Search This Blog

Wednesday, December 26, 2007

Zulfiani Lubis Menemukan Keajaiban Doa








Seorang perempuan peranakan Jawa-Medan yang tak pernah bercita-cita menjadi wartawan, ternyata justru sering didapuk menjadi pembesar pers baik media cetak maupun televisi.


Nama lengkapnya Zulfiani Lubis, yang merupakan akronim dari nama ayah Zulkifli Lubis asal Mandailing Natal, Medan dan nama ibu Siti Muryani, asal Yogyakarta. Meski berdarah Mandailing, Uni tak cakap bicara dalam bahasa kampungnya. Ia mengaku tumbuh dan besar di tempat-tempat yang berbeda. Bahasa Jawalah yang merupakan bahasa Ibunya yang ia kuasai.
Ayahnya, Zulkifli Lubis yang seorang hakim, kerap berpindah tugas. Lahir di Jakarta, 29 November 1967, Uni kecil me-ngenyam taman kanak-kanak di Bangil, Pasuruan pada 1971. Di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat pada 1975, Uni me-namatkan sekolah dasar. Kemudian saat pindah ke Tangerang, Uni menyelesaikan sekolah menengah dan sekolah lanjutan. Usai dari Tangerang, ayahnya lalu bertu-gas di Yogyakarta, Tual, Maluku Tenggara, dan berakhir di pengadilan negeri Jakarta Pusat.
Uni remaja pindah ke kota seribu ang-kot, menimba ilmu di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Di kampus ia terlibat dunia aktivisme. Menurut dia hampir semua kegiatan yang ada IPB per-nah diikutinya. Tak heran bila kemudian ia dipercaya menjadi ketua senat di sana.
Meski berfisik lemah, Uni remaja per-nah nekat mengikuti pendidikan Menwa. Ia berjalan kaki dari Bogor sampai ke Pela-buhan Ratu. Ia sempat pingsan beberapa kali. Namun akhirnya sampai juga ke tempat tujuan.
Setelah dua bulan mengikuti pendidi-kan, Uni tak lantas masuk menjadi anggo-ta Menwa. Motivasinya ikut pendidikan Menwa hanya ingin membuktikan kalau ia bisa. “Gue ini gampang pingsan, dan Men-wa itu adalah sesuatu yang tidak pernah gue alami,” ujarnya terkekeh.
Uni senang mencoba sesuatu yang ba-ru dalam hidupnya. Saat duduk di bangku kuliah, ia membuat suatu acara yang wak-tu itu tak lazim di kampusnya, yakni sebuah festival band se-Jawa. Pun tiket masuknya tak gratis pula. Padahal waktu itu menurutnya IPB terkenal sebagai kam-pus yang puritan. Mahasiswanya cende-rung apatis. Hobinya belajar karena ujian hampir setiap hari.
“Nggak ada ceritanya anak IPB mau datang ke kegiatan apalagi disuruh bayar,” tutur Uni. Di luar dugaan, acaranya ter-nyata sukses. Sekitar dua ribu pengunjung memadati kampusnya.
Selain kegiatan itu, Uni juga pernah menjadi ketua panitia pelatihan jurnalistik tingkat nasional yang bertempat di kam-pusnya. Saat itulah kali pertama ia ber-kenalan dengan dunia jurnalistik.
Tiga bulan lulus dari IPB, Uni masuk majalah Warta Ekonomi. Ia merasa be-runtung karena bersentuhan langsung de-ngan para guru dalam jurnalistik Indone-sia. Diantaranya, Pak Jafar Assegaf sang Pemred; Pak Erlangga Ibrahim (Pemim-pin Umum); Dan Pak Amir Effendi Siregar (Pemimpin Perusahaan).
Bagi Uni, meski Pak Erlangga kurang dikenal sebagai sosok wartawan, tapi dia salah satu tokoh pers mahasiswa di ITB. Dari dia, Uni belajar banyak untuk mema-hami bagaimana seorang wartawan harus teliti, terutama soal akurasi data dan fakta.
Ketika Uni berhasil menunjukkan ka-lau dirinya tidak mengecewakan, Pak As-segaf adalah orang yang membuka peluang baginya untuk berkembang. “Dan sampai sekarang termasuk orang yang kemana-mana selalu mempromosikan saya,” tuturnya.
Dua tahun bekerja di lapangan, Uni bertemu jodohnya, Iwan Qodar Himawan, yang juga seorang wartawan. Selain karena kesalehannya, Uni mengaku me-ngagumi Iwan dari segi kreatifitasnya me-ngemas tulisan.
Karir Uni terbilang cukup sukses. Usai berkiprah di Warta Ekonomi, ia menjadi wakil pemimpin umum Panji Masyarakat di usia 28 tahun dan pemimpin redaksi di usia 32 tahun.
Di kalangan teman-teman sejawatnya, Uni dikenal sebagai seorang jurnalis yang pemberani. Keberaniannya terlihat ke-tika dia menjabat sebagai Pemred Panji-Mas. Ia berani menurunkan berita tentang suara-suara mirip Habibie dan Andi Ghalib. Yang karuan saja, membuatnya harus menghadapi berbagai macam teror dan berurusan dengan pihak berwenang.
Sifat pemberani dalam diri Uni ternya-ta dipelajarinya dari sang ayah. “Saya belajar dari dia tentang berani menyata-kan pendapat bahkan kepada atasan yang berkuasa sekalipun,” ujarnya bersema-ngat. Waktu ia dipanggil polisi terkait kasus Habibie-Ghalib, ayahnya berpesan: “Apapun yang terjadi jangan pernah menyerah pada tekanan kekuasaan.”
Uni lantas bertutur, ayahnya memu-tuskan pensiun dini karena dia memimpin sidang--terakhir di Jakarta Pusat yang me-libatkan Budiman Sujatmiko, waktu kasus 27 Juli. “Ayah membebaskan Budiman dan kemudian Mahkamah Agung memu-tuskan dia dibuang ke Papua,” beber Uni.
Uni Lubis nampaknya memiliki hidup yang lancar dan linear. Selepas dari Panji-Mas, ia menjadi Wapemred TV7 (2003) dan kini Wapemred antv. Tanggung ja-wabnya di news antv seabrek. Mulai dari mendesain program dan peliputan, meng-koordinasikan seluruh kegiatan peliputan, produksi, penayangan news dan current affairs, membuat standar operasional prosedur (SOP) dan job desc di lingkungan news, memimpin rapat-rapat harian di lingkungan news, sampai memikirkan pe-ngembangan program dan peliputannya.
Uni yang berangkat dari media cetak ini mengaku, terjun ke teve itu memiliki tantangan tersendiri. Pertama soal ritme kerja. Di teve ritme kerjanya cepat. Kedua, tidak semua model yang layak ditampil-kan di media cetak bisa ditampilkan di teve.
Soal ritme kerja, Uni mengaku tak me-rasa kaget. Sementara untuk memilah be-rita yang bisa masuk ke teve, Uni menye-but butuh proses sekitar satu tahun.
Di luar tugasnya sebagai seorang Wa-pemred sebuah televisi swasta nasional, Uni Lubis mengaku sebagai ordinary people. Ia senang belanja, hobi memasak. Senang mengoleksi resep makanan.
Ia masih biasa mengepel kamar tidur-nya sendiri, menggosok kamar mandi dan toilet sendiri. Bagi Uni, kamar tidur terma-suk kamar mandi adalah area kerajaan pribadinya. Ia tak mengijinkan orang lain untuk membersihkannya, kecuali saat ia ke luar negeri. “Di rumah ada tiga orang yang membantu tapi lebih untuk menema-ni anak saya,” paparnya.
Misal hari Jumat ia harus pergi se-mentara sopirnya sedang salat Jumat, Uni juga tak segan untuk naik angkutan umum. “Saya tidak berbakat jadi selebriti,” ujarnya terkekeh.
Saking sibuknya bekerja, Uni mengaku sosialisasi dengan tetangganya kurang. “Soalnya dari ibarat matahari belum terbit saya sudah pergi. Paling cepat jam 10 malam saya baru pulang. Paling kalau 17 Agustusan. Itu saja agak susah. Soalnya kan kadang banyak live,” ujar ibu satu anak ini.
Uni mengaku pernah sedih. Saat pu-tranya, Darrel Cetta menjadi juara lomba Agustusan, ia tak bisa menyaksikannya karena harus menjalankan tugas.
Sebagai salah satu cara penebus rasa bersalah terhadap para tetangganya, Uni mengaku menjadi konsumen yang baik. Lho? Misal ada tetangga yang menawar-kan barang apapun kepadanya, ia akan membelinya.
Beralih ke soal kehidupan religiusnya, Uni bercerita bahwa ia mencoba menja-lankan kewajiban salat lima waktu semak-simal mungkin. Dulu, ia juga mengaku sering puasa Senin Kamis. Cuma setelah di antv, kebiasaan itu terasa berat.
Namun dalam perjalan hidupnya teru-tama saat di PanjiMas, Uni menyebut me-ngalami banyak pengalaman, bahwa yang benar-benar bisa memberi pertolongan adalah Allah SWT. Ia teringat tulisan Widi Yarmanto di Gatra yang menganjurkan jika ada kesulitan baca al Fatihah 660 kali.
Waktu di PanjiMas, tinggal dua hari sebelum tanggal 30 Uni tidak punya bayangan dari mana ia bisa membayar gaji 150 orang teman-temannya. Akhirnya ia berdoa dan membaca surat al Fatihah itu. Dan ternyata ada jalan keluar.
Begitu pula saat menunaikan ibadah haji. Uni mendapatkan pengalaman religius yang tak terlupakan. Waktu di Raudah ia memanjatkan tiga doa. Perta-ma, mendoakan kedua orang tuanya. Kedua, doa ingin punya anak. Ketiga, ke-inginannya soal Jefferson Scholarship yang tengah dilamarnya.
Dan luar biasa doanya terkabul. Selesai salat su-buh, Uni mendapat sms dari kantornya, bahwa ada surat yang isinya lamaran beasiswanya diterima. Tak lama setelah itu, Uni ha-mil, meskipun akhirnya har-us digugurkan sebab tidak ber-kembang dengan baik karena bleeding. “Tapi saya akhirnya tahu saya bisa hamil dan punya kelainan di darah. Sehingga pas saya hamil lagi bisa ditangani dan akhirnya selamat,” ujarnya gem-bira.



http://www.adilnews.com/?q=id/comment/reply/202

Saturday, December 01, 2007

BELAJAR MENJADI PILOT






Ini foto waktu Darrel Jumat 30 November lalu main ke Kidzania, di Pacific Place, SCBD, Jakarta. Ia memilih menjadi pilot. Cerita lainnya menyusul ya...
Posted by Picasa