Search This Blog

Monday, July 24, 2006

Goonnn! Gooonnn! Aku Kipen!




BEGITU banyak bintang bertaburan dari lapangan rumput. Dari keahlian menggocek bola, ribuan orang telah hidup berkecukupan. Bahkan menurut FIFA, organisasi sepakbola se-jagad, dewasa ini terdapat sekitar 20 juta pemain bola profesional di dunia. Wowww!!!

Ronaldinho, Ronaldo, Cafu, Emeron, dan sebagian besar pemain Brazil lainnya, lahir dari lapangan jalanan. Bahasa kerennya disebut ‘’street football’’. Kekumuhan tempat tinggal membuat mereka sulit menemukan sepetak tanah, sekadar untuk menggulirkan bola ke kiri dan ke kanan. Mungkin karena terbiasa bermain di lahan cekak ini para brazilian itu piawai menggoreng bola dengan seluruh bagian tubuhnya. Kepala, tumit, dada, dan tentu saja kaki, menjadi senjata ampuh untuk merobek gawang.


Pemain Eropa memiliki tipe berbeda. Mereka kebanyakan lahir dari sekolah sepakbola. Robby Fowler, Theo Walcott, David Beckham, Michael Owen—mereka di Inggris, hingga Michael Ballack dan Lukasz Podolski di Jerman, dibesarkan di atas hijaunya rumput, serta latihan yang serba teratur.

Kalau Anda perhatikan, gaya sepakbola klub Eropa amat berbeda dengan Brazil. Hanya Portugal yang mirip: bola dioper pendek-pendek, kebanyakan bola bawah. Keterampilan individu terlihat menonjol. Negeri ini pun dikenal sebagai ‘’Brazil-nya Eropa’’.
*****
Di Perumahan Permata Timur, kami mempunyai jagoan bola sendiri. Namanya: Mohamad Darrel Cetta Askara. Sayang ia belum bisa ikut Piala Dunia 2006 di Jerman, yang baru berakhir awal Juli lalu.

Kalau melihat persiapannya untuk bermain bola, tampaknya ia punya peluang ikut Piala Dunia 2024, atau mungkin sebelumnya. Paling tidak, di rumah, ia memiliki dua bola kaki. Yang satu ada cap-nya ‘’TV-7’’ dan ‘’Liga Inggris’’. Bola itu dibawakan Mommy Uni Lubis dari kantor lamanya, TV 7. Sudah tiga tahun ini TV 7 menjadi penyiar Liga Inggris. Untuk promosinya, TV 7 membagikan banyak bola. Salah satunya mampir ke Permata Timur.

Bola satunya ada cap ‘’FIFA World Cup 2006, Germany’’. Ini oleh-oleh Tante Atik. Sewaktu datang dari Libya, akhir Mei lalu, Tante Atik naik Lufthansa. Tante berhenti di Frankfurt untuk ganti pesawat. Kebetulan, ketika itu Piala Dunia baru saja dimulai. Tante membelikan Darrel bola souvenir Piala Dunia. Harganya cukup mahal, Euro 35, alias lebih dari Rp 300.000, sekitar lima kali bola sepak buatan Indonesia. Trims ya tante.

Dua bola itu menjadi alat bermain yang cukup heboh. Bola von Deutschland kebanyakan dipakai bermain di dalam rumah. Dua kursi plastik ditata, dibuat menjadi gawang. Darrel berdiri di antaranya menjadi kiper. Gol atau tidak urusan belakang. Yang penting ia berdiri di situ, lalu pura-pura jatuh, menangkap bola, dan menendangnya.

Bola TV 7 digunakan di halaman belakang. Darrel lagi-lagi menjadi kiper. Bola belum datang, ia sudah jatuh menangkap bola. Tentu angin yang direngkuh. Maunya mengoper bola mbak Mur, ternyata lemparannya ke arah sebaliknya.

***
Ahad 22 Juli lalu, sore hari, ayah, Darrel, dan mbak Mur, bermain bola di halaman belakang. Tiba-tiba Darrel bilang, ‘’Aku akan pakai sarung tangan. Aku kipen.’’ Ia belum bisa bilang ‘’kiper’’, ‘’gol’’. Huruf ‘’r’’ itu ia ucapkan dengan ‘’n’’. ‘’Ayo mbak Mur.’’

Bola belum dilempar, Darrel sudah jatuh. ‘’Wah.. gon!’’ Ia lalu mengambil bola untuk ditiduri. ‘’Aku mau bobok dengan temanku.’’

Darrel, si jagoan von Permata Timur itu, sekarang usianya 3 tahun 1 bulan. Siapa tahu ia bisa ikut Piala Dunia 2018, atau 2022.

Mencari Kodok di Dalam Gelap


KATAK adalah binatang yang cukup populer di negeri kita. Bukan saja karena suaranya yang ‘’kang-kung-kang-kung’’ di musim hujan amat memekakkan telinga. Namun, entah kenapa katak sering dijadikan bahan cerita yang tak ada habisnya.

Di masa kecil, kita sering mendengar suara lagu yang mungkin masih akrab bagi ingatan Anda. ‘’Lompatlah..lompatlah… KATAK-KATAK lompatlah…’’
Ibu kita, juga guru ngaji kita, berkali-kali mengingatkan agar diri kita senantiasa sadar akan kemampuan diri. Bila tidak, kita akan cilaka. ‘’Tuh, lihat. Kamu jangan sampai seperti katak yang ingin menjadi lembu…’’

Katak jadi lembu? Ini adalah kiasan yang menunjukkan binatang yang tak mau mengakui dirinya sendiri. Perutnya dibesar-besarkan, maksudnya biar melebihi perut sapi. Hasilnya? Perut si kodok pecah. Ia mati.


Majalah Bobo, edisi Ny Widya Suwarna (Bobo No. 51/XXVIII) menulis cerita pendek ihwal anak-anak yang ‘’omong doan’’. Dalam bahasa anak, disebut: jangan seperti katak, yang bunyi terus… Mungkin, ini mirip : jangan seperti tong kosong yang nyanyinya nyaring…
***
Namun, tak selamanya kodok bermakna negatif. Bekas presiden kita, Pak BJ Habibie, amat membanggakan yang namanya ‘’frog leap’’, alias lompatan katak. Peramsalan ini ia gunakan untuk menjawab kritik mengapa Indonesia harus memiliki industri pesawat terbang, padahal peniti saja masih harus mengimpor.

Jawaban Pak Habibie sederhana, dan cespleng. Katanya, untuk membuat pesawat kita tidak harus mengurut dari belajar membikin peniti, sekrup, lalu kaca, dan mesin. Dengan membuat pesawat, maka kita sekaligus melompat jauh, sehingga urusan sekrup, kaca, sayap, hingga perkabelan dan permesinan beres semua.

***
Kalau saya bercerita banyak soal kodok, bukan karena saya ingin menyaingi Pak Habibie, atau bahkan seperti lembu. Saya cuma mau cerita, di halaman belakang saya terdapat binatang yang amat populer itu.

Binatang yang abadi adalah kodok induk yang senantiasa menggendong si anak. Hujan, panas, terik, maupun berkabut, ia selalu nongkrong di atas rumput. Tak pernah berganti posisinya.

Kodok induk dan anaknya itu memang patung. Mommy membelinya di Kasongan.

Lainnya adalah kodok yang betul-betul katak.


Alkisah, di Jumat malam pekan lalu (19 Juli 2006), ayah dan Darrel menyusuri gelapnya malam di halaman belakang. Wah, memang pekat betul gelapnya. Darrel membawa lampu senter. Berkali-kali ia berteriak, ‘’Ayah, kita mencari kodok di dalam gelap ya?’’

‘’Mencari kodok di dalam gelap’’ adalah istilah yang mirip dengan film yang sering ditonton Darrel: ada bayangan di tengah malam gelap. Kalau tak salah, tokoh dalam film itu adalah Tweeny. Darrel punya banyak VCD serial Tweeny. Ada yang ''Ayo Bermain'', ''Permainan di Dalam Gelap'', dst. Nah, yang terakhir itulah yang sering membuatnya mengucapkan ''berjalan di dalam gelap''.

Di film itu dikisahkan tentang seorang anak yang takut terhadap gelap. Ia tidur dengan lampu mati. Tiba-tiba, ia melihat bayang-bayang mirip kepala orang. Ia menangis. Lalu lapor pada hantu yang baik hati, yang selalu menemaninya. Oleh si hantu diberi penjelasan: tidak usah takut, karena yang mirp kepala itu sebetulnya cuma bayang-bayang kipas.

Film itu sebetulnya punya niat baik. Tapi, gantian kini ayah dan mommy menghadapi masalah lain lagi: Darrel takut pada hantu. Walah...
***

Jumat malam itu, ayah dan Darrel menemukan seekor capung. Juga lima ekor kodok. Si capung rupanya tersesat. Harusnya ia hinggap di pohon, tapi ia keliru mendarat di pot. Capung itu kemudian diangkat, lalu diletakkan di pohon.


Sehari kemudian, Sabtu malam, perburuan terhadap kodok dilakukan lagi. Kali ini aktornya bertiga: ayah, mommy, dan Darrel. Eh, ada juga mbak Minah. Mommy waktu itu libur. Jadi bisa berburu bersama.

Hari itu, Darrel berhasil menemukan dua ekor kodok. Warnanya agak kuning. Di atas lantai, Darrel mendapatkan lintah. Ini lintah darat beneran, yang kalau hinggap di kulit bisa menghisap darah sampai tangan berdarah-darah.

Lintah itu kemudian diangkat mbak Minah dengan kertas koran, lalu dibuang ke kotak sampah.
''Apa itu mbak?'' tanya Darrel.
''Ini lintah.''
Malam ini tak hanya kodok yang didapat. Tapi juga lintah.
Ada tidak ya, cerita ''lintah hendak jadi sapi?''

Monday, July 17, 2006

Rapat DPR-Dewan Pers Ricuh

MENJADI moderator bukan suatu profesi bagi Mommy Uni Lubis. Tapi karena ia sudah terlanjur sering nongol di televisi, wajahnya dikenal, ia sering diminta tampil.
Kesibukan mommy memang lumayan banyak. Ia jadi anggota Dewan Pers. Juga Ketua Harian Asosiasi Televisi Siaran Indonesia. Di dua posisi inilah ia sering nongol. Sebagai Dewan Pers, misalnya, ia harus banyak jalan, berceramah untuk sosialisasi kode etik wartawan indonesia yang baru. Sudah tahu kan kode etik yang baru? Kalau belum, akan saya posting di blog ini.
Sebagai anggota Dewan Pers pula, mommy juga harus datang bila dipanggil untuk dengar pendapat dengan DPR. Ada kalanya, dengar pendapat itu berlangsung hangat.
Koran Tempo edisi 20 Juli lalu menulis berita heboh: ''Rapat DPR-Dewan Pers Ricuh''.
Saya muatkan di sini berita di Koran Tempo itu. Sayang, saya tidak memotret acara penting itu.




Jakarta- Rapat dengar pendapat umum Komisi Pertahanan DPR dengan Dewan Pers kemarin ricuh. Dua anggota Komisi Pertahanan, AS Hikam dan Effendy Choirie merasa direndahkan oleh Uni Lubis dari Dewan Pers.

‘’Semua orang bisa menjadi wartawan sama seperti semua orang bisa menjadi anggota DPRD pasca reformasi,’’ kata Uni dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi Pertahanan Theo L Sambuaga di Gedung DPR/MPR, Jakarta itu. ‘’Ada mantan tukang becak menjadi anggota DPRD di Jawa Barat.’’

Hikam dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengajukan interupsi. Menurut dia, profesionalisme DPR tak bisa disamakan dengan wartawan. Uni diminta tak merendahkan tukang becak.

Awalnya Uni menggambarkan konsekuensi reformasi pada pers. Berbeda dengan dulu, menurut dia, kini wartawan boleh berlatar belakang pendidikan apa pun asalkan memenuhi syarat. Ia menyamakan kondisi itu dengan kriteria anggota Dewan.

Menurut Effendy Choirie, juga dari Partai Kebangkitan Bangsa, analogi yang disampaikan Uni tidak tepat. ‘’Coba cari contoh lain,’’ tuturnya. Uni menyangkal pernyataan Hikam dan Uni pun adu mulut dengan nada tinggi tapi dilerai Theo.

Di penghujung rapat, situasi panas lagi. Gantian Effendy cekcok dengan Uni.
AQUA SWAMURTI.
Koran Tempo 20 Juli 2006
***
Pagi-pagi, Kamis 20 Juli, sewaktu membaca koran itu, saya bilang ke mommy. ''Nih, berita soal dikau.''
''Iya. Biarkan saja. Memang faktanya begitu kok.''