Search This Blog

Thursday, November 24, 2005

Bikers Jalanan Jakarta


‘’JAKARTA berubah menjadi kota motor’’. Ini judul tulisan di Kompas, edisi Rabu 23 November 2005. Saya kutipkan di sini alinea pertama tulisan itu: ‘’Pada pagi hari, puluhan ribu sepeda motor membanjiri wilayah DKI Jakarta. Mereka datang dari Tangerang, Depok, Bogor, dan Bekasi. Pada jam-jam sibuk pagi dan sore hari, Jakarta memang kebanjiran sepeda motor. Jalan-jalan di Jakarta saat ini disesaki si kuda besi itu.’’

Wartawan Kompas itu melaporkan, arus sepeda motor yang berangkat dari kota satelit, seperti Tangerang, Bekasi, Depok, dan Bogor mengalami peningkatan. Dari Tangerang, misalnya, arus sepeda motor terbagi tiga jalur masuk, yaitu jalur
utara (Daan Mogot), jalur tengah (Ciledug), dan jalur Selatan
(Ciputat dan Pamulang).

Artikel di atas merupakan berita yang kesekian kalinya, yang ditulis Kompas mengenai gangguan oleh para pemotor. Pada Mei, harian yang sama menulis "BIKERS" DAN KERUWETAN JAKARTA’’. Motor, yang berliku-liku jalannya, menyelip di antara bajaj, bus, dan sedan, membanjiri jalanan Jakarta. Aksi mereka disebut mirip stuntman, pemeran pengganti di film-film. Dengan kecepatan yang dipacu hingga pol, para pengendara meliuk-liuk mirip pemeran tong setan di arena sekaten. Wah…
***
Naik motor memang lebih menjamin ketepatan waktu. Namun juga ada risikonya: kecelakaan. Belum lagi jika kita memikirkan tingkat keselamatan para
pengendara itu sendiri. Berdasarkan data Kepolisian Negara RI (Polri)
tahun 2003 dari 13.399 kecelakaan, sebanyak 9.386 kasus dialami oleh
pengendara sepeda motor.


Dengan lalu lintas Jakarta yang luar biasa macet, yang membuat perjalanan senantiasa tersendat, motor memang pantas dilirik. Ongkosnya murah. Kawan saya, Taufik Alwie, yang rumahnya di Cibubur, sekitar 23 kilometer dari kantor, sekarang banyak memarkir mobilnya. ‘’Dengan motor, saya Cuma butuh Rp 5.000, bolak-balik. Kalo pake mobil, bisa Rp 50.000,’’ katanya.

Taufik memilih Yamaha Mio. Harganya Rp 10 juta lebih. Dengan pinjaman dari koperasi, plus dari tabungan, motor itu ia beli tunai.

Pekan lalu Taufik mencoba naik taksi ke Jalan Wahid Hasyim. Eh, ia mengeluh: naik taksi mahalnya minta ampun. Memang sih. Ke Wahid Hasyim, yang jaraknya kurang dari 10 Kilometer, ongkosnya Rp 50.000 lebih. Bolak-balik, sudah bisa untuk membeli susunya Darrel 1 Kilogram…
****
Saya termasuk pengendara motor, sejak awal 2004. Motornya Suzuki Thunder 250 CC. Motor itu dibeli Mommy dari kantornya, yang mendapat barter iklan dari Indomobil. Harganya Rp 19 juta, boleh dicicil tanpa bunga selama 18 bulan. Murah kan?

Senin sampai Kamis, saya biasanya naik motor. Mobil ditinggal di rumah. Karena biasanya ada acara di luar. Jumat-nya saya naik mobil. Dengan naik motor, mobilitas saya lebih terjamin. Tak perlu mikir urusan parkir, atau kemacetan di jalan. Motor bisa menyalip ke sana ke mari.

Sayangnya, tak semua gedung menyediakan tempat parkir yang layak. Di Hotel Intercontinental, misalnya, saya tak dipercaya ketika ditanya Satpam bahwa saya mau makan. Saya harus parkir di gedung belakang hotel. Selain itu, saya diberi kartu nama ''Supplyer''. Padahal saya betul-betul mau makan siang lo, di Intercontinental.

Di Setiabudi Building, tempat parkir motor ditutup. Lokasinya dipakai untuk gedung baru. Kalau datang ke situ, motor harus dikandangkan di Rumah Sakit Mata Aini, atau di Matari Advertising, sekitar 700 meter. Enam bulan lalu, sehabis makan di Setiabudi, saya harus berhujan-hujan untuk mengambil motor. Walah...



Hotel Hilton juga tak menyediakan tempat nyaman untuk pemotor. Semula harus parkir di Parkir Timur, Senayan. Berarti untuk menuju hotel harus berjalan sampai 800-an meter. Panas. Berdebu. Kadang hujan. Tempat parkir itu kini lagi ditutup. Tempat parkir dipindah ke halaman yang mepet Jalan Gatot Subroto. Lebih dekat, tapi tetap saja jauh...
*****************
‘’Ati-ati lo, jangan ngebut,’’ kata Mommy.
Kalimat itu penting. Sebetulnya yang dimaksud tak hanya ‘’jangan ngebut’’. Tapi juga ‘’berhati-hati’’ lah. Naik motor, demikian pula naik mobil, kadang-kadang membutuhkan nasib baik. Datangnya sial tak pernah bisa diduga. Kalau tiba-tiba kita ketemu motor atau kendaraan yang dipacu sopir geblek, repotlah kita. Mobil saya yang dulu, Starlet, pernah ketabrak truk. KIA Carens yang sekarang masih jadi andalan, pernah disundul metromini dari belakang. Babak bundas.
********************
Darrel sangat suka naik motor. Pagi-pagi, menjelang saya berangkat ke kantor, ia sering minta diajak keliling kompleks. Kalau ke rumah eyang dan opung, ia juga saya antar pake motor. Tapi, kalau sudah malam hari, saya tak berani mengajaknya naik motor. Saya takut udara malam membuatnya sakit.

Usia balita memang masih rawan pada berbagai penyakit. Untuk menjaganya, mommy membelikan Darrel jaket yang bagus. Mahal lagi. Lebih bagus dan lebih mahal dari jaket punya ayahnya.


Darrel juga punya helm. Pelindung kepala itu dibeli dari Eko Suparman, pegawai administrasi di GATRA yang punya usaha jual beli suku cadang motor di rumahnya. Namun, itu lebih pas disebut sebagai helm-helm-an. Helm palsu. Soalnya plastiknya sangat tipis. Busa peredamnya juga sekadar spon. Tak ada fungsinya untuk melindungi.

Sewaktu di Yogya, untuk lebaran lalu, Darrel mencoba helm anak, kepunyaan mbak Naila. Warnanya oranye. Sejak itu, Darrel juga saya biasakan menggunakan helm sesungguhnya, punya Mommy. Warnanya hitam. Karena Mommy kurang begitu suka naik motor, helm itu juga nyaris tak pernah dipakai. Masih baru. Dipakai Darrel ternyata cukup pas. Cuma sedikit lebih longgar.

Untuk jarak jauh, saya tak berani mengajak Darrel naik motor. Jarak terjauh yang pernah ditempuhnya adalah sewaktu di Yogya, lebaran lalu. Dengan motor bebek, saya dan Mommy memboncengkan Darrel di depan. Wah, betul-betul orang mudik.
******

Kalau disuruh memilih, ya saya lebih suka naik mobil, sebetulnya. Hawanya adem. Bisa mendengarkan musik. Kalau ada telpon, bisa menerima --walau dengan perangkat bebas tangan.

Bila angkutan massal perkotaan yang nyaman sudah tersedia, saya lebih suka naik angkutan massal. Saya tidak perlu berpikir soal parkir, dan berbagai risiko yang kemungkinan dihadapi. Misalnya, mobil ketabrak mikrolet. Namun, untuk naik angkutan massal dari rumah, jalurnya berliku-liku. Dan bikin capek.

Saya harus naik ojek, untuk menuju Kalimalang. Setelah itu naik mikrolet dua kali. Setelah itu jalan kaki. Total sekitar 1,5 jam dibutuhkan, untuk menempuh jarak yang cuma 12 Kilometer itu. Kalau ada angkutan umum yang murah, adem, juga aman, seperti MRT di Singapura, atau Subway di Jerman dan Prancis, saya pasti memilihnya.
Dengan prasarana angkutan jalan yang masih acakadut begitu, mohon dimaafkan bila saya memilih naik motor. Mohon maaf bila saya bergabung dalam barisan berjuta-jura pemotor, yang tiap hari memadati jalanan Jakarta.'

Doakan tak ada halangan menimpa saya, dan para pengendara motor lain.

3 comments:

@rispria, Juru Kunci Blog. said...

Dari Sepeda Onthel, 20 th yang lalu, berganti Suzuki Thunder merupakan suatu lompatan yang besar. A Cultural Big Leap :-)

YOGYAKARTA said...

hehehee
but it takes 20 years pak aris. so, not big leap, but gradually leap....
hehehe
iqh

Soundproofing Contractors Melbourne said...

Good reading your ppost