Search This Blog

Sunday, April 27, 2008

Pilkada Gubernur, Apa Perlu?

IKUT Pemilihan Kepala Daerah –sekarang biasa disingkat pilkada—ternyata tidak mudah. Dibutuhkan keseriusan, kesediaan, dan yang tak kalah penting, informasi cukup mengenai siapa calon yang akan kita pilih. Repotnya lagi, semakin banyak informasi yang kita dapat, kita malah makin kesulitan menentukan gambar mana mau kita coblos.

Situasi itu yang kami hadapi ketika mendapat undangan pilkada gubernur Jawa Barat, 13 April lalu. Sebagai warga Jawa Barat –rumah kami sekitar 100 meter dari tugu perbatasan Jakarta Timur dan Bekasi—kami mendapat ‘’Surat Pemberitahuan Waktu dan Tempat Pemungutan Suara’’.

Lokasinya di lapangan sepakbola Permata Timur 2. Jamnya 07.00-13.00. Tempat kami mencoblos di TPS 19 Kelurahan Jaticempaka, Kecamatan Pondokgede.

Begitu mendapat undangan itu, mommy bilang, ‘’Hebat juga, kali ini nama kita kedaftar.’’

Dalam pilkada dua bulan sebelumnya, untuk menentukan walikota Bekasi, kami memang tidak daftar undangan mencoblos. Heran juga, padahal yang dijadikan acuan untuk membuat daftar adalah pemilu 2004. Waktu itu kami ikut pemilu baik legislatif maupun untuk memilih presiden. Tapi kami waktu itu tidak mempersoalkan kenapa tidak kedaftar.

****

Pilkada Jawa Barat melibatkan tiga pasang calon: Danny Setiawan – Iwan Sulanjana (DaI –gubernur dan bekas Pangdam Siliwangi); Agum Gumelar-Ahmad Nukman (Aman –bekas menteri dan wakil gubernur), serta Ahmad Heryawan – Dede Yusuf (Hade –wakil ketua DPRD Jakarta dan artis plus anggota DPR).

Pilkada itu sebagaima kita ketahui dmienangkan pasangan Ahmad-Dede. Ketika tulisan ini dibuat, mereka tinggal menunggu pelantikan. Nomor dua adalah Aman, dan di paling buncit adalah DaI.

Kemenangan Hade sungguh di luar dugaan. Semua polling yang dilakukan seminggu sebelum pilkada menempatkan Agum sebagai kandidat kuat pemenang. Hade di paling buncit. Hanya dalam seminggu, ramalan itu dibantah habas.

Saya memaklumi komentar Pak Agum. ‘’Kredibilitas lembaga polling dipertanyakan,’’ katanya. Lembaga polling ini ada yang bekerja karena diupah calon tertentu. Apapun hasil pollingnya, mereka tetap dibayar. Menjadi pertanyaan juga, sejauh mana kredibilitas ilmu statistik yang mereka jabarkan dengan teori yang rumit-rumit itu.

Pak Agum pasti amat kecewa, karena ia banyak diunggulkan. Eh, ternyata meleset. Pasti ada penjelasan dari kacaunya hasil polling ini. Apakah metode sampling yang mereka gunakan salah, atau ada perubahan situasi yang membuat hasil pilkada amat di luar dugaan. Tapi saya belum membaca penjelasan para pengelola polling.

*****

Siapa yang kami pilih?

Jujur, saya dan mommy Uni Lubis betul-betul kesulitan. Kami mendapat kesulitan yang sama dalam menentukan pilihan.

Pasangan Pak Danny dan Pak Iwan kami akui keduanya orang baik. Pak Danny orang yang merintis karir dari bawah, hingga akhirnya menjadi Sekretaris Daerah Provinsi, sebelum akhirnya menjadi gubernur. Ia bukan tipe orang yang neko-neko. Pak Iwan Sulanjana, sebagai bekas Panglima Kodam, pasti orang yang logika berpikirnya mudah dipahami.

Cara berpikir dengan logis ini menurut saya cukup penting. Seorang pemimpin harus bisa menjelaskan suatu kebijakan lengkap dengan argumentasinya. Jangan zigzag, atau gampang mengobral ucapan.

Nah, ketika Indonesia dipimpin Gus Dur –mohon maaf dengan para pendukung beliau—saya merasa sulit memahami tindakan-tindakan beliau. Jumpa pers yang bikin deg-degan tiap habis salat Jumat, misalnya, adalah hal yang sulit kami pahami. Perjalanan ke luar negeri yang amat banyak, juga pernyataan beliau yang menyetujui referendum bagi rakyat Aceh kalau mau memisahkan diri dari Indonesia, juga sulit kami terima. Mungkin Gus Dur terlalu cerdas, sehingga kami kurang mudeng.

Dari sisi logika berpikir, Pak Danny dan Pak Iwan pasti oke. Hanya saja, dengan segala maaf kepada Pak Danny, sebagai warga perbatasan, kami belum merasakan manfaat kepemimpinan beliau. Jalan-jalan di sekitar rumah kami masih saja hancur lebuh. Walau, kami juga sadar, peran Walikota Bekasi lebih dominan dalam hal ini.

Pak Agum juga orang baik. Saya beberapa kali bertemu dengan beliau secara langsung, jadi sedikit banyak agak paham mengenai caranya berpikir. Nasionalis, persuasif, tidak banyak cerita negatif tentang beliau. Ketika menjadi Menteri Perhubungan di era Gus Dur, juga Megawati, beliau tampak bekerja keras.

Namun, saya lebih mengenalnya sebagai orang Jakarta yang tiba-tiba saja ingin pulang kampung menjadi gubernur. Mohon maaf, rasanya kok tidak elok. Saya tidak banyak menemukan catatan mengenai apa yang sudah dilakukan Pak Agum terhadap Jawa Barat selama ini.

Pasangan pemenang, Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf, lebih sulit lagi untuk dipertimbangkan. Keduanya punya KTP Jakarta. Apa yang sudah mereka lakukan untuk Jawa Barat?

Ahmad Heryawan adalah Wakil Ketua DPRD Jakarta. Ia dikenal orang baik. Ustadz. Penguasaan terhadap Al Quran pasti bagus. Tapi itu saja tidak cukup. Sebagai Wakil Ketua DPRD, ia ikut bertanggungjawab atas pencoretan anggaran perbaikan ratusan gedung sekolah di Jakarta. Ia juga turut bertanggungjawab atas bertele-telenya pengesahan APBD. Jalanan berlobang, banjir, juga jadi tanggungjawab legislatif, mengingat di era reformasi, peranan legislatif dalam ketatanegaraan kita amat penting.

Dan Dede Yusuf? Mohon maaf, ia pantas untuk menjadi bintang iklan bodrex. Untuk menjadi wakil gubernur, saya belum bisa memberi komentar. Yang jelas, tidak ada peran menonjol dia sebagai anggota DPR.

*******

Di luar kesulitan menentukan nama, kami juga merasa, pilkada yang lumayan sering membuat kami jenuh. Baru dua bulan sebelumnya kami memilih walikota, kali ini harus bekumpul lagi untuk memilih gubernur. Saya merasakan, Pak Hansip, Pak RW, Pak RT, lebih capek lagi. Apalagi, anggaran yang disediakan pemerintah amat minim.

Kalau pemilu legislatif, presiden, dan pilkada, bisa digabung, saya yakin, tingkat partisipasti warga akan lebih banyak. Di komplek saya, jumlah pemilih juga tidak banyak.

‘’Sepi Pak, tidak banyak yang memilih,’’ kata Usman Hadi, petugas keamanan yang bertugas.

Pertanyaan lebih penting lagi, apakah gubernur mesti dipilih lewat pilkada? Kita sudah menganut Undang-undang Otonomi Daerah yang berbasis kabupaten. Peran bupati dan walikota amat sentral. Gubernur ibarat menjadi wakil pemerintah pusat di daerah, yang fungsinya sekadar mengoordinasi. Mirip kanwil sebuah departemen.

Bila demikian, mengapa gubernur tidak ditunjuk saja? Lebih irit, lebih cepat, dan mengurangi potensi konflik.

Thursday, April 03, 2008

BAHASA MENUNJUKKAN BANGSA--2



SEPENGGAL dialog Cinta Laura Keihl di sinetron, banyak dikutip di berbagai media. "Mana hujan, nggak ada ojek," diucapkan dengan logat bahasa sono. Orang pun menirukan ucapan itu dengan berbagai sudut pandang. Tapi kebanyakan, paling tidak menurut yang saya dengar, dengan sinis.
Di media dotcom okezone, Cinta mengatakan dirinya biasa-biasa saja. "Aku surprised kata-kata yang aku ucapkan di sinetron diikuti banyak orang. Bahkan, ditambahin. Sebenarnya dialognya cuma, 'Mana hujan nggak ada ojek'. Nggak tahu kenapa ditambahin kata becek. Aku nggak ingin bikin hak paten. Biarkan saja mengalir karena aku orangnya cuek," tutur Cinta.
Ucapan Cinta yang khas dengan logat ala bule itu sampai dijadikan ring back tone oleh operator ponsel. Bukannya senang, Cinta mengeluhkan tindakan orang-orang yang terkesan melecehkan gaya bicaranya."Duh, jangan segitunya dong kasih komentar. Orang-orang nggak tahu kondisi sebenarnya yang aku jalani. Sejak kecil, aku tinggal di luar negeri dan bahasa yang digunakan bahasa asing. Jadi seperti ini logat aku. Sekarang, aku biarkan saja orang mau komentar apa," tegasnya.
Mommy Uni bercerita, pekan lalu ia mendengarkan Radio Delta FM. Penyiarnya Mbak Intan Nugroho, yang lebih kita kenal sebagai pembawa acara siaran berita berbahasa Inggris di TVRI. ‘’Dua jam lebih yang diomongkan sinetronnya Cinta Laura,’’ katanya.
‘’Maksudnya sinetronnya bagus?’’
‘’Bukan. Itu lo. Yang mana hujan nggak ada ojek….’’
****
Suka atau tidak, semangat beringgris ria memang ada di benak para penurut bahasa Indonesia. Bahasa Inggris di abad pertengahan sebetulnya hanya jadi bahasa pengantar oleh orang-orang di Kerajaan Inggris. Pemakainya makin luas setelah Inggris mempunyai negara jajahan di berbagai benua. Malaysia, Australia, Singapura, Afrika Selatan, India, adalah negara-negara yang sempat menikmati pemerintahan Britania Raya.
Secara fisik, penjajahan oleh Inggris kini tidak ada lagi. Namun ada sarana penyebaran bahasa Inggris yang jauh lebih ampuh. Kurir penyebar virus bahasa Inggris itu bernama film Hollywood, komputer, serta internet.
Terlebih-lebih setelah sekarang kita menggunakan telepon seluler (coba, apa istilah melayu untuk seluler? Pusing kan???). Kita ber –short messaging services, sambil mendengarkan 3G, dan di jalan kita bersurfing ria dengan menikmati mobile phone. Mau chatting? Bisa. Yang penting handphone kita didukung software yang up to date….
Maka yang terjadi adalah bahasa gado-gado. Kata Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono, sebagaimana dikutip di Suara Pembaruan, kesalahan menggunakan bahasa Indonesia sekarang ini semakin bertambah di era reformasi. Anda tahu kan, istilah electoral threshold? Pasti juga pernah dengar, Presiden SBY diancam mau di-impeach.
Fenomena boom istilah asing pernah terjadi pada tahun 1980-an ketika terjadi booming ekonomi yang luar biasa. Ketika itu muncul properti di mana-mana. Penggunaan nama-nama asing sangat marak, bisa dijumpai di papan namanya: North Tower dan South Tower (ini untuk gedung utara dan gedung selatan, di Kuningan Plaza), ada Mulia Tower, Landmark.
Pada tahun 1995, dilakukan pencanangan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Nama-nama gedung, perumahan dan pusat perbelanjaan yang berbau asing diganti dengan bahasa Indonesia. Sayangnya hal itu tidak berlangsung lama.
Angin reformasi justru membawa perubahan buruk bagi bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa asing kembali marak. Malahan dengan alasan globalisasi, percampuran bahasa Indonesia dengan bahasa asing justru semakin marak. Kata-kata seperti 'new arrival', 'sale', 'discount', terpampang dengan jelas di berbagai toko dan pusat perbelanjaan
Pada tahun 1953, Poerwodarminta mengeluarkan Kamus Bahasa Indonesia yang pertama. Di situ tercatat jumlah lema (kata) dalam bahasa Indonesia mencapai 23.000. Pada tahun 1976, Pusat Bahasa menerbitkan Kamus Bahasa Indonesia, dan terdapat 1.000 kata baru. Artinya, dalam waktu 23 tahun hanya terdapat 1.000 penambahan kata baru.
Tetapi pada tahun 1988, terjadi loncatan yang luar bisa. Dari 24.000 kata, telah berkembang menjadi 62.000. Selain itu, setelah bekerja sama dengan Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei, berhasil dibuat 340.000 istilah di berbagai bidang ilmu. Malahan sampai hari ini, Pusat Bahasa berhasil menambah 250.000 kata baru. Dengan demikian, sudah ada 590.000 kata di berbagai bidang ilmu. Sementara kata umum telah berjumlah 78.000.
******
Di Malioboro, dan jalanan lain di Yogya, ada kewajiban semua papan nama harus ditulis dengan dua jenis huruf. Huruf latin dan huruf Jawa. Contohnya bisa terlihat di papan nama Pasar Beringharjo, pasar tradisional bersejarah di Yogyakarta. Pasar ini letaknya di ujung Selatan jalan Malioboro.
Saya tidak tahu, apakah generasi anak-anak sekarang masih bisa membaca huruf Jawa itu.
****
Saya kutipkan di sini kalimat yang dipasang di website http://www.ialf.edu/bipa/march2002/bahasaabg.html. Situs ini mengutip kalimat-kalimat yang digunakan para ABG. Kalimatnya pendek-pendek. Pengungkapan makna menjadi lebih cepat, sering membuat pendengar yang bukan penutur asli bahasa Indonesia mengalami kesulitan untuk memahaminya.
Dalam contoh percakapan berikut antara tokoh Vira dan Alda dalam ‘Atas Nama Cinta’ (Kawanku, 08.XXX 14-20 Agustus 2000) kita melihat bagaimana bahasa ABG ini dibuat begitu singkat tetapi sangat komunikatif. Dalam percakapan ini hanya kalimat pertama yang menggunakan pokok kalimat (subjek) sedangkan sisanya bahkan tidak menggunakan kata ganti orang (pronomina) sama sekali.
“Kamu anak baru, ya?” ‘Iya.” “Jurusan apa?” “Komunikasi.” “Pantesan cantik.” “Makasih.” “Eh, mau ini?” “Apa tuh? Obat, ya?” “Iya, kalau mau ambil aja.”
Coba deh, baca buku Pak Anton Moeliono, tokoh penutur bahasa Indonesia. Bila asas struktur subyek-predikat-obyek ditaati, dijamin, para remaja kita dapat nilai merah dalam pelajaran bahasa.

Apalagi kalau ketaatan menggunakan bahasa Indonesia yang jadi ukuran. Dijamin, para pembuat reklame tidak ada yang lulus.
‘’Great Sale. Special Discount Up To 30%. Original Brand from USA’’.

Paham kan yang dimaksud kalimat itu?
*****
Di luar bahasa ABG itu, juga berkembang bahasa jenis baru. Orang menyebutnya sebagai bahasa prokem. Malah sudah ada kamusnya, yang dibuat oleh artis Debby Sahertian.
Coba lihat contoh percakapan di bawah ini:

Jali-jali di Mal
A: Akika mawar belalang spartakus nih.
B: Emang spartakus yang lambreta napose?
A: Sutra Rusia! B: Akika mawar belalang Tasmania.
A: Tasmania kawanua yang lambada jugra sutra Rusia?
B: Tinta … pingin gaya atitah!
A: Sihombing loe! B: Tinta … soraya kayangan anjas! He … he …
(Sahertian, 1999: 23-25)


Mudeng? Kalau tidak paham, tidak usah khawatir. Saya siap menemani..hehehe..
*****
Bahasa menunjukkan bangsa. Mungkin karena itu, orang Jerman, Prancis, dan Jepang, sangat bangga pada bahasanya.
Mommy Uni bercerita, Februari lalu ia ikut acara Indonesa-German Media Dialog, dialog antar-pemuka media Indonesia dan Jerman. Dialog itu tidak menggunakan bahasa Inggris, sebagaimana pertemuan internasional lazimnya. Peserta dari Indonesia berbahasa Indonesia, yang diterjemahkan ke Jerman. Peserta dari Jerman menggunakan bahasa Jerman, diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
''Saat istirahat, saya ngobrol dengan mereka. Ternyata bahasa Inggrisnya bagus-bagus. Malah banyak yang lulusan Amerika,'' kata Mommy.

Bahasa menunjukkan bangsa. Kita sepakat dengan hal itu. Di satu sisi, berbagai perkembangan kosa kata baru yang masuk ke dalam perbendaharaan bahasa kita menunjukkan, bahasa kita memang makin gaul. Makin dinamis. Bahasa memang tidak bisa mandek.
Tapi, kalau sampai bahasa lokal tergerus oleh gempuran bahasa asing, kita tidak bisa berbangga lagi. Itu menunjukkan kita adalah bangsa yang tidak punya percaya diri.

Tuesday, April 01, 2008

BAHASA MENUNJUKKAN BANGSA


BERBAHASA Indonesia itu tidak semudah yang kita bayangkan. Karena setiap hari kita sudah mudeng nonton tv, mendengarkan radio, ngobrol, dan baca koran, kita merasa diri kita sudah fluent, sudah cas-cis-cus berbahasa Indonesia. Akibatnya: meski di rak buku kita memiliki ratusan buku asing, kamus bahasa Indonesia-Jerman, kamus bahasa Prancis, tapi Kamus Besar Bahasa Indonesia banyak yang tak punya. Akibatnya lagi: acap kali kita terbata-bata dalam berbahasa.
Harap dimaklumi, meski bahasa Indonesia kini telah menjadi bahasa nasional, juga bahasa negara, tetapi latar belakang pemakainya amat beragam. Ada yang dari Yogya, Sunda, Ambon, Mandailing, Aceh, dsb.
Di Jakarta kita akan merasa biasa untuk mendengar kalimat seperti ini: ‘’Apakah Gubernur sudah datang?’’ Di Yogyakarta, kalimat seperti itu akan terasa tidak sopan. Orang Yogya akan lebih srek kalau bilangnya begini: ‘’Apakah Ngarso Dalem sudah rawuh?’’ Rawuh adalah istilah lain untuk ‘’datang’’, untuk orang yang dihormati. Dalam strata bahasa Jawa itu disebut dengan kromo inggil, bahasa untuk orang yang kita tuakan, seperti orang tua, pejabat, ulama.
Di Surabaya, mungkin kita juga merasa biasa mendengar kalimat ini: ‘’Pancen sampean iku diancuk..’’ Duh, untuk ukuran Yogya, itu seperti makian yang amat kasar.
Kawan saya yang asli Bandung, sangat kesulitan untuk mengucapkan kalimat dengan huruf ‘’f’’. Seringkali terbalik-balik dengan huruf ‘’p’’. Kentucky Fried Chicken diucapkan sebagai ‘’Pried Chicken’’. Salah satu di antara yang pernah keseleo mengucapkannya kini menjadi petinggi di sebuah stasiun tv swasta. Ia bertutur, salah satu adiknya kerja di KFC, di Kalimantan Timur. Saya tanya, tugasnya apa? ‘’Dia lulusan Geologi, harus mencari tambang baru yang ada batu baranya.’’ Saya tanya, ‘’Apa yang dimaksud Kaltim Prima Coal?’’ Ia menjawab ‘’Ya’’. Hehehe.. ternyata yang dimaksud adalah KPC, bukan KFC.
*****
Kesulitan lain yang muncul dalam berbahasa Indonesia adalah, kita makin merasa bahwa bahasa kita ini miskin kosakata. Bahasa sehari-hari yang kita pakai sangat banyak mengandung unsur serapan.
Apa nama tempat pemberhentian bus? Jawabnya: halte. Itu dari bahasa Inggris. Kita juga mengenal istilah baru akhir-akhir ini: under pass (terowongan), fly over (jalan layang), traffic light. Kepolisian Daerah Jakarta mengenalkan lembaga yang mengontrol lalu lintas. Namanya: Traffic Management Centre alias TMC. Kenapa bukan PKL, Pusat Kendali Lalu Lintas? Mungkin khawatir derajatnya turun, disetarakan dengan pedagang kaki lima.
Sering kali istilah asing itu muncul lantaran kita malas mencari kata-kata padanannya dalam bahasa Indonesia. Atau kita merasa minder, merasa kalau dengan menggunakan bahasa Inggris, kita akan merasa menjadi kaum terpelajar.
Tapi juga unsur lain, bahasa Indonesia memang tidak memiliki kata yang sama artinya. Contohnya saja: internet, komputer, bank, atom, neutron, derivatif. Bisa saja kita menerjemahkan, tapi akibatnya akan menjadi naskah dalam bahasa Indonesia yang tergagap-gagap. Salah satu yang sangat bersemangat untuk membuat terjemahan untuk setiap istilah adalah Prof. Sudjoko, guru besar ITB Bandung.
Masuknya unsur serapan yang secara beruntun ditimpali dengan kemalasan mencari tahu grammar yang benar, dan cara penulisan yang benar. Akibatnya terjadilah tulisan: PHOTO COFFEE, HALTE PLY OFFER, TAMBAL BAN CUBE LESS.
Sebagian foto dari ‘’dinamika’’ –istilah halus saya untuk kerancuan-kerancuan berbahasa itu—saya muatkan di blog ini. Foto ini saya ambil dari surat elektronik alias email yang masuk ke saya. Mohon maaf saya tidak tahu, siapa yang memiliki foto ini, sehingga kami muatkan tanpa akreditasi.
*****
Salah satu penyebab kesulitan berbahasa Indonesia juga bahasa kita sering tidak konsisten, tidak taat azas dalam menyerap unsur asing. Kita lebih mengenal Selandia Baru ketimbang New Zealand. Tapi untuk Papua New Guinea kita menerjemahkannya menjadi Papua Nugini. Kenapa bukan Papua Guinea Baru? United States of America kita terjemahkan sebagai Amerika Serikat. Kalau United Kingdom kenapa bukan Kerajaan Serikat ya, tapi malah jadi Kerajaan Inggris?
Jaman gubernur Jakarta dijabat Pak Wiyogo Atmodarminto, pernah ada aturan untuk mewajibkan toko-toko, hotel, nama jalan, harus menggunakan aturan bahasa Indonesia yang baku. Artinya yang baik dan benar, mengikuti azas ‘’DM- diterangkan dan menerangkan’’.
Maka: BNI Bank menjadi Bank BNI, BII Bank menjadi Bank BII. Tapi juga ada kata-kata yang terjemahannya dipaksakan.
Sebuah hotel di Jalan HR Rasuna Said namanya ‘’Grand Melia’’. Kini berubah menjadi ‘’Gran Melia’’. Kenapa bukan Melia Raya ya? Anehnya, sebuah perumahan bernama ‘’Cassa Grand’’ berubah menjadi ‘’Cassa Grande’’.
Nah, pusing kan? Wajar kalau kemudian muncul: Ply Over, Ply Offer, Fly Oper, dan Photo Coffee…
Kalau cara berbahasa menunjukkan bagaimana sebuah bangsa, mungkin ini jawaban kenapa kok kita terus dipusing dengan beragam masalah….