Search This Blog

Tuesday, April 01, 2008

BAHASA MENUNJUKKAN BANGSA


BERBAHASA Indonesia itu tidak semudah yang kita bayangkan. Karena setiap hari kita sudah mudeng nonton tv, mendengarkan radio, ngobrol, dan baca koran, kita merasa diri kita sudah fluent, sudah cas-cis-cus berbahasa Indonesia. Akibatnya: meski di rak buku kita memiliki ratusan buku asing, kamus bahasa Indonesia-Jerman, kamus bahasa Prancis, tapi Kamus Besar Bahasa Indonesia banyak yang tak punya. Akibatnya lagi: acap kali kita terbata-bata dalam berbahasa.
Harap dimaklumi, meski bahasa Indonesia kini telah menjadi bahasa nasional, juga bahasa negara, tetapi latar belakang pemakainya amat beragam. Ada yang dari Yogya, Sunda, Ambon, Mandailing, Aceh, dsb.
Di Jakarta kita akan merasa biasa untuk mendengar kalimat seperti ini: ‘’Apakah Gubernur sudah datang?’’ Di Yogyakarta, kalimat seperti itu akan terasa tidak sopan. Orang Yogya akan lebih srek kalau bilangnya begini: ‘’Apakah Ngarso Dalem sudah rawuh?’’ Rawuh adalah istilah lain untuk ‘’datang’’, untuk orang yang dihormati. Dalam strata bahasa Jawa itu disebut dengan kromo inggil, bahasa untuk orang yang kita tuakan, seperti orang tua, pejabat, ulama.
Di Surabaya, mungkin kita juga merasa biasa mendengar kalimat ini: ‘’Pancen sampean iku diancuk..’’ Duh, untuk ukuran Yogya, itu seperti makian yang amat kasar.
Kawan saya yang asli Bandung, sangat kesulitan untuk mengucapkan kalimat dengan huruf ‘’f’’. Seringkali terbalik-balik dengan huruf ‘’p’’. Kentucky Fried Chicken diucapkan sebagai ‘’Pried Chicken’’. Salah satu di antara yang pernah keseleo mengucapkannya kini menjadi petinggi di sebuah stasiun tv swasta. Ia bertutur, salah satu adiknya kerja di KFC, di Kalimantan Timur. Saya tanya, tugasnya apa? ‘’Dia lulusan Geologi, harus mencari tambang baru yang ada batu baranya.’’ Saya tanya, ‘’Apa yang dimaksud Kaltim Prima Coal?’’ Ia menjawab ‘’Ya’’. Hehehe.. ternyata yang dimaksud adalah KPC, bukan KFC.
*****
Kesulitan lain yang muncul dalam berbahasa Indonesia adalah, kita makin merasa bahwa bahasa kita ini miskin kosakata. Bahasa sehari-hari yang kita pakai sangat banyak mengandung unsur serapan.
Apa nama tempat pemberhentian bus? Jawabnya: halte. Itu dari bahasa Inggris. Kita juga mengenal istilah baru akhir-akhir ini: under pass (terowongan), fly over (jalan layang), traffic light. Kepolisian Daerah Jakarta mengenalkan lembaga yang mengontrol lalu lintas. Namanya: Traffic Management Centre alias TMC. Kenapa bukan PKL, Pusat Kendali Lalu Lintas? Mungkin khawatir derajatnya turun, disetarakan dengan pedagang kaki lima.
Sering kali istilah asing itu muncul lantaran kita malas mencari kata-kata padanannya dalam bahasa Indonesia. Atau kita merasa minder, merasa kalau dengan menggunakan bahasa Inggris, kita akan merasa menjadi kaum terpelajar.
Tapi juga unsur lain, bahasa Indonesia memang tidak memiliki kata yang sama artinya. Contohnya saja: internet, komputer, bank, atom, neutron, derivatif. Bisa saja kita menerjemahkan, tapi akibatnya akan menjadi naskah dalam bahasa Indonesia yang tergagap-gagap. Salah satu yang sangat bersemangat untuk membuat terjemahan untuk setiap istilah adalah Prof. Sudjoko, guru besar ITB Bandung.
Masuknya unsur serapan yang secara beruntun ditimpali dengan kemalasan mencari tahu grammar yang benar, dan cara penulisan yang benar. Akibatnya terjadilah tulisan: PHOTO COFFEE, HALTE PLY OFFER, TAMBAL BAN CUBE LESS.
Sebagian foto dari ‘’dinamika’’ –istilah halus saya untuk kerancuan-kerancuan berbahasa itu—saya muatkan di blog ini. Foto ini saya ambil dari surat elektronik alias email yang masuk ke saya. Mohon maaf saya tidak tahu, siapa yang memiliki foto ini, sehingga kami muatkan tanpa akreditasi.
*****
Salah satu penyebab kesulitan berbahasa Indonesia juga bahasa kita sering tidak konsisten, tidak taat azas dalam menyerap unsur asing. Kita lebih mengenal Selandia Baru ketimbang New Zealand. Tapi untuk Papua New Guinea kita menerjemahkannya menjadi Papua Nugini. Kenapa bukan Papua Guinea Baru? United States of America kita terjemahkan sebagai Amerika Serikat. Kalau United Kingdom kenapa bukan Kerajaan Serikat ya, tapi malah jadi Kerajaan Inggris?
Jaman gubernur Jakarta dijabat Pak Wiyogo Atmodarminto, pernah ada aturan untuk mewajibkan toko-toko, hotel, nama jalan, harus menggunakan aturan bahasa Indonesia yang baku. Artinya yang baik dan benar, mengikuti azas ‘’DM- diterangkan dan menerangkan’’.
Maka: BNI Bank menjadi Bank BNI, BII Bank menjadi Bank BII. Tapi juga ada kata-kata yang terjemahannya dipaksakan.
Sebuah hotel di Jalan HR Rasuna Said namanya ‘’Grand Melia’’. Kini berubah menjadi ‘’Gran Melia’’. Kenapa bukan Melia Raya ya? Anehnya, sebuah perumahan bernama ‘’Cassa Grand’’ berubah menjadi ‘’Cassa Grande’’.
Nah, pusing kan? Wajar kalau kemudian muncul: Ply Over, Ply Offer, Fly Oper, dan Photo Coffee…
Kalau cara berbahasa menunjukkan bagaimana sebuah bangsa, mungkin ini jawaban kenapa kok kita terus dipusing dengan beragam masalah….



4 comments:

Anonymous said...

Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://www.infogue.com/pengetahuan_umum/bahasa_menunjukkan_bangsa/

YOGYAKARTA said...

trims. saya beberapa kali berusaha masuk ke infogue, gagal terus. ajakan Anda sangat menarik.

YOGYAKARTA said...

ok. terima kasih atas undangannya.

Anonymous said...

Hot Trends Today

pasaaaarrrrrrrrrraaahhh