TELEPON berdering-dering dari mbak Yeni, mbak Tiwi, Ibu di Yogya, juga Tante Atik di Libya. ''Piye mas, kebanjiran ora?''
Percakapan itu terjadi pada awal Februari lalu. Hari itu, 2 Februari 2002, Jakarta dilanda hujan deras banget, dari sore sampai sore berikutnya. Harinya Jumat. Gara-gara hujan, saya berangkat ke kantor siang-siang.
Untuk salat Jumat, juga terganggu. Sebagian jalan di komplek terendam air --lihat tuh, di gambar pertama. Hujan juga masih deras. Ketika sampai di masjid, khotibnya belum datang. Ia rupanya terjebak banjir. Sungai di samping masjid juga heboh: airnya meluap, arusnya deras. Wah...
Kami bersyukur, komplek kami, Permata Timur, di Jati Cempaka, 200 meter dari perbatasan Jakarta Timur-Bekas, bebas banjir. Bebas banjir tidak berarti kami bebas dari rendaman air. Di beberapa lokasi, air menggenang. Tapi maksimum 20 cm.
Jauh lebih menyesakkan adalah mereka yang tinggal di komplek-kompleks langganan banjir. Kawannya Mommy, namanya Machsus, tinggal di Pondok Karya, Jalan Bangka, Jakarta Selatan.
Rumahnya kerendam ''cuma'' dua meter. Ketika hujan sedikit reda, airnya menyusut hingga ''cuma'' sepinggang orang dewasa.
***
Rumah kami, alhamdulillah, tetap nyaman. Ada beberapa bocor. Di jalan depan rumah, ada air menggenang (lihat tuh, ada gambar mbak minah dan pak rejo). Di halaman belakang, air juga mengucur cukup deras. Tapi, alhamdulillah lagi, aman.
Di halaman belakang, persis yang menempel teras, air sempat naik hingga tinggal 5 centimeter dari teras. Saya sempat deg-degan. Sebetulnya sudah ada saluran air cukup besar, yang langsung membuang air di situ ke selokan. Tapi hari itu selokannya airnya luber. Jadinya, air hujan agak lambat terbuang.
****
Sumur resapan membuat air hujan dengan cepat teresap. Sewaktu membangun halaman belakang, kami membangun tiga sumur resapan. Ada batu besar, kerikil, ijuk, pasir, dsb, yang kami tanam di halaman belakang. Ilmu sumur resapan itu kami dapatkan dari internet. Kami buat saja, mengikuti gambar, langsung diterapkan.
Banyak orang yang tidak membuat sumur resapan. Alasannya macam-macam. Di antaranya,
Padahal, sumur resapan punya arti penting untuk menyerap air ke dalam tanah. Sehingga tidak semua air hujan harus menggelontor, masuk ke selokan. Ketika Jakarta didera banjir seperti awal Februari lalu, arti pentingnya sumur resapan digaungkan lagi. Sampai-sampai, Gubernur menyatakan, akan mendenda rumah tangga yang tidak membuat sumur resapan.
Yah, tapi nasi sudah terlanjur matang. Banjir sudah terjadi. Meski demikian, rasanya belum terlambat untuk membuat sumur resapan, bagi yang belum memiliki. Seperti halnya: belum terlambat membuat banjir kanal timur, belum terlambat mendandani situ-situ yang sudah mendangkal, dan belum terlambat meresikkan sampah di pintu air Manggarai.
Kalau di rumah saya air relatif aman, tidak demikian halnya dengan kompleks dekat rumah, Jatiwaringin Antilope. Air menggenangi jalanan, hampir satu meter. Air bertamu ke rumah-rumah, hingga lebih dari satu meter.
Pernahkah Anda merasakan air masuk ke rumah, lima centimeter saja? Risih. Badan kita rasanya gatal-gatal. Serba tidak nyaman.
Di Cipinang Muara, air sampai setinggi tiga meter. Sekali lagi, tiga meter!! Di Kelapa Gading, juga sekitar tiga meter. Di Kampung Melayu, Pengadegan (ini dekat kantor saya), juga hampir sama ketinggiannya.
Banjir di Cipinang membuat jalanan Kalimalang lumpuh total. Pemilik mobil di Cipinang Indah (ini komplek bagus lo!), memindahkan mobilnya ke pinggir jalan Kalimalang. Komplek Cipinang Indah memang mengenaskan. Rumah-rumah bagus yang mahal itu terletak di Cekungan, lebih rendah dari Kalimalang.
Ketika hujan datang, air langsung menggenang. Susah untuk mencari jalur keluar.
Banjir Jakarta memberi pelajaran penting, tak hanya bagi pemerintah, tapi juga bagi warga. Setidaknya para warga disadarkan kembali akan pentingnya menjaga kebersihan. Juga akan arti penting bekerjasama dengan tetangga untuk membersihkan selokan.