Search This Blog

Tuesday, November 29, 2011

Naik Merpati dari Jogja ke Jakarta



PEKAN lalu, dari tanggal 18 sampai 21 November 2011, saya ke Jogja. Ada acara penting di situ. Kakak paling besar saya, mbak Yeni Widowaty, menjadi doktor dalam bidang ilmu hukum pidana. Sehingga kakak saya yang bekerja sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu sekarang namanya cukup panjang: Dr. Yeni Widowaty Herindrasti, SH, Mhum. Satu kata terakhir ‘’Herindrasty’’ hanya pernah nongol di rapor sekolah dasar, tapi tidak ada di ijazah. Sehingga sampai sekarang namanya hanya ‘’Yeni Widowaty’’.
Acara ujian terbuka itu berlangsung di Universitas Diponegoro, Semarang. Namun karena bapak dan ibu saya tinggalnya di Jogja, saya pulang dulu ke Jogja untuk mengambil mobil, menjemput beliau. Sebetulnya Pak Syarief dan Bu Siti Asiyam –demikian nama beliau—sudah ditawari untuk menginap di Hotel Ibis Semarang, bergabung dengan mbak Yeni dan keluarga (suami –mas Faisal Heryono, dan dua puterinya –Cita dan Bella. Si bungsi Tifa ada di Jepang, sehingga tidak bisa bergabung). Namun beliau sudah wanti-wanti: aku kuwi nek nginep neng hotel rasane ora penak tenan je… (dalam bahasa Inggris: it’s really unconvenience to stay at hotel).
Alhamdulillah, acara berlangsung lancar. Setelah lebih kurang lima tahun kuliah S3, mb.ak Yeni kini sudah lulus kuliah S3.
*****
Bukan promosi doktor itu yang mau saya ceritakan di sini kali ini. Sepulang dari acara di Jogja, saya pulang pakai pesawat Merpati rute Adi Sucipto-Halim Perdanakusuma. Rute ini sangat menarik bagi saya: mendarat di Halim, hanya sekitar 5 Kilometer dari rumah.

Merpati rute Jakarta-Jogja merupakan trayek baru. Sebelum krismon 1998, saya bersama mommy Uni pernah juga naik Merpati dari Halim ke Jogja. Kalau tidak salah pesawatnya CN 235. Waktu itu penumpangnya hanya empat orang. Jumlah pilot dan pramugarinya lebih banyak ketimbang penumpangnya. Penerbangan itu rugi, dan rute Jakarta-Jogja ditutup. Entah kenapa kalau maskapai lain mendapatkan duit banyak dari rute Jakarta-Jogja, kalo Merpati malah merugi.
Sejak Maret lalu, Merpati membuka kembali rute ke Jogjakarta. Berbeda dengan jalur dahulu kala, kali ini rutenya Merpati berbeda: Jakarta-Bandung-Jogjakarta. Berangkat dari Halim jam 09.00 sampai di Jogja jam 15.00.. Lama sekali? Karena pesawat ini harus mampir dulu di Bandung.Tiba jam 10.00, tapi baru berangkat dari Bandung jam 14.00. Mungkin, Merpati ingin memberi kesempatan para wisatawan yang lagi belanja di factory outlet. Jadi kalo bapak ibu ingin berbelanja dulu di Bandung, Merpati ini pilihan yang pas. Tapi kalo buru-buru ke Jogja, ya jangan naik Merpati.
Maka saya berangkatnya ke Jogja naik Lion Air. Baru pulangnya naik Merpati. Jadwal pulangnya Merpati cukup menarik: dari Jogja jam 15.40, berhenti di Bandung jam 16.40, terus jam 17.00 berangkat dari Bandung ke Jakarta, sampai di Halim jam 18.00. Kalau semua tepat waktu, setengah jam kemudian saya sudah sampai di rumah.
****
Saya mencoba mencari tahu mengenai rute Merpati ke Jogjakarta. Menurut penjelasan distrik manager Merpati Bandung, Yanuar Fadhillah, ketika peluncuran rute ini Maret lalu, rute Bandung-Jogja merupakan rute penting: untuk wisata, seni, dan pendidikan. Bandung punya pabrik tekstil, Jogja adalah pasar tekstil Bandung. Kedua kota sama-sama dikenal punya nilai lebih di bidang seni. Ketika itu Bandung-Jogja diarungi dengan Boeing 737-300, tiga kali seminggu: Rabu-Jumat-Minggu. Tarifnya pukul rata: Rp 297.000.
Sejak peluncuran Maret lalu hingga kini sudah terdapat beberapa perubahan. Pertama, kini rute Bandung-Jogja diarungi tiap hari. Pesawatnya juga berubah. Tidak lagi Boeing, melainkan pesawat MA-60.


Kalau Boeing 737-300 berpenumpang 148 orang, Xian MA60 ini lebih kecil, bisa mengangkut 58 penumpang. Merpati memiliki 14 unit pesawat MA60, satu di antaranya jatuh di perairan Kaimana, Papua, pada Mei 2011. Label kata ‘’MA’’ merupakan kependekan dari ‘’Modern Ark’’ alias ‘’Perahu Modern’’. Wah, top..
Pesawat MA 60 dibuat oleh Xi’An Aircraft Industrial Corporation. Pesawat ini mendapatkan sertifikasi dari Badan Penerbangan Sipil China pada Juni 2000. Tapi belum mendapatkan sertifikat dari Federal Aviation Administration, Amerika Serikat. Sehingga pesawat ini belum boleh diterbangkan di Amerika. Ketiadaan sertifikat FAA ini yang menimbulkan gonjang-ganjing ketika Mei lalu pesawat MA60 jatuh di perairan Kaimana: mengapa Merpati membeli pesawat yang tanpa sertifikat FAA. Namun pejabat Indonesia dan petinggi Merpati ketika itu berpendapat: sertifikat FAA bukan suatu keharusan.
Pesawat MA60 ini tidak hanya dioperasikan oleh Merpati. Dewasa ini beberapa MA60 juga mengangkasa di beberapa negara. Di antaranya Laos, Burundi, Myanmar, Ghana, Ecuador, Kamerun, Filipina. Namun, yang terbanyak membeli memang Merpati. Agen penjualan MA60 patut diacungi jempol, karena sukses memasarkan MA60 ke Merpati. Bahkan yang dibeli Merpati jauh lebih banyak ketimbang yang dibeli maskapai di China. Di negeri pembuatnya itu, terbanyak sebagai pembeli adalah YingAn Airlines, 10 unit. Dua maskapai lainnya adalah Wuhan Airlines (tiga unit), dan Sichuan Airlines (dua unit).
Dalan pandangan Merpati, pesawat MA60 kinerjanya yahud. Maka Mei lalu Merpati mengumumkan, akan mendatangkan dua pesawat baru. Sehingga total Merpati akan memiliki 15 unit.
****




Saya sudah biasa naik pesawat lebih kecil dari MA 60. Hubungan dekat saya dengan Susi Pudjiastuti, pemilik maskapai Susi Air membuat saya beberapa kali naik pesawat Cessna Caravan rute Jakarta-Pangandaran, yang punya 14 tempat duduk. Saya juga pernah naik Piagio Avanti, yang hanya berpenumpang tujuh orang. Karena itu ketika naik MA60, saya tidak takut.
Memang bukan pada kinerja MA60 ini yang saya keluhkan. Saya percaya, China, yang sudah sukses membuat peluru kendali jarak jauh, meluncurkan roketnya ke ruang angkasa, juga mampu menembak satelit di orbitnya, bisa membuat pesawat terbang dengan baik.
Yang saya keluhkan adalah pada pengoperasian pesawat MA60 oleh Merpati. Bila sesuai jadwal, harusnya saya tiba di Jakarta jam 18.00. Namun hari itu saya apes..
Semula saya dikabari via sms bahwa pesawat Merpati akan berangkat ke Bandung jam 18.40, mundur tiga jam dari jadwal. Karena itu saya berangkat ke Adisucipto jam 17.00. Ketika check in saya dapat kabar dari petugas bahwa Merpati masih ’’ tetap sesuai jadwal’’, jam 18.40.
Saya menunggu di lounge Borobudur, Adisucipto, yang sudah nyaris kosong menu makanannya karena terlalu banyak penumpang yang menunggu. Tempe goreng, tahu goreng, kacang, emping, nasi goreng, semua ludes. Tinggal kue. Minuman cocacola, fanta, masih tersedia..
Sampai jam 19.00 ternyata pesawat belum datang. Lalu muncul pengumuman: pesawat diperkirakan tiba dari Bandung jam 20.15. Dan balik ke Bandung sekitar jam 20.40. Wah… kok molor lagi.
Alhamdulillah, kali ini Merpati tidak ingkar janji. Jam 20.40 pesawat terbang beneran. Sampai di Bandung jam 21.30. Begitu turun, saya dapat informasi: penerbangan ke Jakarta dibatalkan, sehingga penumpang yang berangkat ke Jakarta diantar dengan jalan darat, via tol Cipularang.
Kali ini Merpati menepati janjinya. Dari Bandung saya diantar dengan Suzuki APV ke Halim Perdanakusuma. Sampai Halim jam 23.30. Bukan perkara gampang mencari angkutan dari Halim di malam selarut itu.

Musibah lain, malam itu saya kehilangan acara penting: final sepakbola Sea Games antara Indonesia-Malaysia..