Search This Blog

Tuesday, November 29, 2011

Naik Merpati dari Jogja ke Jakarta



PEKAN lalu, dari tanggal 18 sampai 21 November 2011, saya ke Jogja. Ada acara penting di situ. Kakak paling besar saya, mbak Yeni Widowaty, menjadi doktor dalam bidang ilmu hukum pidana. Sehingga kakak saya yang bekerja sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu sekarang namanya cukup panjang: Dr. Yeni Widowaty Herindrasti, SH, Mhum. Satu kata terakhir ‘’Herindrasty’’ hanya pernah nongol di rapor sekolah dasar, tapi tidak ada di ijazah. Sehingga sampai sekarang namanya hanya ‘’Yeni Widowaty’’.
Acara ujian terbuka itu berlangsung di Universitas Diponegoro, Semarang. Namun karena bapak dan ibu saya tinggalnya di Jogja, saya pulang dulu ke Jogja untuk mengambil mobil, menjemput beliau. Sebetulnya Pak Syarief dan Bu Siti Asiyam –demikian nama beliau—sudah ditawari untuk menginap di Hotel Ibis Semarang, bergabung dengan mbak Yeni dan keluarga (suami –mas Faisal Heryono, dan dua puterinya –Cita dan Bella. Si bungsi Tifa ada di Jepang, sehingga tidak bisa bergabung). Namun beliau sudah wanti-wanti: aku kuwi nek nginep neng hotel rasane ora penak tenan je… (dalam bahasa Inggris: it’s really unconvenience to stay at hotel).
Alhamdulillah, acara berlangsung lancar. Setelah lebih kurang lima tahun kuliah S3, mb.ak Yeni kini sudah lulus kuliah S3.
*****
Bukan promosi doktor itu yang mau saya ceritakan di sini kali ini. Sepulang dari acara di Jogja, saya pulang pakai pesawat Merpati rute Adi Sucipto-Halim Perdanakusuma. Rute ini sangat menarik bagi saya: mendarat di Halim, hanya sekitar 5 Kilometer dari rumah.

Merpati rute Jakarta-Jogja merupakan trayek baru. Sebelum krismon 1998, saya bersama mommy Uni pernah juga naik Merpati dari Halim ke Jogja. Kalau tidak salah pesawatnya CN 235. Waktu itu penumpangnya hanya empat orang. Jumlah pilot dan pramugarinya lebih banyak ketimbang penumpangnya. Penerbangan itu rugi, dan rute Jakarta-Jogja ditutup. Entah kenapa kalau maskapai lain mendapatkan duit banyak dari rute Jakarta-Jogja, kalo Merpati malah merugi.
Sejak Maret lalu, Merpati membuka kembali rute ke Jogjakarta. Berbeda dengan jalur dahulu kala, kali ini rutenya Merpati berbeda: Jakarta-Bandung-Jogjakarta. Berangkat dari Halim jam 09.00 sampai di Jogja jam 15.00.. Lama sekali? Karena pesawat ini harus mampir dulu di Bandung.Tiba jam 10.00, tapi baru berangkat dari Bandung jam 14.00. Mungkin, Merpati ingin memberi kesempatan para wisatawan yang lagi belanja di factory outlet. Jadi kalo bapak ibu ingin berbelanja dulu di Bandung, Merpati ini pilihan yang pas. Tapi kalo buru-buru ke Jogja, ya jangan naik Merpati.
Maka saya berangkatnya ke Jogja naik Lion Air. Baru pulangnya naik Merpati. Jadwal pulangnya Merpati cukup menarik: dari Jogja jam 15.40, berhenti di Bandung jam 16.40, terus jam 17.00 berangkat dari Bandung ke Jakarta, sampai di Halim jam 18.00. Kalau semua tepat waktu, setengah jam kemudian saya sudah sampai di rumah.
****
Saya mencoba mencari tahu mengenai rute Merpati ke Jogjakarta. Menurut penjelasan distrik manager Merpati Bandung, Yanuar Fadhillah, ketika peluncuran rute ini Maret lalu, rute Bandung-Jogja merupakan rute penting: untuk wisata, seni, dan pendidikan. Bandung punya pabrik tekstil, Jogja adalah pasar tekstil Bandung. Kedua kota sama-sama dikenal punya nilai lebih di bidang seni. Ketika itu Bandung-Jogja diarungi dengan Boeing 737-300, tiga kali seminggu: Rabu-Jumat-Minggu. Tarifnya pukul rata: Rp 297.000.
Sejak peluncuran Maret lalu hingga kini sudah terdapat beberapa perubahan. Pertama, kini rute Bandung-Jogja diarungi tiap hari. Pesawatnya juga berubah. Tidak lagi Boeing, melainkan pesawat MA-60.


Kalau Boeing 737-300 berpenumpang 148 orang, Xian MA60 ini lebih kecil, bisa mengangkut 58 penumpang. Merpati memiliki 14 unit pesawat MA60, satu di antaranya jatuh di perairan Kaimana, Papua, pada Mei 2011. Label kata ‘’MA’’ merupakan kependekan dari ‘’Modern Ark’’ alias ‘’Perahu Modern’’. Wah, top..
Pesawat MA 60 dibuat oleh Xi’An Aircraft Industrial Corporation. Pesawat ini mendapatkan sertifikasi dari Badan Penerbangan Sipil China pada Juni 2000. Tapi belum mendapatkan sertifikat dari Federal Aviation Administration, Amerika Serikat. Sehingga pesawat ini belum boleh diterbangkan di Amerika. Ketiadaan sertifikat FAA ini yang menimbulkan gonjang-ganjing ketika Mei lalu pesawat MA60 jatuh di perairan Kaimana: mengapa Merpati membeli pesawat yang tanpa sertifikat FAA. Namun pejabat Indonesia dan petinggi Merpati ketika itu berpendapat: sertifikat FAA bukan suatu keharusan.
Pesawat MA60 ini tidak hanya dioperasikan oleh Merpati. Dewasa ini beberapa MA60 juga mengangkasa di beberapa negara. Di antaranya Laos, Burundi, Myanmar, Ghana, Ecuador, Kamerun, Filipina. Namun, yang terbanyak membeli memang Merpati. Agen penjualan MA60 patut diacungi jempol, karena sukses memasarkan MA60 ke Merpati. Bahkan yang dibeli Merpati jauh lebih banyak ketimbang yang dibeli maskapai di China. Di negeri pembuatnya itu, terbanyak sebagai pembeli adalah YingAn Airlines, 10 unit. Dua maskapai lainnya adalah Wuhan Airlines (tiga unit), dan Sichuan Airlines (dua unit).
Dalan pandangan Merpati, pesawat MA60 kinerjanya yahud. Maka Mei lalu Merpati mengumumkan, akan mendatangkan dua pesawat baru. Sehingga total Merpati akan memiliki 15 unit.
****




Saya sudah biasa naik pesawat lebih kecil dari MA 60. Hubungan dekat saya dengan Susi Pudjiastuti, pemilik maskapai Susi Air membuat saya beberapa kali naik pesawat Cessna Caravan rute Jakarta-Pangandaran, yang punya 14 tempat duduk. Saya juga pernah naik Piagio Avanti, yang hanya berpenumpang tujuh orang. Karena itu ketika naik MA60, saya tidak takut.
Memang bukan pada kinerja MA60 ini yang saya keluhkan. Saya percaya, China, yang sudah sukses membuat peluru kendali jarak jauh, meluncurkan roketnya ke ruang angkasa, juga mampu menembak satelit di orbitnya, bisa membuat pesawat terbang dengan baik.
Yang saya keluhkan adalah pada pengoperasian pesawat MA60 oleh Merpati. Bila sesuai jadwal, harusnya saya tiba di Jakarta jam 18.00. Namun hari itu saya apes..
Semula saya dikabari via sms bahwa pesawat Merpati akan berangkat ke Bandung jam 18.40, mundur tiga jam dari jadwal. Karena itu saya berangkat ke Adisucipto jam 17.00. Ketika check in saya dapat kabar dari petugas bahwa Merpati masih ’’ tetap sesuai jadwal’’, jam 18.40.
Saya menunggu di lounge Borobudur, Adisucipto, yang sudah nyaris kosong menu makanannya karena terlalu banyak penumpang yang menunggu. Tempe goreng, tahu goreng, kacang, emping, nasi goreng, semua ludes. Tinggal kue. Minuman cocacola, fanta, masih tersedia..
Sampai jam 19.00 ternyata pesawat belum datang. Lalu muncul pengumuman: pesawat diperkirakan tiba dari Bandung jam 20.15. Dan balik ke Bandung sekitar jam 20.40. Wah… kok molor lagi.
Alhamdulillah, kali ini Merpati tidak ingkar janji. Jam 20.40 pesawat terbang beneran. Sampai di Bandung jam 21.30. Begitu turun, saya dapat informasi: penerbangan ke Jakarta dibatalkan, sehingga penumpang yang berangkat ke Jakarta diantar dengan jalan darat, via tol Cipularang.
Kali ini Merpati menepati janjinya. Dari Bandung saya diantar dengan Suzuki APV ke Halim Perdanakusuma. Sampai Halim jam 23.30. Bukan perkara gampang mencari angkutan dari Halim di malam selarut itu.

Musibah lain, malam itu saya kehilangan acara penting: final sepakbola Sea Games antara Indonesia-Malaysia..

Saturday, October 22, 2011

iPad yang Ruwet





SEBAGAI produk teknologi baru, harus diakui iPad amat sangat sukses. Gamenya cukup banyak, dan menarik. Darrel Cetta sangat suka pada game global war. Ia juga suka main game superhero, angry bird, dan airportmania.

Game yang disediakan memang beragam. Anda suka fashion, memasak, perang, terbang, semua ada. Namun di luar berbagai keunggulan itu, saya masih merasakan banyak hal yang membuat iPad kurang menarik.

Tulisan pendek ini saya buat ketika Steve Jobs, sang pendiri Apple, sudah wafat, dua pekan lalu. Tulisan ini juga nongol karena saya habis dikerjain oleh iPad: file-file penting ketlingsut, dan kini masih dalam proses pencarian. Insya Allah sih ketemu.Sekadar informasi, iPad punya Mommy Uni Lubis itu seri pertama.

Komplain saya soal iPad adalah, peralatan ini egois. Hanya mau menerima program yang dikeluarkan Apple, atau konco-konconya. Di luar berbagai program itu, wassalam. Jangan harap. Anda pernah mendonlod program google chrome yang terkenal itu? Atau google earth? Atau pernah menginstall flash di iPad? Kalau belum, tidak usah mencoba, karena mubazir. iPad akan menolaknya.

Maka untuk menonton program yang butuh flash, seperti pada banyak game, kita tidak akan bisa melakukannya via iPad. Mau nonton televisi via internet, juga tidak bisa.

Masalah lain yang saya hadapi adalah, iPad tidak nyaman untuk bekerja. Anda pernah membuat tulisan sampai satu halaman di iPad? Dijamin jauh lebih susah ketimbang kita membuat tulisan yang sama di notebook atau komputer meja.

Yang ketiga, mungkin karena saya terbiasa dengan program Microsoft, memakai iPad ini terasa sulit. Alkisah, saya mau memback up file penting yang ada di iPad. Untuk itu, iPad saya hubungkan dengan iTunes yang ada di laptop. Perintah di iTunes menyatakan, bahwa sistem di iPad itu ternyata sudah lama, harus diupdate.



Eh, begitu update selesai, file yang mau diback up malah nyelip nggak tahu di mana... Jadi ceritanya saya sekarang lagi mencari file yang tersembunyi itu..
Begitulah ceritanya.

Tuesday, August 02, 2011

Uni Lubis: Ready, willing and able

Uni Lubis: Ready, willing and able

Dina Indrasafitri, The Jakarta Post, Jakarta | Mon, 08/01/2011 8:00 AM
A | A | A |

Zulfiani Lubis took a deep breath when asked about her current activities. “My main job is of course the chief editor of ANTV,” the woman popularly known as “Uni” said, referring to the private television station under her care.

She is also serving a term as a member of the Press Council until February 2013 and as the Association of Indonesian Private Television Station’s (ATVSI) commission of news and inter-institutional relations head.
JP/Dina IndrasafitriJP/Dina Indrasafitri

According to Uni, her most time-consuming duties are those at the television station and the Press Council.

“At least once a week I go to the regions to conduct trainings because I am the head of the commission for reporter education, training and development,” Uni said.

With the throng of activities related to journalism and her various campaigns, it is hard to conceive that the mother of one initially had almost no interest in working in the media.

Yet, the woman who drew the attention of fellow media workers with her swift, soaring career, which included becoming the chief editor of Panji Masyarakat magazine at the age of 32, said at first her profession was something that simply happened to her.

Uni was in her last year of studying agribusiness at the Bogor Institute of Agriculture and was organizing a seminar. One of the speakers was Erlangga Ibrahim, the leader of Warta Ekonomi magazine.

Her effort to approach him for the event evoked the unpredictable consequence of being offered a job at the magazine. “When you graduate, come to [work at] my place,” she recalled Erlangga saying.

She sent a letter, partly because she was “lazy at applying for jobs” and was accepted as a reporter. “And, I loved it,” Uni said.

Eyebrows may rise at her story from then on. After just one year, she was promoted to one of the editors at Warta Ekonomi. She then moved to Panji Masyarakat and quickly became the chief editor there.

Uni then sailed through top positions at private television station TV7 and eventually got to where she is now.

Her secret to success is far from miraculous or shady, she said. She was simply ready, willing and able.

This was evidently the reason she was quickly entrusted to write cover stories for Warta Ekonomi despite having spent only nine months in the newsroom. She was the only one available and ready to cover a banking scandal during a holiday when most reporters were on leave, and she delivered a decent report.

It was one of many more that followed. “My career at Warta Ekonomi was rather fast. In fact, I was promoted within a year as an editor because I wrote a record number of cover stories in one year,” Uni said.

Her promotion to chief editor at Panji Masyarakat in 1999 was another case of her being ready, willing and able.

Uni said she was asked by several of the magazine’s investors, including former finance minister Fuad Bawazier, to join Panji Masyarakat’s revitalization, and was at first appointed the deputy. She was also endorsed by another former finance minister, Marie Muhammad. At that time, she was a reporter covering the monetary and finance beat, and one of her posts was at the Finance Ministry.

Panji Masyarakat had been known as a magazine with strong Islamic tendencies. But, a team that included Uni gave the magazine a face lift so it could garner a larger audience. It resumed publication after a hiatus in 1997 with a fresh start.

“[At that time] there wasn’t a woman who was a leader of a general news magazine, let alone an
Islamic one,” she said.

Panji Masyarakat published a cover story in 1999 centering on an alleged recorded conversation between former president B.J. Habibie and then attorney general Andi M. Ghalib. The alleged conversation suggested that inquiries on corruption charges toward former president Soeharto were to be held ceremoniously or less intensely than that imposed on the others who were being questioned at the same time.

According to Uni, she took the initiative to publish the story, which was already circulating in the media, because she felt the public needed to know. She said the question of how far journalists should go in investigating cases remained.

An upcoming discussion by the Press Council is slated to carry the theme of journalists invading privacy. This theme was partly fueled by the recent alleged hacking scandal involving the now defunct News of the World owned by Rupert Murdoch. The case, which saw former editor and Murdoch’s close aide Rebekah Brooks arrested, has drawn public attention to media ethics.

“Personally, I think [the alleged hacking] was wrong… If we oppose ruthless tapping of civilians in the intelligence bill then the press should be consistent in not engaging in such activities as well,” Uni said, referring to the currently deliberated bill.

She is obviously equipped with guts and a sense of justice.

Her father, who was a judge, taught her valuable lessons, Uni said.

“I learned about integrity. Seeing so many judges arrested for receiving money [illegally] reminds me of my father who had a 26-year career and could barely afford a house and a car,” she said.

Her father quit six years before his retirement age. According to Uni, it was due to a decision he made at that time linked to the July 27, 1996, riot near the Indonesian Democratic Party (PDI) headquarters in Jakarta.

According to Uni, her father’s decision at that time leaned toward the innocence of Budiman Sudjatmiko, the former chairman of the Democratic People’s Party and now a near Indonesian Democratic Party of Struggle legislator.

“After [his decision], he was assigned to Papua. To him, it was equal to being scrapped,” she said.

Tuesday, May 17, 2011

Media Convergence in the US and in Indonesia: A Talk with Uni Lubis

Posted by dinidjalal | on May 13, 2011 | No comment | Cat : weekly-champion PrintMail


As a veteran journalist who is now Chief Editor of ANTEVE, Uni Lubis thought she knew quite a lot about the media business. Yet halfway through the 7-week fellowship with the Eisenhower Foundation that is taking her across the United States — meeting with fellow journalists, academics, politicians and enterpreneurs — Uni is learning much more than she expected.
The focus of her study? Media convergence in the age of digital media. In an age when traditional media businesses are trying to redefine themselves through digital outlets, and when news companies are increasingly being sold to conglomerates, this topic could not be timely. And as a member of Indonesia’s National Press Council, Uni felt it is her duty to help find answers to the challenges now faced by Indonesian media.
Uni spoke with The Indonesia Network recently to explain the bumpy path ahead:
Q: Why did you pick Media Convergence as your study focus?
A: Well, besides being a journalist, I head the Association of Indonesian Television Stations, which has 10 members. I’m also a member of the National Press Council, and we are currently discussing the Media Convergence bill, or Undang-Undang Konvergensi Telematika, in Bahasa Indonesia.
We already have the Press Freedom Bill, the Broadcasting Bill, and the Information and Electronic Transaction Bill. Our objective is that, if we really want to establish a Media Convergence Bill, then we don’t need all the other laws, because then all the media becomes one. The internet provides the structure, and the press provides the content.
But now that we have this Media Convergence Bill, everyone, especially those involved in the internet and media, is criticizing the bill endlessly, because the bill talks only about telecommunications, and not about the media, all multi-media.
Q: Do you feel that Media Convergence is a concrete threat against press freedom?
A: I talked earlier with Tom Rosenstiel and Bill Kovach (former Washington Post journalist), who wrote ‘Blur’, and asked them, what is the biggest threat to press freedom? Well, in the era of media convergence, content is produced by big corporations, such as Comcast, which just bought NBC.
In the future, there will be less and less big corporations which can control distribution as well as content. This consolidation has been happening in the last 10 years already, and we can already see the effects. For example, the media started focusing on entertainment, on what the public wants to know, not what the public needs to know.
I also learned that the United States does not like to make laws concerning technology, because technology is always changing. They just make short-term regulations, between the Federal Communication Commission (FCC) or Congress. These regulations do not need to go through a complicated process. I am learning a lot about these regulations.
Regulations impacting technology are very important in Indonesia. For example, ANTEVE is now streaming through the intent, through various channels. So, if, say, one of our affiliates like Vivanews streams our content and it’s problematic, then we will face charges on multiple levels, as a broadcaster and as internet content provider.
The bonus of being here is that while I am learning about making laws, I am also meeting experts of digital media. I spent three days meeting with digital media professors at the Medill School of Journalism in Chicago, and also at Stanford.


Book on understanding media convergence.


Q: What lessons from the US can apply for Indonesia?
A: I learned, what needs to be regulated and what does not. What needs regulation is infrastructure, but not technology. Infrastructure means the networks, the laying down of cables and fiber optics. Other aspects of the industry do not need laws, but simple business regulations.
We have deadlines in Indonesia about television going digital. Here, there are no laws regarding this. Your company goes digital based on its ability to do so. Here, the market sets the rules, so that if your market demands that you go digital, then you will have to follow these market demands.
Content does not need regulation, unless it involves, say, child pornography. The best supervisor of content remains traditional, and that’s the public, but this system does not need to be formalized. For example, these days we get our criticism through Twitter. Social media is much more effective at prompting us to make corrections than traditional media. If our news items get criticised through Facebook or Twitter, we will investigate the issue and recant the item.
Our Press Council should focus on education, not necessarily whether this media has violated regulations or not. There are no sanctions anyway at the moment, all you have to do if you violate the rules is say sorry. So the sanction of social media is more scary. When we read on Twitter people saying, oh your questions are so stupid, we take this criticism very seriously.
Q: What are the threats to the media in Indonesia?
A: One of the biggest threats is the intimidation and interference a media company can get from its owners, who are increasingly big corporations. Another threat is intimidation from the public, such as protesters coming from your office demanding a retraction. This is already happening in Indonesia. The first threat will happen to Indonesia too.
Indonesia is a country that still likes to make laws. So even though we are in the era of takeovers by big corporations, we can still make laws that will ensure freedom of expression and freedom of creation. We should learn the trends happening in the United States, because whatever happens here, will likely happen in Indonesia five years down the road.
Q: And how have these takeovers impacted American media?
A: The Americans I’ve talked to have said, on principle, they do not like these take-overs. But they also say that they had hoped initially that the take-overs would improve the quality of production. And the technology part of it, for the most part, has gotten better. There is much more capacity for going digital. But the content is not improving. For example, the US was subject to non-stop airing of the royal wedding, and that is strictly a profit-oriented decision. The bosses were hoping for content that is easy to sell, not content that may be more beneficial to the public.
And look at Fox News. They produce mostly talk-shows because talk-shows are cheap! As a result, other networks like CNN follow suit, and what you get are shows with people yelling at each other. It’s not necessarily beneficial to the public.
Q: What about positive examples from the US that Indonesia can emulate?

Mobile phone will become main player of media convergence.


A: Number one, media literacy. People are much more media literate here. And media literacy should be one of the top priorities of the Press Council and the government. Instead of focusing on regulations, the government should focu on media literacy. In the US, media literacy is part of the education curriculum. In Indonesia, it is not. Rather than make threatening regulations, the government should work on educating the public. Media literacy is also the responsibility of the private sector. Companies can incorporate media literacy programs into their Community Service Programs (CSR).
A second lesson we can learn from is the ethical code here. The US media is quite strict in adhering to their code of ethics. For example, the Bin Laden story. I asked fellow journalists here, if they get a video of Osama Bin Laden, what do they do? Their answer: only the pictures would be aired, not his voice declaring jihad. In Indonesia, that’s the part we would play over and over again! Here in the US, there is still consideration towards an item’s impact on the public. There is still discussion in the newsroom about why we should broadcast a news item, and what benefit would it serve the public. Journalists and editors here still ask, what is the good in this? In Indonesia, we just think about ratings!
It seems that here, this code of ethics is already ingrained. Education likely plays a part. In Indonesia, many of the working journalists are journalists because that’s the only work they got.
Q: So you have learned quite a lot during your time here.
A: Well, I learned while I am here that I still have a lot to learn. Engagement with the audience is something I still have a lot to learn. American media takes this engagement very seriously, they do a lot of research on what it is audiences want to see and hear about. Meanwhile, in Indonesia, ratings for TV news are all falling.
Q: Why are ratings declining?
A: Because we think that what the audience wants to see is violence. We think that they want to watch people fighting. But we learned from the Japanese coverage of the tsunami, that Japanese television showed not one single body. In Indonesia, we even provoke the victims, and ask them, please cry. We exploit pain and suffering. Here, they may also exploit suffering but they will also show the optimism in a situation. They will show that although there is a disaster, not everyone is suffering.
In Indonesia, I am one of the people guilty of exploitation. If there is a disaster, we exploit it. If there is conflict, we push them to have more conflict. And if there is any happy news, like the one of that Indonesian soldier who became famous dancing on youtube, we exploit it endlessly too and air it constantly as if there is no other news.

Entertainment program at antv, one of private channel in Indonesia.

Indonesians often wonder, why is Indonesia always depicted as an unstable place, prone to bombs going off? Because that is what we like to exploit: the bomb attacks, the political demonstrations and protests. As a result, the outside world also thinks, these are the biggest concerns in Indonesia. When in fact, it is not necessarily true.

Monday, May 16, 2011

Mimpi di Sebuah Halaman Facebook


Hosni Mobarak dalam karikatur. Foto dari www.muzic-world.com


Revolusi Mesir berhasil menurunkan rejim otoriter, memakzulkan Presiden yang berkuasa selama 30 tahun. Anak-anak muda penggeraknya mulai kuatir, setelah Revolusi, apa?



DIA mendeskripsikan dirinya sebagai: Constantly changing, Serious Joker, Internet Addict, Human, Egyptian who loves challenging status quo.

Dia adalah Wael Ghonim, kita bisa menemukan deskripsi ini di akun Twitter-nya, @Ghonim. Pekan lalu anak muda yang menjadi wajah dari revolusi Mesir yang berhasil menurunkan Presiden Hosni Mubarak dari kekuasaan selama 32 tahun itu, berkunjung di Bay Area, sebutan untuk kawasan di Palo Alto, Mountain View sampai Silicon Valley. Di sinilah “rumah” dari perusahaan seperti Twitter, Google, Facebook dan lainnya. Ghonim mendunia namanya bukan karena ia –sampai dua pekan lalu- adalah eksekutif Google.

Dia membawahi operasi perusahaan mesin pencari di Internet ini untuk wilayah Timur Tengah. Ghonim dikenal karena dia membuat akun Facebook yang menjadi pemicu mobilisasi kaum muda Mesir untuk menggerakkan mesin revolusi di Mesir. Revolusi yang dikenal dengan nama Gerakan 25th January itu berhasil melengserkan rejim Hosni Mubarak.

Saya tengah berada di Palo Alto, California, Jumat pagi (21/4) lalu, ketika membaca berita di www.cnn.com soal kunjungan Ghonim ke Bay Area. Ghonim akan berbicara soal Revolusi dan Masa Depan Mesir di Stanford University. Hari itu saya memang berencana ke Stanford, mengikuti sebuah seminar yang diadakan dalam rangka Earth Day.

Diskusi dengan Ghonim berlangsung Jumat malam itu, di Cubberley Auditorium, School of Education, Stanford. Hanya berjarak 300-an meter dari tempat seminar yang saya ikuti dalam rangkaian program Eisenhower Fellowships, Bishop Auditorium Mengenai Eisenhower Fellowships, bisa dibaca di

Saya mengikuti perjalanan Revolusi Mesir setiap hari, setiap jam, lewat Al Jazeera dan CNN selama 18 hari di bulan Januari dan Februari tahun ini. Sebuah Revolusi yang bahkan AS, sekutu kental rejim Hosni Mubarak tak pernah menduga. Sebuah Revolusi 2.0, karena disebarkan lewat media sosial seperti Twitter dan Facebook. Saya mengikuti cerita soal Ghonim.

Dia baru saja dinobatkan menjadi salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di dunia bersama Presiden Barrack Obama, Oprah Winfrey dan Justin Beiber! Kunjungannya ke AS pun, dengan tujuan utama menghadiri Makan Malam yang diadalan Majalah TIME bagi para orang paling berpengaruh itu. Saya memutuskan mencoba mendaftar via online ke panitia, Muslim Student Awareness Network (MSAN) Stanford. Alamat email pendaftaran menunjukkan bahwa Tech Wadi, sebuah perusahaan teknologi di Bay Area menjadi pengundang juga, dan menyeponsori acara ini.

Poster mengenai ceramah Ghonim di Stanford. Foto dari author32.blogspot.com


Saya jelaskan bahwa saya dari Indonesia, ingin hadir. Jawabannya saya dapatkan tiga jam kemudian, sekitar tengah hari, ada satu kursi untuk saya. Alhamdulillah. Melihat Ghonim dari dekat, tentu pengalaman menarik.

Ghonim adalah magnet. Satu jam sebelum acara yang dimulai pada Pukul 8 malam waktu setempat, auditorium sudah penuh, sebagian berdiri di gang di kiri-kanan deretan kursi. Auditorium itu memuat sekitar 450an kursi. Saya termasuk datang paling duluan, karena seminar yang saya ikuti berakhir Pukul 6 sore. Tiga deretan kursi terdepan diisi oleh warga sekitar California, asal Mesir.

Bapak, Ibu berkerudung, anak-anak mereka, dengan semangat mengisi kursi-kursi terdepan. “Kami bangga pada Ghonim, dan ingin melihatnya langsung, “ kata seorang ibu yang duduk di sebelah saya, di deretan keempat dari depan. Dia datang dengan rombongan keluarga besarnya. 15an orang. Ketika Ghonim memasuki ruangan, semua berdiri memberikan tepuk tangan panjang. Anak muda berambut keriting, berkulit agak gelap, kerap tersenyum ini nampak agak malu.

“Tolong, kamera video dimatikan. Juga jangan memotret saya. Saya alergi dengan sorot kamera,” pintanya. Agak kecewa juga saya, karena sudah menyiapkan dua kaset untuk merekam pembicaraan malam itu. Apaboleh buat. Tak ada yang mencoba merekamnya dengan kamera video selama acara yang berlangsung dua jam itu, tapi banyak yang tak tahan untuk memotretnya dengan kamera foto. Kapan lagi?

Ketika saya menulis ini, saya mencari tahu berapa usianya. Ghonim baru 30 tahun! Teringat kembali betapa bijaksana dan rendah hatinya dia ketika menjawab sejumlah pertanyaan dari hadirin di Stanford. “Terus-terang saya tidak nyaman kalau disebut sebagai wajah Revolusi Mesir. Saya tak ingin mengambil kredit dari apa yang terjadi. Warga Mesir melakukannya bersama-sama, anak-anak muda yang berani. Saya hanyalah salah satu dari mereka,” kata Ghonim. Dia memakai sweater warna gelap malam itu. “Nggak usah terlalu serius ya, malam ini saya ingin banyak melontarkan lelucon saja,” kata dia. Bisa dibayangkan, pertemuan malam itu adalah pertemuan yang kesekian kalinya sejak Revolusi Mesir.

Ghonim sibuk meladeni undangan berbicara. Pastilah pertanyaan yang harus dia jawab agak mirip dari satu acara ke acara lainnya. Ghonim memang lucu. Seperti bio Twitter-nya. Dia banyak melontarkan lelucon, menyerempet soal politik, yang memancing tawa hadirin. Sebagian dalam bahasa Arab. “Bahasa Inggris saya tidak terlalu baik,” katanya. Tentu dia bercanda.

Dia menjadi serius ketika bicara soal kekuatirannya akan masa depan Mesir pasca Revolusi 25 Januari. “Tantangan sebenarnya bukan menyingkirkan rejim otoriter Mubarak. Itu bagian mudah. Tantangan terbesar adalah memastikan bahwa kehidupan rakyat Mesir menjadi lebih baik setelah rejim berganti, dan demokrasi hadir di negeri saya,” kata Ghonim. Dia meminta panitia menampilkan halaman Facebooknya, yang menampilkan tulisannya pada 17 Januari 2011. Dalam bahasa Inggris tertulis judul tulisan itu: My Dream. Tulisan lengkap dalam bahasa Arab.

Ghonim di Tahrir Square. Foto dari Latimes.com

Di situ, beberapa hari sebelum Revolusi 25 Januari dimulai, Ghonim menulis,” Saya ingin bisa bersuara di negeri saya, saya berharap korupsi bisa diberantas di negeri saya, saya ingin para guru memastikan murid-muridnya mencintai belajar.” “Kita punya mimpi,” lanjut Ghonim. “Hosni Mubarak adalah mimpi buruk bagi kita, dan kita berhasil menyingkirkan mimpi buruk itu, tapi kita masih perlu menggapai mimpi kita,” ujar Ghonim. Dia nampak serius. Dan seluruh ruangan terdiam.

Ghonim tak menyembunyikan kekuatirannya. Revolusi Mesir sejauh ini baru berhasil menurunkan rejim, menurunkan Presiden Hosni Mubarak yang berkuasa sejak tahun 1981. Tapi setelah euforia gerakan rakyat di lapangan Tahrir, di Alexandria, kini rakyat Mesir mulai resah. Banyak yang kehilangan pekerjaan. Setelah lelah mendukung anak-anak muda menurunkan rejim, selanjutnya apa? “Saya mulai dapat pertanyaan yang bernada menyalahkan, mengapa kami melakukan revolusi? Apa setelah revolusi? Apakah menurunkan Mubarak membuat hidup saya lebih baik?” kata Ghonim.

Jika penggantian rejim dan hadirnya demokrasi tak membawa kebaikan dan manfaat kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Mesir, Ghonim kuatir hal ini akan memberikan sinyal buruk bagi upaya meniupkan angin demokrasi dan mengakhiri rejim otoritarian di negara lain. “Revolusi Mesir sebenarnya diinspirasi oleh rakyat Tunisia. Kami cemburu pada mereka,” kata Ghonim.

Ghonim di twitter. Foto: news.softpedia.com



Efek dominonya jelas. Setelah Tunisia dan Mesir, Yaman, Bahrain, Libya dan Suriah bergolak. Dua yang terakhir bahkan mengalami pergolakan berdarah yang memprihatinkan dunia. “Kalau kita gagal meyakinkan rakyat Mesir, maka para diktator akan berkata: Lihat yang terjadi di Mesir,” kata Ghonim.

Bagaimana membantu rakyat Mesir? “Terus-terang saya tidak tahu jawabnya. Anda yang peduli Mesir saya harapkan membantu. Ghonim lantas mempersilahkan Dr Ossama Hassanein, pimpinan Tech Wadi untuk menyampaikan sejumlah usulan. Tech Wadi adalah sebuah perusahaan di Silicon Valley yang melakukan upaya melatih kewirausahaan di Timur Tengah dan Afrika Utara. Ada sejumlah program yang bisa ditawarkan untuk membantu rakyat Mesir, dari mendorong usaha kecil, membantu pendidikan, sampai kesehatan.

Beberapa orang yang hadir serta-merta menyampaikan niatnya membantu. “Saya bekerja di Intel. Apa yang bisa kami lakukan untuk rakyat Mesir?” kata seorang hadirin. Begitulah suasana malam itu, keinginan kuat bertanya soal seluk-beluk Revolusi Mesir yang dibawa oleh semua yang hadir di sana, seketika luntur, karena ada hal yang lebih penting untuk dilakukan dan dipikirkan, ketimbang mendengar langsung dari mulut Ghonim, mengapa dia melakukan Revolusi Mesir? “Saya sudah menjawab itu berkali-kali,” ujarnya sambil tersenyum.


Uni Lubis di salah satu kegiatan Eisenhower Fellowship.


Malam itu saya merasa berada di tengah kepungan orang-orang Mesir di AS, yang mendadak disadarkan untuk segera melakukan aksi nyata membantu rakyat Mesir. “Ayo kita buat gerakan membangun desa di Mesir. Anda juga bisa menyeponsori pendirian sebuah usaha kecil, atau membiayai pelajar Mesir mendapatkan pendidikan lebih baik,” kata Ghonim. Dia menggaris bawahi perlunya berkunjung ke Mesir untuk membuktikan bahwa Mesir adalah negara yang aman. Bangkirnya pariwisata akan mendatangkan pekerjaan bagi rakyat Mesir dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Tak kurang dari 20 pertanyaan dia jawab malam itu. Sekitar 20an orang yang sudah mengantre berdiri di belakang mikrofon terpaksa tak mendapat kesempatan. Ghonim menjawab pertanyaan soal apakah benar ia sempat dilarang berbicara di Lapangan Tahrir, soal penahanannya selama dua pekan, soal seorang blogger yang masih ditahan militer Mesir, soal minoritas Koptik, kekuatiran Persaudaraan Muslim akan membawa bibit fundamentalisme jika terlibat dalam pemerintahan baru pasca Pemilu, dan banyak lagi.

Seorang hadirin yang mengaku warga Libya meminta pendapat Ghonim, apa yang harus dilakukan rakyat Libya? Ghonim terdiam. “Maaf, tak semua pertanyaan saya punya jawabannya,“ kata dia.

Dia punya kharisma. Agak idealis. Sosok yang selalu gelisah. Malam itu Ghonim tampil sebagai “leader’. Pemimpin yang menginspirasi. Tak berhenti di situ, ia juga mengumumkan bakal berhenti sementara dari Google untuk membangun sebuah lembaga swadaya masyarakat, yang bisa mewujudkan impiannya memberi kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Mesir. “Saya ingin membagi pengalaman dalam menggunakan teknologi,” kata Ghonim. Hadirin bertepuk-tangan. Menurutnya, membantu rakyat Mesir bisa dilakukan oleh siapapun yang peduli, meski tidak punya kelebihan yang. Berbagi pengalaman pun bakal membantu.

Ketika acara berakhir, semua berdesakan ingin menyalami, berfoto bersama. Saya ikut berdesakan, bukan untuk berfoto, tapi menyerahkan sebuah dvd soal Internet Sehat yang dititipkan Dr Onno Purbo, dan Donny BU, penggagas Internet Sehat, kepada saya sebelum berangkat ke AS. Malam itu saya kembali ke hotel di Palo Alto naik bis gratis yang meladeni kampus Stanford dan beberapa lokasi di Palo Alto, bersama sejumlah hadirin. Semua kagum. Semua terkesima akan kedewasaan Ghonim, dan betapa rendah hatinya dia.

Ghonim membuat semua berpikir, merenung. Revolusi, menurunkan rejim, bukanlah akhir. Justru perjuangan sebenarnya baru dimulai. Ghonim menghibur kami dengan menebar kekuatiran, optimisme, lelucon. Dia juga mengingatkan pentingnya siap berubah. Kualitas yang penting bagi seorang pemimpin. Dia mengumumkan perubahan itu, dimulai dari dirinya. Kita akan melihat Wael Ghonim yang lain. Di bio akun Facebooknya, dia menulis: Politician. Ups! Semoga ini juga canda.

*Uni Z. Lubis, Pemimpin Redaksi ANTV, sedang di AS, berkunjung ke beberapa kota dalam rangka Eisenhower Fellowships.

Thursday, February 10, 2011

DI BALIK TABIR KONTROVERSI RIM vs TIFATUL SEMBIRING







Niat Pemerintah mengontrol lalu-lintas komunikasi warganya rawan disalahgunakan. Pornografi hanyalah pintu masuknya.

Uni Z. Lubis, Anggota Dewan Pers



“Those who would give up Essential Liberty to purchase a little Temporary Safety deserve neither Liberty nor Safety” (Benjamin Franklin, penulis, penemu, wartawan, diplomat, negarawan AS, 1775)

***


Diskusi Panas di Ranah Kicauan

”Jadi, RIM itu kategorinya apa? Penyelenggara jasa nilai tambah? ISP? Atau penyelenggara jaringan? Pak @tifsembiring? #nanyaserius. Thanks.” Ini kicauan saya di Twitter, 11 Januari 2011, Pukul 13.49 wib.

Hari Selasa siang yang mendung. Pendingin udara di kantor saya, Redaksi ANTV, yang terletak di kawasan Kuningan, Jakarta membuat tubuh menggigil. Padahal di dunia kicauan microblogging Twitter, suhu kembali panas. Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring baru saja memuat 11 poin penguat alasan mengapa kementeriannya anggap layanan RIM patut dihentikan jika tak penuhi peraturan pemerintah.

Di antara kicauan Menteri Tifatul adalah :“Semua operator yang lain sudah menjalankan dan mematuhi UU dan peraturan RI, spt: bayar BHP frekw, pajak, rekrut naker, CSR, bantu korban2..” (lihat boks: Kicauan Sang Menteri). Ini poin keenam dalam 11 poin itu. Garis waktu (timeline) bergetar. Saya tergelitik untuk menanyakan hal di atas karena ingin tahu, bagaimana sebenarnya Pemerintah menempatkan Research In Motion (RIM), perusahaan penyedia layanan BlackBerry itu?

Terasa kuat bahwa Pemerintah, lewat pernyataan Tifatul, ingin mendapatkan pemasukan lebih besar dalam bentuk pajak –pajak dan biaya hak penggunaan (BHP). Perlakuan yang dialami para operator alias penyelenggara jaringan. Kata yang dipilih pun bernuansa vulgar. JATAH. Isu ini nampak lebih ‘nasionalis’ ketimbang isu menyaring konten porno yang sejak awal kental melekat pada kebijakan konten Menteri Tifatul sejak menjabat Menkominfo Oktober 2009.

Tak mau tanggung-tanggung dalam menonjolkan kesan nasionalis itu, Menteri Tifatul juga memuat artikel dari sebuah media online. Artikel itu berjudul “Pilih BlackBerry atau Kedaulatan Negara”. @tifsembiring: Bagusnya rekan2 baca lengkap artikel ini: http://ht.ly/3DD71 baru komentar. ☺"Pilih BlackBerry atau Kedaulatan Negara?"

Pertanyaan saya siang itu tak ditanggapi @tifsembiring. Kritikan terhadapnya kian pedas. Ada yang menjelaskan dengan runut kepada sang menteri bahwa RIM sudah memenuhi sebagian besar dari tuntutan Kemkominfo. @DanielTumiwa menyampaikannya dengan cerdas. Tapi yang menyerempet personal pun ada, bahkan ada usul untuk melaporkannya ke Twitter melalui layanan “Report Spam”. Banyak yang kontra usulan ini. Begitu pula saya.

Tapi di tengah derasnya kecaman terhadap rencana Kemkominfo menghentikan layanan BB itu, saya melihat mulai banyak yang mendukung sikap pemerintah setelah isu “kedaulatan”, layanan konsumen, dan soal pajak diangkat. Menteri Tifatul bahkan memuat sambungan ke artikel di JPNN yang mendukungnya: @tifsembiring: Klik yg ini jg http://ht.ly/3DD5v baca dulu pelan2 baru komentar. Biar tidak lebay. ☺ "YLKI Dukung Rencana Pemerintah Blokir Blackberry".

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mendukung perlunya RIM membangun pusat data (data center/server) di Indonesia untuk menjamin layanan bagi pengguna BB yang menurut data ahli Teknologi Informasi yang dikutip Menteri Tifatul sudah mencapai tiga juta pengguna. Satu juta di antaranya memakai pesawat BB yang diperoleh di pasar gelap.

Suara dukungan juga muncul dari kalangan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Lewat sebuah artikel yang dimuat di Bisnis Indonesia versi online, Ketua Bidang Regulasi APJIII Yadi Heryadi menyatakan RIM seharusnya berlisensi ISP (Internet Service Provider), dan karenanya harus memenuhi regulasi di Indonesia termasuk membayar pajak, menyerap tenaga kerja lokal dan lainnya. Sambungan atas artikel itu dimuat penggiat media sosial Nukman Luthfie, Selasa (12/1). Kata @nukman: Jika ini tuntutan yg dimaksud @tifsembiring http://bit.ly/gXbx0a jelas logis! #rim.
Sampai di sini saya bingung. Boleh jadi perasaan yang sama dialami sebagian yang mengamati komunikasi publik yang tengah dilakukan Menteri Tifatul atas rencananya terhadap RIM/BB. Jadi, RIM ini operator? ISP? Penyelenggara Jasa Nilai Tambah?

Jumat siang, 14 Januari, saya mengirim pesan singkat ke Menteri Tifatul, meminta konfirmasi atas beberapa pertanyaan yang ada di kepala saya, pula informasi yang saya kumpulkan dari berbagai pihak. Kalangan pelaku usaha ada yang menggolongkan RIM sebagai penyedia konten, bahkan aplikasi konten. Kalau ini benar, maka kepada RIM tak patut dikenakan BHP, juga pajak atas penggunaan jaringan. “Kan sudah dibayar operator. Kalau penyedia konten bayar juga terjadi pengenaan pajak ganda,” ujar sumber di asosiasi penyedia konten, Mobile dan Online (IMOCA).

Sumber di asosiasi bahkan menyebutkan, RIM sudah pernah dapat lampu hijau untuk menyelenggarakan layanan BB bagi korporasi dan lembaga secara internal. Tapi tidak dalam payung UU Telekomunikasi No 36/1999, apalagi dibawah koordinasi Kemkominfo. RIM jelas sudah memberikan kontribusi pajak baik lewat penjualan perangkat BB maupun tidak langsung melalui kerjasama bisnisnya dengan penyelenggara jaringan.

Tak sampai lima menit kemudian Menteri Tifatul yang tengah berada di Kuala Lumpur untuk menghadiri sebuah seminar membalas pesan singkat saya dengan menelpon. Pertanyaan saya soal pajak dan kecenderungan pengenaan pajak berganda juga soal BHP untuk RIM dijawab, “Siapa yang mau menarik pajaknya RIM? Saya kan tidak pernah bilang demikian.”

Saya ingatkan kepada Menteri Tifatul soal poin dalam kicauan dia via Twitter yang mengatakan RIM selama ini sudah mengeruk banyak dari konsumen Indonesia namun tidak membayar BHP frekuensi, pajak dan lainnya. Kata Tifatul, “Angka-angka itu saya sampaikan sebagai gambaran berapa banyak yang sudah dikantongi RIM dari Indonesia. Tapi tujuan utama saya bukan itu. Tujuan saya adalah, RIM memasang filter pornografi dan menempatkan server di Indonesia. Supaya kita bisa akses data.”

Diskusi selanjutnya lewat telpon adalah soal pemasukan. Juga soal tekanan atas RIM justru muncul atas keinginan pihak operator yang kesal karena RIM tak mau menanggung biaya yang muncul dari berbisnis dengan RIM. Dalam wawancara di media online detik.com, pakar telematika Didin Pataka yang sehaluan dengan Kemkominfo dalam soal RIM menyatakan 6 (enam) operator yang sudah menjalin kerjasama dengan RIM, yakni Indosat, Telkomsel, Axis, XL, Smart dan 3 menyatakan keberatan dengan perjanjian kerjasama dengan RIM yang mereka nilai sepihak.

Operator merasa sudah menanggung banyak biaya dari pajak, layanan pelanggan, promosi, kanal distribusi. RIM dianggap tidak punya kontribusi apapun. RIM mengaku punya anggaran pemasaran tapi untuk global. “Itu sama saja dengan RIM mempromosikan diri sendiri, tidak mempromosikan operator.” Didin rmenambahkan beberapa operator mengaku memiliki hitungan-hitungannya sendiri dan bahkan mereka mengaku mensubsidi pelayanan itu (BB).

Operator perlu dibantu promosi BB? Rasanya produk ini sudah sangat dikenal. Tidak tanggung-tanggung yang menjadi “duta” tak resmi BB adalah Presiden Barrack Obama. Sepanjang kampanye pemilihan Presiden AS tahun 2008, Obama selalu terlihat menggunakan BB. Bahkan setelah berkantor di Gedung Putih pun Obama bersikukuh gunakan BB. Dinas keamanan AS mengingatkan Obama akan risiko bocornya percakapan via telpon seluler termasuk BB. Tapi Obama tetap gunakan alat ini dengan alasan ingin berkomunikasi langsung dengan kawan-kawan seperjuangan dan keluarga.

Obama menjadi Presiden AS pertama yang menggunakan alat komunikasi personal. Pakar pemasaran dunia menaksir “nilai” promosi atas BB oleh sosok paling popular sejagat, sekaligus bos negeri adi kuasa itu senilai US $ 25-US$ 50 juta dolar! Priceless! Kalau operator perlu promosi, tentu saja karena manajemen dan efisiensi usaha masing-masing berbeda.

Soal tarif layanan BB menurut Tifatul data yang ia sodorkan berasal dari ATSI, Asosiasi Telepon Seluler Indonesia. RIM mendapat US$ 7 dolar per pelanggan per bulan, sehingga mengeruk tak kurang dari Rp 189 milyar/bulan dari Indonesia. Data yang saya peroleh dari operator, RIM menarik sekitar US$ 3,5 dolar sampai US$7 dolar bergantung jenis layanan, apakah full, atau sebagian.

Tarif juga ditentukan oleh banyaknya koneksi dari masing-masing operator. Makin banyak, harganya dikenakan lebih murah. Di atas harga koneksi layanan dari RIM, operator mengenakan tambahan biaya dalam penentuan harga ke konsumen. Termasuk biaya data, koneksi, jaringan dan lain-lain. “Layanan BB itu bawa pelanggan dan pemasukan tak sedikit buat operator,” kata pengurus ATSI. Tak heran jika operator lain di luar 6 yang pertama mengincar kerjasama dg RIM.

Benarkah tekanan kepada RIM atas masukan operator? Ini jawaban salah satu operator. “Pemerintah menanyakan pendapat operator dan operator telah menyatakan pendapatnya. Jika BB menempatkan data center di Indonesia seharusnya akan lebih efisien karena biaya sewa bandwith diharapkan turun,” kata Febriati Nadira, Kepala Komunikasi PT XL Axiata Tbk, kepada Kompas (Selasa, 11/1/2011). Sementara soal fulus ada informasi dari Telkomsel.

GM Corporate Communicationnya, Ricardo Indra, mengatakan, sulit bersikap dengan ultimatum pemerintah terhadap BB, apalagi masih jadi pembicaraan kedua belah pihak. Pihaknya menunggu sampai ada keputusan tetap. “Sejauh ini nikmati saja berbagai layanan yang sudah disiapkan Telkomsel, Dan kami tetap berupaya memberikan kepuasan bagi pelanggan,” katanya.

Sampai akhir 2010 Telkomsel punya 960 ribu pelanggan BB. Target tahun 2011 bertambah 1 juta pelanggan sehingga akhir tahun mencapai 2 jutaan. Dengan jumlah 960 ribu pelanggan per bulan Telkomsel bukukan sekitar Rp 86,4 milyar. Nampak bahwa bisnis dengan RIM adalah bisnis dengan prospek cerah dan menguntungkan. Kalau tidak, buat apa ekspansi pelanggan? Data Juni 2010, ada 100 juta pengguna BB di seluruh dunia, dan jumlahnya terus bertambah meski BB mendapatkan pesaing seperti Andrioid dan Iphone.


Antara Pajak, Keamanan, Porno, Porno dan Porno

Diskusi soal BB di media sosial sudah panas sejak Sabtu, 8 Januari 2011, saat Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menanggapi protes pengguna BlackBerry (BB) atas rencana kementeriannya menghentikan layanan BB. Alasannya, RIM ingkar janji dalam beberapa hal, termasuk janji untuk memasang penyaring konten pornografi yang pernah disampaikan RIM tahun lalu. Lewat situs kantor berita Antara, Jumat, 7 Januari 2011, Menkominfo mengatakan, ”Dalam beberapa pekan ini RIM sudah harus menutup situs konten pornografinya atau tidak kami akan tutup.” Gempar.

Ini bukan kali pertama Menteri Tifatul mengancam RIM. Agustus tahun lalu, Kemkominfo menyurati RIM agar segera memasang pusat data di Indonesia. Alasannya kalau pusat data di Kanada, dan RIM cuma menumpang infrastruktur jaringan yang dibangun operator, itu tidak adil dan mengancam posisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Setiap tahun, kata Tifatul, para operator telekomunikasi membayar biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi senilai Rp 10,5 Trilyun.

RIM juga wajib memasang penyaring konten porno, sesuai UU 11/2008 tentang Informatika dan Transaksi Elektronik. Pasal 17 dari UU ini mewajibkan Pemerintah mencegah penyebaran produk mengandung pornografi lewat berbagai medium. Seperti ramai didiskusikan oleh publik, UU ini dianggap tak bisa dijalankan tanpa adanya peraturan pelaksanaan. Sesuatu yang belum diterbitkan oleh Kemkominfo. Setidaknya publik belum tahu apakah aturan pelaksanaan itu sudah ada sampai kini (Baca: artikel di majalah ini, edisi Oktober 2010: Blokir Internet, How Far Can You Go?).

Saat menyampaikan hal ini Menteri Tifatul juga menyampaikan tekadnya memblokir konten porno dengan mewajibkan ISP dan Operator memasang penyaring. “Selama Ramadhan, target kami 90% dari 4 juta situs porno akan kami blok,” katanya. Di konperensi pers itulah, seorang wartawan yang sering meliput soal Teknologi Informasi menunjukkan kepada sang menteri, bahwa layanan BB bisa digunakan akses konten porno. Sumber di kalangan Kemkominfo mengatakan, di depan sang menteri dia mengakses situs www.17th.us yang isinya konten cabul. Menteri Tifatul kian semangat mengejar RIM.

Desember 2010, Menkominfo meminta agar RIM segera membangun server BB di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pihak berwenang melakukan penyadapan pada transaksi data BB. Selain itu Menkominfo juga meminta BB memerlakukan sensor internet pada konten pornografi. ”jadi kalau aparat berwajib punya suspect (tersangka), bisa di-tapping pada akses BBnya,” kata Menkominfo. Masuk lagi satu isu baru: penyadapan komunikasi via BB. Yang diincar, selain layanan surat elektronik via BB, juga layanan BlackBerry Messenger (BBM) yang dikenal anti sadap dan aman.

Lalu, datanglah batas akhir 17 Januari 2011 itu.

Kali ini RIM menangkap nuansa serius. Terutama soal tuntutan memasang penyaring konten porno. Ada dasar hukumnya, yakni UU No 11/2008, meski lagi-lagi belum ada peraturan pelaksanaannya. Soal menyediakan pusat data lokal? Tak ada dasar hukum yang memaksa. Baik kalangan industri maupun regulator yang saya kontak mengakui, tak ada UU yang bisa memaksa RIM melakukan hal itu. Kecuali kalau mau menerbitkan peraturan setingkat menteri seperti Permenkominfo yang ditolak asosiasi penyedia konten itu.

Inilah tanggapan RIM,yang tengah mengadakan forum Development Conference Asia, di Bali. Untuk pertama kalinya acara digelar di luar negerinya, dan bertempat di Indonesia. Soal prioritas Kemkominfo mengimplementasikan solusi penyaringan konten internet di Indonesia, RIM menegaskan sependapat dengan Menteri Tifatul Sembiring dalam hal ini dan berkomitmen penuh untuk bekerjasama dengan operator di Indonesia untuk menyediakan solusi penyaringan konten bagi pelanggan BlackBerry di Indonesia sesegera mungkin.

RIM telah bekerjasama dengan mitra operator dan pemerintah dalam hal ini dan terus menjadikan penerapan solusi teknis yang memuaskan bagi mitranya sebagai prioritas utama sesegera mungkin.” “Kalau memang hukum di Indonesia mengatur demikian, kami ikuti. Tetap pendekatan yang kami gunakan adalah bagaimana struktur legalnya,” ujar Gregory Wade, managing director South East Asia RIM, di sela-sela BlackBerry Developer Conference di Nusa Dua, Bali, 13-14 Januari 2011 (Kompas, 14 Januari 2011).
Layanan BlackBerry memang dirancang untuk pengguna profesional yang membutuhkan tingkat keamanan data yang tinggi. “Ibarat semua rumah, setiap orang punya kuncinya. Kalau hukum membolehkan rumah tersebut dimasuki orang lain, ya akan kami ikuti,” kata Gregory Wade. Untuk sensor pornografi RIM telah memutuskan patuh sesuai aturan di Indonesia, namun soal data center masih menunggu kepastian hukumnya. Nah!


Antara Keamanan dan Hak Privasi

BB Messenger adalah layanan unggulan RIM. Layanan komunikasi ini dikembangkan atas prinsip layanan BES (BlackBerry Enterprises Services) dengan pelanggan korporasi yang kemudian penggunaannya meluas ke publik. Membuka kerahasiaan layanan email BB baik yang berbasis BES maupun BIS (BlackBerry Internet Services) adalah incaran banyak negara yang memiliki masalah dengan soal keamanan nasional. Pemerintah India, misalnya, memaksa RIM membangun pusat data dan membuka akses atas data yang telah disandi atau dienkripsi, setelah terjadinya Mumbai Attacks, tahun 2008. Aksi teror ini menewaskan sedikitnya 170 orang. Pihak Dinas Keamanan dan Intelejen India mendapati bahwa kelompok teroris menggunakan peralatan komunikasi berteknologi tinggi untuk merencanakan serangan.

Sampai pertengahan tahun lalu, RIM dalam posisi tak menentu di India. Dinas keamanan dan intelejen India tak mampu menembus kerahasiaan kode-kode layanan BB. India mengaku sulit untuk menangkal ancaman terorisme dan keamanan nasional. India memang didera ancaman dari kelompok radikal Islam, juga separatis.
Agustus 2010, pemerintah Uni Emirat Arab menyatakan akan menghentikan sebagian dari layanan BB ada solusi pemenuhan aturan di sana. Negeri modern di jazirah Arab itu punya pelanggan BB sekitar setengah juta. RIM mengatakan bahwa enskripsi di layanan BB dimaksudkan untuk menjamin kerahasian dalam sebuah proses negosiasi bisnis, dan hal itu tak bisa ditawar.

Konsumen memilih layanan BB karena kerahasiaan. Mereka juga anggap layanan BB Mesenger antar pengguna lebih murah. Saya merasakannya saat bertugas di luar negeri. Komunikasi dengan kolega di kantor di Jakarta atau teman seperjalanan dengan BBM membuat tagihan di akhir bulan tak mencekik leher. UAE mengancam menutup layanan email, web dan lainnya pada 11 Oktober 2010. Tanggal 8 Oktober 2010 pemerintah di sana mengumumkan layanan BB tetap berjalan norma. Di India, pemerintahnya memberikan batas waktu sampai 20 Januari 2011 untuk RIM membangun server lokal atau buka akses ke server pusatnya di Kanada. Selain India, UAE dan Indonesia, negara lain yang mengancam menutup layanan RIM adalah Saudi Arabia, Cina, Aljasair, Barbados dan Pakistan.

Zack Whittaker, seorang analis di ZDNet, yang meneliti soal media sosial dan kaitannya dalam pemberantasan terorisme menemukan setidaknya dua hal dalam kontroversi BB dan keamanan nasional. Fakta pertama, RIM ingin memastikan privasi penuh bagi pelanggan. Tentu saja RIM tidak berniat produk layanannya digunakan oleh teroris untuk melancarkan aksinya kapan pun, di manapun. Fakta kedua, India ingin mencegah aksi terorisme dan kekerasan senjata namun hadapi kesulitan karena tak sanggup menembus data yang diacak secara canggih. Repot kan?

India menghadapi ancaman terorisme karena unsur-unsur dalam masyarakatnya. Ada elemen radikal di sana. Sama halnya dengan negara berkembang, yang tak hanya hadapi ancaman terorisme, juga ancaman kelompok separatis. Teroris mendapatkan lahan subur untuk beraksi di tempat dia mana masih ada ketimpangan sosial. Ketidakadilan. Seperti di Indonesia. Teroris memanfaatkan perkembangan teknologi komunikasi, sebagaimana masyarakat lain. Mulai dari penggunaan surat elektronik, pesan singkat lewat telpon seluler, sampai layanan BB Messenger.

Dinas Intelijen India perlu mengakses informasi yang diacak untuk mencegah serangan teroris dalam waktu yang tertentu. Ada polanya. Kalau di Indonesia, aparat biasanya bersiaga di saat tertentu, semisal Malam Natal, Malam Tahun Baru, Malam Takbiran Idul Fitri. Belakangan, berdasarkan hasil penyelidikan atas sejumlah pelaku teror yang ditangkap, polisi dan intelejen Indonesia juga bersiaga penuh saat Upacara Kenegaraan 17 Agustus di Istana Merdeka. Saat itu digelar peringatan ulang tahun proklamasi kemerdekaan yang dihadiri Presiden, Wakil Presiden, pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi negara, dan tentu saja anggota kabinet.

Sebenarnya, di berbagai negara maju, misalnya di AS dan Inggris, sudah jamak diketahui bahwa pemerintah melalui aparaturnya memiliki kemampuan mengakses komunikasi antar warganya, melalui berbagai medium komunikasi modern. Perlengkapan canggih dan kehandalan ahli teknologi informasi yang dipunyai pemerintah adalah kuncinya. Whittaker menjelaskan dalam artikel berjudul “Blackberry encryption ‘too secure”: National Security vs consumer privacy?” (ZDNet, Juli 2010), , pesan singkat tidak aman penyadapan. Email yang dikirim via ’exchange dan POP/IMAP bisa ditembus. Percakapan telepon apalagi, mudah disadap dengan alat yang harganya murah dan mudah didapat di pasaran. Email via BB sebenarnya relatif aman, tapi bisa ditembus.

Nah, layanan BB Mesenger paling aman. Tidak bisa ditembus. Begitu amannya sampai pemerintah Cina yang dikenal memasang alat yang bisa menyadap komunikasi informasi dan komunikasi warganya tak bisa menyadap percakapan via BBM. Inilah yang membuat BlackBerry sangat popular di Cina, apalagi dengan tumbuhnya kalangan muda, pula profesional yang rakus dengan gadget terbaru.

Begitupun, pada waktu bersamaan, kepedulian terhadap perlindungan privasi konsumen juga merebak. Demokrasi adalah muasalnya. Fenomena maraknya media sosial yang membuat kian terbukanya data personal ke publik melalui berbagai medium, tak membuat keinginan akan privasi itu menurun. Jejaring sosial semacam Facebook, Twitter pun memasang fasilitas perlindungan privasi bagi penggunanya. Intinya, membuka data personal ke publik adalah pilihan. Bukan paksaan regulator.

Mana yang lebih penting: keamanan nasional atau privasi konsumen? Mengapa?

Diskusi untuk menjawab pertanyaan di atas mengerucut pada pro-kontra. Saya memilih sepakat dengan Whittaker. Ada hal yang sifatnya sementara. Hari ini relevan, besok tidak. Namun ada hal yang selalu relevan sepanjang masa. Hak asasi manusia. Hak untuk hidup. Hak untuk mendapatkan pendidikan. Hak mendapatkan informasi dalam berbagai bentuknya. Kutipan Benjamin Franklin soal pertukaran antara kemerdekaan indiividu dengan kepentingan keamanan adalah hal yang menurut saya akan relevan sepanjang jaman.

Pejabat pemerintah dan politisi yang ingin memata-matai komunikasi warganya dengan alasan pornografi, pemberantasan korupsi, keamanan negara, akan menyesalinya saat mereka tak menjabat lagi. Saat mereka menjadi warga biasa. Sekali saja kita membiarkan hak-hak kita diambil demi alasan apapun, termasuk alasan pornografi dan keamanan nasional, maka sejak itu pula hak privasi kita sebagai warganegara hilang dengan sendirinya. Pertarungan sebenarnya bukan antara pemerintah dengan teroris, melainkan antara warga dengan pemerintahnya dalam hal membatasi kekuasaan pemerintah dan menjaga kemerdekaan dan hak asasi warga negara.

Negara maju seperti AS dan Inggris dapat mengakses layanan BB, termasuk yang rahasia sekalipun, karena diduga memiliki teknologi canggih yang membuat mereka mampu menembus kode kerahasiaan. Namun, tanpa itupun, mereka bisa menembus kerahasiaan itu. Dalam sebuah artikel di Reuters, 3 Agustus 2010, pejabat keamanan di AS menyatakan bahwa mereka dapat mengakses surat elektronik dan bentuk percakapan lain melalui BlackBerry asalkan mereka memiliki surat perintah dari pengadilan.

RIM memiliki keunikan dan ini membuat posisinya berbeda dengan produsen telpon seluler cerdas lainnya dalam hal akses terhadap komunikasi penggunanya. Produsen lain seperti Apple Inc, Nokia, HTC, Motorola Corp. menyerahkan kerja mengelola data kepada para operator telekomunikasi mitra bisnis mereka. RIM memilih mengelola sendiri lalu-lintas data dan percakapan yang menggunakan alat mereka, yakni BB. Sebagaimana disebut sebelumnya, Ide awal dari BB sendiri memang komunikasi internal dalam sebuah komunitas di perusahaan atau grup yang bersifat aman.

Data percakapan yang dilindungi kode super rahasia oleh RIM, serta lalu-lintasnya disimpan di server yang terletak di kantor pusatnya di Kanada. Pada awalnya, ketika BlackBerry digunakan untuk komunikasi internal di perusahaan, RIM dapat menempatkan server di perusahaan tersebut. Mark Rasch, mantan kepala unit kejahatan komputer di Departemen Kehakiman AS mengatakan, boleh jadi RIM tak mau berikan akses bagi pemerintah Uni Emirat Arab misalnya, ke server induk mereka atas alasan ketidakpercayaan. “Ada kekuatiran pemerintah akan menyalahgunakan data komunikasi warganya untuk kepentingan kekuasaan,” kata Rasch kepada Reuters.


David Yach, kepala teknologi RIM, Agustus tahun lalu mengatakan bahwa RIM tak mungkin berikan akses kepada pemerintah negara konsumen untuk mengakses komunikasi email internal di perusahaan. “Sebaiknya pemerintah minta akses langsung ke perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku,” kata Yach, sebagaimana dikutip Reuters Agustus tahun lalu (RIM CTO: Government rely too much on BlackBerry to ban
it)
Di Indonesia kekuatiran itu bukannya tak ada. Pemerintah dan DPR sedang membahas RUU Kerahasiaan Negara. Pasal yang kontroversial menyangkut definisi Rahasia Negara yang menurut rancangan yang ada ditentukan oleh penguasa, dalam hal ini Presiden. Jika pemerintah punya akses memonitor percakapan pribadi warganya tanpa perintah pengadilan, ada ancaman abuse of power. Padahal ancaman hukumannya dari pidana penjara rata-rata tiga tahun untuk kategori informasi rahasia, sampai 20 tahun untuk sangat rahasia. Dendanya mulai dari Rp 100 juta sampai Rp 5 milyar. Di waktu perang ancaman hukumannya bisa seumur hidup atau hukuman mati.


Belum lagi rencana Menkominfo Tifatul Sembiring menerbitkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyadapan/Intersepsi yang menuai kontroversi tahun 2009. Tifatul merujuk ke beberapa negara lain yang menempatkan aturan penyadapan di bawah kementrian Information, Communication and Technology (ICT). Draf Tifatul ditolak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang menurut UU KPK memiliki kewenangan menyadap dalam perkara korupsi.

Tifatul beralasan PP Penyadapan bertujuan memberikan payung hukum yang lebih kuat kepada KPK. Namun masyarakat sipil pro pemberantasan korupsi menolak, karena RPP bertendensi mengurangi kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK. “Masak kalau mau menyadap tersangka korupsi harus menunggi birokrasi dan proses di pemerintah?,” kata Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers 2010-2013 saat itu. Agus adalah koordinator masyarakat sipil untuk UU kebebasan Informasi Publik (KPI). RUU Kerahasiaan sendiri potensial bertentangan dengan UU KIP dan UU Pers.

Di India akhirnya RIM bersedia membuat Network Data Analysis System (NDAS) di India sehingga pihak keamanan India bisa mengakses pembicaraan lewat layanan BBM tanpa membangun server lokal. Alasannya, pada BBM lalulintas data hanya diacak dan dikompresi sehingga RIM bisa menghadang dan menyusun kembali data itu. Beda dengan email.

Layanan email yang gunakan BIS (BlackBerry Internet Services) maupun BES (BlackBerry Enterprises Services), lalu lintas email mengalami proses enkripsi. Pada jalur BIS proses enkripsi terjadi saat email dikirim dari perangkata BB ke server RIM. Di server RIM, enkripsi dibuka dan dikirim ke pelanggan tanpa enkrips. Email bisa disadap. Pada BES, enkripsi terjadi di seluruh jalur, RIM tak bisa buka email tersebut. Kalau dipaksa, maka rusaklah konsep layanan BlackBerry itu.

Enkripsi email bukan hanya milik RIM. Email via Google dan Yahoo pun gunakan jalur terenskripsi. Yang berniat jahat bisa gunakan jalur tersebut. Belajar dr India nampaknya Pemerintah akan dapatkan jalur BBM dan BIS. Menteri Tifatul mengatakan kepada saya, “pasang filter porno dulu. Itu harus segera.”. Maka bagi pengguna BB di Indonesia, yang akan ditutup jika RIM tak kunjung penuhi janjinya pasang penyaring porno adalah fasilitas Bb Browsing, atau mengakses data. Andaikata BBM pun diminta aksesnya oleh pemerintah demi alasan keamanan, sebenarnya para pelaku kejahatan yang pandai bisa pindah ke layanan lain .

Orang bisa gunakan folder draft Gmail atau Yahoo yang bisa diakses oleh seluruh pelaku dalam grup. Email tak pernah terkirim, berarti tak bisa dilacak. Atau kirim email via layanan YouSendIt yang juga terekskripsi. (bralinknews.blogspot.com, Pelajaran dari India : RIM vs Kominfo, 11 Januari 2011)

Niat untuk terus menggerogoti kemerdekaan berekspresi di ranah internet tertangkap jelas saat Rapat Kerja Terbatas Dewan Ketahanan Nasional, Maret 2010. Rakertas itu dilakukan tak lama setelah aksi demo menentang pemerintahan Presiden Susillo Bambang Yudhoyono yang dilakukan aktivis dan menggunakan hewan Kerbau yang ditulisi SiBuYa. Di liputan media, SBY nampak masygul. Dalam pembukaan Rakertas dinyatakan bahwa Wantanas diminta mengaji tiga hal.

Pertama, Pemanfaatan Pulau-Pulau Tak Berpenghuni untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dan Menjaga Keutuhan RI. Kedua, Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Berdasarkan Norma Demokrasi. Ketiga, Melindungi Warga Negara dari Dampak Negatif Pemanfaatan Jejaring Sosial Berbasis Teknologi Internet. Saya diundang sebagai anggota Dewan Pers dan bergabung di grup dua, mengaji UU Kemerdekaan Menyatakan Pendapat.

Tak ayal, diskusi sela,a tiga hari di sebuah hotel di kawasan Kota, Jakarta, banyak membahas soal media yang dianggap “kebablasan” dari sudiut pandang penguasa dan kaum konservatif. Kebebasan internet dianggap sebagai ancaman. Apalagi jejaring sosial termasuk Twitter jadi ajang pelampiasan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Sekitar 80-an orang dari berbagai profesi termasuk pimpinan fakultas di beberapa universitas diundang. Juga praktisi dan aktiivis. Saya menangkap nuansa mayoritas peserta merasa kebebasan informasi dan media sudah terlalu jauh.

Kegelisahan penguasa yang nampaknya didukung kaum politisi dan akademisi yang konservatif itu mengkhawatirkan. Ada indikasi untuk menarik mundur kemerdekaan berekspresi, padahal itu dijamin Konstitusi UUD 45 dan UU HAM. Kalangan media tradisional sudah mengalaminya. Wartawan dipenjara. Wartawan tewas dibunuh tanpa keseriusan aparat untuk mengungkap pelakunya. Kekerasan terhadap wartawan. Cepat atau lambat pengalaman yang sama akan dialami penggiat media sosial. Dialami warga. Pintu masukkya adalah mencegah pornografi. Pemanis bisnisnya adalah Kedaulatan Negara dan Keamanan Nasional. Tapi tujuan akhirnya adalah merampas kedaulatan warga atas hak berkomunikasi yang bebas intervensi penguasa.

Dewan Pers dalam pernyataan akhir tahun 2010 mencermati kecenderungan upaya menarik garis mundur kemerdekaan pers, kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan mengakses informasi dari berbagai saluran yang tersedia. Dalam konteks itu Dewan Pers menyatakan belum perlu ada revisi terhadap UU Pers No 40/1999. Revisi akan menjadi pintu masuk pengekangan kemerdekaan pers. Itu cuma awalnya. Sama dengan mencegah pornografi sebagai pintu masuk pengekangan hak privasi warga.

Ada yang mengkritisi kutipan Benjamin Franklin soal menukar keamanan dengan kemerdekaan sebagai hal yang bernuansa romantis masa perang, jaman dulu. Menurut saya tidak. Keamanan adalah sesuatu yang sesaat. Bergantung pada situasi, pada kemauan penguasa. Sekali kita membiarkan kemerdekaan asasi ditukar untuk keamanan yang definisinya ditentukan penguasa, maka selanjutnya kita tak akan pernah merdeka. Maukah kita?###End




-------------------------------
Boks: Kicauan Sang Menteri

Ini kicauan Menteri Tifatul lewat @tifsembiring menanggapi protes soal rencana tutup layanan RIM di Indonesia:

Sabtu, 8 Jan 2011

”Kita bukan sedang bernegosiasi, kalau RIM tdk mematuhi peraturan dan UU RI, enough is enough!!!

”Kita bukan sedang bernegosiasi, kalau RIM tdk mematuhi peraturan dan UU RI, enough is enough!!!”.”

”92% capex telco dikuasai oleh asing, kita sedang nego: buka service center di INA, serap naker INA, gunakan konten local. Ko bela asing??

Kicauan diatas menuai kritikan tajam, ada pula yang mendukung. Tifatul menanggapi kritik tajam di media sosial dan koran serta media online dengan memuat pernyataan berikut, via Twitter:

Minggu, 9 Januari 2011

1.”Kita minta RIM agar hormati & patuhi Peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, terkait dengan UU 36/1999, UU 11/2008 & UU 44/2008””

2.”Kita minta RIM agar buka perwakilan di Indonesia karena pelanggan RIM di Indonesia untuk BlackBerry sdh lbh dari 2 juta.” #RIM

3.”Kita minta RIM agar membuka service center di Indonesia untuk melayani & mudahkan pelanggan mereka yang juga WNI.” #RIM

4.”Kita minta RIM agar merekrut dan menyerap tenaga kerja Indonesia secara layak dan proporsional.” #RIM

5.“Kita minta RIM agar sebanyak mungkin menggunakan konten local Indonesia, khususnya mengenai software.” #RIM

6. “Kita minta RIM agar memasang software blocking thd situs2 porno, sebagaimana operator lain sudah mematuhinya.” #RIM

7. “Kita minta RIM agar bangun server/repeater di Indonesia, agr aparat hokum dpt lakukan penyelidikan thd pelaku kejahatan tmsk koruptor.” #RIM

“Sejauh ini terkesan #RIM mengulur-ulur waktu untuk menjalankan komitmen mereka. Apakah kita sebagai bangsa mau diperlakukan spt itu?.”

“Kalau ada nasionalisme di dada kita % ingin jd bangsa yang berwibawa, pasti sebagian kita akan setuju poin2 yang saya sampaikan tentang #RIM

Selasa, 11 Januari 2011, protes tak kunjung reda dan debat soal RIM vs Kemkominfo jadi kepala berita sejumlah koran. Kontroversi justru munculo karena pantun yang disampaikan Tifatul Senin dini hari (10/1), yang bunyinya:
“Berburu ke padang datar, dapat rusa di belang kaki, agar anak tak kurang ajar, mari berantas si pornografi.”. Dari soal pajak, BHP, nasionalisme, menyadap komunikasi koruptor, eh kembali lagi ke isu pornografi?


Tifatul lagi-lagi menggunakan medium Twitter untuk menyampaikan tanggapannya, dalam 11 poin:


1. Tweeps yg budiman, berikut saya akan jelaskan beberapa hal terkait kontroversi peringatan kpd RIM yang mengoperasikan Black Berry di INA.

2. Data Pakar IT: ada 3 juta pelanggan RIM/BB di Indonesia. 2 jt resmi dan 1 jt black market

3.Dg rata2 menagih $ 7 USD/org/bulan. RIM menangguk pemasukan bersih Rp 189 Milyar/bln atau Rp 2,268 Trilyun/th. Uang rakyat INA utk RIM

4.CATAT: RIM Tanpa bayar pajak sepeserpun kepada RI, tanpa bangun infrastruktur jaringan apapun di RI. Seluruh jaringan adalah milik 6 operator di INA

5.Salahkah kita meminta ”JATAH” buat NKRI spt. Tenaga Kerja, konten lokal, hormati dan patuhi ketentuan Hukum dan UU di RI yang berdaulat ini

6.Semua operator yang lain sudah menjalankan dan mematuhi UU dan peraturan RI, spt: bayar BHP frekw, pajak, rekrut naker, CSR, bantu korban2

7....Merapi, korban Mentawai, korban Wasior, bencana2 lainnya dan blokir pornografi

8.Kelirukah kita jika minta RIM menjalankan UU dan aturan yang sama? Apakah RIM perlu diberi keistimewaan dan perkecualian?

9.Saya sdh baca komentar2, haruskah kita selalu me-nunduk2 kpd asing? Arogankah kalau mengingatkan asing agr hormati hukum dan UU di INA.

10. Ini u/kepentingan yg lebih luas. Diberi sepotong ”kue kecil” lantas mati2an bela asing. Minta hak yg besar u/bangsa yg terhormat ini

11. Mudah2an tweeps budiman maklum adanya.

Sunday, January 02, 2011

Berdoa di Masjid Kowloon Hongkong








PADA 22-28 Desember 2010 ini, kami sekeluarga berwisata ke Hongkong dan Beijing. Peserta wisata ini empat orang: Mommy Uni Lubis, Darrel Cetta, Iwan QH, dan Tante Agustina Lubis. Tante Agustina Lubis ini adiknya Mommy Uni. Ia sengaja mengambil cuti dari tempatnya bekerja di sebuah bank, untuk bisa menemani keponakannya, Darrel Cetta, menikmati pemandangan di Hongkong dan Beijing.
Terima kasih ya tante.

Saya akan memulai serial perjalanan ini dengan acara hari terakhir, yaitu berkunjung ke masjid di Jalan Nathan –bahasa aslinya Nathan Road—di salah satu pusat keramaian di Hongkong. Sejak jauh hari, saya sudah berniat untuk ikut salat subuh di masjid yang dari luar terlihat bersih dan asri itu. Apa daya, dinginnya cuaca minta ampun. Walhasil, saya hanya sempat datang ke masjid untuk salat sunnah tahiyatul masjid dan salat dluha, ketika matahari sudah agak tinggi sehingga tak terlalu dingin.

Masjid di kawasan Kowloon ini terletak di kawasan bisnis. Lokasinya betul-betul strategis. Untuk dijadikan daerah komersial, pastilah laku. Andaikata dijadikan bangunan bertingkat lima, dengan empat lantai di bawahnya menjadi toko, pasti pengelola masjid akan mendapat penerimaan yang cukup besar dari uang sewa.

Persis di samping masjid itu terletak salah satu pintu stasiun Tsim Sha Tsui. Di seberang masjid terdapat toko-toko jam mewah, kosmetik, baju, dsb. Kalau di Yogya, kira-kira masjid ini terletak di Malioboro. Kalau di Jakarta, mirip di Jalan Thamrin. Bedanya, kalau Jalan Thamrin lebih banyak gedung perkantoran, yang ini gedung pertokoan.

Lantai satu masjid itu dipakai untuk jamaah laki-laki. Lantai dua digunakan jamaah perempuan. Ketika saya datang, ada enam orang pria tengah mengaji. Mereka duduk di kursi. Dari wajahnya, plus model bajunya, mereka kemungkinan besar berasal dari India, Bangladesh, dan Pakistan.

Bangunan masjid di Hongkong mempunyai keunggulan dibanding masjid di Indonesia pada umumnya: memenuhi standar HSE—health, safety, environment. HSE ini standar yang kini banyak diterapkan oleh perusahaan perminyakan dan pertambangan, untuk menjaga keselamatan pekerja, kenyamanan bekerja, serta keamanan hasil kerja.

Salah satu indikasi penerapan HSE di masjid di kawasan Kowloon ini adalah rambu-rambu informasi di dalam masjid yang sangat jelas: pintu keluar, pintu naik, tempat wudhu, hidran untuk pemadam kebakaran, kantor imam, tempat rapat, semua diberi tanda yang sangat jelas dan mencolok. Tabung gas pemadam kebakaran, juga dipasang beberapa buah.

Pintu emergensi bila terjadi kebakaran, juga disiapkan, diberi tanda dengan huruf mencolok dan menyala. Pintu juga dibuat lebar-lebar, membuat jamaah gampang meninggalkan masjid bila keadaan darurat.

Saya melihat ini sebagai nilai plus yang pantas kita contoh.


Di Indonesia, kita sering mengalami kesulitan untuk mencari tempat wudhu di sebuah masjid. Kadang-kadang kita harus bertanya lebih dulu: di mana tempat wudhu kepada jamaah yang lebih dulu hadir, karena pengelola masjid tidak memasang petunjuk tempat wudhu. Di berbagai bangunan modern pun kadang kita juga kesulitan mendapatkan petunjuk arah menuju toilet atau pintu keluar.


****
Seusai salat dluha, saya melihat papan pengumuman. Di situ ada laporan keuangan dari pengurus masjid. Alinea pertama pengumuman itu berbunyi: Dengan ini pengurus masjid menyampaikan laporan pengelolaan keuangan dan aset masjid. Laporan disusun berdasar standar akuntansi Hongkong ...dst.

Luar biasa juga, untuk ukuran saya, sebuah masjid membuat laporan keuangan dengan standar akuntansi. Apalagi laporan itu betul-betul dibuat kantor akuntan.

Beda lagi dengan gaya masjid kita: takmir masjid Kowloon ini punya saham yang dimainkan di bursa. Di salah satu asetnya, mereka menulis memiliki saham.

Namanya hidup di daerah bisnis, pengelola masjid pun amat sangat melek bisnis...