Search This Blog

Wednesday, October 31, 2007

POLITIK INDONESIA ISRAEL

SANGAT tidak mudah untuk menentukan sikap dalam kaitan sikap politik Indonesia dengan Israel. Secara fakta, Israel memiliki peran cukup penting, baik di Timur Tengah maupun di dunia internasional. Dengan lobi yahudi-nya yang luar biasa, Israel memiliki banyak kaki, baik di pasar uang, pasar industri, politik internasional, maupun di pasar saham.

Anda tentu masih ingat, Paul Wolfowitz pernah tampil dalam demo mendukung Israel, di Washington. Padahal ketika itu ia menjadi wakil menteri pertahanan. Dalam perang Mesir-Israel pada 1973, yang dikenal sebagai perang sinai, Israel mendapat dukungan luar biasa dari Amerika, Inggris, dan negara Eropa lainnya.

Tapi di Indonesia, Israel belum mendapat tempat di hati. Indonesia belum memiliki hubungan diplomatik, walau hubungan nonformal sebetulnya berlangsug secara diam-diam. Israel masih menjadi faktor sensitif, di negara yang mayoritas penduduknya muslim ini. Tahun lalu, tim tenis Indonesia dilarang bertanding tennis melawan Israel, sehingga kena denda dan sanksi.

Tidak memiliki hubungan diplomatik terkadang menyulitkan. Kalau Anda, atau saya, ingin menjadi mediator dua pihak yang bertikai, tentunya Anda harus mengenal kedua pihak.
Dengan itu, Anda bisa ngomong baik ke pihak Israel maupun ke Palestina, Suriah. Sikap ini yang dimainkan Indonesia dalam kasus konflik Korea Selatan dan Korea Utara.


Alasan Indonesia membela Palestina, sehingga tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, juga bisa didebat. Jangan lupa, Mesir, yang jelas-jelas memiliki Universitas Al Azhar, sudah memiliki kedutaan besar di Tel Aviv.
Hubungan Indonesia dengan Israel cukup harmonis ketika Gus Dur menjadi presiden. Ia sempat melontarkan ide untuk memformalkan hubungan kedua negara. Namun Gus Dur terlanjur jatuh. Hubungan itu tidak sempat diwujudkan.
Berbagai persoalan itulah yang membuat kunjungan mommy ke Israel, 17-23 Oktober 2007 lalu, menarik, menantang, dan penuh kisah. Ada cerita soal pembangunan Israel yang luar biasa. Kehebatannya dalam membuat pertanian di tengah gurun, sehingga bisa memiliki ladang pertanian yang menghasilkan buah-buahan segar. Juga ada kisah cara kerja orang Israel yang efisien. Namun juga ada kisah sedih: kehilangan kamera, dikuntit intel Israel, hingga cerita kawannya yang kehilangan notes hasil wawancara dengan tokoh Hammas.
Di bawah ini kami kutipkan artikel di Kompas mengenai sulitnya posisi Indonesia dalam politik luar negeri dengan Israel.

Kompas, Sabtu, 29 Juli 2006
Ujian bagi Sikap Indonesia
Dunia bergerak makin memalukan! Kesetimbangan, keadilan, dan keberpihakan ternyata bisa diperjualbelikan secara gamblang di atas penderitaan kemanusiaan. Konflik Israel-Hezbollah dan tanggapan dunia makin menggamblangkan peta dunia sebenarnya.
Dunia seolah hanya seonggok roti konflik yang terpecah-belah dalam ideologi berbeda-beda. Siap meledak, tinggal menunggu pemicu. Tak akan ada lagi pidato soal kearifan kepada kemanusiaan, kebajikan, dan kebaikan, yang ada bagaimana mendominasi dan meluaskan hegemoni, apa pun caranya.
Amerika Serikat, setidaknya, telah tegas memilih garis politiknya untuk selalu membela Israel. Sekaligus mendekonstruksi peran badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi impoten.
Setidaknya political choice Amerika sudah tegas. Dalam politik, ketegasan pilihan politik itu penting, bahkan lebih penting dari soal benar-salah itu sendiri karena dalam politik kebenaran itu bersifat tak absolut.
Pertanyaannya, bagaimana garis pilihan politik Indonesia menanggapi konflik ini? Seperti biasa, pemerintah telah mengutuk agresi Israel. Namun, apakah itu cukup mencerminkan political choice sebagai sebuah bangsa yang katanya besar?
Ahli peneliti bidang politik Timur Tengah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga Ketua Indonesian Society for Middle East Studies M Hamdan Basyar mengatakan, Indonesia memang jelas mengecam tindakan Israel, namun ekspektasi publik belum terpuaskan dengan sikap pemerintah.
Hingga kini politik Indonesia masih dianggap tidak mandiri menghadapi kolaborasi Israel-Amerika Serikat. Politik yang katanya bebas aktif itu tak bisa bicara banyak menghadapi konflik di Timur Tengah ini.
"Kita tergantung secara ekonomi, terutama dengan Amerika Serikat. Itu permasalahannya. Kita ini kan di sisi lain mengecam Israel, tapi secara ekonomi Indonesia masih membutuhkan Amerika Serikat. Politik luar negeri kita jadi terombang-ambing," kata Hamdan.
"Kita tidak bebas secara politik maupun ekonomi. Namun, kita bisa bangkit kembali dan membuat kebijakan yang memperkuat politik maupun ekonomi. Kebangkitan ekonomi akan menjadikan posisi tawar Indonesia makin kuat dan tidak lagi terkungkung pada sistem kapitalis yang merugikan kelompok lemah," ujar Hamdan lagi.
Indonesia bukan mustahil bisa berperan aktif dalam mencari pemecahan konflik di Timur Tengah. Sejarah mencatat, Indonesia pernah punya inisiatif menggerakkan gerakan Nonblok. Apa pun hasil akhirnya, yang jelas Indonesia pernah menjadi leader dalam pergerakan dunia.
Di Timur Tengah kita bisa ikut terlibat aktif dalam agenda perdamaian. Namun syaratnya, Indonesia harus membenahi faktor ekonomi dan politik dalam negeri. "Di dalam negeri saja masih berantem, bagaimana kita mau memperjuangkan politik luar negeri?" katanya.
Pasukan perdamaian
Dalam konflik ini, salah satu komitmen Indonesia akan mengirim pasukan perdamaian. "Kita akan mengirim pasukan perdamaian dalam kerangka PBB, tapi kita belum tahu persis kerangkanya seperti apa," kata Hamdan.
"Jangan hanya ikut saja, kita perlu hati-hati dan mencermati agar tidak terjebak dalam skenario yang menjebak dan merugikan diri kita sendiri. Kalau kita jadi mengirim pasukan perdamaian, kita harus tahu betul bagaimana agenda yang disepakati bersama itu," lanjut Hamdan.
Menurut Hamdan, jangan sampai Indonesia mengirim pasukan perdamaian, namun akhirnya muncul agenda gencatan senjata yang akan melucuti senjata pasukan Hezbollah, misalnya. "Saya kok khawatir kalau kita ikut melucuti Hezbollah ini bisa dijadikan suatu momen politik oleh kelompok-kelompok Islam di Indonesia sendiri untuk mengacaukan pemerintah," begitu pesannya.
Kalau Hezbollah dilucuti, Israel juga harus diberikan hukuman karena sudah melakukan perang yang membunuh sekian banyak orang. Kalau tanpa itu, hanya sekadar melucuti senjata Hezbollah, akan ada ketimpangan dan ketidakadilan.
"Kalau pasukan kita ikut ke sana, saya justru khawatir akan dimanfaatkan oleh elite politik kita untuk menyerang pemerintah," kata Hamdan. Karena itu, Indonesia harus mencermati betul apa yang terjadi di sana.
Upaya untuk menggunakan jalur Dewan Keamanan PBB hanya sia-sia karena sudah jelas Amerika Serikat akan memberikan hak vetonya. Namun, setidaknya upaya ke sidang majelis PBB bisa ditempuh untuk memetakan sikap negara-negara dunia.
Cara lain, menurut Hamdan, sebenarnya bisa dilakukan masyarakat, yaitu dengan memboikot produk-produk negara yang mendukung Israel. Terdengar klise dan sulit dilakukan. "Memang sulit, makanya dibutuhkan penggalangan kesadaran," katanya.
Seperti peristiwa-peristiwa sebelumnya yang terkait konflik Israel-Palestina, respons yang nyata justru datang dari kelompok masyarakat yang memiliki ikatan dengan Palestina. Seperti yang sudah-sudah, kali ini mereka juga siap diberangkatkan sebagai pasukan jihad melawan Israel. Berbagai tanggapan muncul terkait pengiriman pasukan jihad ke Lebanon karena dianggap konyol.
Kejadian yang berulang-ulang ini timbul setidaknya dipicu rasa tidak puas atas sikap politik Indonesia yang tak tegas. Bisa jadi sikap santai ini justru sikap rasional, namun bisa juga cerminan lain dari efek ketergantungan ekonomi.
Soal pengiriman relawan atau semacam pasukan berani mati ke Lebanon, Hamdan justru mengkhawatirkan gerakan seperti ini. "Ketika mengirim pasukan berani mati ke sana hanya bermodalkan semangat tapi tak ada keahlian, justru akan merepotkan mereka, bukan membantu," katanya.
Melihat lebih luas
Pengamat konflik dari Universitas Gadjah Mada Samsurizal Panggabean mengatakan, saat ini yang harus dihadapi pemerintah adalah opini publik untuk menentang serangan Israel. Sudah banyak yang menuntut pemerintah agar mengambil langkah-langkah yang tegas untuk mengecam pihak yang bertikai supaya ada gencatan senjata.
Indonesia siap mengirim pasukan pemelihara perdamaian, tapi sekarang keadaannya masih gawat. "Sebenarnya tidak banyak yang bisa diperbuat Indonesia, paling hanya menggalang solidaritas di tingkat ASEAN maupun Organisasi Konferensi Islam (OKI)," kata Panggabean.
Panggabean mengingatkan, Indonesia harus melihat konflik ini dalam skala yang lebih luas. Fokusnya adalah ikut memikirkan penyelesaian jangka panjang untuk menghentikan konflik sampai ke akar-akarnya.
Diperlukan terobosan upaya internasional untuk ikut menyelesaikan persoalan ini di luar PBB. Karena PBB sering kali menempatkan Israel dalam posisi bersalah, Israel tidak lagi tunduk pada aturan lembaga internasional ini. Oleh karena itu, menurut Panggabean, PBB bukan menjadi lembaga yang cocok untuk mengatasi konflik itu.
Dalam perjalanan lebih lanjut, akhirnya Lebanon tidak lagi bisa mengendalikan Hezbollah. Organisasi perlawanan tersebut bagaikan "negara dalam negara". Bahkan, Hezbollah memiliki angkatan darat yang tidak patuh kepada angkatan darat Lebanon.
Beberapa negara Timur Tengah sendiri menyalahkan Hezbollah karena dengan aksinya itu memberi alasan bagi Israel untuk memulai peperangan. "Kalau sudah marah, Israel sering ngawur," ujar Panggabean. Sabtu, 29 Juli 2006
Ujian bagi Sikap Indonesia
Dunia bergerak makin memalukan! Kesetimbangan, keadilan, dan keberpihakan ternyata bisa diperjualbelikan secara gamblang di atas penderitaan kemanusiaan. Konflik Israel-Hezbollah dan tanggapan dunia makin menggamblangkan peta dunia sebenarnya.
Dunia seolah hanya seonggok roti konflik yang terpecah-belah dalam ideologi berbeda-beda. Siap meledak, tinggal menunggu pemicu. Tak akan ada lagi pidato soal kearifan kepada kemanusiaan, kebajikan, dan kebaikan, yang ada bagaimana mendominasi dan meluaskan hegemoni, apa pun caranya.
Amerika Serikat, setidaknya, telah tegas memilih garis politiknya untuk selalu membela Israel. Sekaligus mendekonstruksi peran badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi impoten.
Setidaknya political choice Amerika sudah tegas. Dalam politik, ketegasan pilihan politik itu penting, bahkan lebih penting dari soal benar-salah itu sendiri karena dalam politik kebenaran itu bersifat tak absolut.
Pertanyaannya, bagaimana garis pilihan politik Indonesia menanggapi konflik ini? Seperti biasa, pemerintah telah mengutuk agresi Israel. Namun, apakah itu cukup mencerminkan political choice sebagai sebuah bangsa yang katanya besar?
Ahli peneliti bidang politik Timur Tengah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga Ketua Indonesian Society for Middle East Studies M Hamdan Basyar mengatakan, Indonesia memang jelas mengecam tindakan Israel, namun ekspektasi publik belum terpuaskan dengan sikap pemerintah.
Hingga kini politik Indonesia masih dianggap tidak mandiri menghadapi kolaborasi Israel-Amerika Serikat. Politik yang katanya bebas aktif itu tak bisa bicara banyak menghadapi konflik di Timur Tengah ini.
"Kita tergantung secara ekonomi, terutama dengan Amerika Serikat. Itu permasalahannya. Kita ini kan di sisi lain mengecam Israel, tapi secara ekonomi Indonesia masih membutuhkan Amerika Serikat. Politik luar negeri kita jadi terombang-ambing," kata Hamdan.
"Kita tidak bebas secara politik maupun ekonomi. Namun, kita bisa bangkit kembali dan membuat kebijakan yang memperkuat politik maupun ekonomi. Kebangkitan ekonomi akan menjadikan posisi tawar Indonesia makin kuat dan tidak lagi terkungkung pada sistem kapitalis yang merugikan kelompok lemah," ujar Hamdan lagi.
Indonesia bukan mustahil bisa berperan aktif dalam mencari pemecahan konflik di Timur Tengah. Sejarah mencatat, Indonesia pernah punya inisiatif menggerakkan gerakan Nonblok. Apa pun hasil akhirnya, yang jelas Indonesia pernah menjadi leader dalam pergerakan dunia.
Di Timur Tengah kita bisa ikut terlibat aktif dalam agenda perdamaian. Namun syaratnya, Indonesia harus membenahi faktor ekonomi dan politik dalam negeri. "Di dalam negeri saja masih berantem, bagaimana kita mau memperjuangkan politik luar negeri?" katanya.
Pasukan perdamaian
Dalam konflik ini, salah satu komitmen Indonesia akan mengirim pasukan perdamaian. "Kita akan mengirim pasukan perdamaian dalam kerangka PBB, tapi kita belum tahu persis kerangkanya seperti apa," kata Hamdan.
"Jangan hanya ikut saja, kita perlu hati-hati dan mencermati agar tidak terjebak dalam skenario yang menjebak dan merugikan diri kita sendiri. Kalau kita jadi mengirim pasukan perdamaian, kita harus tahu betul bagaimana agenda yang disepakati bersama itu," lanjut Hamdan.
Menurut Hamdan, jangan sampai Indonesia mengirim pasukan perdamaian, namun akhirnya muncul agenda gencatan senjata yang akan melucuti senjata pasukan Hezbollah, misalnya. "Saya kok khawatir kalau kita ikut melucuti Hezbollah ini bisa dijadikan suatu momen politik oleh kelompok-kelompok Islam di Indonesia sendiri untuk mengacaukan pemerintah," begitu pesannya.
Kalau Hezbollah dilucuti, Israel juga harus diberikan hukuman karena sudah melakukan perang yang membunuh sekian banyak orang. Kalau tanpa itu, hanya sekadar melucuti senjata Hezbollah, akan ada ketimpangan dan ketidakadilan.
"Kalau pasukan kita ikut ke sana, saya justru khawatir akan dimanfaatkan oleh elite politik kita untuk menyerang pemerintah," kata Hamdan. Karena itu, Indonesia harus mencermati betul apa yang terjadi di sana.
Upaya untuk menggunakan jalur Dewan Keamanan PBB hanya sia-sia karena sudah jelas Amerika Serikat akan memberikan hak vetonya. Namun, setidaknya upaya ke sidang majelis PBB bisa ditempuh untuk memetakan sikap negara-negara dunia.
Cara lain, menurut Hamdan, sebenarnya bisa dilakukan masyarakat, yaitu dengan memboikot produk-produk negara yang mendukung Israel. Terdengar klise dan sulit dilakukan. "Memang sulit, makanya dibutuhkan penggalangan kesadaran," katanya.
Seperti peristiwa-peristiwa sebelumnya yang terkait konflik Israel-Palestina, respons yang nyata justru datang dari kelompok masyarakat yang memiliki ikatan dengan Palestina. Seperti yang sudah-sudah, kali ini mereka juga siap diberangkatkan sebagai pasukan jihad melawan Israel. Berbagai tanggapan muncul terkait pengiriman pasukan jihad ke Lebanon karena dianggap konyol.
Kejadian yang berulang-ulang ini timbul setidaknya dipicu rasa tidak puas atas sikap politik Indonesia yang tak tegas. Bisa jadi sikap santai ini justru sikap rasional, namun bisa juga cerminan lain dari efek ketergantungan ekonomi.
Soal pengiriman relawan atau semacam pasukan berani mati ke Lebanon, Hamdan justru mengkhawatirkan gerakan seperti ini. "Ketika mengirim pasukan berani mati ke sana hanya bermodalkan semangat tapi tak ada keahlian, justru akan merepotkan mereka, bukan membantu," katanya.
Melihat lebih luas
Pengamat konflik dari Universitas Gadjah Mada Samsurizal Panggabean mengatakan, saat ini yang harus dihadapi pemerintah adalah opini publik untuk menentang serangan Israel. Sudah banyak yang menuntut pemerintah agar mengambil langkah-langkah yang tegas untuk mengecam pihak yang bertikai supaya ada gencatan senjata.
Indonesia siap mengirim pasukan pemelihara perdamaian, tapi sekarang keadaannya masih gawat. "Sebenarnya tidak banyak yang bisa diperbuat Indonesia, paling hanya menggalang solidaritas di tingkat ASEAN maupun Organisasi Konferensi Islam (OKI)," kata Panggabean.
Panggabean mengingatkan, Indonesia harus melihat konflik ini dalam skala yang lebih luas. Fokusnya adalah ikut memikirkan penyelesaian jangka panjang untuk menghentikan konflik sampai ke akar-akarnya.
Diperlukan terobosan upaya internasional untuk ikut menyelesaikan persoalan ini di luar PBB. Karena PBB sering kali menempatkan Israel dalam posisi bersalah, Israel tidak lagi tunduk pada aturan lembaga internasional ini. Oleh karena itu, menurut Panggabean, PBB bukan menjadi lembaga yang cocok untuk mengatasi konflik itu.
Dalam perjalanan lebih lanjut, akhirnya Lebanon tidak lagi bisa mengendalikan Hezbollah. Organisasi perlawanan tersebut bagaikan "negara dalam negara". Bahkan, Hezbollah memiliki angkatan darat yang tidak patuh kepada angkatan darat Lebanon.
Beberapa negara Timur Tengah sendiri menyalahkan Hezbollah karena dengan aksinya itu memberi alasan bagi Israel untuk memulai peperangan. "Kalau sudah marah, Israel sering ngawur," ujar Panggabean.
Namun, ditegaskan Panggabean, perang ini tak akan ada akhirnya dan tak ada kaitannya dengan agama. Ini persoalan negara bangsa yang selalu merasa terancam.
Apa pun alasannya, Hezbollah-Israel-Palestina diharapkan tidak lagi mengadu kekuatan senjata, roket, dan tentaranya untuk mencari penyelesaian. Hanya ada satu cara penyelesaian beradab yang bisa ditempuh: perundingan damai. (IRN/AMR)
Namun, ditegaskan Panggabean, perang ini tak akan ada akhirnya dan tak ada kaitannya dengan agama. Ini persoalan negara bangsa yang selalu merasa terancam.
Apa pun alasannya, Hezbollah-Israel-Palestina diharapkan tidak lagi mengadu kekuatan senjata, roket, dan tentaranya untuk mencari penyelesaian. Hanya ada satu cara penyelesaian beradab yang bisa ditempuh: perundingan damai. (IRN/AMR)

TERTAWA DAN MENANGIS


Ini pemandangan dua orang iseng. Pagi itu, di bulan puasa 1428 H lalu, ayah lagi baca koran di ruang belakang. Tiba-tiba dari belakang nongol kaki, menggamit pundak. Upss.... badan seberat 34 kg langsung menimpa.
Sekali-kali Darrel diberi pelajaran. Saya terus berdiri. Hehe... dia ketakutan. Apalagi ketika saya mendekat kulkas. ''Ayah tinggal di atas kulkas, terus ayah tinggal...''
Nangisnya keras bangat. Nggak ketulungan... Nangisnya cukup lama, karena Darrel tidak segera diturunkan. Menunggu mommy yang harus bongkar-bongkar tas, mencari kamera..
Posted by Picasa

Tuesday, October 30, 2007

HATI TETAP DI PALESTINA, KATA PAK DUBES


10/24/07 14:48

Envoy: Palestine, Indonesia move to concrete cooperation


Jakarta (ANTARA News) - Palestinian Ambassador to Indonesia Fariz Mehdawi said the visit of Palestinian President Mahmoud Abbas was successful as the two nations had agreed to embark on concrete cooperation.

Palestine and Indonesia signed a number of Memorandums of Understanding (MoUs) which would be implemented and followed by concrete actions, Ambassador Mehdawi told ANTARA News after the conclusion of the state visit of President Mahmoud Abbas to Jakarta, from October 21 to 23, 2007.

The MoUs signed by the two countries last Monday were on news exchange between ANTARA News Agency and Wafa News Agency, training and courses for Palestinian diplomats and policemen, sister-city cooperation between Al Quds (Jerusalem) and Jakarta, and regular consultations between the two administrations.

The ambassador said the two nations decided to move forward to concrete cooperation from their previous efforts which were mostly political and moral in nature.

The sister-city cooperation was important and Jakarta could help develop the infrastructure of East Jerusalem and prevent Israel from making it a Jewish city, he said.

Mehdawi also said that cooperation between both nations` media was significant, particularly to enable Indonesian journalists to witness the situation in Palestine directly.

He said at present a number of Indonesian chief editors, including Endy Bayuni of the Jakarta Post, Uni Lubis, and those from Tempo and Metro TV, were in Israel at the invitation of the Jewish Community in Australia.

Before leaving for Israel, they held a meeting with the Palestinian ambassador to ask about the latest situation and seek possibilities to meet Palestinina sources, he said.

Mehdawi said although the journalists` visit was not at the invitation of Palestine, he knew that the Indonesian media always supported Palestine.

Touching on the conflict between Hamas and Fatah, the Ambassador said Indonesia had offered to help resolve their dispute. Several religious and political figures such as Nur Hidayat Wahid, chairman of the People`s Consultative Assembly, and a leader of the PKS (Prosperous Justice Party) who had contacts with Hamas, could convince Hamas to return to the situation before Hamas` coup d`etat last June 14, 2007, the ambassador said.

Mehdawi said that despite their conflict, Hamas and Fatah had the same objective, namely to fight against Israeli occupation and to strive for an independent and sovereign Palestinian nation. (*)

Copyright © 2007 ANTARA



Posted by Picasa

KE YERUSALEM MOMMY DATANG

PADA 17 oktober lalu, mommy berangkat ke Israel selama sepekan. Ia ke sana tepat sehari setelah pulang dari acara mudik di Yogya.

Israel negara yang masih kontroversi bagi sebagian warga Indonesia. Tim tennis Indonesia tahun lalu sampe membatalkan pertandingannya melawan Israel. Pasukan Perdamaian Indonesia yang dikirim dengan bendera PBB juga tersendat-sendat keberangkatannya, antara lain karena ditentang Israel.

Indonesia memang masih belum menjalin hubungan diplomatik dengan negara di Timur Tengah itu.

Tapi, turis Indonesia tiap tahun yang ke Yerusalem, ribuan jumlahnya. Yerusalem merupakan kota suci tiga agama: Islam, Kristen-Katholik, Yahudi. Di Masjidil Aqsha nabi Muhammad mengalami peristiwa spiritual amat penting dalam Isra Mikraj. Yesus Kristus, diyakini dimakamkan di Yerusalem. Dinding ratapan, salah satu tempat suci kaum Yahudi, ada di Yerusalem.

Maka, ketika mendapat undangan untuk berkunjung ke Yerusalem, mommy langsung mengiyakan. Apalagi, mendapat kesempatan salat di masjidil Aqsha merupakan anugerah tersendiri. Ini merupakan tempat suci yang diagungkan, selain Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Berikut ini adalah berita kunjungan mommy dan kawan-kawannya, yang dimuat di Yerusalem Post. Cerita perjalanan mommy rencananya dimuat terpisah.

Nine Senior Indonesian Journalists Visit to Israel

Calev Ben-David ,

THE JERUSALEM POST Oct. 22, 2007
---------------------------------------------------------------------------­-----
Indonesian anchorwoman Metuya Hafid hosted an on-air discussion last year with Iranian President Mahmoud Ahmadinejad. "I have to say he spoke very impressively and seemed to win over our audience," said Hafid.
This week the petite presenter for Metro TV Newsis getting her very first look at the nation Ahmadinejad would like to see wiped off the map; Hafid is here as a participant in a ground-breaking first visit to Israel by a group of top Indonesian journalists.
Although Israel has no diplomatic relations with Indonesia, it has long maintained unofficial ties with the world's most populous Muslim nation (238.5 million).
Several Israeli officials have made brief visits there, and former Indonesian president Abdurrahman Wahid was an outspoken advocate of normalizing relations.
But despite reports of covert security and economic cooperation between Jakarta and Jerusalem, Indonesia has thus far refused to even permit the opening of joint trade offices, and no Indonesian correspondent reports from here.
"We would probably need to see a final-status agreement between Israel and the Palestinians before full diplomatic relations are permitted," said Bambang Harymurti, editor-in-chief of Tempo Weekly magazine.
He is one of eight journalists in the group brought here through the joint efforts of the Australian Israel & Jewish Affairs Committee (AIJAC) and the American Jewish Committee.
"This is part of our continuing efforts to bring here individuals of influence from southeast Asian nations, some of which, such as Indonesia, as yet have no official relations with Israel," said Dr. Colin Rubenstein, executive director of AIJAC, who accompanied the group.
"With Indonesia, we are helped by the fact that there is intense cooperation now between Australia and Indonesia on all levels, including the fight against terrorism. There has also been a liberalization process in Indonesia that includes a freer and more diverse media there, which includes, in some cases, presenting a more nuanced, accurate picture of the situation in the Middle East."
Nonetheless, Rubenstein added, arranging the journalists' visit was a complex undertaking, done in consultation with Indonesians such as Wahid, and with what he called the "tacit approval" of the authorities. Still, he said that some media outlets refused to come.
One who jumped at the chance was Endy Bayuni, editor-in-chief of the English-language Jakarta Post.
"There is new thinking in Indonesia, including in the government, about upgrading relations with Israel," said Bayuni, "although that always generates negative reactions from the extreme Islamic politicians. But Israelis are quietly doing business with Indonesians, and in places like Bali you can see Israeli flags openly displayed in tourist stores or restaurants."
The Jakarta Post, he added, regularly ran columns by Emanuel Shahaf, a former Israeli diplomat to southeast Asia.
Since arriving Thursday, the Indonesians have met with several Israeli and Palestinian officials, including Foreign Minister Tzipi Livni, who told them that the pace of normalization of relations between Muslim nations such as Indonesia and Israel should follow the quickening pace of Israeli-Palestinian peace talks.
On Sunday the group went on an all-day guided helicopter tour conducted by The Israel Project, which took them from Sderot up to the Golan Heights.
They were especially interested in the situation on the Lebanese border, since last year a group of 1,000 Indonesian soldiers joined the enlarged multinational peacekeeping force put into place in southern Lebanon after the end of the Second Lebanon War.
The Israeli approval for Indonesia's participation was in and of itself a sign of relations warming "under-the-radar," as Jerusalem had earlier said it would not okay any Arab or Muslim countries with whom it did not have open relations.
"There is a lot of interest in Indonesia about how those troops are doing," said Bayuni, "especially since one of the soldiers is the son of our current president, Susilo Bambang Yudhoyono."
The visit has been an eye-opening experience for some of the journalists. "Frankly, before coming here I thought of Israel as something of a police state," said Harymuti, "but you probably see more police and soldiers on the streets of Jakarta."
At the end of their helicopter tour of the country, all the Indonesian journalists had the same reaction, one perhaps not surprising from citizens of a nation formed out of some 17,500 islands stretching out over 5,000 km. "Israel," concluded Harymuti, "is a small country."


Posted by Picasa

Friday, October 26, 2007

SENAYAN CITY

ADA tempat belanja baru di Jakarta: Senayan City. Tempatnya persis di seberang Plaza Senayan. Tempatnya guede banget. Menurut beberapa kawan, si Senayan City begitu datang langsung menggebrak. Akibatnya langsung terasa bagi toko di seberangnya. Kebetulan (ato sengaja??) merek-merek besar yang buka konter di Plaza Senayan juga buka di Senayan City. Akibatnya, persaingan di antara cabang-cabang itu langsung terasa.
Bude Yeni dan mbak Tifa, April lalu --jadi posting ini rada terlambar-- ke Jakarta. Mereka menyusul Pakde Joni yang lagi seminar. Sehabis seminar di sebuah hotel, mereka menginap di rumah Permata Timur. Nah, mereka diajak oleh Mommy Uni ke Senayan City, untuk menikmati pemandangan plaza yang baru. Kebetulan kami belum pernah ke sana.
Tempatnya dijamin rame sekali. Kalo tidak pake sopir, rasanya malas. Untuk parkir, harus melewati jalur berliku, dan mencari tempatnya tidak gampang. Untung ada petunjuk jumlah ruang kosong di tiap lantai...
Sehabis makan, kami berfoto-foto. Foto di tempat yang ada tangganya itu kami lakukan sambil menunggu sopir.
Posted by Picasa

EMPAT SEKAWAN

JUNI lalu, Bude Tiwi mengantar tiga puterinya ke Yogya. Ketiganya, Kak Fita--di foto pake kaca mata, Kak Shifa, ini yang pake kaos hitam, dan Kak Shila, yang paling kecil, ke Yogya untuk sekolah. Mereka mengikuti orangtuanya, yaitu Pakde Rusdi dan Bude Tiwi, yang lagi mengambil sekolah doktor. Oktober ini sekolah doktor mereka dimulai. Kita harapkan semuanya berjalan lancar.


Fita pindah dari sekolahnya di Lampung ke SMP 16 Yogyakarta. Sekolahnya terletak di bekas Rumah Sakit Mangkuwilayan, Yogyakarta. Bagi generasi sekarang, rumah sakit ini mungkin tidak dikenal, karena rumah sakit milik UGM kini hanya terpusat di RSUP Dr. Sardjito. Dulu, rumah sakit UGM tersebar di beberapa tempat. Ada di Pugeran (untuk umum), Mangkuyudan (untuk kebidanan), Mangkuwilayan (kulit, kelamin, dan THT). Laboratoriumnya di sebuah ndalem, di Pasar Ngasem ke barat.
Kini, rumah sakitnya sudah dikumpulkan jadi satu. Kalau tidak salah, itu sejak pertengahan 1970-an, sekitar 1975. Karena saya ingat, ketika masih SD di kelas 5, saya sempat periksa di RS Mangkuwilayan.
Kini, rumah sakit Mangkuwilayan itu menjadi SMP 16. Bekas rumah sakit Pugeran menjadi SMA 7. Sedang laboratorium di Ngasem ke Barat itu menjadi SMA Mataram. Adapun SMP 16 mempunyai sedikit hubungan historis dengan keluarga. Karena, Eyang Siti Asiyam pernah menjadi kepala sekolah di situ.
Darrel sangat senang kalo kakak-kakaknya datang. Dia punya kesempatan untuk memamerkan mainan barunya, keahliannya bermain game. Yang juga tak kalah penting: ada kakak yang bisa diganggu, dan tidak marah..hehehehe...
Ketika kak Shifa lagi duduk di kursi, Darrel datang. ''Oh kak Shifa...'' Langsung kak Shifa dipeluk.
Kak Shifa ketakutan, sambil berteriak-teriak.
Untung masih kecil...
Shifa kini duduk di kelas 3 SD Suryodiningratan 3 Yogyakarta. Letak sekolahnya sekitar 700 meter dari rumah Eyang Kakung dan Eyang Puteri di Suryodiningratan, Yogyakarta. Tiap hari ia ke sekolah dengan berjalan kaki. Kadang-kadang, kalo jadwalnya pas, ia mbonceng kakaknya, Kak Reza, yang kini di kelas 3 SMA 1 Yogya. Sedang kak Shila masih di TK.
Posted by Picasa

TIGA PASUKAN BARU


KECIL-KECIL mereka sudah melek komputer. Kapanpun, kalo ada kesempatan: main game. Paling favorit adalah vermints. Ini kisah tikus bernama vermints yang mencuri telur. Makin banyak telur yang bisa dimakan, nilainya makin gede. Nah, untuk menggapai si telur itu kadang-kadang harus melewati tantangan berat. Misalnya, rawa-rawa, jalanan, ketemu burung pemangsa tikus. Mommy, tante atik, om sigit, mungkin belum begitu paham vermints. Tapi coba tanyakan pada trio gamers itu. Dengan lancar mereka bisa bertutur.

Yang berbaju kaos kopassus itu adalah Darrel, putera keluarga Iwan-Uni. Yang di tengah, cewek, namanya Shila. Ini puteri ke04, alias bungsu (saat ini, karena mungkin tahun depan akan muncul nomor 5) dari keluarga Tiwi-Rusdi. Yang pake baju merah namanya Haidar, bungsu alias nomor dua dari keluarga Sigit-Nurul.

Mereka bertemu sewaktu lebaran di Yogya, Oktober lalu.
Posted by Picasa

Wednesday, October 24, 2007

Kwartet Sok Enom


Senin 15 Oktober, saya mengundang tiga kawan untuk makan siang di Panembahan. Ini adalah rumah keluarga mommy. Ibunya mommy, alias eyangnya Darrel, menghabiskan masa kecilnya di rumah Panembahan. Dalam bahasa orang Jawa, rumah semacam itu disebut sebagai rumah pusaka.

Saya sengaja mengundangnya ke Panembahan, karena di garasi ada yang jualan lotek. Namanya ''Lotek Yu Lastri''. SEhingga kami tidak perlu memasak, atau mencuci. Pokoknya nyaman... Sehabis acara makan, kami berfoto-foto. Hehe.. ketoke jadi enom lagi... Saya kenal Himawan sejak 1977, alias 30 tahun lalu, sewaktu di SMP 5 Yogya. Himawan di kelas J, saya di F. Himawan tinggal di Karangkajen. Istrinya bernama Anis, juga lulusan SMP 5, namun 10 tahun lebih muda.
Wahyudi saya kenal sejak SMA 1, alias 27 tahun lalu. Lama juga ya? Saya tidak tahu, kalo bertemu Wahyudi lagi 27 tahun mendatang, apa yang terjadi. Apakah saya masih hidup. Apakah Wahyudi, Himawan, juga Sumadi, masih hidup??? Wallahu alam...
Perkenalan saya paling lama ya dengan Sumadi. Ia kawan sebangku pada saat saya di SD Suryodiningratan III, itu terjadi pada 1973, alias 34 tahun lalu.
Alhamdulillah, kami masih bisa berkumpul, masih bisa tertawa, dan masih diberi kesehatan.

LEBARAN ITU YA MUDIK UNTUK KUMPUL

SUDAH 16 tahun saya merantau di Jakarta. Pada 2004, ayah dan mommy menempati rumah di Bekasi Selatan. Jakarta jadi tempat mencangkul, Bekasi jadi tempat tinggal. Sejak merantau sampai sekarang, rasanya tidak afdhol kalo pas lebaran tidak pulang kampung. Ketemu bapak, ibu, saudara, dan kawan-kawan lainnya. Ada perasaan yang hilang, rasa yang tidak nyaman, kalo melihat di televisi jutaan orang hilir mudik ke kampungnya. Sementara kita cuma tinggal di rumah. Wiihhhh...

Harian Kompas pernah memberitakan mengenai perasaan orang-orang yang tidak pulang kampung di saat lebaran. Saya masih teringat ucapan salah satu nara sumbernya: kalo tidak pulang, rasanya saya menangis setiap mendengar suara takbir... Saya jadi teringat pada suasana kampung.

Penyair WS Rendra mendefinisikan suasana seperti itu sebagai ''ikatan tanah''. Setiap orang akan merasakan magnet tertentu, yang senantiasa menariknya untuk teringat pada kampungnya. Situasi ini diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk. Orang Banyumas memiliki ''seruling mas'', seruan eling marang banyumas. Orang Minang punya ''gebu minang'', gerakan seribu minang. Orang Gunungkidul punya ''perhimpunan warga gunungkidul di jakarta''. Dalam skala lebih luas, orang China perantauan memiliki guanxi, perhimpunan china di rantau.

Bila pintar memanfaatkan potensi mereka yang di rantau, gelontoran ekonomi yang besar akan mengalir ke kampung...
*********

LEBARAN ini saya juga pulang ke kampung. Sebagai warga Muhammadiyah, saya ikut lebaran pada Jumat 12 Oktober 2007. Mommy juga salat id pada hari yang sama. Namun karena dia lagi banyak sekali pekerjaan, maka dia baru pulang ke Yogya pada13 Oktober. Kami memilih naik Garuda. Tiketnya sudah dipesan sebelum puasa dimulai. Hehehehe... mudiknya niat banget ya?

Mas Faisal Heryono, panggilan resminya adalah mas Joni, adalah kakak ipar kami. Ia suami dari mbak Yeni, kakak sulung. Mas Joni pulang tanggal 10, dua hari sebelum lebaran. Sementara Om Sigit Widyatmoko, yang paling bungsu, datang ke Yogya pada hari Sabtu, alias 13 Oktober padi. Keluarga mbak Tiwi-mas Rusdi tidak perlu mudik. Sejak tiga bulan ini mereka tinggal di Yogya untuk kuliah S3. Sedang Tante Atik dan Om Ando berlebaran di Dubai. Mereka baru Agustus lalu tinggal di negeri jauh itu, sehingga nanggung untuk balik.

Jadinya, suasana terasa meriah dan nyaman. Rumah Suryodiningratan di masa lalu hanya biasa keisi untuk tujuh orang. Lebaran ini, jumlahnya sudah menggembung. Bapak, ibu, mbak tiwi, mas rusdi, reza, shifa, fita, sila, om sigit, tante nurul, haidar, isfi, ayah, mommy, darrel. Wah... 15 orang. Sedap ya?

Ke-15-an itu, ditambah keluarga mbak Yeni, ke Klaten pada hari Ahad. Ada tambahan pasukan baru: mas Suroto dan keluarga. Mas Suroto berangkat sendiri dari rumahnya di Gunungkidul, untuk bertemu mas Sumpono. Mas Suroto dan Mas Sumpono pernah tinggal di keluarga Pak Syarief pada 1970-1974.

Sepulang dari Klaten, kami mampir ke kediaman Bu Warsito --mommynya om Ando, dan bu Zaidan--mommynya Pakde Joni.

*********

Buat apa sebetulnya lebaran dan berbagai silaturahmi itu dilakukan?

KH Cholil Bisri --semoga beliau diterima di sisi Allah SWT, pengasuh Pesantren Raudhatul Tholibin, Rembang, Jawa Tengah, pada Desember 2001 menulis artikel di Kompas.. Judulnya ''SHILATURAHMI DALAM HIKMAH FITRI''.

Saya salinkan di sini tulisannya:

BERBILANG Ramadhan telah kita lalui. Kita bisa berkata kepada
diri sendiri: Aku telah selesaikan kewajiban "berpuasa" dengan mulus,
tanpa mokel sehari pun. Tetapi, rasanya masih saja diri ini belum
bersih dari noda-noda dosa. Lapar yang kita rasakan seperti tidak
menyentuh apa-apa dari kulit nurani kita. Kita masih acuh terhadap
mereka yang lapar, tidak hanya di bulan orang-orang beriman berpuasa.

Berlapar dan dahaga di siang hari, seperti para dlu'afaa biasa kenyam
setiap hari. Kita rasakan yang dirasakan para fakir-miskin. Tetapi,
mereka belum-untuk tidak mengatakan "tidak"-kita ajak merasakan
kekenyangan kita akan kelebihan rezeki, pada setiap saat. Menurut
hadits, ketika seseorang berkurang dosanya dan bertambah banyak
pahala yang bakal diperolehnya karena di bulan Ramadhan
berkonsentrasi melakukan segala kebaikan yang pahalanya
dilipatgandakan itu, dia akan mendapatkan kejernihan nurani,
menanggung kelembutan hati dan mempertebal sayangnya kepada sesama.

Namun, angin apa yang kemudian mensirnakan pengaruh indah
Ramadhan itu dari kemanusiaan kita, dari keimanan kita dan keislaman
kita. Sehingga tangis bayi, rintihan orang tak beruntung dan keluh
dlu'afaa tidak menggugah kemurahan hati kita. Kita jajakan
"pengajian" dengan tarif relatif mahal. (Wong, hanya bermodal abab
semata, kok laku jutaan). Tetapi, berapa lugut atau cuping hidung,
yang kita alirkan kepada mereka yang dlu'afaa itu.

Ketika mereka yang berpuasa di bulan suci Ramadlan, berpesta
dengan hari raya yang selalu disebut Hari Raya "fithri", ketika itu
nurani mereka bertanya tentang "apa itu Fithri. (Dari kata dasar
Fithroh), oleh Alqamus Almuhith li Fairuzabadiy, diartikan dengan
"penciptaan yang berproses dari rahim sang ibu". Artinya dia bersih,
telanjang, tak ternoda oleh dosa dan tidak tahu apa-apa.
Begitu kita mengakhiri ibadah puasa di bulan Ramadhan, (dengan
hanya tidur saja, misalnya), berarti kita telah menyelesaikan "laku"
melaparkan perut dan mendahagakan kerongkongan karena Allah, Sang
Maha Kuasa, padahal tersaji di hadapan kita isi perut dan pembasah
kerongkongan. Kita telah selesai "menjujuri" niat kita sendiri,
karena Allah. Itulah yang menyebabkan Allah berkenan membersihkan
diri kita dari dosa-dosa kepada-Nya. Kita telanjang dari dosa-dosa,
yang diibaratkan sebagai pakaian kita sehari-hari.
***

ORANG awak menyebut hari raya itu dengan Lebaran. Lebar artinya
rampung, selesai. Rampung dari menguji kejujuran diri, selesai dari
berlatih menahan diri. Lalu ternyata jujur itu mudah, karenanya "aku"
bisa melewatinya dengan selamat. Ternyata menahan diri itu bisa "aku"
lakukan, karenanya "aku" mengakhirinya dengan suka cita bagai bayi
yang terpenuhi keinginannya. Ternyata jujur itu tidak membuat
sengsara, karenanya "aku" tidak keberatan melanjutkannya. Ternyata
menahan diri itu berakhir dengan kegembiraan bersama, karenanya akan
"aku" nikmati semampu aku bisa.
Di kampung saya, Hari Lebaran benar-benar hari pesta. Setelah
malam harinya membagi zakat fitrah, ayam yang sejak awal Ramadhan
digemukkan, dipotong dan diopor kering. Seusai shalat Iedul-fithri,
seluruh keluarga melanjutkan kegembiraan hati setelah saling
berangkulan memberi maaf satu sama lain dengan santap pagi yang
lezat. Dilanjutkan mengawali "keluar rumah" menuju makam. Ke pusara
tempat transit para famili dan kerabat menunggu pengadilan Makhsyar
kelak.

Mengirim do'a kepada yang telah tiada. Yang Lebaran tahun ini
tidak lagi bersantap pagi bersama kita. Lalu secara bersama pula
berkunjung kepada yang lebih tua untuk memohon maaf dan do'a. Kepada
sanak famili yang masih hidup, melebur kekhilafan selama ini.
Memang ampunan seusai beribadah puasa di bulan Ramadhan adalah
janji Allah. Meski demikian itu belum cukup membuat diri bebas
seratus persen dari gugatan-Nya. Bahkan ampunan Allah itu seperti
menggantung pada "Hak Adam" (kewajiban dengan sesama anak cucu Nabi
Adam) yang harus diselesaikan segera. Diriwayatkan dari Kanjeng Nabi:
"Ada seorang hamba menghadap Allah bermodalkan kekompletan ibadah dan
ketaatannya kepada-Nya. Namun, waktu dia hidup di dunia telah memaki
ini dan menyakiti itu, menghujat ini dan memukul itu. Ibadah dan
ketaatannya habis untuk menombok kesalahannya yang dilakukannya itu
kepada sesama.

Bahkan ketika belum cukup, maka dosa orang yang dimaki
dan disakiti, yang dihujat dan dipukul itu diambil dan dibebankan
kepada-Nya. Akhirnya dia pun dilempar ke Neraka". Itu sebabnya
Kanjeng Nabi bersabada: "Barang siapa mempunyai kesalahan kepada
saudaranya, bergegaslah meminta halal kepadanya hari ini juga". Dan
itu tidak bisa dilakukan kecuali setelah tersambung lagi tali
kekerabatan.

Dari itu, menyambung kekerabatan (atau shilatur-rahim) bukanlah
basa-basi. Dia merupakan kebutuhan niscaya yang mau tidak mau harus
dilakukan oleh mereka yang beriman kepada Zat Yang Maha Kuasa, jika
ingin selamat dunia-akhirat. Tentu saja setelah tersambung kembali
kekerabatan, tidak kemudian dengan sengaja diputuskan lagi dengan
cara dan dalih apa pun. Dia harus tetap terjaga. Dengan segala upaya
semangat shilatur-rahim semestinya terus bersemayam di tiap relung
dada warga bangsa yang beriman, sehingga tumbuh pada tiap pribadi
sebuah keyakinan bahwa yang namanya kerabat itu bukan merupakan
ancaman. Di saat negeri ini menghajatkan ketenangan untuk memulihkan
keadaan dan untuk gumregah dari keterpurukan. Hikmah Ramadhan dan
"Iedul-Fithri" dengan kandungan shilatur-rahim-nya seyogianya menjadi
sebuah acuan utama. Semoga.

*******

Itu tadi naskah Pak Kyai Cholil di Kompas. Semoga naskah itu memberi manfaat bagi kita semua.

Bagi kita, yang tak kalah pentingnya adalah: tahun depan, kita insya Allah berpuasa lagi. Semoga Allah memberi kita umur panjang, sehingga kita masih bisa berpuasa lagi. Semoga puasa kita yang lalu ada manfaatnya. Dan puasa tahun depan akan lebih baik dari puasa kemarin.

Amien.

Mejeng di depan patung

Tak lengkap rasanya bila ke New York tidak mejeng di depan patung paling kondang. Namanya patung liberty. Bersama konco-konconya, mommy jadi mrs photo. Jepret di sini, jepret di sana. Yah... namanya jadi turis.
Di foto atas tampak mommy bersama dua temannya, Indy Rahmawati dan Grace Natalie, keduanya sering tampil di layar kaca sebagai penyiar Antv. Peserta ke New York lainnya, Fenty dan Alia tidak kelihatan.
Liberty, bahasa resminya Statue of Liberty, bukan patung biasa. Ia kemudian disakralkan. Sebagaimana orang Indonesia melihat gambar burung garuda, tugu monas, atau gambar merah putih. Mereka bukan lagi sekadar warna, sekadar burung, atao sekadar tugu.
Masing-masing kemudian diterjemahkan, dibumbui berbagai cerita yang membuatnya bukan lagi sekadar binatang, sekadar warna.

Ensiklopiedia gratis, Wikipedia menulis mengenai patung liberty sebagai berikut:

Liberty Enlightening the World, lebih dikenali dengan nama Statue of Liberty atau Patung Kebebasan, adalah satu patung berukuran raksasa yang terletak di Pulau Ellis, di muara Sungai Hudson di New York, Amerika Syarikat. Patung ini dihadiahkan oleh Perancis untuk Amerika Syarikat pada akhir abad ke-19 dan merupakan suatu simbol selamat datang untuk pengunjung, imigran dan orang Amerika yang pulang ke tanah air mereka.
Patung yang diberikan pada 28 Oktober 1886 ini merupakan hadiah seratus tahun kemerdekaan Amerika Syarikat dan merupakan simbol persahabatan antara kedua-dua negara. Pemahat patung adalah Frederic Auguste Bartholdi, dan Gustave Eiffel (pereka Menara Eiffel) merancang struktur dalamannya. Patung Liberty adalah salah satu lambang AS yang paling terkenal di seluruh dunia, dan melambangkan kemerdekaan dan kebebasan.

Harap maklum kalo ''Amerika Serikat'' ditulis sebagai ''Amerika Syarikat'', karena ini memang ensiklopedia berbahasa melayu Malaysia.

Monday, October 08, 2007

NEW YORK, NEW YORK

AKHIR September 2007 ini, mommy bersama kawan-kawan se kantor melawat ke New York, negeri yang ada di balik bumi sana. Tujuan utamanya adalah belajar, ngangsu kawruh ke Fox News. Antara Fox dan Antv memang ada hubungan darah. Keduanya punya bapak bernama Rupert Murdoch, dengan kadar genetik yang berbeda.

Pada saat yang sama, Presiden SBY ternyata juga datang. Ia mengikuti Sidang Majelis Umum PBB. Ini penting, bagi presiden yang tengah berupaya memperbaiki citra Indonesia di luar negeri. Mommy pun memperpanjang lawatannya. Dari semula cuma 4 hari, menjadi 9 hari.

Penerbangan ke New York butuh waktu cukup lama. Total lebih dari 24 jam. Pesawatnya dari Jakarta harus berhenti dulu di beberapa tempat. Kalau pake SQ ya mampir dulu di halte Changi, untuk mengangkut penumpang tambahan. Dari situ, langsung ke Frankfurt, Vancouver, habis itu baru New York.


Kalau pake maskapai MAS Malaysia, ya mampirnya Kuala Lumpur. Setelah itu, halte-halte yang disinggahi sama saja. Dan, semuanya memberi kesan sama: capek... Kalau ingin merasakan, cobalah duduk di ruang ber-AC, selama lebih dari lima jam saja. Kebayang pantat rasanya panas. Orang Sunda carios-na: panas pisan...

New York terkenal dengan berbagai atribut yang mendunia. Di masa lalu, kita mengenalnya lewat menara kembar WTC, world trade center. Gedung yang gagahnya luar biasa itu menjadi landmark kota New York. Siapa sangka, dengan cara sederhana, bangunan elok itu rontok: dihajar dua pesawat Boeing, yang dibajak teroris.

Bangunan WTC kini sudah rontok. Bekasnya disebut sebagai ground zero, titik nol. Saya kurang paham, mengapa bekas-bekas tragedi diberi nama ground zero. Depan Restoran Raja's di Kuta, Bali, berdiri monumen untuk mengenang bom bali, 2002. Monumen itu tepat berdiri di tempat ledakan yang meluluhlantakkan pulau wisata itu. Monumen itu juga disebut sebagai 'ground zero'. Mungkin, ground zero dimaksudkan sebagai titik nol, awal untuk perbaikan situasi...

Di New York juga ada bangunan PBB, yang didirikan di lahan hibah dari Rockefeller. Ia orang Yahudi yang merantau ke Amerika, sampai kemudian bisa menjadi raja minyak, raja kapal, raja properti, dsb. Kita masih mengenal Rockefeller Foundation, Exxon, Mobil, Chevron, dsb. Semua itu merupakan peninggalan Rockefeller.


Salah satu versi menyebutkan, New York awalnya adalah lahan pertanian gandum. Kota yang ultramodern itu, pada 1800 masih merupakan sawah. Ada lahan untuk permukiman. Ada lahan untuk ladang. Keduanya dipisahkan oleh pagar, untuk menjaga agar babi tidak membuat onar permukiman. Jalan yang ada pagar pembatasnya itulah yang disebut sebagai Wallstreet. Kini, Wallstreet merupakan nama untuk koran ekonomi terkemuka, plus nama bursa. Anda tentu pernah dengar: Wallstreet New York Stock Exchange?

Para pendatang seperti Rockefeller itulah yang membuat New York berwarna-warni. Di era baru, salah satu generasi pendatang itu bernama Rupert Murdoch. Asalnya ia dari Australia --kalo dilihat dari sini, berarti ia punya akar keturunan dari Inggris juga. Ia kini memiliki jaringan bisnis media yang menjejak hingga seluruh dunia. Benderanya bernama News Corporation. ''Perusahaan Berita'', demikian kalo dimaknakan.
Berita kok dijadikan 'perusahaan'? Ini mungkin kalimat pertanyaan dari kawan-kawan yang bekerja di media. Kalao kita membaca buku literatur klasik mengenai media, kita akan menemui kaidah baku: berita is berita, not for sale. Rumus seperti ini bisa ditemui, misalnya, di buku Sembilan Elemen Jurnalisme.

Tapi era baru menyadarkan, kalo berita tidak dijual, akibatnya para pengelola berita juga akan repot sendiri. Untuk mendapatkan berita bagus, kita harus punya modal cukup. Modal cukup hanya didapat kalo kita bisa mengongkosi sendiri biaya pencarian berita. Artinya, kita harus pintar-pintar mengomersialkan acara berita kita. Aneh kan, kalo upaya pencarian berita dibiayai orang lain?? Soal ini bisa menjadi pembicaraan sendiri.

Orang-orang seperti Murdoch itulah yang kini menguasai New York. Akuisisi terakhir oleh Murdoch adalah terhadap koran legendaris, Wallstreet Journal. Sebelumnya, ia mengakuisisi berbagai media. Ia juga mengakuisisi perusahaan film. Kalao Anda melihat filmnya Bruce Willis, Die Hard, ini adalah salah satu produksinya.

Murdoch sukses menaklukkan New York. Siapa pun yang sudah sukses menaklukkan New York, ia akan bisa menaklukkan tempat lain di dunia. Itulah yang disampaikan Frank Sinatra dalam lagunya: New York New York..


New york, new york


Start spreading the news, Im leaving today
I want to be a part of it - new york, new york
These vagabond shoes, are longing to stray
Right through the very heart of it - new york, new york

I wanna wake up in a city, that doesnt sleep
And find Im king of the hill - top of the heap

These little town blues, are melting away
Ill make a brand new start of it - in old new york
If I can make it there, Ill make it anywhere
Its up to you - new york, new york

New york, new york
I want to wake up in a city, that never sleeps
And find Im a number one top of the list, king of the hill
A number one

These little town blues, are melting away
Im gonna make a brand new start of it - in old new york
And if I can make it there, Im gonna make it anywhere

It up to you - new york new york