Search This Blog

Tuesday, September 13, 2005

Perang Media dan Media Perang: Netralitas Wartawan



Senin, 12 September 2005

Diskusi | 20/04/2003
Akhirnya, pasukan Amerika Serikat dan sekutunya berhasil menduduki Irak. Benar-benar menyedihkan! Tentu saja kita tak lupa, invasi ke Irak ini tak hanya mengandalkan peralatan perang yang canggih. Propaganda perang melalui jaringan media telah digunakan Amerika dan Inggris, bahkan sebelum pertempuran itu dimulai. Uniknya, perang kali ini konsumen berita sangat dimanjakan oleh sajian yang beragam sehingga jaringan televisi sekuat CNN, Fox News atau NBC harus “bertempur” habis-habisan dengan televisi Al-Jazeera dan Al-‘Arabiyya untuk memperebutkan opini publik.
Bagaimana sih media-media itu, termasuk media di Indonesia, meliput dan melaporkan tentang perang ini? Redaksi KAJIAN minggu ini menurunkan petikan diskusi ‘Media dan Perang’ yang diselenggarakan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan Radio 68H di Jakarta, 3 April 2003. Hadir sebagai pembicara Ulil Abshar-Abdalla, Greta Morris (Konsulat Pers Kedubes AS), Eriyanto (pengamat media dari PANTAU) dan Uni Lubis (TV7 yang me-relay Al-Jazeera). Beberapa peserta seperti Agus Sudibyo (pengamat media dari ISAI), Jason Tejakusuma (koresponden Time) dan M. Iqbal (Pascasarja Komunikasi UI) juga terlibat. Karena keterbatasan ruang, tak seluruh hasil diskusi bisa ditampilkan.

Netralitas Wartawan Peliput Perang

Eriyanto:
Petinggi militer AS sejak awal menyadari bahwa media harus diperhatikan selain operasi militer itu sendiri. Dalam Perang Teluk pertama, AS memakai sistem pool: wartawan dikumpulkan dalam satu pool, lalu ia meliput dengan bantuan dari militer.
Kali ini, kerjasama wartawan dan militer juga tak bisa dihindarkan karena pasukan koalisi banyak mengandalkan serangan dari udara. Intinya, media butuh militer dan militer juga butuh media. Fenomena menarik dalam perang ini ialah embedded journalist: wartawan “melekat” di dalam militer. Ada 500-an wartawan yang ikut serta dalam konvoi militer pasukan koalisi.
Justru itulah yang memancing kritik. Pertama, praktek jurnalisme semacam ini merentankan independensi wartawan. Dia hidup, menghadapi bahaya, makan dan bergerak bersama-sama dengan militer yang ditumpanginya. Kedua, pola itu juga menimbulkan distorsi dan terkesan melebih-lebihkan. Ketiga, liputan semacam itu hanya menampilkan kehebatan dan kecanggihan peralatan perang pasukan koalisi, tapi jarang menampilkan korban-korban perang itu sendiri. CNN misalnya, banyak sekali memakai kata our soldiers (tentara kita atau kami).

Ulil Abshar-Abdalla:
Embedded journalist memang tak menghinggapi Al-Jazeera. Stasiun yang baru berdiri 1996 ini kini menjadi hero di Timur Tengah, dan negara-negara lain, termasuk Indonesia. Kalau dilihat secara jujur, televisi ini juga menyuguhkan propaganda dalam bentuk lain. Menjadi fenomenal karena selama ini propaganda perang hanya diberikan pers AS. Baik CNN, Fox, NBC maupun Al-Jazeera sebetulnya sejak awal sudah mempunyai sikap tertentu. Al-Jazeera, bila kita simak keseluruhan siarannya, dan bagaimana ia mem-frame siarannya, jelas sekali bahwa sikapnya antiinvasi AS ke Irak.
Sebaliknya, seluruh media AS, mungkin ini generalisasi, bila dilihat dari mainstream-nya, tampak sekali mendukung pemerintahnya. Tentu dengan berbagai variasi yang sedikit berbeda antara satu media dengan media yang lain.
Kolumnis New York Times, Tom Friedman, mengritik Al-Jazeera dengan mengatakan bahwa sebagai salah satu televisi, Al-Jazeera hanya melayani keinginan audience Timur Tengah, yakni berita tentang kemenangan Saddam dan kekalahan pasukan koalisi. Tapi apa yang dikatakan Tom ini juga berlaku untuk media AS. Media AS tak berani melawan arus publik yang lebih pro pada pemerintahnya. Ada satu kasus, misalnya Peter Arnett dipecat dari NBC karena diwawancarai TV Irak yang isinya dinilai merugikan publik.
Ada media yang agak independen, BBC misalnya. Tapi BBC juga tidak semuanya netral. The Guardian juga sering menerbitkan artikel-artikel yang kritis. Tapi secara keseluruhan, agak susah dalam situasi perang seperti ini membayangkan ada media yang betul-betul independen, karena media sebenarnya ditujukan untuk melayani pembaca atau pemirsanya.

Uni Z. Lubis:
Pers memang tak mungkin netral. Kalau Anda baca buku yang paling saya gemari, Elements of Journalism karya Bill Kovack, mengatakan bahwa wartawan tak pernah netral. Masalahnya, bagaimana wartawan mengambil keputusan harus didasarkan pada hati nurani dan pengamatan faktual di lapangan.
Tentu media yang punya akses bagus, yaitu Al-Jazeera yang bisa mengamati di lapangan secara faktual. Al-Jazeera juga memberikan tempat kepada pejabat-pejabat dari AS dan sekutunya untuk beropini. Semua pihak yang berperang punya public relation (PR). Yang tak punya PR itu justru rakyat Irak yang menjadi korban. Wartawan Al-Jazeera bisa melihat tragedi kemanusiaan yang terjadi di lapangan dan mereka menjadi PR-nya warga Irak.
Seandainya TV7 atau media punya akses seperti Al-Jazeera, saya yakin, semua wartawan kita ingin lebih mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan akibat dari perang. Kewajiban kita sebagai wartawan untuk menyuarakan yang selama ini dikatakan the voiceless, yang tak pernah didengar.
Keputusan TV7 untuk merelai Al-Jazeera hanya diambil dalam hitungan dua jam. Tapi Al-Jazeera sudah menjadi perhatian kami sejak lama. Alasannya, prestasinya luar biasa dalam perang di Afghanistan. Kami menyadari juga bahwa publik Indonesia punya kedekatan emosional dengan masyarakat di kawasan Timur Tengah. Kalau ada televisi lain yang sudah menayangkan versi CNN secara terus-menerus, maka kami juga berhak menayangkan versi di luar CNN. Tapi versi CNN tetap kami beritakan dalam TV7.

Greta Morris:
Saya mau katakan bahwa soal pemecatan Peter Arnett, Al-Jazeera yang tak diperkenankan meliput di bursa New York, itu di luar kebijakan pemerintah AS. Sebelum perang dimulai, banyak surat kabar atau tajuk rencana yang menentang perang. Tapi karena perang sudah dimulai, kebanyakan orang AS mendukung pemerintah mereka. Karenanya liputan media AS berubah menjadi lebih mendukung perang.
Kebebasan pers tetap ada di AS. Tapi selalu ada faktor human error dalam semua liputan media massa. Walaupun coba meliput secara mendalam dan jujur, tetap ada unsur propaganda.

Uni:
Saya mau tanggapi Gretta soal kebebasan pers di AS tetap ada. Saya mau menyinggung salah satu isu yang paling krusial di kalangan pers AS saat ini adalah global cencorship yang sudah terjadi sejak tragedi 11 September. Kita tahu, Condoleeza Rice menelpon para eksekutif media agar tidak menayangkan cottage-cottage Osama. Negara-negara yang dipimpin oleh diktator mengatakan kalau AS saja sudah membatasi persnya, kenapa kita tidak? Akses wartawan untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya tentang perang juga sangat terbatas. Bahkan sudah ada wartawan yang mengajukan somasi kepada pemerintah AS.
Para wartawan yang biasa bertugas di Pentagon juga kesulitan mendapatkan informasi yang sebenarnya, bahkan untuk sekadar informasi rutin. Gejala ini dimulai semenjak Donald Rumsfeld menjadi Menteri Pertahanan. Ada artikel yang mengutip kepala biro New York Times yang menceritakan seorang jenderal ketakutan setelah berbicara dengan wartawan.


Greta:
Saya pikir, itu menyangkut “sensitive informations,” keterangan yang sangat sensitif atau terkait keamanan. Tapi ada hal baru kali ini di mana wartawan dapat akses luar biasa dalam meliput perang di Irak melalui kebijakan embedded journalist. Wartawan bisa mendapat keterangan first hand dan bisa menayangkan langsung kepada penonton. Tapi ada segi yang sedikit kurang baik, seperti ditulis The Asia Wall Street Journal, 1 April 2003. Untuk keseluruhan gambar besar, ‘the big picture,’ justru kurang, sedang hal-hal yang terperinci malah overdosis.

Agus Sudibyo:
Saya kira, sampai hari ini yang paling bagus menggambarkan perang dari sisi korban adalah Al-Jazeera. Media-media Barat, terutama AS dan Inggris, seperti terekam dalam Perang Teluk I, invasi ke Granada dan Panama, selalu menggiring diskursus perang ini semata-mata diskursus starwar. Perang hanya dilihat sebagai pertarungan teknologi perang kelas wahid, tanpa ada korban dari sipil. Ini sebuah kebohongan, karena bagaimanapun perang adalah perang. Ada air mata, darah dan kehancuran.
Nah, dalam hal ini, kita membutuhkan media seperti Al-Jazeera bahwa perang harus dilihat dari sisi korban. Soal kebebasan pers, bukan rahasia lagi, banyak sekali literatur yang menggambarkan betapa AS ingin menggambarkan perang mereka dengan negara lain itu sebagai hidden invasion: perang yang selalu ditutup-tutupi dari pemberitaan media secara terbuka.

Ulil:
Saya sendiri menolak perang ini. Sebenarnya saya suka menonton Al-Jazeera. Sampai saat ini Al-Jazeera menjadi menu utama saya setiap hari, bahkan dua hari pertama saya tak tidur; hampir 48 jam saya tongkrongi Al-Jazeera. Masalahnya, Al-Jazeera sendiri, sebagai station TV, posisinya agak sulit. Markas Al-Jazeera di Qatar, sedang pemerintahnya mendukung invasi. Tapi sebagai TV yang melayani pemirsa Timur Tengah yang hampir semua audience-nya tak setuju invasi, otomatis ia tak bisa melawan aspirasi dari pemirsanya.
Jadi Al-Jazeera seperti terperangkap dalam dua keadaan yang sulit. Kalau kita lihat seluruh pemerintahan Timur Tengah sekarang ini, sebagian besar menyetujui invasi AS; Mesir, Arab Saudi, Qatar, Emirat Arab, dan negara-negara Teluk pada umumnya menyetujui perang karena menilai Irak sebagai ancaman. Karenanya beberapa penguasa di Timur Tengah tak menyukai Al-Jazeera. Hosni Mubarak tak suka Al-Jazeera, bahkan pernah melarang mereka di Mesir, dengan dalih Al-Jazeera lebih pro-fundamentalis. Lha wong penyiarnya nggak pakai jilbab dan cantik-cantik kok disebut fundamentalis..ha..ha..Tom Friedman malah menuding Al-Jazeera sebagai TV yang bertanggung jawab dalam memprovokasi sentimen anti-AS di Timur Tengah.

Eriyanto:
Yang menarik dalam Perang Teluk II ini adalah pemirsa mempunyai banyak pilihan. Kalau dalam Perang Teluk pertama, pilihannya cuma CNN, apalagi saat itu TV swasta di Indonesia tak banyak sehingga “larinya” ke koran. Sekarang pemirsa bisa memilih channel yang disukai. Ada dua kubu di sini, meski masing-masing kubu juga berusaha untuk tetap balance. Saya ingin tahu respon pemirsa terhadap dua kubu itu.
Uni:
Saya ingin menyampaikan data-data yang kami peroleh. Hari pertama kami menyiarkan Al-Jazeera, pada Jum’at, 21 Maret 2003 kami hanya merencanakan siaran setiap hari pukul 07.00 pagi sampai pukul 11.00. Setelah itu, kami akan masuk program reguler. Begitu kami hentikan, telpon, sms, fax berdering dan marah semua dan meminta agar tayangan itu dilanjutkan. Karenanya, malam harinya kami siaran lagi pukul 23.30 sampai 11.00. Itu bukti pertama
Kedua ditunjukkan oleh angka-angka rating dan audience share yang biasanya keluar pada hari Rabu. Pemirsa TV7 naik dua kali lipat hanya untuk minggu lalu. Minggu ini (minggu kedua sejak perang dimulai) naik tiga kali lipat, bahkan khusus siaran Al-Jazeera di TV7 pada malam hari share-nya bisa sampai 26 dan rating 3. Yang menarik ialah sebagian besar yang menonton adalah ibu-ibu atau perempuan. Mungkin karena Al-Jazeera banyak menampilkan sisi-sisi kemanusiaan korban, maka yang attach kebanyakan kaum perempuan dan rela begadang sampai pagi menonton Al-Jazeera.

Greta:
Al-Jazeera bukan hanya mewakili korban dari warga sipil Irak, tapi juga korban dari pasukan koalisi (Mungkin dia merujuk pada penayangan tawanan AS di Al-Jazeera). Tapi Al-Jazeera tak mewakili korban dari kekejaman Saddam Husein. Padahal ada banyak korban dari Saddam Husein. Beberapa hari lalu, Kedutaan AS menayangkan perempuan, Zainab al-Syuaiz, yang memberikan banyak keterangan tentang kekejaman Saddam Husein atas orang Irak sendiri, suku Kurdi, orang Iran dan Kuwait. Seharusnya media memberitakan semua fakta yang ada.

Jason:
Idealnya memang harus menyajikan semua fakta dan kebenaran, tapi jelas bahwa semua TV swasta di dunia ini untuk mencari rating. Ini bisnis dan bukan fenomena baru. Kalau Fox News, saya tak heran mereka berpihak pada pasukan koalisi dan memakai istilah-istilah yang menjijikkan. Kita juga selalu mencari media yang sesuai dengan pendapat atau interest kita juga.

Ulil:
Secara umum, Al-Jazeera berusaha mengikuti norma-norma dan standar jurnalisme yang standar. Dia cover semua konferensi pers yang diadakan pasukan koalisi maupun Irak. Semuanya ditayangkan dan diterjemahkan dengan bagus sekali, lebih baik daripada para penerjemah Indonesianya. Sudah pasti Al-Jazeera punya biro yang sangat kuat di London, Washington, Kairo, Baghdad selain di Doha sendiri. Dari segi prinsip-prinsip jurnalisme dasar, ia memberitakan secara fair. Meski kita tahu cover-both-side itu bukan segala-galanya, karena ketika cover-both-side itu di-print atau diletakkan dalam satu kerangka tertentu, tentu punya kesan yang berbeda.
Bagaimana Liputan Media di Indonesia?

Greta:
Saya kira, liputan media di sini soal perang ini cukup bagus karena digali dari beberapa sumber. Ada dari Reuters, Al-Jazeera, CNN, BBC dan lain-lain. Reaksi orang Indonesia atas perang di Irak juga bagus sekali. Walau ada unjuk rasa di sana-sini, tapi berlangsung sangat damai. Perang ini juga disebut tak ada kaitan dengan agama. Kami sangat berterima kasih. Kadang masih ada berita yang kami sesalkan. Misalnya dilaporkan duta besar AS dan staf sudah meninggalkan Indonesia. Ini tidak betul sama sekali. Kami merasa aman di sini, meski banyak yang mendemo kami.

Eriyanto:
Pemikir asal AS, Walter Dickman, mengatakan bahwa dalam perang seringkali media bukan menampilkan apa yang terjadi, tapi apa yang dikehendaki publik untuk terjadi. Ini bukan cuma terjadi di AS, tapi juga di Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia, katakanlah, pro-Irak. Ini ditangkap oleh media kita di mana banyak sumber-sumber berita yang dikutip dan dijadikan headline adalah berita-berita yang menggambarkan kemenangan Irak atau pasukan koalisi yang menjadi pecundang. Saling serang antara tentara AS dengan Inggris (friendly fire) diekspos besar-besaran dan seterusnya.
Yang unik ialah seringnya pengutipan tanpa kritis. Minggu lalu beberapa harian misalnya, Jawa Pos, Media Indonesia, Koran Tempo dan Republika menurunkan headline soal pesawat helikopter yang canggih, Apache, yang ditembak petani. Melihat foto Apache yang masih utuh tanpa ada kerusakan, agak mustahil bila ia ditembak petani tua yang bersenjata tradisional. Koran Tempo dan Republika juga memberitakan Brigade Lapis Baja ke-7 tentara Inggris yang dibuat tak berkutik ketika menghadapi pertempuran di Basra. Realitasnya, tidak ada satupun tentara Inggris yang tewas dalam pertempuran itu.
Koran-koran juga sering menampilkan berita serdadu koalisi kelaparan karena ada serangan terhadap konvoi-konvoi yang membawa amunisi dan perbekalan. Seringnya berita semacam ini dikutip media-media kita tanpa sikap kritis, sehingga muncul persepsi yang menggelikan. Ini semua mungkin dalam rangka memuaskan sensasi yang diinginkan kebanyakan warga Indonesia.

Uni:
Memang ada unsur dramatisasi. Masalahnya, bayangan kita, invasi ini akan berlangsung sangat singkat. Artinya AS tak sampai menjatuhkan bom dan rudal sebanyak ini untuk menjatuhkan Baghdad dan membuat Saddam Husein mati. Memang ada semacam perasaan sorak-sorai ketika Amerika tidak bisa maju karena terhalang oleh badai gurun pasir dan lain-lain. Itu saja sudah dianggap kekalahan dalam perang ini yang mirip David versus Goliath.

M. Iqbal:
T
ema besar kita ialah antiperang karenanya media massa kita seharusnya berpihak pada peace journalism. Jurnalisme damai menjadi momentum membangun kesadaran kritis untuk ditunjukkan pada publik dunia. Kalau media nasional tak meliput langsung dalam arena perang, mereka bisa menulis features atau liputan humaniora tentang korban perang. Inilah kesempatan media massa melawan perang itu sendiri.

Eriyanto:
Tapi kondisi riil media kita agak susah untuk melakukan jurnalisme damai. Media kita mungkin menolak perang, tapi diam-diam harus diakui bahwa perang ini juga sudah menaikkan oplah dan rating mereka. Rating TV7 naik tiga kali lipat selama perang ini, demikian pula oplah koran-koran kita. Ada yang mengatakan bahwa oplah media sekarang rata-rata naik hampir 10.000,-an. Saya kira, orang makin cenderung baca koran, mendengar radio, menonton TV dan mengakses internet untuk memperoleh informasi soal perang.
Media massa juga sulit meliput secara berimbang karena keterbatasan akses menemui pihak-pihak yang berseteru. Media dari AS misalnya, tak punya akses yang cukup leluasa untuk menemui sumber-sumber di Irak. Tinggal bagaimana kekritisan kita sebagai khalayak untuk mencermati setiap berita yang ditampilkan media. Kalau tidak kritis, maka yang terjadi adalah dramatisasi kejadian yang awalnya biasa lalu menjadi sangat luar biasa []

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=24

Hak cipta ©2001-2005, Jaringan Islam Liberal (JIL). Kontak: redaksi@islamlib.com

No comments: