Search This Blog

Monday, July 26, 2010

Green Living, Hidup Tanpa Sawit






KEMARIN, Ahad 25 Juli 2010, Mommy Uni Lubis, saya, dan Darrel Cetta, jalan-jalan ke Taman Menteng, Jakarta Pusat. Di taman bekas lapangan sepak bola Persija itu tengah berlangsung festival ‘’green living’’, alias gaya hidup serba hijau. Dibuat istilah dalam bahasa Inggris memang biar kelihatan wah, gaya, dan cerdas. Seperti halnya perumahan ‘’riverside’’ kesannya mewah, lain halnya kalau diberi nama ‘’girli’’ alias pinggir kali.

Penyelenggara acara ini adalah LSM Sawit Watch bekerjasama dengan Radio 68H. Sawit Watch ini LSM yang tugas utamanya memelototi pembangunan perkebunan sawit. Landasan berpikir LSM Sawit Watch ini cukup simpel. Kebun sawit dalam jumlah kecil tidak begitu bermasalah. Tapi bila ratusan ribu hektare hutan dibabat, lalu dijadikan sawit, bakal menimbulkan akibat cukup berat. Pertama, ada perubahan ekosistem. Kedua, sawit ini pohon yang rakus air, sekitar 10 liter sehari. Kalau dalam satu hamparan ada 10.000 pohon? Bakal 100.000 liter air dihabiskan oleh sawit.

Perang terhadap sawit dihimbau dimulai dari setiap rumah tangga. Tepatnya, dari dapur. Kalau tiap hari satu rumah tangga mengurangi minyak gorengnya 100 cc saja, dampaknya lumayan. Bila diasumsikan terdapat 40 juta rumah tangga, maka akan terjadi penghematan 4 juta liter sehari. Lumayan.

Maka, pada pagi itu juga ada demo masak dengan resep tanpa minyak goreng. Sehat juga sih. Bagi Anda yang ingin diet, dipersilakan mencoba resep yang serba rebus...

****
Namun apakah Indonesia betul-betul tidak memerlukan perkebunan sawit lagi? Ini pertanyaan besar, yang kalau mau dijawab, butuh makalah ratusan halaman. Bila ada 10 ahli, pasti akan muncul 30 pendapat. Soalnya di samping berbagai dampak buruk yang dikemukakan di atas, ada banyak manfaat bisa dipetik dari sawit.

Tak terbayang nasib industri kosmetik, industri pangan, industri obat-obatan, bila tanaman sawit dilarang. Turunan dari industri sawit ini amat luar biasa. Buka saja mie instan goreng di dapur. Di dalamnya terdapat satu plastik kecil minyak goreng.

Perkebunan sawit juga membutuhkan pengolahan, perawatan, persiapan. Semuanya menyerap tenaga kerja. Dari buruh kasar sampai yang punya gelar ‘’tukang insinyur’’. Untuk administrasi, juga butuh orang keuangan, legal, sekretaris, dsb. Pendek kata, industri sawit sudah menyerap tenaga kerja yang berjibun...

Mungkin yang perlu adalah penataan, agar dampak lingkungan perkebunan sawit bisa diminimalkan. Kalimat saya yang terakhir ini gampang diucapkan. Semua pasti setuju. Tapi bagaimana realisasinya, pasti akan terdapat pertengkaran cukup sengit antara kalangan industri, LSM, dan perguruan tinggi.

Soalnya, kalau alasannya adalah demi pemanasan global, kita seharusnya juga keberatan terhadap pembangunan sawah untuk tanaman padi. Budidaya padi dengan sawah tergenang ditengarai sebagai salah satu biang pemanasan global..

Pendek kata, semua ada dampak positif. Ada juga negatifnya.
*****

Di acara green living itu, Mommy Uni Lubis membeli makanan dari salah satu warung. Lumayan enak. Rasanya gurih. Nyaman di lidah.

Iseng-iseng Mommy Uni menanyai ibu penjual. ‘’Ini dimasak pakai apa bu?’’
Dengan spontan, ibu penjual itu menjawab, ‘’Oh, ini dengan minyak goreng Sunco.’’

Saya kemudian mencari lewat google. Minyak goreng Sunco ini diproduksi oleh PT Rajawali Nusindo, ‘’100% dari minyak kelapa sawit.’’
Wah, panitia kecolongan.

No comments: