Search This Blog

Friday, November 18, 2005

Perhatian Model AA Gym



KYAI Haji Abdullah Gymnastiar dikenal sebagai kyai yang sejuk. Ceramahnya selalu menganjurkan sikap damai. Jangan kisruh. Jangan bikin ribut. Petuah agar kita selalu tenang dan menjaga kerukunan, sudah berkali-kali ia sampaikan. Menjelang lebaran lalu, kami --maksudnya duet Iwan dan Uni-- mengikuti pengajian Aa Gym. Tempatnya di Hotel Shangrilla. Penyelenggaranya: Keluarga Rachmat Gobel.

Meski yang hadir kalangan politisi, pengusaha, dan orang-orang melek politik, jangan harapkan Aa Gym ngomong politik dengan gaya partisa. Ia malah mengajak ''ayo rukun''. Kalimat lain ''kalo sampe berantem, kita rugi'', dst.

Memang, jangan harap ada nama K.H. Abdullah Gymnastiar nongol sebagai pengurus di partai politik mana pun. Bahkan, sebagai anggota biasa pun tidak. Tapi, ketika bursa calon presiden dibuka, dan kala pemburu kekuasaan mencari tumpangan partai politik guna pencalonan dirinya, justru banyak kalangan yang mendorong Aa Gym --begitu kiai muda ini biasa disapa-- masuk gelanggang perebutan kursi RI-1.

Sokongan pada dirinya tak main-main. Buktinya, nama Aa Gym kerap bertengger di papan atas calon presiden dambaan para responden jajak pendapat yang diselenggarakan berbagai lembaga survei. Masuk akal kalau tokoh sekaliber Amien Rais pernah menimang-nimang Aa Gym untuk menjadi satu dari sederet calon pendampingnya dalam pemilihan presiden.

Tapi, tawaran dan dukungan itu ditanggapi Aa Gym dengan dingin. Ia tetap memilih sebagai da'i, yang berjuang di jalur dakwah. Ia ingin dirinya tetap berada dan diterima semua kalangan, tidak terjebak jadi milik satu partai politik atau kelompok.

Namun, sikap itu tak lantas membuat Aa Gym alergi berbicara soal politik. Pucuk pimpinan Pesantren Daarut Tauhid, Bandung, ini justru muncul sebagai sosok da'i muda yang modern. Ia bisa bicara perkara demokrasi, misalnya, sama fasihnya dengan ngomong soal budi pekerti dan akhlak mulia. Itu pula yang membuat Aa Gym tak kehilangan peran ketika negeri ini terlanda euphoria pesta demokrasi pemilihan presiden langsung.


Sikap politik Aa Gym ini tercermin pula pada sikap politik pesantrennya, Daarut Tauhid, di Gegerkalong, Bandung. Boleh dibilang Daarut Tauhid tak bisa lepas dari sosoknya. Maka, ketika Aa Gym membuka diri dari semua partai politik, Daarut Tauhid pun dengan tangan terbuka menerima kedatangan elite politik ''yang ingin bersilaturahmi''.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Amien Rais, misalnya, tercatat sebagai calon presiden yang bertandang ke Daarut Tauhid, beberapa saat sebelum pemilu. Sepertinya, dua kandidat ini berlomba ''mencuri'' simpati dari pondok pesantren yang kini tercatat punya 10.000 santri itu. Belum lagi simpatisan Aa Gym yang tak terhitung jumlahnya, yang selalu berjubel bila Aa Gym menggelar pengajian.

Ketika hari pencoblosan tiba, kedua calon presiden ini menuai hasilnya. Pada pilpres putaran pertama, Amien Rais unggul di tempat pemungutan suara (TPS) sekitar Daarut Tauhid. Pada pilpres putaran kedua giliran, SBY yang mendulang suara. Di TPS Nomor 22, yang terletak di lingkungan pesantren, misalnya, SBY mengumpulkan 216 pendukung, meninggalkan Megawati yang hanya kebagian 46 suara. Sedangkan di TPS nomor 27, tempat Aa Gym mencoblos, SBY mengoleksi 174 suara. Mega cuma 40 suara.

Apakah kemenangan SBY --juga Amien pada putaran pertama-- berkat campur tangan Aa Gym? Secara langsung, mungkin tidak. Beberapa santri maupun warga yang berdomisili di sekitar pesantren, mengaku tak pernah diberi ''petunjuk'' oleh Aa Gym. Tokoh berpengaruh ini memberi kebebasan untuk memilih. ''Pilihan saya tetap, karena saya percaya pada pilihan saya,'' kata Marwan Romli, yang satu TPS dengan Aa Gym.

Namun, dalam beberapa kesempatan, menurut Marwan, Aa Gym memberi sinyal bahwa ia menginginkan perubahan. ''Tak disebutkan pun (namanya) kita tahu ke mana suaranya diberikan,'' kata seorang ibu berkerudung menimpali pendapat Marwan, kepada Ekos Koswara dari Gatra. Itu berarti suara Aa Gym ke SBY? Wallahu'alam. Saat dapat giliran mencoblos, Aa Gym hanya berujar, ''Ini rahasia.''


Daarut Tauhid --berarti perkampungan bagi orang-orang yang mengabdi kepada keesaan Allah SWT-- lahir dari rahim Kelompok Mahasiswa Islam Wiraswasta (KMIW). Perkumpulan yang didirikan Aa Gyum beserta kawan-kawannya tahun 1987 ini, bergerak dalam usaha kecil. Misalnya, membuat stiker dan kaos yang ditulisi dengan pesan-pesan religius. Sebagian dari hasil usaha itu disisihkan untuk biaya pengajian rutin yang diikuti oleh remaja dan umum.

Barulah pada 4 September 1990, Daarut Tauhid berdiri dengan menempati dua kamar di rumah kontrakan di Jalan Gegerkalong Girang Nomor 38. Lambat tapi pasti, Daarut Tauhid terus berkembang hingga akhirnya berhasil mendirikan Koperasi Pondon Pesantren Daarut Tauhid pada 1994. Setahun kemudian, koperasi yang masih ''hijau'' ini dapat pinjaman dari PT Astra Mitra Ventura, sehingga bisa membangun gedung berlantai tiga. Dari gedung inilah kegiatan ekonomi Daarut Tauhid terus menggeliat. Satu per satu ''anak perusahaan'' koperasi berlahiran. Mulai dari super minimarket hingga yang terakhir MQ TV.

Di bidang dakwah, nama Aa Gym pun meroket. Jamaah yang hadir ke pengajiannya terus bertambah, terutama dari kalangan remaja dan mahasiswa. Dari pengajian inilah lambat laun pria kelahiran Bandung, 29 Januari 1962 ini ''menghimpun'' pengikut, yang jumlahnya merangkak mulai puluhan, ratusan, ribuan, bahkan mungkin kini bisa disebut jutaan orang.


Bersama pengikutnya inilah, di penghujung tahun 1990-an Aa Gym tak sekadar berdakwah secara lisan. Ia menjadi semacam kelompok penekan yang ''mengoreksi'' moral masyarakat. Satu di antaranya, Aa Gym berhasil menggerakkan ribuan simpatisannya dalam aksi damai menentang perjudian di Bandung.

Layar kaca mulai dirambahnya lewat TVRI Stasiun Bandung, masih di tahun 1990. Lantas wajah penuh senyum ini mulai nongol secara nasional pada Oktober 2000, kala Aa Gym meneken nota perjanjian kerja sama (MoU) dengan RCTI untuk mengisi acara ''Hikmah Fajar''. Sejak itu Aa Gym mulai booming. Semua stasiun televisi berlomba menampilkannya. Di sepanjang bulan Ramadan, dan di semua stasiun televisi, boleh dibilang tak ada hari tanpa wajah Aa Gym.

Demam Aa Gym pun merambah. Topik ceramah masalah sehari-hari yang dikemas dengan pilihan kata sederhana jadi daya tarik dakwahnya. Saking lenturnya pesan yang disampaikan, sampai-sampai kaum nonmuslim pun banyak yang menyimak. Ketika Poso, Sulawesi Tengah, diharu-birukan oleh kerusahan berbau SARA, misalnya, Aa Gym mencatatkan diri sebagai da'i yang bisa diterima gereja di sana, dan sekaligus bicara kepada jemaatnya. Ia menekankan gerakan moral sebagai penawar gesekan politik.

Dalam ceramah di Shangrilla, gerakan moral itu ditawarkan Aa Gym sekali lagi. ''Saya risau, kok umat Islam yang ditonjolkan selalu kepalan tangannya. Padahal, sifat Allah yang diutamakan adalah pengasih dan penyayang. Bukan keperkasaannya...'' kata Aa Gym.

Ia meringkas, agar hidup tenteram, tingkah laku kita menggunakan rumus ''PERHATIAN''. Artinya: P= pemaaf, E= empati, R= ramah, H= hormat, A=akrab, T=teduh, I=indah, A=aman, N=nyaman.
Dalam soal ramah, misalnya. ''Masak, pengajian dua jam, eh kok dengan tetangga sebelah belum juga kenal....''
****


Kami mengikuti ceramah Aa Gym dari ruang sebelah, sambil makan. Menunya enak. Ada masakah Gorontalo --Rachmat Gobel punya akar keluarga di Gorontalo. Ada masakah Manado. Juga ada menu hotel yang standar, semacam roti, desert, dan minuman coca-cola.

Tiba-tiba mommy bilang, ''yah, itu di pojok ada Ustad Jeffry al Buchori..'' Ustad Jeffry baru menjadi cover di Majalah GATRA, sepekan sebelumnya. Judul sampulnya ''Generasi Baru Ustad Gaul''. Umurnya masih 33 tahun. Muda. Sebelum Aa Gym memberi ceramah, Jeffry menjadi imam salat tarawih dan salat isya. Caranya membaca mengingatkan kami pada Imam di Masjidil Haram. Penuh nada naik, turun, dengan suara yang enak sekali.

''Yah, tolong ya, difoto. Untuk kenang-kenangan...''
Jadilah jepret...jepret.. jepret..
Ustad Jeffry, istrinya, dan Mommy pun menghiasi blog ini.

No comments: