Search This Blog

Monday, May 29, 2006

Gempa Kita Semua




SABTU pagi, jam 6.40, 27 Mei lalu. Saya lagi di rumah, membaca koran. Tiba-tiba telepon saya berdering.
‘’Ayah, ada gempa di Yogya. Besar banget. Coba telepon bapak ibu.’’
Yang menelepon adalah Mommy Uni Lubis. Hari itu ia berangkat ke kantor pagi banget, jam 04.30. Ia mengundang pasukannya rapat jam 6 pagi. Rencananya jam 9 ia sudah sampe rumah lagi.
Saya bergegas menelepon Yogya. Alhamdulillah, di sambungan kedua saya sudah sambung.
‘’Om…om… teras kita ambruk,’’ kata Eriza Hanif, keponakan.
‘’Teras?’’
‘’Iya. Barusan ada gempa buanter banget. Tembok goyang-goyang, kayak mau rubuh.’’
‘’Ambruknya bagaimana?’’
‘’Ya hilang sama sekali. Pokoknya depan rumah itu sekarang sudah tidak ada…’’
‘’Yangti dan Yangkung di mana?’’
‘’Ini Yangti…’’
‘’Duh mas… ibu kalut banget. Deleg-deleg… Wah…’’
Suara Ibu belum beraturan. Saya memutuskan untuk mengakhiri telponnya.
****
Tapi alhamdulillah, semua selamat.
Saya kemudian menelepon mbak Yeni.
Empat kali saya mengontak telepon rumahnya, tak ada yang mengangkat.
Saya kemudian menghubungi nomornya Cita. Tak ada jawaban. Nomore Bella. Tak ada pula. Kemudian ke nomore Tifa. Juga tak ada jawaban.
Saya penasaran. Kemudian saya menghubungi nomore mbak Yeni.
Alhamdulillah, sambung.
‘’Aku iki neng njobo. Aku ora wani mlebu. Lemah isih goyang terus iki….’’
Suarane tidak teratur. Napasnya tersengal-sengal.
‘’Gendeng do rontok ora karu-karuan. Aku arep metu ora iso… Lawang ora iso dibuka. Lampu goyang. Tembok obah arep ambruk. Aku wedi tenan….’’
Pagi itu, mbak Yeni masih tidur. Tiba-tiba ia merasa kasurnya bergoyang-goyang.
Ia bangun. Ia melihat lemari hampir rubuh.
Di luar, suara seru memanggil-manggilnya.
‘’Bu Faisal… Bu Faisal…’’
Mbak Yeni sadar, sesuatu tengah terjadi. Ia bergegas melompat dari kasur, menuju pintu depan.
Pintu tak bisa dibuka. Ia kalut. Setelah berusaha cukup lama, dengan rasa takut yang terus memburu, ia akhirnya bisa membuka pintu.
Bella, Cita, dan Tifa, tiga buah hatinya, ia teriaki untuk segera keluar.
Dengan terengah-engah, akhirnya mereka berempat berhasil keluar.
Tapi, belum selesai. Rupanya pintu pagar terkunci rapat.
Dengan masih berdaster, mbak Yeni melompat pagar. Ups… Seorang tetangga di depan rumah menangkapnya.
Entah rejeki, musibah, atau sodakoh yang ia dapat…
*****
Jam 7 pagi, Metro TV mulai menayangkan teks adanya gempa bumi di Yogya. Disebut kekuatannnya 5,9 skala Richter. Menurut USGS –United States Geological Survey, kekuatannya 6.2.Dibanding dengan gempa di Aceh, memang kalah jauh. Gempa bertsunami di Aceh kekuatannya 8,7 skala Richter.

Bedanya, letak gempa di Yogya ini begitu dekat dengan daratan. Ia diperkirakan hanya berbilang beberapa kilometer dari pantai selatan. Malah menurut BMG pusat, episentrum gempa terletak di daratan. Kedalamannya 27 kilometer. Cukup dangkal.

Wajar bila kabupaten yang punya pantai Selatan, yakni Bantul, terkena dampak paling keras. Tayangann Antv menunjukkan, makin ke selatan, kehancuran makin tak terkira. Bahkan kecamatan Pundong, Plered, sekitar 90% rumah rata dengan tanah. Masya Allah.

Gempa ini terjadi hanya 1,5 tahun setelah badai tsunami Aceh. Tapi kenangan orang akan dampak kerusakan di Aceh masih belum lenyap dari pikiran. Maka, begitu goyangan menimpa Yogya, kecemasan akan datangnya tsunami langsung datang.

Jam 8 pagi saya menelpon Suryodiningratan lagi. Berkali-kali berdering, akhirnya Bapak yang mengangkat.
‘’Aku isih delek-delek mas… Pas gempa mau kan bapak lagi neng mesjid. Pengajian pertama neng Masjid Al Hidayah. La kok ngerti-ngerti lantai tempat bapak lenggah goyang. Lampu, tembok, kabeh goyang. Bumi koyo diputer. Kabeh terus podo njerit… ‘’Allahu Akbar…’’ tapi arep mlaku ora iso. La goncangane kenceng banget…’’ Bapak arep ngadek, isone mung cekalan kursi. Yo wis… bapak kendel wae. Allahu Akbar…. Allahu Akbar…’’
Pembicaraan terhenti. Bapak mengatur napas. ‘’Wis yo, iki karo ibu wae…’’
Ibu kemudian bicara. ‘’Ibu kuwi mau yo bingung. Ngerti-ngerti kok goyang kabeh. Arep obah ora iso. Arep nulung bapak ora iso… Ya Allah… Bareng kondisi tenang, ibu kondur. Eh, sepanjang jalan ketemu omah-omah sing rusak… Tekan ndalem, terase wis ambruk…’’
Ibu diam. Telepon kemudian dialihkan ke Bapak.
‘’Saiki sing lagi rame, jare ono tsunami. Jare banyune wis tekan Dongkelan…’’
‘’Dongkelan?’’
‘’Iyo. Iki uwong-uwong podo metu, mlayu ngalor numpak motor, mobil…’’
‘’Mboten mungkin pak. Jarak pantai selatan tekan Suryo 20-an kilometer. Air nggak mungkin datang. Bapak di rumah saja, nunggu di luar…’’

Belum selesai bicara dengan Bapak, tiba-tiba SMS masuk. Dari Tifa. ‘’Om, ini apa yang terjadi. Katanya ada tsunami. Orang pada rame-rame ke Mandala Krida. Saya juga di situ..’’ Ternyata mbak Yeni sekeluarga sudah mengungsi.
****
Gempa di Yogya berlangsung 57 detik, goyangan pertamanya. Tapi akibat yang terjadi baru bisa dipulihkan dalam bilangan tahun. Lebih dari 4.000 jiwa wafat. Ribuan rumah hancur.

Di Suryodiningratan, tembok teras hancur lebur. Harus direnovasi total. Tembok ber-roster ambruk. Dinding yang ada alat ukur listriknya retak cukup lebar. Di Tahunan, bangunan utama alhamdulillah selamat. Mushola baru, retak-retak.


Mas Joni sudah sampe di Yogya, Sabtu sore.
Minggu pagi, menjelang pulang ke Jakarta, saya mampir Tahunan. ‘’Aku cuti disik. Ora jelas nganti kapan. Pokoke kabeh nganti rampung disik,’’ kata Mas Joni, sambil menunjukkan keretakan di mushola.

Tiba-tiba pandangannya ke atas. Ia melihat genting rumah utama. ‘’Wow… gendenge sing do mlorot okeh banget…’’

Bukan waktu tepat untuk mendandani rumah. Karena semua orang sekarang butuh tukang. Dan pak tukang, sekarang disibukkan untuk memperbaiki rumahnya yang rusak.

Saturday, May 13, 2006

Latihan berenang





‘’HARI ini Darrel berenang,’’ kata Mbak Mur, pada Selasa pagi itu.
‘’Renang?’’
Wah, ini pekerjaan besar. Maklum, mommy dan ayang tidak punya gen renang. Masuk kolam renang pernah, tapi itu cuma kecepek-kecupuk.

Untung mommy sudah membelikan baju renang untuk Darrel. Sehingga mbak Mur tinggal mengambil baju dari lemari. Kemudian dia menyiapkan minum dan makan. Soal minum itu yang harus disiapkan betul. Kalau pergi, Darrel harus selalu ditemani dengan tiga botol susu, beberapa bungkus teh kotak.

Jam 8 Pak Rejo datang menjemput Darrel dan mbak Mur. Mereka segera meluncur ke tempat kolam renang, di gedung ILP, Kalimalang. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari rumah.

Mbak Mur dibekali kamera. Inilah hasil jepretan pak Rejo.
‘’Mula-mula Darrel takut. Ia nangis terus. Lama-lama ketagihan minta tidak pulang…’’ kata mbak Mur, ketika ditelepon ayah pada sore harinya.