Search This Blog

Thursday, November 16, 2006

Menguber Biang Demam


HARI Minggu pagi, 12 November 2006 lalu, rumah kami terasa putih. Bukan karena salju bawaan dari Bandung masih menempel. Hari itu Pak RT punya program cukup penting, penyemprotan nyamuk demam berdarah.
Dua jam sebelum acara dimulai, Mommy sudah ribut. Ia menyuruh mbak Minah dan mbak Mur menyingkirkan semua makanan dan peralatan makan-minum dari atas meja ke dalam lemari, dan ditutup rapat. Ia juga sibuk menyiapkan masker, untuk menutup mulutnya Darrel.
Tumben, kali ini ia suka rela ‘’tutup mulut’’. Soalnya, mommy melontarkan kalimat-kalimat yang menakutkan. ‘’Awas, kalau tidak pakai masker, obatnya bisa masuk mulut… bahaya…’’
****
Menyemprot nyamuk hampir menjadi hal rutin setiap beberapa bulan, terutama di musim hujan. Kali ini, meski kemarau masih melanda Jakarta dan sekitarnya, si begundal aedes aegepty harus diuber karena –menurut kabar—sudah makan korban. Ada anak di luar kompleks yang sakit demam berdarah.
Maka diundanglah petugas untuk menyemprot nyamuk, dari rumah ke rumah. Termasuk ke Permata Timur Blok JJ/3 Jaticempaka, tempat kami bermukim.
Petugas datang jam 10-an. Ia langsung menyemprot di taman belakang. Setelah itu, ia masuk ke kamar tidur utama. Gudang, garasi, dapur, semuanya disemprot. Bahkan teras depan dan tamannya, juga ikut ditembak.
*****
Menguber nyamuk aedes aegepty, yang jadi penular sakit demam berdarah, sebenarnya sangat simpel. Dalam bahasa pemerintah, kegiatannya diberi nama ”3M”, yakni ”menguras”, ”menutup”, dan ”mengubur”. Menguras yaitu melakukan pengurasan secara teratur seminggu sekali tempat penampungan air bersih.

Menutup adalah menutup rapat-rapat tempat penampungan air bersih. Dan mengubur, yang dimaksudkan adalah mengubur atau menyingkirkan kaleng-kaleng bekas, plastik, dan barang bekas lainnya yang dapat menampung air hujan hingga menjadi sarang nyamuk.
Wartawan Pikiran Rakyat, Bandung, Marsis Santoso, dalam artikelnya di Pikiran Rakyat 17 Januari tiga tahun lalu menulis, siapa pun yakin tidak ada yang sulit untuk melakukan kegiatan tiga ‘’M’’. Tidak perlu biaya dan kalaupun harus dikeluarkan hanya sedikit tenaga. Namun, apakah orang mau melakukannya? Di sini memang problemanya.
Kendati sejak 1998, Departemen Kesehatan pernah membuat klip program kampanye penanggulangan demam berdarah dengan menggunakan bintang film/sinetron populer Rano ”Si Doel” Karno yang rajin tayang di televisi, rasanya orang lebih terpikat dengan akting sang bintang. Apakah pemirsanya mau mengikuti dan melaksanakan anjurannya, masih perlu dipertanyakan.
Terbukti, penyakit demam berdarah atau Demam Berdarah Dengue (BDB) masih sering mewabah. Seperti yang tengah melanda Desa Sengon Kecamatan Tanjung Kabupaten Brebes, Jawa Tengah belakangan ini. Bahkan, karena telah merenggut nyawa 8 anak-anak dalam sebulan terakhir (Pikiran Rakyat, 15/1), hampir setiap orang tua di desa itu dibuat panik berlebihan setiap salah seorang atau lebih dari anaknya menderita panas dan demam. Mereka takut anak-anaknya akan sama nasibnya dengan kedelapan anak yang telah meninggal akibat gigitan nyamuk Aedes aegypty itu.
Setelah menjadi wabah seperti itu, menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes Dr. H. Laode Budiono, M.P.H., warga desa yang terkena maupun desa-desa sekitarnya langsung berbondong meminta dilakukan fogging (pengabutan) atau penyemprotan dengan menggunakan campuran Malathion 4% dan solar. ”Karena masyarakat menganggap, penyemprotan merupakan satu-satunya senjata pamungkas. Ada kasus demam berdarah, asumsi masyarakat berarti harus ada fogging,” ujarnya.
Padahal dalam upaya penanggulangan demam berdarah dewasa ini, pengabutan hanyalah upaya penanggulangan sesaat dan tidak memiliki efek pencegahan.
Alasannya, nyamuk-nyamuk yang mati akibat terkena semprotan hanya nyamuk Aedes aegypty dewasa saja. Sementara itu, jentik dan kepompong sebagai stadium nyamuk yang hidup di tempat berair tidak tersentuh. Oleh karena itu, efek pengabutan akan hilang bersama hilangnya kabut insektisida yang disemprotkan. Selama penderita DBD masih ada dalam wilayah tersebut, nyamuk baru yang muncul kemudian dari kepompong tetap memunyai kesempatan mengisap darah penderita DBD yang masih ada dan penularan akan tetap berlangsung.
Diakui Laode, bila pengabutan dilakukan berulang kali dengan frekuensi teratur, memang akan menekan kepadatan populasi nyamuk. Akan tetapi, setelah pengabutan dihentikan, populasi nyamuk akan kembali meningkat. Di sisi lain, pengabutan di era krisis seperti sekarang ini dihadapkan pada banyak kendala. Pengabutan memerlukan biaya yang tidak sedikit, terutama dalam pengadaan insektisida. Gambarannya, satu kali pengabutan dengan jangkauan wilayah yang tidak terlalu luas biaya yang diperlukan Rp 150.000,00 per liter.


”Karenanya, dengan program penanggulangan DBD di Kabupaten Brebes yang saat ini sumber dananya dari Dana Alokasi Umum (DAU), yang pada tahun 2001 anggarannya cuma sebesar Rp 12,2 juta dan naik menjadi Rp 15 juta untuk tahun 2002, sulit bagi Dinkes untuk bisa meliputi 295 desa dan kelurahan yang ada,” kata Laode menambahkan.
******
Kabupaten Brebes merupakan daerah endemi DBD. Pada tahun 2001, terdapat 17 desa endemis di 7 kecamatan yakni Jatibarang, Ketanggungan, Larangan, Bulakamba, Wanasari, Tanjung, dan Brebes. Jumlah kasus sebanyak 120 penderita dengan 8 orang di antaranya meninggal. Dari data itu diperoleh kesimpulan, angka kesakitan sebesar 7 per 100.000 penduduk. Dari sisi ini tergolong baik karena target nasional 20 penderita per 100.000 penduduk. Namun, dari sisi angka kematian (case fatality rate) yang mencapai sebesar 6,7%, bisa dikatakan kurang baik karena target nasionalnya kurang dari 1%. Adanya kasus wabah di Desa Sengon yang terjadi awal tahun ini dan menyebabkan 8 orang penderitanya meninggal, mengisyaratkan bahwa DBD diam-diam terus menelan korban.
Untuk itu, Ka Dinkes Laode Budiono kembali menegaskan, kini sudah saatnya orientasi penanggulangan DBD mesti berubah. Program penanggulangan DBD yang selama ini cenderung pada upaya pemberantasan nyamuk dewasanya saja, sementara aspek pencegahan dengan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) belum mendapatkan perhatian sungguh-sungguh. Padahal, justru PSN merupakan kegiatan yang efektif dan efisien hanya belum secara utuh diketahui masyarakat sebagai langkah penanggulangan DBD yang benar.
”Asumsi ini bisa saja keliru. Tetapi, jika mengkaji beberapa surat usulan dari masyarakat untuk kegiatan pengabutan masih menunjukkan ketidaktahuan masyarakat terhadap upaya penanggulangan DBD. Misalnya saja, ada surat dari seorang kepala desa yang meminta agar wilayahnya segera diberikan pengabutan dengan alasan di wilayahnya banyak air kotor yang tergenang. Alasan ini bisa dikatakan kontradiktif, mengingat nyamuk Aedes aegypty lebih suka bertelur dalam bejana dengan air yang relatif jernih bahkan yang tidak kontak dengan tanah,” kata Laode.
Pemberantasan sarang nyamuk pada dasarnya menganut prinsip-prinsip dalam pencegahan DBD. Yakni kemampuannya untuk memutuskan rantai penularan karena daur hidup Aedes aegypty tidak akan pernah tercapai. Jadi pada gilirannya mampu menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypty. Pemberantasan sarang nyamuk akan menjadi sangat berarti jika dilaksanakan satu kali dalam seminggu, dengan maksud agar daur hidup nyamuk yang berlangsung 7-10 hari tidak tercapai sehingga nyamuk tidak sempat menjadi dewasa.
Memang banyak kendala yang menyertai upaya pencegahan ini. Akan tetapi, paling tidak sudah ada agenda nasional yaitu ”Bulan Gerakan 3M” yang telah dicanangkan sejak 24 April 1998. Tinggal bagaimana masyarakat menyikapinya untuk meningkatkan kualitas dan konsistensi gerakan kebersihan tersebut.
Menurut Dr. H. Laode Budiono M.P.H., pendekatan reward and punishment dapat saja diterapkan dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk. Misalnya, bila ada rumah yang bebas jentik nyamuk Aedes aegypty maka oleh warga masyarakat lainnya akan diberikan ”penghargaan”. Begitu pun sebaliknya, layak diberikan ”hukuman” pada warga yang rumahnya banyak jentik nyamuk Aedes aegypty-nya. Bentuk-bentuk penghargaan maupun hukuman tersebut dapat disepakati bersama oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

Dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, hendaknya masyarakat sendiri yang melaksanakan kegiatan perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasinya. Sementara itu, petugas kesehatan hanyalah bertindak sebagai pendorong saja. Hanya dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, masyarakat masih perlu meminta bantuan petugas kesehatan yang memunyai data mengenai Demam Berdarah dengue. Petugas kesehatan akan menentukan ”Bulan Gerakan 3 M” sebaiknya dilakukan. Jadi, menguras, menutup, dan mengubur sebagaimana disarankan Rano ”Si Doel” Karno lewat kampanye ”Gerakan 3 M” memang satu-satunya cara untuk menghindar dari ancaman demam berdarah**
******
Mau 3M, atau M3, tidak jadi masalah. Tapi, lebih penting dari itu adalah bagaimana menjaga pola hidup bersih, sehingga si nyamuk tidak punya tempat untuk bermukim….

No comments: