Search This Blog

Thursday, July 07, 2005

Busung Lapar dan Pers Kita



Oleh: Abdullah Alamudi*)

”Bikin apa Anda di daerah, kok sampai ada busung lapar?” (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan para gubernur seluruh Indonesia seperti dikutip Andi Mallarangeng, Juru Bicara Presiden (Kompas, 11 Juni).

Lebih dari tiga bulan setelah Kompas memberitakan kasus busung lapar di NTT-NTB bulan Maret, barulah media lain ikut menyiarkan penderitaan masyarakat Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat itu. Pembaca yang kritis lantas bertanya, kenapa sampai tiga bulan baru koran, radio, dan televisi menyiarkan berita itu? Apa kerja wartawan koran-koran daerah, koresponden media Jakarta di daerah?
Kalau ucapan Presiden Yudhoyono itu keluar dari mulut pemimpin redaksi, atau koordinator reporter di Jakarta kepada korespondennya di daerah, bunyinya mungkin menjadi: ”Ngapain aje lu, di sana, duduk-duduk di kantor kabupaten, ya! Kongko-kongko di kantor wali kota, ya! Liat tuh Kompas, udah tiga bulan laporin busung lapar! Makan gaji buta lu!”
Pimpinan media di daerah tak akan berbicara sekasar itu kepada reporter mereka. Sebab, nyawa koran daerah banyak sekali—untuk tidak mengatakan semuanya—bergantung pada ”uluran tangan” pemerintah daerah/pemerintah kota.
”Uluran tangan” itu bisa berupa tunjangan bulanan untuk pribadi wartawan yang terdaftar di pemda/pemkot bersangkutan, makan siang, ongkos transpor, dan ”amplop” setelah meliput kegiatan pejabat tinggi daerah. Tindakan-tindakan yang jelas merupakan pelanggaran kode etik jurnalistik.
Ada media daerah yang melakukan kontrak dengan bupati sebanyak dua halaman tiap terbit. Media bersangkutan harus mengisinya dengan berita-berita tentang kemajuan dan, tentunya, peran aktif pejabat bersangkutan membangun daerahnya. Ada daerah yang memiliki koran sendiri, dengan kepala biro umum dan humas kabupaten menjadi pemimpin redaksinya. Mungkin modalnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pula.
Dalam posisi pers seperti itu, tak mungkinlah publik bisa berharap wartawan dapat memenuhi tanggung jawab sosialnya mencari, mengumpulkan, menyimpan, mengolah, dan menyiarkan berita secara akurat dan berimbang. Apa lagi, ”melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum”, seperti diperintahkan UU Pers.
Lebih tidak mungkin lagi mengharapkan pers memenuhi hak publik untuk tahu jika pemilik modal, atau pemimpin redaksinya, mempunyai agenda politik/ekonomi dengan pejabat bersangkutan. Bukankah banyak pemilik media juga melakukan investasi di bidang lain dan berkepentingan mempertahankan ”hubungan baik” dengan pejabat di pusat dan daerah, demi memenangkan proyek?
RRI dan TVRI di daerah, dua lembaga penyiaran publik yang paling luas jangkauannya di negeri ini, tak banyak melakukan fungsinya. Tagihan listrik dan pasok diesel mereka sering dibiayai oleh pemda. Beberapa kali mereka terpaksa mengurangi jam siaran/jam tayang mereka.
Begitu eratnya ”hubungan baik” pejabat daerah dan (organisasi) wartawan setempat sehingga hampir di setiap APBD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota ada pos ”Pembinaan Wartawan” atau semacamnya.
Penelitian Aliansi Jurnalis Independen menemukan bahwa dana-dana pos ”Pembinaan Wartawan” itu digunakan untuk membantu membiayai perayaan ulang tahun organisasi wartawan, sewa gedung/kantor cabang organisasi wartawan, atau untuk melakukan seminar dan pelatihan. Ada yang jumlahnya sampai ratusan juta rupiah.
Jadi, wartawan yang telah menerima ”uluran tangan” pejabat daerah, lalu mengetahui bahwa di wilayahnya terjadi busung lapar, terjangkit wabah polio, tak mungkinlah dia diharapkan menyiarkan beritanya secara akurat dan imparsial. Anjing pun tak akan menggigit tangan yang memberinya makan.
Maka jangan heran kalau ada wartawan di pusat ataupun daerah yang menjadikan kartu persnya lebih sebagai alat untuk mencari makan. Dia sudah kehilangan jati dirinya; meninggalkan ciri-ciri seorang wartawan yang rasa ingin tahunya besar, bertanggung jawab kepada masyarakat, memiliki integritas tinggi, cermat mencari kebenaran sejauh mungkin dari tangan pertama, dapat diandalkan, melihat setiap masalah dengan kepala dan mata hati terbuka.
Dia tidak lagi punya keterlibatan pada masalah masyarakat, obyektivitasnya hilang, dedikasinya pupus. Matanya tidak lagi mencari detail suatu berita, semangatnya untuk mengejar berita dan mengungkapkan kebenaran sudah luluh. Hatinya beku, dia tidak lagi marah melihat ketidakadilan di sekitarnya. Kewajibannya untuk berpihak kepada golongan minoritas dan mereka yang tak terwakili terlupakan sudah.
Di pihak lain, pers setiap hari berhadapan dengan tembok tebal birokrasi serta seribu satu alasan pembenaran penguasa informasi yang dicari si wartawan adalah rahasia negara.
Maka bila masyarakat ingin pers menjalankan fungsinya, melakukan social control dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran, maka tugas pertama masyarakat adalah mengontrol pers supaya mereka tetap bebas, tidak terkooptasi dengan penguasa lewat pos-pos dana ”Pembinaan Wartawan”. Masyarakat yang harus mengontrol pers, bukan polisi, bukan negara.
Laporan-laporan pers tentang busung lapar dan wabah polio membuktikan lagi bahwa adalah demi kepentingan pemerintah sendiri bila mereka menghargai kemerdekaan pers. Hanya pers bebas yang bisa menyampaikan laporan-laporan independen.
Kalau tidak, mungkin setiap kali terjadi busung lapar atau timbul wabah di daerah, Presiden Yudhoyono harus mendamprat para gubernur dan bupati, dengan: ”Bikin apa Anda di daerah, kok sampai ada busung lapar?”

*)Abdullah Alamudi Lembaga Pers Dr Soetomo Pemimpin Redaksi Perskita. Naskah ini dimuat di Kompas, 7 Juli 2005.

No comments: