Search This Blog

Tuesday, November 15, 2005

Dari Buku ke Buku


DI salah satu sudut rumah kami, ada secuil ruangan yang termasuk sering kami hampiri. Di situ ada rak buku enam susun, sebanyak dua buah. Di situlah buku-buku (juga ada dokumen), kami simpan. Sebelah ruang buku itu merupakan tempat kosong, yang dibuat untuk membantu sirkulasi udara bagian tengah rumah. Ruang kosong itu beratapkan langit. Kalo hujan, ya basah. Dulunya ruangan itu dipakai sebagai kamar mandi kamar utama. Setelah rumah direnovasi, ruangan diperluas, kamar mandi itu sengaja dikosongkan.

Belum jelas, berapa banyak buku yang kami punyai. Maklum, kami bukan pencatat yang baik. Paling hanya bisa memberi ancar-ancar. Empat bulan lalu, mommy membeli stiker untuk dilekatkan di sampul buku. Tulisannya: Uni Lubis-Iwan QH, Permata Timur JJ/3 Jatiwaringin. Penandaan ini dimaksudkan untuk perekat, agar siapapun yang menemukan buku itu, bila suatu saat nyasar, tak kebingungan untuk mengembalikannya. Jumlah stikernya waktu itu 900 lembar. Habis.


Bulan Puasa lalu, mommy membeli 1000 lembar kertas stiker lagi. Selama tujuh hari terakhir Ramadhan 1426 H, menempeli stiker menjadi kegiatan saya. Dari pagi sampai malam. Kira-kira stiker yang kepakai baru separuhnya. Berarti, paling tidak ada 1.400 buku kami miliki. Ditambah sisanya yang belum kami tempel, mungkin kami punya 1.600an buku.

Jenis buku kami bermacam-macam. Tapi kalo mau dibagi menurut jenisnya, buku biografi menempati posisi terbesar. Ada yang tokoh lokal semacam Bimbo, Presiden SBY, Wiranto, Edi Sudradjat, Suhardiman, Akbar Tandjung, Hatta. Tokoh luar negeri lebih banyak lagi: Mao Zedong, Che Guevara, Hu Jintao, Deng Xiao Ping, Katherine Graham, Kennedy, Bill Clinton, dan Colin Powell, Lee Kuan Yew, Anwar Ibrahim.

Di urutan kedua adalah novel. Buku Dan Brown: Da Vinci Code dan Angel and Devil, kami punyai. Buku Harry Potter, semuanya ada. Buku-buku Sidney Sheldon, John Grisham, Michael Crichton, hingga roman klasik yang rada berat, seperti Musashi, Taiko, Orang-orang Munafik, Arok-Dedes, hingga yang ekstra berat seperti karangan Anton Chekov, ada di situ. Sebagian sudah kami baca hingga tuntas. Sebagian lagi baru kami sentuh preambulnya.

Di urutan berikutnya adalah buku-buku sejarah-militer-politik. Buku jurnalistrik ada di nomor empat. Buku ‘’Sembilan Elemen Jurnalisme’’ karangan Bill Kovach, kami miliki. Malah sampai beberapa eksemplar. Yang asli dalam bahasa Inggris juga ada. Yang bahasa Indonesia, juga ada. Yang fotokopian? Heheh… juga ada….

Tentu saja kami juga mempunyai buku-buku agama. Al Quran sampai beberapa buku. Sebagai orang Muhammadiyah, kami juga memiliki ‘’Himpunan Putusan Majelis Tarjih’’. Bukunya Ahmad Wahib, hingga buku tuntutan salat dan doa, kami punya.


Sebagai wartawan, kami memang menyukai buku yang berdasar kisah nyata. Buku-buku agama yang berdasar peristiwa, lebih kami sukai, ketimbang yang hanya berisi debat. Buku debat juga sering kami baca, sepanjang masih ngepeg. Ini istilah jurnalistik untuk menyebut ''peristiwanya masih hangat''.
****
Buku-buku itu kami dapatkan dengan berbagai cara. Paling banyak adalah membeli sendiri. Sewaktu ke Amerika Serikat September lalu, meliput kunjungan Presiden SBY, mommy membeli banyak buku di basement Markas PBB. Jauh ya? Di New York, sebuah tempat yang jaraknya beribu-ribu kilometer dari Jakarta.

''Di Markas PBB ada toko buku yang bagus lo,'' kata Mommy.
Sewaktu ke Eropa, tahun lalu, Mommy juga membeli banyak buku. Terutama buku mengenai dunia penyiaran. Wah, banyak sekali.

Paling banyak, kami membeli buku di GRAMEDIA. Sebagai karyawan Kelompok Kompas Gramedia, Mommy mendapat fasilitas khusus: diskon 30% setiap kali membeli buku di toko buku Gramedia. Lumayan lo. Buku-buku seperti Harry Potter, Da Vinci Code, harganya di atas Rp 100.000. Adanya diskon itu sangat membantu.

Di sisi lain, adanya diskon juga sering membuat kami rakus berbelanja. Merasa harganya murah, lalu kami membeli berbagai macam buku, yang sering kami tak sempat membacanya. Ketika memberi label tempo hari, saya menemukan ada beberapa buku yang ternyata belum kami baca sama sekali. Buku itu masih terbungkus plastik, rapi.

Kami juga sering mendapat oleh-oleh buku dari beberapa teman yang melancong ke luar negeri. Mereka tahu, sebagai wartawan, buku sangat penting bagi kami. Setiap pekan saya membuat tulisan dua kolom. Namanya ''Lensa''. Saya membutuhkan banyak referensi untuk menulis cerita yang, kalo dibaca, kurang dari lima menit itu.

No comments: