Search This Blog

Wednesday, June 21, 2006

Bersama SBY Menghajar Rayap



KELUARGA kami tak ada hubungan kekerabatan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kalaupun mengenal, itu lantaran kami berdua, Iwan dan Uni, sama-sama wartawan. Jadi lebih pada hubungan kerja. Namun ada satu hal yang mendekatkan kami. Sang perekat hubungan itu bernama rayap.

Rumah keluarga kami, di Permata Timur Blok JJ Nomor 3 Jaticempaka, Bekasi, senasib sepenanggungan dengan Istana Merdeka dan Wisma Negara, yang sehari-hari menjadi kantor dan tempat tinggal Presiden. Dua tempat penting untuk Republik Indonesia itu harus dibongkar habis bagian atapnya. Rayap yang jadi biang.

Gara-gara rayap pula, kami harus membuat pengeluaran ekstra. Sejak Senin 19 Juni 2006 ini, kami mengundang tukang langganan. Namanya Ahmadi. Ia tinggal persis di belakang rumah. Mas Madi, demikian saya menyapanya, diminta tolong untuk mengganti kayu-kayu di atas plafon yang hampir rubuh dimakan rayap.Dari luar, kayu itu kelihatan masih utuh. Tapi begitu diketuk-ketuk, bunyinya seperti kentongan. Kosong.

Sebagian besar badan kayu sudah dilahap sang rayap.Semula Pak Madi mengusulkan menggunakan kayu kecapi. ‘’Rasanya pahit Pak. Rayap tidak mau makan,’’ katanya. Kayu kecapi banyak dijumpai di daerah Pondokgede. Orang-orang di sekitar saya menyebutnya sebagai kayu kampung. Tapi kemudian Pak Madi lapor, kayu kecapi susah dicari. Akhirnya digunakan kayu biasa. Tinggal sekarang saya berpikir keras bagaimana menanggulangi sang rayap.
********

Rayap, si pengengat nan kecil dan putih ini, gerakannya sungguh dahsyat. Dengan lihainya menembus ruang kerja Presiden, tempat tinggalnya, menyelinap barisan Pasukan Pengamanan Presiden yang berjaga di sana siang-malam. Tahu-tahu gerombolan putih itu kini ditengarai telah bermarkas di plafon ruang kerja Presiden, mengintai setiap lembar rahasia negara dan pekerjaan Presiden dari hari ke hari.
''Saya sempat diundang ke Istana Merdeka untuk memastikan benar tidaknya Istana diserang koloni rayap. Benar saja, yang utuh dari plafon ruang kerja Presiden tinggal kerangka alumuniumnya saja,'' kata Surjono Surjokusumo, seorang profesor dan ahli rayap dari Institut Pertanian Bogor (IPB), sebagaimana dimuat Tempointeraktif.com.

Menurut pengamatan Surjono, yang kala itu diundang bersama koleganya sesama ahli rayap, Rudolf Christian Tarumingkeng, plafon tersebut sangat rawan jatuh menimpa siapa yang ada di bawahnya setiap waktu. Padahal, selain dipergunakan untuk mengurusi masalah kenegaraan sehari-hari, di ruang itu pula Presiden Yudhoyono biasa menerima tamu negara. Bisa dibayangkan, misalnya, betapa akan menjadi perhatian dunia, bila atap itu jatuh menimpa seorang kepala negara sahabat di tengah kunjungan resminya. Alih-alih menutup setiap lubang yang memungkinkan teroris mengambil kesempatan mengacau, ujung-ujungnya Paspampres justru rawan dipermalukan rayap.

Tampaknya pertimbangan itulah yang membuat Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, tanggap mengambil prakarsa. Istana Merdeka, menurut Djoko Selasa (28/3) lalu, dinyatakan akan dirombak. Djoko mengatakan, bangunan Istana Negara yang terletak di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, akan mengalami perombakan, karena akan dijadikan tempat tinggal sementara Presiden Yudhoyono. ''Perombakan Istana Negara itu kita jadwalkan selesai dalam tempo satu bulan,'' kata Djoko, saat itu.

Perombakan Istana Negara itu sendiri, kata Djoko, akan diikuti dengan perombakan Istana Merdeka, yakni kediaman resmi Presiden dan keluarga saat ini. Ada pun perbaikan Istana Merdeka, menurut Djoko diperkirakan akan memakan waktu sekitar tujuh bulan. Namun saat itu Djoko belum merinci berapa besar biaya yang diperlukan untuk merenovasi Istana Negara dan Istana Merdeka itu. Djoko hanya mengungkapkan, perombakan itu diperlukan karena kondisi kedua gedung tersebut dinilai sudah sangat membahayakan untuk ditinggali Kepala Negara. Perlu Anda ketahui, untuk mengatasi rayap di Istana Presiden itu, pemerintah menganggarkan Rp 6 milyar. Wuhhhh.
******
Sang rayap pun kini telah naik kelas. Ia menjadi persoalan negara. Dan ternyata, ia juga telah menjadi persoalan sehari-hari kota besar seperti Jakarta, termasuk keluarga kami, yang tinggal 200 meteri di sebelah timur perbatasan Jakarta-Bekasi. Surjono mengatakan, sejak 1983, tim rayap IPB telah melakukan penelitian intensif.

Hasilnya, mereka menemukan perkembangan luar biasa mengenai serangga perusak tersebut. Menurut Surjono, bila dulu rayap hanya doyan menyerang rumah-rumah di sekitar daerah pertanian dan perkebunan, kini serangga yang memiliki gigi pengerat itu sudah terbiasa menyerang bangunan-bangunan pencakar langit dan gedung pusat perbelanjaan megah.

Surjono menunjuk gedung-gedung megah seperti Plaza Gajah Mada, Apartemen Semanggi dan Taman Rasuna Said, juga potensial digarap rayap. Bukan hanya itu. ''Lebih dari 50 persen gedung bertingkat di Jakarta kini telah terserang rayap,'' kata Surjono. Menurutnya, serangan rayap pada bangunan bertingkat menarik untuk dicermati, karena berkaitan dengan kemampuan serangga dari marga Isoptera itu menembus penghalang fisik yang ada. ''Coba lihat,'' kata Surjono, ''Padahal bangunan bertingkat umumnya memiliki struktur yang sangat kokoh.

Struktur bawah bangunan bahkan umumnya beton bertulang yang secara konstruksi mustahil dapat dilalui rayap.'' Pada bangunan bertingkat tinggi, rayap biasanya menyerang bagian ornamen bangunan atau interior ruangan, dari furnitur, dokumen yang disimpan sembarangan, hingga wallpaper, dan gipsum. Pernyataan Surjono dikuatkan koleganya, Rudolf Tarumingkeng.

Rudolf bahkan memberikan analogi. Sebagaimana halnya manusia yang cenderung ingin mencoba berbagai menu yang tersedia, rayap pun seolah mengikuti perkembangan zaman. ''Mereka mungkin ingin tahu berbagai 'makanan' baru selain serat kayu,'' kata dia. Karena itu, jangan heran bila gipsum pun mereka lahap. Kerugian yang ditimbulkan rayap bisa dikira-kira dengan merujuk prakiraan yang diungkap ahli rayap lainnya, DR Dodi Nandika. Menurut guru besar IPB itu, saat ini ada sekitar 200 jenis rayap yang hidup di Indonesia. ''Lima persen atau sekitar 10 jenis di antaranya menjadi musuh manusia,'' kata Dodi.

Jumlah rayap yang mendiami suatu wilayah mungkin bisa membuat kita ngeri. Betapa tidak, bila jumlah makhluk yang diduga telah hidup lebih dari 200 juta tahun lalu lebih tua dari manusia pertama itu, bisa mencapai jutaan untuk sebuah koloni. ''Penelitian kami, untuk luas wilayah 295 meter persegi saja, populasi rayap di Jakarta bisa mencapai 1,7 juta ekor. Sedang jarak jelajah maksimal mereka 118 meter,'' kata Dodi.

Lebih lanjut Dodi mengatakan, dengan berat tubuh sekitar 2,5 miligram per ekor, seekor rayap memerlukan makanan sekitar 0,24 miligram setiap hari. ''Hitung saja, berapa kilogram kayu yang diperlukan satu koloni rayap di Jakarta setiap hari,'' kata Dodi. Ia sendiri menaksir, pada 1998 saja, kerugian akibat rayap hanya untuk bangunan rumah tinggal mencapai Rp 1,6 triliun. ''Itu pun yang dihitung hanya kayu. Belum termasuk tenaga kerja dan ongkos pengganti kerusakan yang timbul,'' kata Dodi. Jadi, kira-kira berapa juta musuh yang hinga kini masih bermarkas di atas ruang kerja Presiden itu, ya?
*******


Jelas sudah, rayap tak boleh diremehkan. Kata Pak Dodi, Guru Besar IPB yang kini Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan itu, serangga kecil ini sanggup menciptakan kerugian triliunan rupiah. Untuk rumah kami saja, dalam enam bulan ini kami sudah dua kali membongkar plafon. Lebih dari Rp 20 juta kami habiskan. Enam bulan lalu bagian belakang. Kini bagian depan dan samping kanan.

Pak Dodi Nandika kepada Rudi Setiadi, wartawan koran Pikiran Rakyat mengatakan, kerugian akibat ulah rayap pada bangunan rumah tinggal mencapai Rp 1,6 triliun pada 1998. Pada skala lebih kecil rayap juga pernah menyerang kawasan elite Pondok Indah dan Bintaro, Jakarta, dengan kerugian ditaksir mencapai Rp 100 miliar (1982) dan Rp 300 miliar (1990).

Melalui riset selama empat tahun, Prof. Dr. Ir. H. Dodi Nandika menawarkan cara baru membasmi rayap yang menggerogoti struktur bangunan rumah atau gedung. Dengan memasang umpan "racun lambat", koloni rayap dapat dibasmi sampai ke anak cucunya. Teknologi berbasis sistem pemantauan ini telah dipasarkan di berbagai negara sejak 2001. Sebuah perusahaan di AS bertindak sebagai pabrikan dan pemasar.Rayap yang hidup dalam koloni ini ditengarai mempunyai daya rusak dahsyat. Dengan 60.000 pekerjaannya, satu koloni rayap mampu melahap habis kayu pinus seukuran 2X4 cm sepanjang 40 cm dalam kurun waktu 118-157 hari.

Atas dasar kenyataan itu, struktur bangunan gedung akan runtuh dalam rentang waktu 3-8 tahun. Hasil survei di kawasan pemukiman menunjukkan, sekira 70% rumah di Jakarta, Surabaya, Bandung dan Batam terserang rayap.Mengalihkan sasaranDi alam bebas, rayap sebenarnya memiliki tugas mulia, menguraikan dan menghancurkan bahan alami yang mati.

Bonggol kayu, ranting dan dedaunan dihancurkan untuk memulihkan kesuburan tanah. Masalahnya menjadi lain manakala wilayah perkebunan, pertanian, dan hutan rakyat berubah wajah menjadi perumahan baru untuk pemukiman penduduk kota. Rayap yang kelaparan pun mengalihkan buruannya pada kayu penopang struktur bangunan.Apalagi daerah tropika memang tempat hidup rayap.

Binatang pemakan selulosa ini betah hidup di tempat bersuhu hangat. Selain itu kondisi fisik lingkungan seperti iklim, kelembaban, serta karakteristik tanah pun rupanya sangat mendukung penyebarannya.Habitat yang disukai rayap tanah adalah pada kisaran suhu 21,1-26,6 oC dengan kelembaban optimal 95-98%. Sementara suhu udara di Indonesia umumnya antara 25,7-28,9 oC dengan kelembaban 84-98%.

Dengan parameter itu, diperkirakan 80%-85% daratan Indonesia menjadi surga bagi rayap.Perkiraan itu tak dipungkiri hasil riset. Sampai tahun 1970, sudah ditemukan kurang lebih 200 jenis rayap di Indonesia. Dari jumlah itu, 9-15 jenis diidentifikasi menyerang kayu dan bangunan. Beberapa jenis ditemukan di wilayah DKI Jakarta. Misalnya, Microtermes inspiratus, M. incertoides, Macrotermes gilvus, dan sebagainya. Di Surabaya banyak dijumpai spesies Coptotermes sp, Macrotermes gilvus, Microtermes inspiratus, dan sebagainya.

Sementara Cryptotermes cynocephalus, Microtermes inspiratus, Odontotermes sundaicus, dan sebagainya merupakan spesies rayap perusak bangunan di Kotamadya Bandung.Untuk mencapai sasaran (apapun yang mengandung serat kayu dan selulosa), rayap dapat menyusup lewat terowongan atau liang-liang kembara yang dibuatnya. Rayap subteran (bersarang dalam tanah tetapi mencari makan sampai jauh di atas permukaan tanah) mutlak perlu keadaan lembap.

Hal ini menerangkan mengapa kadang-kadang hanya dalam semalam rayap Macrotermes dan Odontermes mampu menginvasi lemari buku di rumah atau di kantor jika fondasi bangunan tidak diberi antirayap.Bahkan pasukan rayap Coptotermes bisa mencapai sasaran dengan cara menembus tembok setebal beberapa sentimeter, menghancurkan plastik, kabel dan pengalang fisik lainnnya. Apapun konstruksi bangunannya (slab, basement atau crawl space) bisa ditembus!

Mereka juga dapat membuat lubang pada fondasi, terus ke atas hingga kuda-kuda. Sekali mampu mencapai sasaran, bala tentara pelahap kayu itu akan memperluas serangannya ke bagian yang tinggi dengan membuat sarang-sarang antara di dalam bangunan.AntirayapBanyak upaya untuk menghentikan sepak terjangnya, antara lain, dengan menggunakan pestisida antirayap. Racun kimia itu diaplikasikan melalui tanah maupun pengawetan kayu. Pestisida antirayap disuntikkan ke dalam tanah dan sekeliling bangunan untuk membentuk pengalang kimia, sehingga mencegah koloni rayap di dalam tanah bergerak memangsa kayu.

Dalam praktiknya cara ini bisa dilakukan sebelum masa konstruksi atau sesudahnya. Namun cara ini dianggap kurang aman dan tidak ramah lingkungan.Beberapa lembaga penelitian di dunia kemudian mengembangkan antirayap nonkimiawi sebagai pengalang fisik. Pasir , kerikil, perlit, granit, basalt (batuan beku), dan stainless steel mesh pada ukuran tertentu dapat digunakan. Hasil riset menunjukkan, partikel pasir berukuran 2,0 - 2,8 mm efektif menghambat penetrasi rayap tanah Reticulitermes dan Coptotermes pada bangunan gedung di AS.


Butiran-butiran basalt berukuran 1,7-2,4 mm pun telah diujicobakan penggunaannya di Hawai. Bahkan pengalang fisik ini kemudian dipasarkan dengan nama Basaltic Termite Barrier. Perusahaan di Australia memanfaatkan granit yang dipasarkan dengan nama Granitguard.Berdasarkan riset di Laboratorium Biologi Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB, kerikil tidak cukup ampuh menahan penetrasi rayap tanah C. curvignathus. Penelitian yang sama juga dilakukan dengan menggunakan partikel perlit 1,4-1,7 mm memiliki keandalan tinggi untuk menahan penetrasi C. curvignathus.

Sedangkan di Australia dikembangkan pengalang fisik lain menggunakan jaring stainless steel yang ditempatkan di bawah bangunan baru. Modifikasi pengalang fisik juga tengah diujicobakan di Jepang dengan mencampurkan pestisida antirayap pada polimer sintesis. Lapisan polimer itu diletakkan di bawah bangunan gedung dan pada bagian atasnya ditutupi lapisan tanah untuk mencegah penetrasi rayap. Menurut Dodi Nandika, penanggulangan rayap itu sifatnya hanya sementara.

Keandalannya hanya berlangsung selama zat pengalang masih ada. Sejalan dengan menyusutnya konsentrasi zat, keampuhannya menurun. Rayap akan kembali begitu zat habis sama sekali. Di sisi lain pestisida dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, seperti mencemari air sumur, atau mematikan jenis cacing. Di Florida, AS, keandalan umpan rayap diujicobakan terhadap rayap Reticulitermes flavipes dan Coptotermes formosanus. Dengan 4-1.500 mg bahan umpan populasi rayap tanah berkurang 90-100% dari satu koloni rayap 0,17-2,8 juta ekor.Dengan metode ini rayap dipancing untuk memangsa umpan yang sudah diberi insektisida.

Dengan memanfaatkan sifat rayap yang saling menyuapi temannya, rayap yang memakan umpan masih sempat kembali ke sarang dan "menyebarkan" racun yang bekerja lambat itu kepada anggota koloninya. Teknologi ini dikembangkan bersama dengan para peneliti dari berbagai negara. Dodi Nandika bertugas meneliti formula enzim penghambat pembentukan kulit dan menemukan bahan yang disukai rayap. Ongkos pemberantasan rayap dengan metode ini relatif mahal, berkisar 15 dolar AS/m.

Artinya, bila keliling rumah 100 m, maka uang jasa yang mesti dibayar sebesar 1.500 dolar AS atau setara Rp. 13,5 juta. Teknik ini menjanjikan beberapa keuntungan. Lebih ramah lingkungan, tidak beracun, tidak berbau. Sasarannya spesifik dan penerapannya mudah. Mampu mengeliminasi koloni rayap secara total.Kayu pendeteksiSejumlah perusahaan telah ditunjuk untuk melayani pengguna jasa pemberantasan rayap. Juga termasuk Lab. Biologi Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB.

Pertama-tama petugas dari institusi itu mendeteksi serangan dan keberadaan rayap di sekitar rumah atau bangunan. Caranya, dengan memasang potongan-potongan kayu pinus ukuran 2X4 cm sepanjang kira-kira 20 cm. Masing-masing potongan dimasukkan ke dalam wadah plastik berbentuk silinder yang sekelilingnya berlubang-lubang. Silinder plastik berisi kayu itu lantas ditanam di dalam tanah di sekeliling rumah pada jarak tertentu.Rayap di dalam rumah dideteksi dengan memasang kayu dalam wadah khusus berbentuk kotak sabun yang dilubangi. Direkatkan pada tembok rumah.

Kayu pinus dipilih karena, dari hasil penelitian terbukti kayu pinus paling disukai rayap. Dengan keampuhannya membau, rayap akan mendekati sumber makanan yang mereka anggap lezat.Dari puluhan kayu pendeteksi itu, bisa semuanya atau hanya beberapa yang disantap rayap. Tergantung bentuk koloninya. Kalau koloni rayap menyebar, kemungkinan rayap mendatangi semuanya. Sementara bentuk koloni memanjang cenderung memangsa beberapa kayu pendeteksi.Lamanya waktu kedatangan rayap ditentukan jarak ke sarang koloni.

Bila koloni rayap dekat dengan posisi kayu pendeteksi akan dimangsa. Sebaliknya, kalau koloninya jauh, barangkali kayu pendeteksi baru didatangi setelah tiga minggu. Begitu keberadaan rayap terdeteksi, kayu pendeteksi tadi diganti dengan umpan sesungguhnya berupa kertas atau tisu yang sudah diberi "racun" antikitinase. Pemantauan umpan dilakukan setiap beberapa hari.

Setiap kali umpan habis dilahap rayap, dipasang umpan baru. Bila sebagian umpan tidak dimakan, berarti baru sebagian koloni yang mati. Langkah ini diulang lagi sampai tak ada lagi rayap yang memangsanya. Begitu aktivitas makan rayap pada semua umpan berhenti, berakhir pula proses itu. "Kalau aktivitas memangsa berhenti selama dua bulan, koloni rayap telah habis," kata Prof. Dodi.

Sebuah koloni rayap bisa mencapai luasan 800 m2. Sementara pada umur puncaknya, satu koloni rayap terganas bisa beranggotakan empat juta ekor. Dengan konsumsi 0,25 mg selulosa/ekor/hari, pasukan rayap sebanyak itu sanggup menghabiskan bangunan rumah dalam beberapa saat saja. Sungguh mengerikan!
****

Dua tahun lalu, puluhan buku kami hancur dibabat rayap. Kami tidak tahu, rak buku dari pinus ternyata makanan yang amat digemari sang rayap.

Kali ini kami harus mengganti sebagian kayu kaso, kuda-kuda, serta papan yang lumat dihajar rayap. Tapi, ini hanya mengganti. Karena yang kami butuhkan lebih dari itu. Kami harus menghajar si rayap, langsung di markasnya.

Masak sih kita sampai kalah dibobol rayap? Tentu kami tak ingin sampai habis Rp 6 milyar untuk membabat si kecil itu. Memangnya kami punya duit sebegitu banyak?

4 comments:

Anonymous said...

Yth Bp Iwan,

Saya tertarik dengan artikel bapak ini mengenai rayap, jika boleh bertukar pikiran, saya sedang menghadapi masalah rayap yang menyerang gipsum.
Jika boleh saya tau email bapak atau no telepon yang bisa saya hubungi?

Imelda

YOGYAKARTA said...

email saya iwanqh@gmail.com.
iwan

Anonymous said...

Yth semuanya
Memang untuk membasmi rayap paling tepat dengan memasang umpan "racun lambat", koloni rayap dapat dibasmi sampai ke anak cucunya. Teknologi ini dinamakan Baiting System EXTERRA dan perusahaan kami menyediakan sistem baiting ini
Jika membutuhkan info lebih lanjut
email ke tofan_arf@yahoo.com

yanmaneee said...

supreme new york
stone island
nike x off white
yeezy
kd 10
moncler outlet
bape
kyrie 7
yeezy shoes
steph curry shoes