Search This Blog

Friday, July 01, 2005

Jurnalistik Pintu Terbuka


Pengantar:
NOVEMBER tahun lalu, Majalah GATRA berulang tahun ke-10. Usia yang masih muda. Saya ditugaskan untuk menulis prinsip jurnalistik GATRA. Tulisannya dimuat di edisi 11 Desember 2004, halaman 41-42.


DI tengah situasi yang terus berubah inilah kami harus senantiasa membuka diri untuk terus berbenah. Karena kami ingin majalah ini hidup "sampai seribu tahun lagi".

BANGUNAN tempat kami berkantor terletak di tengah kampung di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Kami tinggal di sini sejak pertengahan 1999, meninggalkan sebuah gedung megah di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Melemahnya nilai rupiah yang diikuti dengan rontoknya sejumlah perusahaan, imbasnya terasa pada kami juga.

Halaman iklan berkurang, ongkos cetak meningkat. Salah satu jalan efisiensi yang ditempuh Gatra dengan mencari gedung sendiri.Alhamdulillah, kami sudah lima tahun tinggal di sini, bertetangga dengan kantor kelurahan, sekolah dasar, SMP, warung kaki lima, hingga tukang ojek.

Ke sinilah sejumlah tamu, dari para pengambil keputusan tingkat menteri, ketua partai politik, sampai sejumlah kolega yang mengadukan nasibnya karena di-PHK, datang. Semuanya kami sambut dengan sukacita.

Lantai dua, tempat redaksi berkantor, mirip ruangan besar untuk pertemuan. Hanya ada meja-meja dengan pemisah yang tingginya sekitar 150 cm. Siapa pun bisa saling melihat, saling menyapa, bahkan --yang paling sering-- saling mengganggu. Di lantai dua itu, ada dua meja untuk rapat. Siapa pun yang kebetulan lagi lewat lalu ingin nimbrung dipersilakan. Hanya ada dua ruangan yang berpintu untuk awak redaksi. Satu untuk pemimpin redaksi, lainnya untuk redaktur senior, yang kesemuanya nyaris tak pernah menutup pintu.

Cara kami mendesain ruangan diniatkan sebagai cerminan atas sikap jurnalistik kami: keterbukaan. Keangkeran dan kerahasiaan dalam pengambilan keputusan ihwal berita dipangkas habis. Komunikasi antar-personal mendapatkan tempat penting. Diskusi bisa berlangsung di mana saja: di lorong antar-meja, di dapur sambil membuat kopi, atau di tempat duduk salah satu awak redaksi.

Saya teringat komentar Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, yang berkunjung ke kantor Gatra, dua tahun lalu. "Kantor redaksi memang harus begini ini," katanya, tatkala berkunjung ke lantai dua. Budayawan Erros Djarot, yang juga memimpin Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, juga datang ke tempat kami pada awal 2004, menjelang pemilu legislatif. "Kantornya enak, hawanya terasa nggak ada angker sama sekali."

Keterbukaan adalah salah satu hal penting yang harus kami junjung tinggi dalam mengarungi jagat jurnalistik. Asas ini membuat kami tak boleh menutup diri terhadap pendapat, kritik, bahkan mungkin hujatan terhadap berita-berita yang kami tampilkan. Kami tentu senang, bila tulisan kami mampu memuaskan sebagian besar pembaca.

Seperti disampaikan Ekky Syachrudin, Duta Besar Indonesia untuk Kanada, yang memuji edisi khusus Lebaran lalu sebagai "dahsyat, ruaarr biasa, dan heibat".Namun, kami juga tak sakit hati bila muncul pendapat yang mengkritik kami habis-habisan. Pengusaha dan politikus Enggartiasto Lukita, Jeffry Geovanie, dan Muhammad Lutfi beberapa kali menelepon kami khusus untuk mengomentari tulisan-tulisan politik dan ekonomi Gatra.

Salah satu dari mereka, misalnya, pernah menjewer kami dengan cukup pedas. "Kenapa tulisan Anda pekan ini begitu sopannya, sampai kami sulit memahami yang Anda maksud?" katanya suatu ketika. Asas keterbukaan membuat pengambilan keputusan ada kalanya terasa bertele-tele. Namun, ini adalah cara yang ampuh agar Gatra bisa terus melaju, menjaga objektifitas seoptimal mungkin.

Gatra yang tak memihak, yang bermanfaat bagi pembaca, adalah cita-cita kami. Sekitar enam tahun lalu, sebagian pembaca pernah mencap kami sebagai majalah yang menyuarakan kepentingan pemerintah, termasuk militer. Sebagian penulis kolom bahkan pernah memboikot tak menulis untuk Gatra.Pelan-pelan, citra buruk itu kami upayakan dikikis. Dengan kerja keras, serta keinginan menyajikan hanya yang terbaik bagi pembaca, setapak demi setapak kami memperbaiki citra.

Paling tidak, kami punya tekad untuk berdiri di tengah, tidak memihak ke kiri ataupun ke kanan. Kepentingan pembaca, itulah yang kami bela. Sejarah mengajarkan kepada kami, sebuah media yang memilih menjadi partisan, menjadi corong dari kepentingan politik pihak tertentu, akan rontok bersama jatuhnya pihak yang dibela.Alhamdulillah, tak ada lagi yang menolak menulis untuk Gatra, atau sumber berita yang menutup pintunya, karena alasan ideologi atau politik.
******
Dua tahun terakhir ini saya dipercaya menjadi pemimpin redaksi, menggantikan senior saya, Widi Yarmanto. Boleh dikata, saya tinggal melanjutkan iklim keterbukaan yang sudah ia tanamkan. Baik Mas Widi, demikian ia biasa kami sapa di kantor, saya, serta awak redaksi lain menyadari sepenuhnya, keterbukaan, serta kerendahan hati untuk mengakui adanya kelebihan pada pihak lain, baru merupakan modal awal.

Prinsip ini membuat pemimpin redaksi di Gatra seringkali mirip seorang penjaga rambu jurnalistik. Ia mengawasi apakah usulan yang disampaikan dalam rapat sesuai kaidah jurnalistik, serta tidak melanggar hukum. Sebagai peserta rapat, ia juga harus siap didebat, oleh siapa pun. Direktur PT Era Media Informasi, Budiono Kartohadiprodjo, pernah berkata pada saya, salah satu nilai lebih dari Gatra adalah tidak ada seseorang yang tampil sebagai "superstar", sosok angker yang tak bisa didebat.

Sehingga, kalau Anda bertanya, siapa pemegang otoritas tertinggi pengambil keputusan di redaksi Gatra, jawabannya sederhana: rapat redaksi. Dalam rapat lintas kompartemen yang berlangsung tiga kali sepekan inilah segala hal menyangkut isi majalah diputuskan. Mulai kalimat di sampul, jidat, kolom, hingga rubrik pendek seperti Gatrasiana dan Teropong, dirumuskan.

Untuk itu semua, dibutuhkan keterampilan jurnalistik, kemauan menggali persoalan sampai tuntas, kejujuran, serta kemampuan memahami masalah yang terus berkembang.Tanpa itu, Gatra akan cepat lekang dimakan jaman.

Sepuluh tahun lalu, tatkala majalah ini muncul, berita televisi belum seriuh sekarang. Radio berita, dotcom, serta multimedia, belum secanggih sekarang. Tema ekonomi juga belum serumit sekarang. Saya masih ingat, ketika itu, untuk mengetahui perubahan politik, saya cukup menguping embusan berita dari putra-putri Presiden Soeharto. Kini, persoalan jauh lebih kompleks.

Ambruknya majalah Far Eastern Economic Review serta Asiaweek, keduanya di Hong Kong, serta puluhan atau bahkan mungkin ratusan penerbitan lain, mengingatkan kami bahwa Gatra, sebagai sebuah majalah berita mingguan, menghadapi tantangan mahaberat. Dunia pers Indonesia memang diwarnai sejumlah keberhasilan. Tapi jauh lebih banyak yang namanya tinggal kenangan.Kami, awak redaksi, usaha, maupun keuangan, harus berupaya keras serta cerdas, untuk menaklukkan situasi penuh onak ini.

****
"KITA harus berubah." Kalimat itu terpampang di milis intranet yang bisa diakses setiap awak Gatra. Pengirimnya adalah Yudhistira ANM Massardi, salah satu redaktur senior Gatra. Ia memaparkan sejumlah persoalan serta solusi yang ia tawarkan. Perdebatan yang ia sampaikan itu mendapat tanggapan cukup riuh.

Perdebatan di milis itu semakin mengingatkan kami bahwa berpikir adalah pekerjaan yang harus terus-menerus kami lakukan. Majalah berita mempunyai sejumlah pakem standar yang tak boleh ditinggalkan. Di antaranya, kehangatan, magnitude, kedekatan, tokoh, angle lain. Namun, zaman terus bergerak.

Kami harus terus berpikir agar berbagai prinsip itu bisa kami terapkan secara lentur dan cerdas, seiring dengan perkembangan zaman.Time, Newsweek, US News and World Report, ketiganya majalah berita besar di Amerika, sudah banyak membenahi redaksinya, baik organisasi maupun penampilannya.

Berita-berita kesehatan, ilmu teknologi, multimedia, hiburan, dan gaya hidup di masa lalu hanya mendapat secuil tempat. Kini, laporan utama soal kanker, vitamin, atau luar angkasa menjadi hal yang tak asing lagi.Secara bertahap, kami juga berusaha untuk berubah, demi terus meningkatkan manfaat yang bisa kami berikan kepada pembaca.

Rubrik Ragam kami segarkan menjadi sesuatu yang lebih aplikatif, dan menyentuh keseharian pembaca. Gaya hidup, musik, hiburan, serta agama kami beri tempat yang makin banyak.Acapkali kami sengaja menyingkir dari arus utama pusaran berita, demi memberi berita yang segar kepada pembaca. Kami memang berkeyakinan, majalah berita tak boleh diniatkan sebagai rangkuman atas berita sepekan, apalagi bila berita itu sudah habis dikunyah-kunyah berbagai media. Unsur perbedaan, serta kemanfaatan bagi pembaca, harus kami pegang tinggi.

Di era yang makin melek teknologi seperti dewasa ini, kebutuhan pembaca akan berita di luar politik, ekonomi, hukum dan kriminalitas terus bertambah.Di tengah situasi yang terus berubah inilah kami harus senantiasa membuka diri untuk terus berbenah. Karena kami ingin majalah ini hidup "sampai seribu tahun lagi".

Iwan Qodar Himawan
(Diambil dari: Suplemen ''Kecap Dapur 10 Tahun GATRA'', Edisi GATRA, 11 Desember 2004)