memaksa” untuk belajar agama. Meski saya ngotot berprinsip bahwa Panjimas bukan majalah agama, tapi apa boleh buat. Sebab sedari awal, masalah rekrutmen pegawai, image orang, dan komunitas Panjimas itu sendiri adalah komunitas Islam. Nah, ketika di Panjimas itu saya naik haji. Bukan karena Panjimas-nya, tapi memang saya mampu setelah di Panjimas.

Menurut pengalaman saya, berlari ke agama itu justru membuat beberapa persoalan yang saya alami terselesaikan. Saya harus akui, bahwa Panjimas itu pernah hidup cukup sulit. Sempat ada kejadian, seminggu sebelum gajian pegawai, saya belum punya bayangan teman-teman bisa gajian. Panjimas dalam banyak hal, terutama masalah finansial, memang agak tergantung pada saya. Maka praktis saya harus mikir sendiri. Kalau sudah seperti itu, akhirnya tidak bisa tidak, mengeluh pada Tuhan.

Suatu kali, saya pernah membaca tulisan Widi Yarmanto yang waktu itu menjabat pimpinan redaksi majalah Gatra. Di situ dikatakan, membaca surat al-Fatihah sebanyak 600 kali, bisa manjur untuk menenangkan dan membuat pikiran kita tidak terganggu. Saya pernah melakukan itu. Di kantor, ketika saya tidak bisa melakukan apa-apa lagi, saking takutnya bertemu karyawan yang belum gajian, saya pernah salat saja sekian rakaat. Ternyata, berkali-kali doa saya justru terkabul. Setelah itu, entah bagaimana caranya, ada saja jalan keluar.

Ada juga pengalaman lain. Dua tahun yang lalu, ketika hamil pertama kali, saya sulit leading. Namanya orang susah, rasanya setiap detik saya ingin saja berkomunikasi dengan Tuhan. Saya harus mengakui, bahwa hamil kedua saya kali ini, yang sudah berumur delapan bulan, ibadah saya kurang khusuk, karena hamil saya relatif tidak bermasalah dan sangat gampang.

Kadang saat punya masalah kita merasa dekat dengan Tuhan, ya?


Kadang memang begitu. Saya sampai mengatakan pada suami saya, bahwa ini aneh; karena hamilnya tidak bermasalah, salatnya jadi asal lima waktu saja. Biasanya pakai tahajud, dhuha, salat sunnat rawatib, ngaji dan lain-lain. Saya bilang, berbeda sekali perasaan keagamaan pada kehamilan sekarang dengan yang lalu. Mungkin karena sekarang diberi kemudahan yang relatif oleh Yang Di Atas. Tapi memang ada perasaan bersalah dalam diri saya karena terlalu sibuk dalam pekerjaan. Saya mengaku, bahwa saat ini saya memang kurang mendekat pada-Nya.

Memang manusiawi saja bahwa kita merasa dekat dengan Tuhan kala kesusahan. Seolah Tuhan adalah penampung keluh kesah kita dalam kondisi emergency. Apa begitu yang Anda rasakan?


Tapi saya sadar lho, Mas Ulil. Maksudnya begini. Sekarang ini, yang saya kandung katanya anak laki-laki, makanya saya banyak membaca surat Yusuf. Nah, surat Yusuf itu, ‘kan agak panjang dan capek sekali membacanya. Jadi sekarang malah tidak sesuai dengan target saya: selama kehamilan harus membaca sekian puluh kali.[]


Hak cipta ©2001-2005, Jaringan Islam Liberal (JIL). Kontak: redaksi@islamlib.com

Thursday, July 21, 2005

I Will Survive



Oleh: ELIS N. HART

Bagaimana seorang perempuan muda memimpin majalah berbendera Islam?



TELEPON genggam yang saya hubungi tak diangkat. Tapi terdengar suara perempuan, "Halo, saya istrinya Iwan. Iwan sedang off. Tinggalkanlah nomor telepon, handphone, insya Allah akan dihubungi kembali. Terima kasih."

Iwan adalah Iwan Qodar Himawan, redaktur pelaksana majalah Gatra. Suara perempuan tadi adalah suara Uni Zulfiani Lubis, pemimpin redaksi majalah Panji Masyarakat atau biasa disebut Panji.

Uni Lubis hanya tertawa ketika ditanya mengenai telepon genggam suami. "Sebenarnya main-main saja, lucu-lucuan. Tidak ada pretensi untuk memprotek Mas Iwan. Tapi kalau efek sampingnya begitu, tidak apa-apa juga," katanya, enteng.
Nama pemberian orang tuanya adalah Zulfiani Lubis -akronim dari nama ayah Zulkifli Lubis, asal Mandailing, Natal, dan nama ibu Siti Muryani, kelahiran Yogyakarta. "Anak pertama biasa menjadi monumen curahan kasih sayang orang tua. Kira-kira seperti nama Chintami, Cinta Kami."
Lanjutnya, "Nah, sejak menjadi wartawan di Warta Ekonomi, saya memakai Uni, nama kecil saya, sebagai nama komersial supaya mudah dihapal."
**********
KARIER Uni terbilang cemerlang. Ia jadi wakil pemimpin umum Panji di usia 28 tahun dan empat tahun kemudian menjadi pemimpin redaksi.

Ana Suryana Sudrajat, redaktur pelaksana Panji, tak menganggap karier Uni menanjak terlalu cepat atau lambat. Itu relatif. Lagi pula, posisi pemimpin redaksi, kadang tak ada hubungannya dengan karier kewartawanan. "Itu lebih pada bagaimana ia dipercaya oleh yang punya uang. Apakah orang ini bisa dipegang sama yang punya uang? Apakah ia sehaluan dengan yang punya modal?" kata Sudrajat.

Cepat atau lambat, Bambang Wiwoho, mantan wartawan Suara Karya dan pemimpin umum Panji, punya peran besar dalam karier Uni. Wiwoho adalah ketua Yayasan Bina Pembangunan -yayasan yang pernah mengerjakan proyek konsultasi kehumasan di Departemen Keuangan, terutama soal kampanye pajak. Dulu, kala Fuad Bawazier jadi direktur jenderal pajak, muncul iklan layanan masyakarat "Orang Bijak Taat Pajak". Itu hasil kerja Yayasan Bina Pembangunan.

"Saya kenal Pak Wi sewaktu saya masih jadi wartawan di Warta Ekonomi. Karena Pak Wi adalah konsultan humas Departemen Keuangan, khususnya pajak, dia sering mengadakan gathering untuk wartawan ekonomi dan keuangan," ujar Uni Lubis.
Kebetulan liputan Uni Lubis adalah ekonomi dan keuangan. Ia memonitor Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas). "Sesudah kenal, sering ketemu, dapat tugas dari kantor untuk meliput ke luar kota atas undangan Departemen Keuangan, saya makin dekat sama Pak Wi."

Bagi Uni, wartawan ekonomi, kalau sudah bisa "memegang" menteri keuangan, gubernur Bank Indonesia, ketua Bappenas, sudah selesai. "Anytime kita bisa call dia. Jadi, wawancara menteri sudah tidak lagi excited."

Jenuh, Uni bersama beberapa wartawan ekonomi berencana membuat majalah ekonomi. Proposal dirancang. Wiwoho tertarik. Majalah yang akan diterbitkan adalah pengembangan dari majalah Berita Pajak, in-house magazine milik Direktorat Jenderal Pajak. Menteri Keuangan Mar'ie Muhamad ingin majalah itu dikelola tim Uni Lubis dan Bambang Wiwoho.

Ternyata proyek ini tak jalan. Wiwoho kebetulan ditawari Yayasan Pendidikan Islam al-Azhar (YPIA), yang dipimpin Hasan Basri, agar menyelamatkan Panji, majalah warisan ulama kondang Buya Hamka. Panji sempat dua tahun tak terbit.
YPIA ingin Panji terbit kembali. Wiwoho bilang, "Kalian memang ingin majalah ekonomi. Tapi, ini ada yang minta tolong. Mereka bersedia kalau Panji diubah format menjadi bukan majalah Islam. Artikel-artikel yang umum, porsi pemberitaan politik, bisa banyak."

Uni setuju dan ikut mengelola Panji bentuk baru. Wiwoho memilih Uni Lubis jadi wakil pemimpin umum. Wiwoho pemimpin redaksi merangkap pemimpin umum. Di posisi itu, Wiwoho berharap, Uni mampu mengembangkan sisi bisnis Panji. Harapan ini tak terwujud karena Uni tak cocok berbisnis. Sementara Wiwoho tak sanggup pula menjalankan fungsi pemimpin redaksi.

Fuad Bawazier, yang ikut mendanai Panji, lalu meminta S. Sinansari ecip untuk memimpin redaksi Panji. Bawazier mengenal ecip di Yayasan Abdi Bangsa, penerbit harian Republika, tempat ecip bekerja.

Tapi ecip tak lama memimpin Panji. Ia mundur dan alasan yang disampaikan -baik lisan maupun tulisan- ecip sudah terlalu lama meninggalkan Universitas Hasanudin, Makassar, tempatnya mengajar.

Sinansari ecip memperoleh cuti panjang dari Universitas Hasanudin untuk bekerja di Republika, koran milik Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Tapi, ketika pindah ke Panji, yang tak ada hubungan dengan ICMI, ketidakhadirannya di kampus dipersoalkan. Pada 1 Februari 1999, ecip resmi diganti Uni Lubis.

Sesungguhnya, Uni sudah menjalankan fungsi pemimpin redaksi sejak Panji versi baru terbit. Wiwoho menyatakan diri nonaktif dari keredaksian sejak awal, "Karena saya tidak begitu aktif, maka otomatis aktivitas redaksi sehari-hari ada pada Uni." Itu dikemukakan dalam sebuah pertemuan antara Wiwoho dengan para redaktur pelaksana.

Di situ langsung ada reaksi. Muncullah kasak-kusuk. Cukup pedas di telinga Uni. Bagaimana sebuah majalah Islam bisa dipimpin seorang perempuan yang juga masih yunior?

Syu'bah Asa adalah redaktur senior Panji yang keberatan Uni memimpin redaksi. Penolakan Syu'bah, mantan wartawan Tempo dan Editor, sudah jadi rahasia umum di Panji.

Menurut Uni, ada dua hal mengapa Syu'bah menolak. Syu'bah tak bisa dipimpin oleh orang yang lebih yunior. Syu'bah juga merasa tak cocok kalau dipimpin seorang perempuan.
***********
SYU'BAH Asa saya temui di sebuah kantor yayasan di Jakarta, November tahun lalu, seusai menyampaikan kuliah. Saya ingin memperoleh informasi dari Syu'bah soal keberatannya atas kepemimpinan Uni yang perempuan.

"Saya tidak bilang itu fitnah, tapi itu keliru. Saya tuh feminis," tukas Syu'bah. Ia menyebut nama Aisyah, istri nabi Muhammad saw yang dikenal progresif, sebagai tokoh yang dikaguminya. "Saya tidak tahu siapa yang ngomong begitu. Saya tidak sesempit itu."

Syu'bah bilang, yang menolak Uni karena ia perempuan justru Hasan Basri, salah satu pemilik modal Panji, ayah mertua pengusaha Fahmi Idris, kini pemimpin umum Panji. "Saya kira Uni tahu. Yang saya dengar, ketika Uni menjadi pemimpin redaksi, lalu kiai-kiai, terutama mertua Fahmi, menolak. Kalau bisa jangan perempuan."

Hasan Basri kini sudah tiada. Ketika saya tanya apakah Syu'bah Asa setuju pengangkatan Uni, ia tak mau menanggapi. "Katakan saja sama Uni, Pak Syu'bah tidak mau omong sama sekali tentang Anda. Soal penilaian bisa berbeda. Terus soal data, saya ngomong apa, dia ngomong apa, bisa salah. Maklum, semua juga bisa bohong. Tidak jelek kan saya ngomong tentang apa yang terjadi pada diri saya?"

Uni kaget. "Saya tidak pernah dengar ihwal Hasan Basri complain tentang saya seperti yang disebut Pak Syu'bah, karena yang aktif rapat-rapat dengan pengurus yayasan, yang kiai-kiai itu, saya," sergah Uni.

Ana Suryana Sudrajat adalah orang mengajak Syubah ke Panji. Ia kenal Syu'bah sejak lama, ketika Syu'bah masih bekerja buat Tempo. Syu'bah diminta pensiun dini Mei 1999, atau dua bulan setelah Uni memimpin redaksi Panji. "Menghadapi perseteruan Uni dan Pak Syu'bah, saya berusaha netral. Keduanya adalah teman saya. Saya akan tetap berteman baik dengan mereka. Saya respek pada Pak Syu'bah. Ia adalah salah satu editor terbaik di Indonesia."

Menurut Sudrajat, Syu'bah mungkin keberatan penunjukan Uni karena wawasan Uni belum cukup. Wawasan berkaitan dengan bagaimana bersikap menghadapi persoalan, di situ ada kebijaksanaan, dan macam-macam. "Jadi bukan kemampuan teknis menulis, menerobos sumber, dan lain-lain. Saya tidak tahu Pak Syu'bah menginginkan siapa untuk menjadi pemimpin redaksi," ujarnya.
**********
RUTE menuju rumahnya ditulisnya dengan jelas dalam e-mail, "Kalau Anda naik taksi, tinggal bilang saja, Perumahan Permata Timur II. Rumah saya di deretan itu, cat warna kuning, pagarnya hijau toska. Agak rumit, ya? Tapi, mudah-mudahan ketemu deh lokasinya."

Saya datang ke rumah Uni Lubis untuk wawancara. Uni berdandan santai dengan baju lengan pendek dan celana pendek berbahan katun warna hijau. Tanpa riasan di mukanya, ia terlihat agak mengantuk di siang panas bulan puasa lalu, she's in her period. Tapi ia menjadi bersemangat ketika obrolan mengalir lancar dan sama sekali segar bugar menjelang sore saat warawiri menyiapkan masakan buka puasa. Uni gemar memasak, dan enak.

Uni Lubis diberi hidup lancar dan linear. Terlahir sebagai anak peranakan Jawa-Batak di Jakarta, 29 November 1967. Sebagai hakim, Zulkifli Lubis, yang dipanggilnya papa, kerap pindah tugas.

Di Bangil, Pasuruan pada 1971, Uni kecil mengenyam taman kanak-kanak. Di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat pada 1975, Uni menamatkan sekolah dasar. Di Tangerang, Jawa Barat sejak 1981, Uni menyelesaikan sekolah menengah dan sekolah lanjutan.

Namun, ayahnya masih harus bertugas di Yogyakarta, lalu Tual, Maluku Tenggara, dan baru berakhir di pengadilan negeri Jakarta Pusat pada 1995. Tiga tahun sesudahnya, Zulkifli Lubis, kini 59 tahun, pensiun untuk hidup tenang di rumah yang lengang.

Uni remaja pindah ke kota hujan yang basah, belajar di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Di kampus itu, Uni melewatkan masa kuliahnya penuh hura-hura, "Salah satu momen paling menyenangkan dalam hidup saya."
Lulus 1990, Uni masuk majalah Warta Ekonomi. Dua tahun kelayapan di lapangan ia menemukan jodohnya, Iwan Qodar Himawan, wartawan pendiam, saleh, kelahiran Yogyakarta, 11 Januari 1965.

Mereka menikah 1 April 1994. Uni umur 24 dan Iwan 29 tahun. "Dia pintar, cermat, sistematis, dan sederhana. Perpaduan yang sangat saya sukai dari seseorang. Empat sifat itu yang membuat saya memilihnya menjadi suami."
Bagaimana sebaliknya? "Karena sudah jalan bareng terus cocok. Itu saja," ujar Iwan Qodar.

Kini Uni Lubis memimpin Panji Masyarakat. Ia jadi pemimpin redaksi sejak rapat umum pemegang saham 1 Februari 1999. Setahun sesudahnya Uni dikukuhkan sebagai direktur PT Panji Media Nusantara, perusahaan penerbit majalah berita mingguan itu. Lengkap sudah hidup Uni. "I'm so lucky. Saya sudah mendapatkan semua yang saya inginkan. Kini, saya hanya ingin diingat sebagai orang biasa."
*********
RUMAH asri seluas 250 meter persegi itu adalah harta bersama Uni dan Iwan. Minggu sore itu, sebuah sedan Toyota Starlet parkir di garasi. Uni bilang tak punya harta pribadi yang berlebihan. Ia bilang nyaris tak punya tabungan.
Mereka pun berbagi tugas, "Mas Iwan menabung dan gaji saya untuk belanja sehari-hari. Mas Iwan orangnya sederhana. Ia yang nyicil rumah Rp 3,5 juta ditambah kadang bayar tagihan telepon. Saya boros. Gaji saya habis untuk menutup keperluan sehari-hari, beli baju, buku, makan, belanja bulanan, juga untuk mengongkosi social cost (selaku pemimpin redaksi)."

Rumah pertama mereka di Bekasi. Iwan yang beli. "Karena dulu Mas Iwan karyawan Tempo, gajinya lebih besar dari pada gaji saya di Warta Ekonomi. Saat itu gaji saya hanya Rp 300 ribu, lebih besar uang saku saya waktu mahasiswa," kenang Uni.
Rumah kedua di Permata Timur. Untuk membeli rumah kedua, Uni meminjam uang ke ayahnya. Pinjaman itu baru lunas beberapa bulan lalu setelah rumah Bekasi dijual. "Laku Rp 85 juta," kata Uni.

Mula-mula Uni enggan membuka isi dapurnya. Tapi, ketika diingatkan bahwa ia berkerja di media yang ada saham Fuad Bawazier, mantan menteri keuangan zaman Presiden Soeharto, ia terhenyak. Banyak bisik-bisik tak enak. Bawazier dikenal suka memberikan dana buat oposisi melawan Presiden Abdurrahman Wahid.
"Saya sama sekali tak keberatan memberitahukan nomor rekening kalau memang perlu, untuk dicek berapa isinya," kata Uni.

Memang, Uni Lubis orang yang terbuka, bahkan menjawab hal-hal yang tak membuatnya nyaman. Seperti dilukiskan Jasmin Sofianti Jasin, direktur eksekutif Lembaga Bina Antar Budaya, sahabatnya semasa kuliah, "Saya tidak usah pusing membaca dia, kalau marah ya marah, kalau senang ya senang." Bahkan, sewaktu disodori artikel di majalah kebugaran Fit bertajuk "Pijat Erotik: Menyalakan Gairah Bercinta," dengan enteng Uni Lubis menyatakan ia sudah melakukannya.

"Agaknya hanya satu hal yang tidak dia ekspresikan terbuka, yaitu saat sedih. Dia selalu tampil kuat dan tabah. Namun, dia juga punya saat-saat di mana dia sedih, kecewa, atau mungkin kecil hati. Saat-saat seperti itu adalah saat yang sangat pribadi buat Uni," kata Jasmin.

Di rumah seharga Rp 250 juta yang mereka biarkan sesuai aslinya ini, Uni dan Iwan hidup berdua, belum punya anak, dan tampaknya bahagia. "Soal ingin anak juga nggak usah ditekankan betul. Kesannya cengeng ya. It's my personal problem."

Iwan bilang kadang-kadang Uni menempuh risiko untuk memuat sebuah berita. "Seringkali, ketika saya baca Panji, saya terkaget-kaget dengan berita yang diturunkannya. Mungkin karena dia dibesarkan oleh kultur media yang lain. Tiap media punya kultur sendiri-sendiri. Kalau Anda masuk Kompas akan lain dengan Republika," ujar Iwan.

Iwan dan Uni bekerja di mingguan yang bersaing. Ini menyulitkan. "Kalau saya punya gosip yang diyakini akan berdampak besar, saya bagi di ruang rapat Gatra. Saya digaji Gatra. Kedua, saya ingin menjaga kepercayaan orang lain," tandas Iwan.

Kami pun berpisah setelah lelah berbincang di beranda belakang.
******
UNI Lubis suka seminar. Menjadi pembicara atau moderator adalah menu mingguannya. "Saya menyempatkan diri menghadiri undangan seminar, minimal sekali dalam seminggu. Jenuh juga terus-menerus kejar-kejaran sama narasumber."
Maka kami janji bertemu di sebuah acara seminar di Jakarta. Uni jadi moderator. Ia memakai blus biru tua, bunga-bunga kuning kecil dipadu celana panjang berbahan jatuh biru tua, dan sepatu pantofel warna senada. Kacamata minus ukuran tiga setengah dan satu setengah, scarf lengkap bros tersemat, kalung berliontin kecil, cincin di jari, jam tangan, kadang berbando, adalah aksesori yang tak pernah absen melengkapi penampilan Uni Lubis.

Sebagai perempuan, Uni peduli untuk terlihat cantik. "Artinya, terlihat tidak kotor. Tidak mengganggu orang sekitar. Tidak bau keringat, misalnya." Makanya, ia memakai So Pretty parfum dari Cartier atau Red Door wewangian keluaran Elizabeth Arden. Ketika kami bertemu lagi di tempat yang berbeda ia berbusana serba ungu. Pagi basah di bulan Februari itu, Uni membubuhkan blush on dan eye shadow, juga ungu.

Saya memakai kesempatan ini untuk bertanya bagaimana Panji memisahkan kepentingan bisnis dan kebijakan editorialnya? Bagaimana mengenai advertorial, materi iklan yang sekilas sulit dibedakan apakah promosi atau berita?

Uni memberi batasan dengan dicantumkannya kata advertorial, besar ataupun kecil, di halaman bersangkutan. "Saya bisa tunjukkan bukti bahwa sebuah harian besar pun melakukan itu. Dalam salah satu edisinya, koran tersebut pernah memuat artikel tentang (sepeda motor) Jialing tiga halaman besar. Padahal, artikel itu jelas advertorial," paparnya.

Namun, ketika saya sodori artikel edisi khusus Panji berjudul "Gayanya Digital 2001," Uni tertegun. "Saya terima kritikan ini," ujarnya sportif. Artikel itu advertorial namun tak mencantumkan kata advertorial.

JAKOB Oetama dari Kompas adalah wartawan senior yang dikagumi Uni Lubis. "Orang kalau ditanya siapa wartawan yang dikagumi, jawabannya selalu Mochtar Lubis. Aku nggak begitu kenal Mochtar Lubis."

Generasi Uni Lubis memang tak begitu kenal Mochtar Lubis, editor legendaris almarhum harian Indonesia Raya.

Kekaguman Uni terhadap Jakob Oetama itu pula yang dia pakai untuk bahan ngamuk-ngamuk ke Kontan, ketika tabloid milik Kelompok Kompas Gramedia itu menulis berita yang tak mengenakkan Panji.

"Saya perhatikan karakter Kompas sangat dipengaruhi karakter Pak Jakob. Pertama, Kompas sangat menjaga solidaritas sesama media. Maka, hampir tidak pernah menulis, dengan nada menjelekkan, media lain. Dan itu tidak dilakukan Tempo dan lainnya."

Tempo edisi 11 Februari 2001 menurunkan laporan yang mengatakan Panji kesulitan dana dan bakal berhenti terbit. Uni Lubis kesal dengan berita itu karena ada ketidakakuratan dalam beritanya.

Wajah Uni agak tegang. Ia bilang, kalau melihat dua kutub media besar berikut bos-bosnya, orang melirik Kompas dan Tempo. Keduanya jadi semacam acuan. "Padahal, yang namanya Tempo ketika dibredel, kita semua turun ke jalan, panas-panasan. Tapi, ia cuek aja tuh kalau mau menghantam orang. Jadi, karakternya beda banget dengan Kompas," katanya.

Jakob Oetama menjaga betul hal macam itu. Oetama tahu medianya besar dan pengaruhnya pun besar. Oetama sadar jika korannya yang besar itu menulis sesuatu, pengaruhnya akan luas. "Pak Jakob itu kalau ngomong enak sekali, berisi," sergahnya.

Wajahnya mulai melembut. Selama wawancara, kali ini di sebuah café, ada Fenty Effendy, mantan wartawan majalah Forum Keadilan dan kini Metro TV. Fenty ikut mendengarkan dan sesekali menyela pembicaraan, "Mbak Uni mungkin terlalu sensitif?" Uni terdiam. Namun segera ia bilang Tempo memang tak melulu memberitakan Panji yang jelek saja.

Toh pemberitaan Tempo bulan Februari itu membuatnya meradang. "Panji dibilang akan berhenti terbit!" ujarnya. Mungkin, kata Uni, sudah jadi bawaan Tempo, menelanjangi kepemilikan saham dihubungkan dengan warna-warni politik media lain. Contoh lain, Kontan menulis soal majalah Sabili sebagai majalah Islam dengan tiras terbesar. Di sana, ada kutipan pemimpin redaksi Sabili Zainal Muttaqin, "Kalau kami independen. Sedangkan Panji tidak, karena ada Fuad."

Kalimat dalam berita itu hanya berhenti di situ. Panji, kata Uni, tidak diwawancarai. "Dengan kalimat yang begitu saja, sudah bisa membentuk opini orang bahwa Panji, karena ada Fuad, maka tidak independen. Itu salah satu yang saya protes."

Yopie Hidayat, wakil pemimpin redaksi Kontan, tabloid mingguan tempat beberapa wartawan eks Tempo bekerja, jadi sasaran kemarahan Uni Lubis. Yopie adalah kawan lamanya, sejak mereka jadi reporter pemula di Warta Ekonomi.

"Saya bilang, kalian tidak fair secara jurnalistik. Kenapa selalu pemilik Panji dipermasalahkan? Tulisan itu sama sekali tak memuat, seujung kuku pun, siapa pemilik Sabili. Bagaimana kalian bisa yakin pemegang saham Sabili tidak punya interest politik?" sergah Uni.

"Saya heran, kayak saya tidak tahu saja, yang namanya Tempo itu mayoritas sahamnya dipegang Ciputra. Dulu, seminggu sekali, kami, para wartawan ekonomi, menginap di rumah Kang Moebanoe Moera. Ia cerita bagaimana Tempo tidak bisa menulis pencemaran Pantai Indah Kapuk."

Pantai Indah Kapuk adalah proyek perumahan dan lapangan golf milik pengusaha Ciputra yang diprotes aktivis lingkungan karena dianggap merusak ekosistem Pantai Kapuk di utara Jakarta, dekat bandar udara Cengkareng.

Moebanoe Moera pernah bekerja di Tempo. Dua rekan Moebanoe, juga eks-Tempo, Bambang Aji dan Budi Kusumah, adalah wartawan yang menulis artikel tentang Sabili di Kontan.

Menanggapi masalah Tempo ini, pemimpin redaksi Tempo Bambang Harymurti menjawab email saya. "Tidak semua artikel di Tempo saya baca sebelum dicetak. Kebetulan artikel media itu termasuk yang baru saya baca setelah Uni telepon saya dan protes soal tulisan itu."

"Pada prinsipnya kami ada perbedaan: saya menganggap menulis tentang media lain ya sama saja seperti menulis tentang profesi atau industri lain, sedangkan Uni menganggap harus ada diskriminasi (sesama media jangan saling ganggu)," tulis Harymurti.

Uni Lubis lantas jujur mengatakan Tempo pernah membantu Panji ketika menulis laporan tentang Panji yang memuat rekaman pembicaraan telepon Presiden B.J. Habibie dan Jaksa Agung M. Ghalib yang bikin geger itu. "Nuansanya sangat simpati," ujar Uni Lubis.

DESAS-desus memang jahat. Di kalangan wartawan, desas-desus terkadang kejam sekali. Uni tak luput dari gosip bernada kurang enak. Desas-desus tentang Uni Lubis yang sempat saya dengar, "Uni itu kan public relation for hire."

Maka, dalam perbincangan kami di sebuah café di Jakarta, Uni menjawab semua tuduhan itu. Tak puas dengan jawaban yang disampaikannya, mungkin juga karena di tengah ingar-bingar suara musik, Uni mengirim tambahan jawaban ke e-mail saya.
"Saya terpikir pertanyaan kamu, 'Bagaimana tanggapan Anda soal tudingan bahwa Anda adalah public relation dari misalnya Fuad Bawazier?' Ini mirip dengan pertanyaan model lain, 'Berapa sih Anda atau Panji dibayar Fuad Bawazier untuk menurunkan cerita Aryanti?"

Baris e-mail berikutnya, "Lho, Panji memang dibayar Fuad. Wong dia investor Panji. Diurut-urut juga, saya kan menerima gaji dari perusahaan ini, yang notabene dibiayai antara lain oleh Fuad. Biaya lainnya ya datang dari hasil penjualan dan iklan. Tapi, tetap saja, modal awal Panji ya antara lain dari Fuad."

Bagi Uni Lubis, pertanyan itu lucu untuk ditanggapi. "Wong sudah kasat mata, cetho welo-welo, kok masih ditanyakan?" lanjutnya. Ia mengakhirinya dengan, "hi..hi..hi...!" Tanda geli.

Uni gemas dan benci menanggapi desas-desus. Ia lantas menyarankan saya untuk meriset apakah Panji atau dirinya pernah membuat artikel yang memuji-muji Fuad Bawazier, atau Ginandjar Kartasasmita, mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri zaman Soeharto, atau nama lain yang dituduh terlibat korupsi.

Ia bilang tak fair jika Panji terpaksa tak memuat gagasan, pekerjaan, pernyataan, atau kebijakan Fuad Bawazier, Chairul Tanjung, atau Fahmi Idris, yang secara rasional baik dan menguntungkan bangsa ini.

Padahal yang mendanai Panji ya Fuad, Chairul, dan Fahmi. Sementara Panji juga memakai banyak halaman, kadang agak muji-muji, kepada nama-nama yang secara finansial tak punya kontribusi apa-apa terhadap Panji.

"Apa sih keuntungan saya jadi antek Fuad atau Ginandjar? Jika itu materi, no! Dari Ginandjar apalagi, never! Kamu sudah lihat rumah saya. Kamu sudah lihat bagaimana kehidupan saya." Uni bertubi-tubi menghujani saya dengan jawaban-jawaban itu.

Jadi, apa keuntungan Uni Lubis dekat dengan mantan pejabat rezim Soeharto itu? "Paling-paling akses. Tapi, sejak di Panji, sama Fuad saya nggak pernah wawancara. Rasanya rugi juga disebut antek, padahal saya nggak kaya karena mereka. Ada orang yang menjadi sangat kaya karena mereka."

Fuad Bawazier dan Ginandjar Kartasasmita, terlepas tuduhan kasus korupsi mereka, bagi Uni adalah orang-orang cerdas. Fuad berani pasang badan. "Politik memang kotor, kan?" sergah Uni.

Uni Lubis membandingkan keberanian Fuad dengan para penulis di situs internet www.indopubs.com yang lebih terkenal dengan nama Apakabar. Ia heran zaman terbuka kok masih ada yang menggunakan nama samaran. Lalu banyak milis yang menurut Uni isinya membela Gus Dur.

Padahal, di milis Apakabar itu sebelum reformasi, karena represi penguasa, banyak ide dan berita kritis ditampung. "Kini, milis itu tak lebih menjadi corong kekuasaan. Apakah ini hakikat reformasi? Saya sih cuek saja dibilang wartawan antek Orde Baru. Saya nggak perlu predikat wartawan reformis," ujarnya.
Masih soal Fuad Bawazier, menurut Uni, kasihan anak-anak Panji yang dari minggu ke minggu sibuk dan capek mencari usulan berita. "Lagian, mereka juga belum tentu ketemu Fuad setahun sekali," lanjut Uni.

"Istilah reformis sudah mengalami inflasi. Kacau," kata Uni. Ia meminta saya menilai Presiden Abdurrahman Wahid dan Amien Rais, ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. "Mereka mengaku reformis, tapi kelakuan politiknya sama saja seperti zaman Orde Baru. Primitif."

Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri malah memimpin partai yang sangat tak reformis dan menolak pemilihan presiden secara langsung. "Kalau Akbar Tanjung, sih udah pastilah nggak reformis. Lagian dia juga nggak pernah mengklaim diri reformis," ujarnya sengit, mengacu pada ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan orang nomor satu Partai Golongan Karya warisan Soeharto itu.

Malam Jumat itu, di sebuah kafe di kawasan Kuningan, tempat nongkrong para eksekutif muda, tak banyak pengunjung datang. Ada pesulap kondang dan pasangannya, di meja seberang. Setengah berkelakar, Uni bilang naluri jurnalistiknya sempat mendorongnya untuk memotret pertunjukan kencan itu, dan menjadikannya berita.

Lalu, Uni hanyut dalam lamunan ketika sejenak kami berdiam diri. Tanpa saling memberitahu, kami ternyata minta lagu lama Gloria Gaynor yang menghentak, I Will Survive. "Saya menyukai lagu ini terutama sejak Panji diberitakan yang tidak-tidak sama Tempo." Begitulah. Uni bersenandung lirih tapi bernada pasti, I will survive....

Mungkin Uni lelah. Hari itu ia puasa sunnah hari Kamis. Sehabis berbuka bertiga dengan Iwan Qodar, kami berdua berangkat fitness. Memakai celana training panjang abu-abu dipadu kaus hitam bertuliskan, "Trust Me. I'm a Reporter" -dibelinya sewaktu ikut program Jefferson Fellowship di University of Hawaii, Amerika Serikat.

Ia berlatih di atas treadmill. "Saya punya migren yang suka kambuh. Dan, biasanya sakitnya lenyap kalau saya berolahraga," sergah Uni, terengah-engah. Ia berpeluh. Wajahnya memerah. Ia tak melepas kacamata. Bisa jadi Uni malam itu lelah dan ingin segera rebah. Tapi, Uni nampak masih betah dan terlihat semangatnya seolah mengatakan I will survive. ***

*) Dimuat di Majalah Pantau, nomor 012, 12 April 2001

Wednesday, July 20, 2005

Panjat, Lompat, Sepak






Seringkali saya merasa takut bila melihat Darrel memanjat jendela. Juga berdiri di atas meja. Rasa takut saya itu ternyata berlebihan. Di Tumble Tott, justru lompat, gulung, dan panjat itu yang diajarkan. Tak perlu khawatir ternyata. Anak kecil pun, di usia 2 tahunan, sudah pintar menjaga dirinya.

Saya saja, yang jadi ''orang tua'' yang merasa sok pintar. Berpikir seolah-olah anak saya belum bisa berlompat dan memanjat.

Orang tua memang selalu merasa lebih hebat ketimbang generasi sesudahnya. Orang generasi 45 merasa dialah pendiri bangsa, dan generasi paling top. Dan saya merasa, kalau tidak saya jagai, Darrel tak bakal mampu memanjat, atau meniti tangga.

Pikiran saya ternyata salah besar.

Berita dari Libya




DARREL punya om, tante, dan saudara sepupu yang tinggal di Tripoli. Namanya Om Ando (Meilando Pringgodani), Tante Atik (Atik Herwening Widiyanti), Naila (aduh, maaf ya, lupa. habis panjang dan susah), juga Azul. Naila sudah berusia 5 tahun. Azul belum ada satu tahun.

Om Ando bekerja di sebuah perusahaan minyak, Repsol YPF. Repsol ini yang dulu mengakuisisi ladang minyak milik Maxus, tempat Om Ando pertama kali bekerja di Jakarta. Setelah itu, Om Ando pindah ke Argentina, tepatnya di salah satu pojok betul dari negeri sepakbola itu.

Tante Atik adalah adik ayah saya. Dulu ia dosen di Yogya. Setelah menikah, ia digondol om Ando, sampai Argentina. Sejak dua tahun lalu, mereka berdua tinggal di Tripoli. Bagaimana suasana Tripoli? Kelak biar tante Atik yang bercerita.

Setahun sekali, kadang-kadang dua kali, keluarga om Ando datang ke Indonesia. Mereka sekarang punya rumah baru, di dekat bandar udara Adisucipto, Yogyakarta. Rumahnya besar. Rumah mereka yang di Taman Century sudah lama ditinggali saudaranya Om Ando. Kalo yang ini rumahnya biasa saja.

Dua bulan lalu, om Ando dan keluarga ke Madrid, Spanyol. Saya dibelikan kaos Real Madrid. Bagus sekali. Tapi kaosnya baru akan sampai Agustus depan, saat mereka kembali ke Indonesia.

Friday, July 08, 2005

Main di Pagi Hari






MENURUT buku, usia di bawah 5 tahun adalah saat yang bagus untuk pembentukan keseimbangan, kelancaran syaraf motorik, dan keberanian. Enak sekali bila semuanya dilatih tiap hari. Lebih enak lagi bila berlangsung pagi hari, saat belum panas, dan badan masih segar.

Maka, pagi menjadi saat yang nyaman bagi Darrel --ini kata bapaknya yang belum dicek ke yang bersangkutan. Ia latihan lompat, lari, berjalan di kayu titian. Tapi, tak jarang ia lagi suntuk. Ia lebih suka mengganggu mommy-nya yang lagi baca koran, dan memaksanya duduk di kursi. Maka, ia pun memilih duduk, bermain dengan dolanannya.

Yang dimaksud dolanan itu ya mainan, yang sebagian besar menggunakan baterai. Harus disyukuri, sejak barang-barang Cina merajalela, harga mainan jadi murah. Dengan Rp 10.000 kini bisa didapatkan mobil-mobilan yang ada lampu dan sirene nguing-nguing-nya. Mainan dengan kendali jarak jauh, yang dulu harganya ruarr biasa mahal, kini bisa didapat dengan harga di bawah Rp 100.000.

Tiga bulan lalu, mommy membeli tiga mainan: sebuah bola, mobil kecil, dan organ mini yang bisa bernyanyi beraneka rupa. Mulai dari lagu natal Jingle Bell, sampai yang sekadar do-re-mi. Harganya? Rp 10.000 untuk tiga jenis itu. Saya tidak tahu, berapa harganya di Cina daratan sana. Jangan heran bila pedagang kuda-kudaan dari kayu, mobil-mobilan dari triplek, mengeluh: pembelinya terus merosot.

Mainan dari Cina memang kurang awet. Cepet rusak. Tapi, buat Darrel, yang masih suka ''buang... ayo, buang jauh...'', soal keawetan kurang berpengaruh. Toh kurang dari satu bulan, juga sudah bosan...

Kini, Darrel mulai diperkenalkan dengan mainan yang agak rumit. Puzzle. Ada yang Dora, Sponge Bob, Mickey Mouse. Harganya? Saya membelikan untuk Darrel sewaktu meliput muktamar Muhammadiyah di Malang, pekan lalu. Cuma Rp 5.000 sebuah. Jangan heran, itu juga buatan Cina.
Olala...

Thursday, July 07, 2005

SARAPAN PAGI DENGAN KORAN



SETIAP pagi, pendopo di belakang rumah merupakan tempat favorit. Bagi saya, Darrel, maupun Uni. Di situ kami menggelar koran, sambil membincangkan berbagai isyu aktual yang ada. Darrel biasanya ikut bergabung. Ia memainkan pesawat, mobil, atau main lompat-lompatan di atas rumput.

Halaman belakang memang sengaja kami buat cukup lapang. Hanya ada pendopo, boleh juga disebut gazebo, seluas 20 meter persegi, dan satu kamar mandi. Lainnya, seluas sekitar 230 meter persegi, kami tanami rumput dan pepohonan.

Minimal dua koran kami baca, tiap pagi. Kami memang berlangganan dua koran. Pada Sabtu dan Minggu, kami membeli beberapa koran lain.

New York Times Reporter Is Jailed for Keeping Source Secret



The New York Times
July 6, 2005


By ADAM LIPTAK
and MARIA NEWMAN


WASHINGTON, July 6 - A federal judge today ordered Judith Miller of The New York Times to be jailed immediately after she again refused to cooperate with a grand jury investigating the disclosure of the identity of a covert C.I.A. operative.

Another reporter who had been facing jail time on the same matter, Matthew
Cooper of Time magazine, agreed today to testify to a grand jury about his confidential source on the same matter, thus avoiding jail. Mr. Cooper said he had decided to do so only because his source specifically released him from promises of confidentiality just before today's hearing.

The judge, Thomas F. Hogan of Federal District Court in Washington, rejected
a request by Ms. Miller and her lawyers that she be allowed to serve her
detention at home or in Connecticut or elsewhere, and ordered that she be
put in custody and taken to a jail in the District of Columbia area until
October, or until she changed her mind about testifying.

"There are times when the greater good of our democracy demands an act of
conscience," Arthur Sulzberger Jr., chairman of The New York Times Company
and publisher of The New York Times, said in a statement. "Judy has chosen
such an act in honoring her promise of confidentiality to her sources. She
believes, as do we, that the free flow of information is critical to an
informed citizenry."

Bill Keller, the newspaper's executive editor, said outside the court house
that Ms. Miller's decision to go to jail rather than disclose her source was
a "brave and principled choice."

"This is a chilling conclusion to an ultimately confounding case," he said.

Ms. Miller herself told the court, according to the news agency Reuters, "If
journalists cannot be trusted to keep confidences, then journalists cannot
function and there cannot be a free press."

Judge Hogan made his decision after an hourlong hearing here this afternoon
in which a special prosecutor and lawyers for both journalists presented
their respective cases for why the two should or should not be jailed.

Mr. Cooper told the judge that he had been prepared to go to jail until
shortly before the hearing.

"Last night I hugged my son good-bye and told him it might be a long time
before I see him again," Mr. Cooper said, according to The Associated Press.
But just before today's hearing, he had received "in somewhat dramatic fashion"
a direct personal communication from his source freeing him from his
commitment to keep the source's identity secret, The A.P. said.

Ms. Miller will be the first Times reporter to serve time behind bars for
refusing to disclose sources since M.A. Farber spent 40 days in a New Jersey
jail in 1978. In the Farber case, The Times itself was also fined $286,000.
Four years later, Gov. Brendan T. Byrne pardoned Mr. Farber, who is now
retired, as well as the paper.

Last October, Ms. Miller and Mr. Cooper were sentenced to 18 months in jail
for civil contempt of court, but those sentences were stayed pending appeal.
Last week, the Supreme Court refused to take up the case.

Judge Hogan said last week that the two reporters now faced serving only 4
of the original 18 months of their sentence, because that is all the time
left in the term of the current grand jury investigating the leak case.
Civil contempt is meant to be coercive rather than punitive.

But the special prosecutor, Patrick A. Fitzgerald, has suggested that the
reporters may also face criminal prosecution, which could entail additional
penalties.

The case highlights a collision of the press's right to protect its sources,
the government's ability to investigate a crime and even the Bush
administration's justification for going to war in Iraq.

It began two years ago, when the identity of the C.I.A. operative, Valerie
Plame, was first disclosed by the syndicated columnist Robert Novak,
presumably after the information was provided by someone in government.
Three days later, Mr. Cooper, in an article that also carried the bylines of
two other reporters, made a similar disclosure on Time magazine's Web site.

Ms. Miller, on the other hand, did not publish any such disclosures in The
Times or elsewhere.

In his column, Mr. Novak, who identified Ms. Plame as the wife of a former
diplomat who was critical of American policy on Iraq, cited as his sources
two senior Bush administration officials whom he did not identify.

Mr. Fitzgerald is investigating whether by telling reporters about Ms. Plame
people in the Bush administration broke a law meant to protect the
identities of covert intelligence operatives. As part of that inquiry,
several senior administration officials have testified before the grand
jury.

Ms. Plame's husband, Joseph C. Wilson IV, a former United States ambassador,
has maintained that his wife's cover was blown in revenge for an Op-Ed
article that he had written for The New York Times questioning Bush
administration assertions about weapons of mass destruction that served as
sizable justification for going to war with Iraq.

Mr. Novak, who has not been held in contempt or publicly threatened with
jail time, has not commented on his involvement in the investigation. Legal
experts following the case have said they presume he has cooperated with the
special prosecutor.

But Mr. Novak has come under increasing criticism from other journalists and
columnists for not disclosing what he knows and what cooperation, if any, he
has given to Mr. Fitzgerald. Mr. Novak said recently that he "will reveal
all" after the matter is resolved, adding that it is wrong for the
government to jail journalists.

The judge's decision to jail Mr. Cooper comes despite Time magazine's
decision last week to provide the special prosecutor with Mr. Cooper's notes
and other documents after the Supreme Court refused to hear the case. In a
filing on Tuesday, Mr. Fitzgerald said that he had reviewed the documents
and determined that Mr. Cooper's testimony "remains necessary."

"Journalists are not entitled to promise complete confidentiality - no one
in America is," Mr. Fitzgerald told the judge on Tuesday.

Mr. Fitzgerald also said in the court papers that the source for both Mr.
Cooper and Ms. Miller had waived confidentiality, giving the reporters
permission to reveal where they got their information. The prosecutor did
not identify that person, nor say whether the source for each reporter was
the same person.

Mr. Cooper told the judge today while he had been told his source had signed
a general waiver of confidentiality, he would only act with a specific
waiver from his source, which he said he got today.

"I received express personal consent" from the source, he told the judge.

The judge and Mr. Fitzgerald accepted Mr. Cooper's offer to testify.

"That would purge you of contempt," Mr. Hogan said, according to The A.P.

Earlier, on Friday, the reporters filed papers asking that if the judge
decided to impose his sentence that they be allowed to serve their time in
home confinement. Otherwise, Ms. Miller asked to be sent to a federal prison
camp in Danbury, Conn., and Mr. Cooper to one in Cumberland, Md.

Mr. Fitzgerald opposed both those requests on Tuesday, saying the local jail
in the District of Columbia, where the grand jury is sitting, "or some other
nearby federal facility" would be more appropriate.

"Forced vacation at a comfortable home is not a compelling form of
coercion," he wrote. "Certainly one who can handle the desert in wartime,"
he added, referring to Ms. Miller's coverage of the war in Iraq, "is far
better equipped than the average person jailed in a federal facility."

Mr. Fitzgerald, who until then had been restrained in his public filings,
was also harshly critical of the position taken by Ms. Miller and of
statements supporting her by The Times.

"The court should advise Miller that if she persists in defying the court's
order that she will be committing a crime," Mr. Fitzgerald wrote. "Miller
and The New York Times appear to have confused Miller's ability to commit
contempt with a legal right to do so."

He added: "Much of what appears to motivate Miller to commit contempt is the
misguided reinforcement from others (specifically including her publisher)
that placing herself above the law can be condoned." The publisher of The
Times, Arthur Sulzberger Jr., has repeatedly said the newspaper supports Ms.
Miller.

In the 1978 case, Mr. Farber refused to provide his notes to a doctor who
was charged with killing patients by injecting them with curare. The doctor,
Dr. Mario Jascalevich, was acquitted. Mr. Farber was the only person to
serve time in the case.


Adam Liptak reported from Washington for this article and Maria Newman
reported from New York.

Busung Lapar dan Pers Kita



Oleh: Abdullah Alamudi*)

”Bikin apa Anda di daerah, kok sampai ada busung lapar?” (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan para gubernur seluruh Indonesia seperti dikutip Andi Mallarangeng, Juru Bicara Presiden (Kompas, 11 Juni).

Lebih dari tiga bulan setelah Kompas memberitakan kasus busung lapar di NTT-NTB bulan Maret, barulah media lain ikut menyiarkan penderitaan masyarakat Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat itu. Pembaca yang kritis lantas bertanya, kenapa sampai tiga bulan baru koran, radio, dan televisi menyiarkan berita itu? Apa kerja wartawan koran-koran daerah, koresponden media Jakarta di daerah?
Kalau ucapan Presiden Yudhoyono itu keluar dari mulut pemimpin redaksi, atau koordinator reporter di Jakarta kepada korespondennya di daerah, bunyinya mungkin menjadi: ”Ngapain aje lu, di sana, duduk-duduk di kantor kabupaten, ya! Kongko-kongko di kantor wali kota, ya! Liat tuh Kompas, udah tiga bulan laporin busung lapar! Makan gaji buta lu!”
Pimpinan media di daerah tak akan berbicara sekasar itu kepada reporter mereka. Sebab, nyawa koran daerah banyak sekali—untuk tidak mengatakan semuanya—bergantung pada ”uluran tangan” pemerintah daerah/pemerintah kota.
”Uluran tangan” itu bisa berupa tunjangan bulanan untuk pribadi wartawan yang terdaftar di pemda/pemkot bersangkutan, makan siang, ongkos transpor, dan ”amplop” setelah meliput kegiatan pejabat tinggi daerah. Tindakan-tindakan yang jelas merupakan pelanggaran kode etik jurnalistik.
Ada media daerah yang melakukan kontrak dengan bupati sebanyak dua halaman tiap terbit. Media bersangkutan harus mengisinya dengan berita-berita tentang kemajuan dan, tentunya, peran aktif pejabat bersangkutan membangun daerahnya. Ada daerah yang memiliki koran sendiri, dengan kepala biro umum dan humas kabupaten menjadi pemimpin redaksinya. Mungkin modalnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pula.
Dalam posisi pers seperti itu, tak mungkinlah publik bisa berharap wartawan dapat memenuhi tanggung jawab sosialnya mencari, mengumpulkan, menyimpan, mengolah, dan menyiarkan berita secara akurat dan berimbang. Apa lagi, ”melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum”, seperti diperintahkan UU Pers.
Lebih tidak mungkin lagi mengharapkan pers memenuhi hak publik untuk tahu jika pemilik modal, atau pemimpin redaksinya, mempunyai agenda politik/ekonomi dengan pejabat bersangkutan. Bukankah banyak pemilik media juga melakukan investasi di bidang lain dan berkepentingan mempertahankan ”hubungan baik” dengan pejabat di pusat dan daerah, demi memenangkan proyek?
RRI dan TVRI di daerah, dua lembaga penyiaran publik yang paling luas jangkauannya di negeri ini, tak banyak melakukan fungsinya. Tagihan listrik dan pasok diesel mereka sering dibiayai oleh pemda. Beberapa kali mereka terpaksa mengurangi jam siaran/jam tayang mereka.
Begitu eratnya ”hubungan baik” pejabat daerah dan (organisasi) wartawan setempat sehingga hampir di setiap APBD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota ada pos ”Pembinaan Wartawan” atau semacamnya.
Penelitian Aliansi Jurnalis Independen menemukan bahwa dana-dana pos ”Pembinaan Wartawan” itu digunakan untuk membantu membiayai perayaan ulang tahun organisasi wartawan, sewa gedung/kantor cabang organisasi wartawan, atau untuk melakukan seminar dan pelatihan. Ada yang jumlahnya sampai ratusan juta rupiah.
Jadi, wartawan yang telah menerima ”uluran tangan” pejabat daerah, lalu mengetahui bahwa di wilayahnya terjadi busung lapar, terjangkit wabah polio, tak mungkinlah dia diharapkan menyiarkan beritanya secara akurat dan imparsial. Anjing pun tak akan menggigit tangan yang memberinya makan.
Maka jangan heran kalau ada wartawan di pusat ataupun daerah yang menjadikan kartu persnya lebih sebagai alat untuk mencari makan. Dia sudah kehilangan jati dirinya; meninggalkan ciri-ciri seorang wartawan yang rasa ingin tahunya besar, bertanggung jawab kepada masyarakat, memiliki integritas tinggi, cermat mencari kebenaran sejauh mungkin dari tangan pertama, dapat diandalkan, melihat setiap masalah dengan kepala dan mata hati terbuka.
Dia tidak lagi punya keterlibatan pada masalah masyarakat, obyektivitasnya hilang, dedikasinya pupus. Matanya tidak lagi mencari detail suatu berita, semangatnya untuk mengejar berita dan mengungkapkan kebenaran sudah luluh. Hatinya beku, dia tidak lagi marah melihat ketidakadilan di sekitarnya. Kewajibannya untuk berpihak kepada golongan minoritas dan mereka yang tak terwakili terlupakan sudah.
Di pihak lain, pers setiap hari berhadapan dengan tembok tebal birokrasi serta seribu satu alasan pembenaran penguasa informasi yang dicari si wartawan adalah rahasia negara.
Maka bila masyarakat ingin pers menjalankan fungsinya, melakukan social control dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran, maka tugas pertama masyarakat adalah mengontrol pers supaya mereka tetap bebas, tidak terkooptasi dengan penguasa lewat pos-pos dana ”Pembinaan Wartawan”. Masyarakat yang harus mengontrol pers, bukan polisi, bukan negara.
Laporan-laporan pers tentang busung lapar dan wabah polio membuktikan lagi bahwa adalah demi kepentingan pemerintah sendiri bila mereka menghargai kemerdekaan pers. Hanya pers bebas yang bisa menyampaikan laporan-laporan independen.
Kalau tidak, mungkin setiap kali terjadi busung lapar atau timbul wabah di daerah, Presiden Yudhoyono harus mendamprat para gubernur dan bupati, dengan: ”Bikin apa Anda di daerah, kok sampai ada busung lapar?”

*)Abdullah Alamudi Lembaga Pers Dr Soetomo Pemimpin Redaksi Perskita. Naskah ini dimuat di Kompas, 7 Juli 2005.

Friday, July 01, 2005

Jurnalistik Pintu Terbuka


Pengantar:
NOVEMBER tahun lalu, Majalah GATRA berulang tahun ke-10. Usia yang masih muda. Saya ditugaskan untuk menulis prinsip jurnalistik GATRA. Tulisannya dimuat di edisi 11 Desember 2004, halaman 41-42.


DI tengah situasi yang terus berubah inilah kami harus senantiasa membuka diri untuk terus berbenah. Karena kami ingin majalah ini hidup "sampai seribu tahun lagi".

BANGUNAN tempat kami berkantor terletak di tengah kampung di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Kami tinggal di sini sejak pertengahan 1999, meninggalkan sebuah gedung megah di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Melemahnya nilai rupiah yang diikuti dengan rontoknya sejumlah perusahaan, imbasnya terasa pada kami juga.

Halaman iklan berkurang, ongkos cetak meningkat. Salah satu jalan efisiensi yang ditempuh Gatra dengan mencari gedung sendiri.Alhamdulillah, kami sudah lima tahun tinggal di sini, bertetangga dengan kantor kelurahan, sekolah dasar, SMP, warung kaki lima, hingga tukang ojek.

Ke sinilah sejumlah tamu, dari para pengambil keputusan tingkat menteri, ketua partai politik, sampai sejumlah kolega yang mengadukan nasibnya karena di-PHK, datang. Semuanya kami sambut dengan sukacita.

Lantai dua, tempat redaksi berkantor, mirip ruangan besar untuk pertemuan. Hanya ada meja-meja dengan pemisah yang tingginya sekitar 150 cm. Siapa pun bisa saling melihat, saling menyapa, bahkan --yang paling sering-- saling mengganggu. Di lantai dua itu, ada dua meja untuk rapat. Siapa pun yang kebetulan lagi lewat lalu ingin nimbrung dipersilakan. Hanya ada dua ruangan yang berpintu untuk awak redaksi. Satu untuk pemimpin redaksi, lainnya untuk redaktur senior, yang kesemuanya nyaris tak pernah menutup pintu.

Cara kami mendesain ruangan diniatkan sebagai cerminan atas sikap jurnalistik kami: keterbukaan. Keangkeran dan kerahasiaan dalam pengambilan keputusan ihwal berita dipangkas habis. Komunikasi antar-personal mendapatkan tempat penting. Diskusi bisa berlangsung di mana saja: di lorong antar-meja, di dapur sambil membuat kopi, atau di tempat duduk salah satu awak redaksi.

Saya teringat komentar Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, yang berkunjung ke kantor Gatra, dua tahun lalu. "Kantor redaksi memang harus begini ini," katanya, tatkala berkunjung ke lantai dua. Budayawan Erros Djarot, yang juga memimpin Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, juga datang ke tempat kami pada awal 2004, menjelang pemilu legislatif. "Kantornya enak, hawanya terasa nggak ada angker sama sekali."

Keterbukaan adalah salah satu hal penting yang harus kami junjung tinggi dalam mengarungi jagat jurnalistik. Asas ini membuat kami tak boleh menutup diri terhadap pendapat, kritik, bahkan mungkin hujatan terhadap berita-berita yang kami tampilkan. Kami tentu senang, bila tulisan kami mampu memuaskan sebagian besar pembaca.

Seperti disampaikan Ekky Syachrudin, Duta Besar Indonesia untuk Kanada, yang memuji edisi khusus Lebaran lalu sebagai "dahsyat, ruaarr biasa, dan heibat".Namun, kami juga tak sakit hati bila muncul pendapat yang mengkritik kami habis-habisan. Pengusaha dan politikus Enggartiasto Lukita, Jeffry Geovanie, dan Muhammad Lutfi beberapa kali menelepon kami khusus untuk mengomentari tulisan-tulisan politik dan ekonomi Gatra.

Salah satu dari mereka, misalnya, pernah menjewer kami dengan cukup pedas. "Kenapa tulisan Anda pekan ini begitu sopannya, sampai kami sulit memahami yang Anda maksud?" katanya suatu ketika. Asas keterbukaan membuat pengambilan keputusan ada kalanya terasa bertele-tele. Namun, ini adalah cara yang ampuh agar Gatra bisa terus melaju, menjaga objektifitas seoptimal mungkin.

Gatra yang tak memihak, yang bermanfaat bagi pembaca, adalah cita-cita kami. Sekitar enam tahun lalu, sebagian pembaca pernah mencap kami sebagai majalah yang menyuarakan kepentingan pemerintah, termasuk militer. Sebagian penulis kolom bahkan pernah memboikot tak menulis untuk Gatra.Pelan-pelan, citra buruk itu kami upayakan dikikis. Dengan kerja keras, serta keinginan menyajikan hanya yang terbaik bagi pembaca, setapak demi setapak kami memperbaiki citra.

Paling tidak, kami punya tekad untuk berdiri di tengah, tidak memihak ke kiri ataupun ke kanan. Kepentingan pembaca, itulah yang kami bela. Sejarah mengajarkan kepada kami, sebuah media yang memilih menjadi partisan, menjadi corong dari kepentingan politik pihak tertentu, akan rontok bersama jatuhnya pihak yang dibela.Alhamdulillah, tak ada lagi yang menolak menulis untuk Gatra, atau sumber berita yang menutup pintunya, karena alasan ideologi atau politik.
******
Dua tahun terakhir ini saya dipercaya menjadi pemimpin redaksi, menggantikan senior saya, Widi Yarmanto. Boleh dikata, saya tinggal melanjutkan iklim keterbukaan yang sudah ia tanamkan. Baik Mas Widi, demikian ia biasa kami sapa di kantor, saya, serta awak redaksi lain menyadari sepenuhnya, keterbukaan, serta kerendahan hati untuk mengakui adanya kelebihan pada pihak lain, baru merupakan modal awal.

Prinsip ini membuat pemimpin redaksi di Gatra seringkali mirip seorang penjaga rambu jurnalistik. Ia mengawasi apakah usulan yang disampaikan dalam rapat sesuai kaidah jurnalistik, serta tidak melanggar hukum. Sebagai peserta rapat, ia juga harus siap didebat, oleh siapa pun. Direktur PT Era Media Informasi, Budiono Kartohadiprodjo, pernah berkata pada saya, salah satu nilai lebih dari Gatra adalah tidak ada seseorang yang tampil sebagai "superstar", sosok angker yang tak bisa didebat.

Sehingga, kalau Anda bertanya, siapa pemegang otoritas tertinggi pengambil keputusan di redaksi Gatra, jawabannya sederhana: rapat redaksi. Dalam rapat lintas kompartemen yang berlangsung tiga kali sepekan inilah segala hal menyangkut isi majalah diputuskan. Mulai kalimat di sampul, jidat, kolom, hingga rubrik pendek seperti Gatrasiana dan Teropong, dirumuskan.

Untuk itu semua, dibutuhkan keterampilan jurnalistik, kemauan menggali persoalan sampai tuntas, kejujuran, serta kemampuan memahami masalah yang terus berkembang.Tanpa itu, Gatra akan cepat lekang dimakan jaman.

Sepuluh tahun lalu, tatkala majalah ini muncul, berita televisi belum seriuh sekarang. Radio berita, dotcom, serta multimedia, belum secanggih sekarang. Tema ekonomi juga belum serumit sekarang. Saya masih ingat, ketika itu, untuk mengetahui perubahan politik, saya cukup menguping embusan berita dari putra-putri Presiden Soeharto. Kini, persoalan jauh lebih kompleks.

Ambruknya majalah Far Eastern Economic Review serta Asiaweek, keduanya di Hong Kong, serta puluhan atau bahkan mungkin ratusan penerbitan lain, mengingatkan kami bahwa Gatra, sebagai sebuah majalah berita mingguan, menghadapi tantangan mahaberat. Dunia pers Indonesia memang diwarnai sejumlah keberhasilan. Tapi jauh lebih banyak yang namanya tinggal kenangan.Kami, awak redaksi, usaha, maupun keuangan, harus berupaya keras serta cerdas, untuk menaklukkan situasi penuh onak ini.

****
"KITA harus berubah." Kalimat itu terpampang di milis intranet yang bisa diakses setiap awak Gatra. Pengirimnya adalah Yudhistira ANM Massardi, salah satu redaktur senior Gatra. Ia memaparkan sejumlah persoalan serta solusi yang ia tawarkan. Perdebatan yang ia sampaikan itu mendapat tanggapan cukup riuh.

Perdebatan di milis itu semakin mengingatkan kami bahwa berpikir adalah pekerjaan yang harus terus-menerus kami lakukan. Majalah berita mempunyai sejumlah pakem standar yang tak boleh ditinggalkan. Di antaranya, kehangatan, magnitude, kedekatan, tokoh, angle lain. Namun, zaman terus bergerak.

Kami harus terus berpikir agar berbagai prinsip itu bisa kami terapkan secara lentur dan cerdas, seiring dengan perkembangan zaman.Time, Newsweek, US News and World Report, ketiganya majalah berita besar di Amerika, sudah banyak membenahi redaksinya, baik organisasi maupun penampilannya.

Berita-berita kesehatan, ilmu teknologi, multimedia, hiburan, dan gaya hidup di masa lalu hanya mendapat secuil tempat. Kini, laporan utama soal kanker, vitamin, atau luar angkasa menjadi hal yang tak asing lagi.Secara bertahap, kami juga berusaha untuk berubah, demi terus meningkatkan manfaat yang bisa kami berikan kepada pembaca.

Rubrik Ragam kami segarkan menjadi sesuatu yang lebih aplikatif, dan menyentuh keseharian pembaca. Gaya hidup, musik, hiburan, serta agama kami beri tempat yang makin banyak.Acapkali kami sengaja menyingkir dari arus utama pusaran berita, demi memberi berita yang segar kepada pembaca. Kami memang berkeyakinan, majalah berita tak boleh diniatkan sebagai rangkuman atas berita sepekan, apalagi bila berita itu sudah habis dikunyah-kunyah berbagai media. Unsur perbedaan, serta kemanfaatan bagi pembaca, harus kami pegang tinggi.

Di era yang makin melek teknologi seperti dewasa ini, kebutuhan pembaca akan berita di luar politik, ekonomi, hukum dan kriminalitas terus bertambah.Di tengah situasi yang terus berubah inilah kami harus senantiasa membuka diri untuk terus berbenah. Karena kami ingin majalah ini hidup "sampai seribu tahun lagi".

Iwan Qodar Himawan
(Diambil dari: Suplemen ''Kecap Dapur 10 Tahun GATRA'', Edisi GATRA, 11 Desember 2004)

40 Tahun "Kompas"


Pengantar:
KOMPAS merupakan media yang terkemuka di Indonesia. Tahun ini, media cetak terbesar di Indonesia ini berusia ke-40. Tak mudah bagi sebuah media untuk hidup selama itu, di sini. Sejarah pers Indonesia menunjukkan lebih banyak yang terkubur, ketimbang yang hidup makmur.
Bagaimana Kompas bisa bertahan, bahkan berkembang, merupakan hal yang pantas untuk kita simak, dan pelajari dengan seksama.
Maka, saya lampirkan di sini tulisan salah satu pendiri Kompas, Jakob Oetama, mengiringi perubahan fisik dan gaya penulisan di Kompas.


Perjalanan Panjang Menuju Pengabdian Kedua
Oleh: Jakob Oetama

EMPAT PULUH tahun untuk usia surat kabar tidaklah
panjang. Di negeri kita umur itu panjang karena
kehidupan surat kabar di sini terputus-putus. Terputus
oleh faktor interen atau terputus oleh sistem politik.

Oleh karena itu, usia 40 tahun adalah usia yang pantas
disyukuri. Bersyukur kepada Tuhan yang menganugerahkan
rahmat dan berkat-Nya. Berterima kasih kepada para
perintis dan karyawan, kepada wartawan dan karyawan,
kepada khalayak pelanggan dan pembaca, kepada semua
mitra kerja, agen, loper, pemasang iklan, dan biro
iklan.

Pers bekerja dalam interaksi. Interaksi lewat surat
pembaca. Juga lewat para kontributor serta para
pemerhati dan pemberi masukan serta kritik.

Surat kabar bukan saja suatu lembaga yang organik,
tetapi sekaligus yang organis pula. Karena surat kabar
adalah organis, masuk akal jika ia juga hidup,
mempunyai peranan, mempunyai tujuan, dan memiliki
pandangan hidup, sikap, serta orientasi nilai.

Faham kemanusiaan

Pandangan, sikap hidup, dan orientasi nilai Kompas
adalah faham kemanusiaan yang beriman, yang percaya
kepada nilai abadi dan nilai kemanusiaan.

Bukan saja pendidikan yang diperlukan anak manusia,
tetapi juga pencerahan, pendidikan akal budi. Ilmu,
kepandaian, kecerdasan menjadi bagiannya. Tetapi juga
watak atau karakter, kepribadian, rasa tanggung jawab,
kejujuran, dan ketulusan.

Orang Perancis menyebut surat kabar sebagai un journal
c'est un monsieur, surat kabar bersosok, berpribadi
justru karena memiliki pandangan hidup yang transenden
serta pandangan hidup kemasyarakatan.

Lebih dari sekadar suatu informasi dan peliputan
perihal peristiwa dan permasalahan, surat kabar adalah
juga interaksi. Dalam bahasa sehari-hari karena itu
surat kabar mempunyai policy, editorial policy,
kebijakan editorial. Juga kebijakan perusahaan.

Interaksi antara kebijakan dan liputan lapangan itulah
dinamika yang menghasilkan berita, komentar, opini.
Seorang ilmuwan komunikasi seperti De Volder menyebut
obyektivitas dalam surat kabar adalah obyektivitas
yang subyektif. Obyektivitas itu untuk sampai menjadi
berita berproses lewat wartawan. Wartawan bekerja
dengan kompetensi profesional yang mencakup kode etik
profesi dan kebijakan redaksi.

Karena proses informasi aktual dan permasalahan
berlangsung lewat subyektivitas, apakah berita adalah
sewenang-wenang? Ada kriteria profesional dan etis
yang harus dipenuhi wartawan dalam tugasnya.

Lagi pula ada kriteria lain lagi, yakni kepercayaan.
Berita dan karya surat kabar harus pula memenuhi unsur
dapat dipercaya. Dapat dipercaya adalah sisi lain dari
obyektivitas. Bagian ini merupakan bagian dan respons
pembaca serta khalayak surat kabar.

Dapat dipercaya adalah syarat dan kondisi lain yang
membuat surat kabar dibaca orang dan akhirnya
berkembang.

Pergulatan lain bagi kehidupan surat kabar ialah
lingkungan, kondisi di mana ia hidup. Sangat
menentukan adalah sistem politik, sistem kekuasaan,
serta kultur kekuasaan.

Tiga periode

Kompas mengalami tiga periode. Periode akhir kekuasaan
Presiden Soekarno, periode penuh kekuasaan Presiden
Soeharto, serta periode reformasi dari Presiden BJ
Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati
Soekarnoputri, dan kini hasil pemilu langsung,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Suatu periode sejarah, perkembangan dan pergulatan
yang menarik. Berbagai pengalaman dan pelajaran
diberikan kepada kita sebagai bangsa berikut beragam
institusi dan kehidupannya. Termasuk pengalaman dan
pelajaran kepada pers, di antaranya Kompas.

Dari tiga periode yang dialami, ditunjukkan perubahan
sistem politik bukanlah seperti membalikkan telapak
tangan. Begitu berubah, sekaligus dan serentak
berubah, semuanya sesuai yang dikehendaki.

Taruhlah sekarang ini! Mulai terdengar suara dari
sana-sini: keadaan kemarin lebih baik. Tak ada busung
lapar, kekurangan gizi, polio, dan lain-lain. Bahkan
disarankan mengapa tidak dihidupkan lagi lembaga
pelayanan masyarakat seperti posyandu.

Argumen kontra pun terdengar. Mau menghidupkan sistem
lama yang peninggalannya masih kita rasakan hingga
kini seperti korupsi, kolusi dan nepotisme? Seperti
pelanggaran hak-hak asasi manusia?

Barangkali justru bukan serba simplistis itu yang kita
ambil. Kebalikannya, yakni perubahan yang disertai
kompleksitas dan kompleksitas itulah yang agar juga
dipahami dan disikapi. Tidak seperti membalikkan
telapak tangan.

Banyak persoalan

Indonesia berada dalam kondisi yang ditimpa dan
ditinggali banyak persoalan. Kondisi pun memberi kesan
serba longgar dan carut-marut. Keadaan seperti tak
kenal akhir. Ditangani yang satu muncul yang lain.

Ada kesan dan perasaan kita seperti kehilangan akar
dan jati diri. Kesan itu membuat kita seakan
kehilangan tali pengikat.

Hampir pada setiap kali ada penelitian atau jajak
pendapat dari lembaga internasional kita berada pada
tingkat paling rendah. Terutama menyangkut ko- rupsi,
kolusi, kepastian hukum.

Inilah tugas kita bersama, pemerintah dan seluruh
rakyat. Harus kita hidupkan konsep challenge and
response, tantangan dan jawaban.

Beberapa pandangan ini dapatkah ikut dipertimbangkan?
Pertama, kita temukan kembali Indonesia. Tanah Air dan
negara kepulauan yang indah, yang dikaruniai sumber
alam, yang berseni budaya, dan yang hidup dalam
komunitas Bhinneka Tunggal Ika, kesatuan dalam
keragaman. Dalam pandangan kemasyarakatan yang
mendahului zaman, yakni Berketuhanan yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.

Kita juga dalam zaman globalisasi. Kita sikapi
kenyataan itu dengan kritis tetapi kreatif. Orang
bertanya kenapa Ghana dan Korea Selatan, yang dalam
tahun 1970-an setingkat ekonominya, pada tahun 1990-an
berjarak jauh. Korea jauh lebih maju dari Ghana.

Ada banyak faktor. Salah satu yang semakin ditanggapi
dan diterapkan adalah pandangan dan sikap yang
tercakup dalam ungkapan culture matters. Sikap budaya
dan orientasi nilai suatu bangsa berperan menentukan
kemajuan bangsa itu.

Di antaranya sikap orientasi masa depan, menghargai
waktu, disiplin, kerja keras, pandai mengelola
keuangan, saling percaya, menempatkan pendidikan
sebagai jalan strategis dan sentral untuk pengembangan
diri.

Pers berubah

Selama 40 tahun itu pers juga berkembang dan berubah.
Pola perubahan berlangsung menurut proses sejauh ini,
ada interaksi. Media cetak memengaruhi media
elektronik. Perannya saling melengkapi.

Tabloisasi koran masuk dalam televisi. Namun tidak
berlebihan jika dikatakan dampak media elektronik dan
digital lebih besar.

Dalam media cetak berita adalah periodik, sesuai waktu
terbitnya. Pagi, petang, harian, mingguan, atau
bulanan. Paling-paling stop press atau menerbitkan
edisi khusus.

Pada radio, televisi, internet, berita terus-menerus,
setiap saat, tidak lagi periodik. Kecuali tak lagi
periodik, media kini mengangkat berita ke atas
panggung terbuka. Sebutlah panggung televisi.

Surat kabar pun lalu berubah total. Berubah ukuran,
kolom, dan kemasannya. Warna ikut bicara karena
membaca juga perlu dibantu oleh visualisasi.

Namun, dalam kemasan yang lebih visual, dengan
pembagian rubrik yang lebih lancar dan lebih mudah,
isi tetap "rajanya". Isi yang dapat dipercaya. Isi
yang diramu dengan serba dimensi, pergulatan, dan
ekstasi kemanusiaan. Dan isi pun agar disajikan dalam
bahasa dan gaya yang jelas, asyik, menyenangkan, dan
menggairahkan.

Apa jawaban media sendiri terhadap perubahan? Memicu
kualitas, kompetensi, profesionalisme, menghayati kode
etik profesi dalam melaksanakan pekerjaan dan
bertanggung jawab.*

*) Tulisan ini dimuat di Kompas, 28 Juni 2005