Search This Blog

Wednesday, July 07, 2010

Batu Diam di Museum Nasional


Museum Nasional.


Darrel sibuk mencatat.



SELASA 6 Juli 2010 lalu saya mengantar Darrel Cetta berkunjung ke Museum Nasional. Ini adalah museum yang koleksinya dinyatakan paling komplet di Indonesia. Di Wikipedia, ensiklopedia gratis online, ditulis bahwa website Museum Nasional menyebut koleksi yang dimiliki berjumlah 140 ribu lebih.
Namun saya sendiri tidak berhasil menemukan website Museum Nasional. Saya mencoba mengklik www.museumnasional.org, tapi yang keluar justru iklan penjualan domain dalam bahasa Jerman. Mungkin ketika tulisan ini saya buat, website Museum Nasional tengah dihack.

Berdiri di depan salah satu rumah adat. Ini bisa ditemui di ruang etnografi.

Ketika saya tiba di lokasi Museum Nasional, saya melihat sendiri: koleksinya memang luar biasa melimpah… Sehingga rasanya tidak mungkin untuk mencek, apa jumlahnya memang 100 ribu lebih, atau di bawahnya. Cara menghitung koleksinya saja saya belum tahu.
Bagi Darrel, berkunjung ke museum selalu mengundang sensasi tersendiri. Ia selalu membayangkan bahwa masa sebelum kita adalah era jurasic: suatu masa sekitar 65 juta tahun lalu, tatkala dinosaurus hidup menguasai bumi. Ia juga selalu membayangkan, orang-orang di masa lalu selalu hidup dalam suasana perang yang mencekam tanpa henti.
Bayangan yang kedua itu rasanya tidak begitu meleset.
*****

Museum Nasional letaknya amat strategis. Ancar-ancarnya gampang saja. Setelah melewati Bundaran HI, kita akan melewati Jalan MH Thamrin. Setelah itu kita akan melewati gedung Griya Sapta Pesona. Kemudian, kita akan menjumpai deretan gedung kementerian: Menko Polkam, Menhan. Museum Nasional di deretan gedung-gedung penting itu.

Bila tidak hati-hati, kita bisa kelewat, karena bentuk gedungnya hampir sama.

Situs wikipedia Indonesia (id.wikipedia.org) menulis dengan lumayan rinci mengenai Museum Nasional. Museum ini juga dikenal sebagai Museum Gajah, sejak dihadiahkannya patung gajah oleh Raja Chulalongkorn dari Thailand pada 1871. Tetapi pada 28 Mei 1979, namanya resmi menjadi Museum Nasional Republik Indonesia. Kemudian pada 17 Februari 1962, Lembaga Kebudayaan Indonesia yang mengelolanya, menyerahkan Museum kepada pemerintah Republik Indonesia.
Sejak itu pengelolaan museum resmi oleh Direktorat Jendral Sejarah dan Arkeologi, di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tetapi mulai tahun 2005, Museum Nasional berada di bawah pengelolaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Pada tahun 2006 jumlah koleksinya sudah melebihi 140.000 buah, tapi baru sepertiganya saja yang dapat diperlihatkan kepada khalayak.
Museum Gajah banyak mengkoleksi benda-benda kuno dari seluruhNusantara. Antara lain yang termasuk koleksi adalah arca-arca kuna,prasasti, benda-benda kuna lainnya dan barang-barang kerajinan. Koleksi-koleksi tersebut dikategorisasikan ke dalam etnografi, perunggu, prasejarah, keramik, tekstil, numismatik, relik sejarah, dan benda berharga.

Batu prasasti, ya cuma batu berukir karena tidak ada penjelasan.


Sebelum gedung Perpustakaan Nasional RI yang terletak di Jalan Salemba 27, Jakarta Pusat didirikan, koleksi Museum Gajah termasuk naskah-naskah manuskrip kuna. Naskah-naskah tersebut dan koleksi perpustakaan Museum Gajah kini disimpan di Perpustakaan Nasional.
Sumber koleksi banyak berasal dari penggalian arkeologis, hibah kolektor sejak masa Hindia Belanda dan pembelian. Koleksi keramik dan koleksi etnografi Indonesia di museum ini terbanyak dan terlengkap di dunia. Museum ini merupakan museum pertama dan terbesar di Asia Tenggara.
Koleksi yang menarik adalah Patung Bhairawa patung yang tertinggi di Museum Nasional dengan tinggi 414 cm ini merupakan manifestasi dari Dewa Lokeswara atau Awalokiteswara, yang merupakan perwujudan Boddhisatwa (pancaran Buddha) di bumi. Patung ini berupa laki-laki berdiri diatas mayat dan deretan tengkorak serta memegang cangkir dari tengkorak di tangan kiri dan keris pendek dengan gaya Arab ditangan kanannya, ditemukan di Padang Roco, Sumatra Barat. Patung ini diperkirakan merupakan perwujudan Adityawarman dalam wujud sang Buddha.
Darrel berfoto di dekat patung itu.
Patung yang paling menarik perhatiannya adalah Ganesha. Ini adalah patung berkaki manusia berkepala gajah. Penganut Hindu mengenalnya sebagai Dewa Pengetahuan. Nama Ganesha cukup akrab bagi telinga kita. Institut Teknologi Bandung, perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, menggunakannya sebagai simbol. Tentara Pelajar juga menggunakan simbol Ganesha.
Bagi anak-anak, Ganesha cukup dikenal. Ia adalah tokoh di film kartun India, yang diputar di TPI tiap sore. ‘’Anaknya pintar, pemberani, dan selalu menang kalau berkelahi,’’ kata Darrel.
*****
Dibandingkan dengan Museum Satria Mandala yang kami kunjungi Sabtu pekan sebelumnya, Museum Nasional jelas lebih bagus. Dari segi tempat, keduanya sama-sama strategis. Dari segi pengelolaan, Museum Nasional kelihatan lebih profesional. Kalau Museum Satria Mandala rada berbau apek, Museum Nasional lebih segar.
Tempat penyimpanan koleksi berharga, disediakan secara khusus. Di lantai dua, ada berbagai peninggalan emas yang cukup menarik. Ruangannya ber-AC. Sejumlah koleksi sudah diberi penjelasan dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Cukup membantu bagi orang yang tidak memahami cerita masa lalu.
Namun, masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperbaiki Museum Nasional agar bisa mendongeng dengan lebih baik. Koleksi yang ada di Museum Nasional pastilah sesuatu yang amat berharga. Dalam bahasa jurnalistik masing-masing memiliki cerita 5 W dan 1 H yang cukup kompleks: why, when, what, where, who + how: itu barang apa, kenapa ada, kapan dibuat, di mana dibuat, di mana ditemukan, siapa yang punya, bagaimana menggunakannya.
Cerita tentang prasasti, misalnya, pastilah sangat menarik. Di Museum Nasional, di teras lantai satu, ada deretan prasasti, cukup banyak jumlahnya, dan bentuknya beraneka. Masing-masing prasasti pasti mempunyai cerita sendiri, yang mungkin cukup seru.
Sayang sekali pengelola museum tidak memberi catatan ihwal prasasti itu. Alangkah bagusnya kalau di tiap prasasti itu ditempelkan terjemahan, plus maknanya. Pastilah para pengunjung akan makin kagum: oh, hebat nian nenek moyang kita, sekian ratus tahun lalu…
Tanpa ada penjelasan, pengunjung hanya melihat ukiran batu yang tanpa makna.
Ketika Darrel tanya saya mengenai berbagai prasasti itu, apa boleh buat, saya tidak bisa menjawab. Nuwun sewu nggih nak…. Bapakmu betul-betul buta huruf dan buta bahasa Palawa dan Sansekerta.
Ini gara-gara pengelola Museum Nasional mengira semua pengunjung secerdas dirinya, sehingga merasa tidak perlu memberi penjelasan akan banyak obyek peting yang dikoleksinya.
*****

Darrel dan Ganesha.


Sejarah, atau syarah, merupakan catatan peristiwa masa lalu tentang suatu peristiwa yang sudah teruji kebenarannya. Bahasa Inggrisnya history, yang diambil dari bahasa Greek ἱστορία - historia, pengetahuan yang didapat melalui penyelidikan. Namun karena manusia punya banyak kepentingan, maka sejarah pun sering dibelokkan.
History berubah menjadi his story –cerita menurut versi beliau. Beliau di sini adalah ‘’sang pemenang’’. Maka di kalangan sejarawan juga sering muncul ledekan: history is written by the winner. If history is written by the winner, then how can we trust the history? Jawaban kita: wallahu alam.
Memang banyak hal yang bisa kita petik dari pelajaran di masa lampau. Biar kita bisa belajar dengan nyaman, maka alangkah baiknya bila Museum Nasional lebih diperbaiki lagi…
Misalnya, apa perlu orang yang ke toilet diharuskan membayar??? Kok seperti di terminal bus saja.

Apa harus menunggu kedatangan Ibu Ani Yudhoyono lagi, biar Museum Nasional lebih bersolek?
Untuk museum yang lain: apa Ibu Ani Yudhoyono harus berkunjung ke Museum Fatahillah, Museum Satria Mandala, Museum Bahari, agar museum-museum yang menyimpan kekayaan adiluhung itu nyaman dikunjungi dan perlu?
Monggo Bu Ani, silakan rawuh ke museum-museum itu, biar mereka rajin bersolek.

2 comments:

sheshel said...

Hmm...aq blm pernah ke Museum Nasional...hikss...hiks....

Icho Ahmad said...

Koq boleh foto2 di sebelah patung Ganesha Mas ? bukannya di Museum Nasional gak boleh foto2 ?