Situs Iwan Qodar Himawan - Uni Lubis - Darrel Cetta. Iwan, terakhir bekerja di GATRA. Uni, wartawan, pernah di Warta Ekonomi, Panji Masyarakat, TV7, kini di Antv. Darrel, murid Embun Pagi Islamic International School, Jakarta Timur. Website of The Family of Iwan Qodar Himawan-Uni Lubis-Darrel Cetta. Iwan, journalist. Now running his own company. Uni, journalist, now working for Antv, Jakarta based private TV Station. We live in Permata Timur, Jaticempaka, Pondokgede, Indonesia.
Search This Blog
Friday, August 26, 2005
"Judicial Review" UU Penyiaran Tak Berkait Bisnis
Jakarta, Kompas - Tindakan masyarakat penyiaran mengajukan judicial review atas UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sama sekali tak berkait dengan urusan bisnis, tetapi murni karena ada bagian yang melanggar kebebasan pers dan UUD 1945. Kalangan pengelola televisi berpendapat kondisi bisnis mereka sampai sekarang baik-baik saja, apalagi masa penyesuaian lembaga penyiaran televisi terhadap aturan dalam UU Penyiaran berlangsung lima tahun.
Hal itu dikemukakan Uni Lubis mewakili Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI). Ia menjawab pernyataan anggota Komisi I DPR Effendy Choirie dalam diskusi panel: UU Penyiaran dan Kebebasan Pers di Indonesia di Jakarta, Sabtu (10/5). ATVSI adalah satu dari lembaga penyiaran televisi yang mengajukan judicial review UU Penyiaran.
Diskusi diadakan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) itu menghadirkan pembicara antara lain Menneg Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif, Effendi Gazali (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia), dan Gatri Gayatri (Universitas Moestopo).
Menurut Effendy, pendapat bahwa UU Penyiaran membelenggu pers adalah fitnah besar dan pembodohan masyarakat. UU tersebut dibuat justru untuk mengutamakan kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia yang selama ini ditindas. Frekuensi radio dan televisi sejak lama hanya dimiliki orang-orang dari kalangan istana, sedang akses masyarakat nyaris tak ada.
Namun, ia mengakui pengajuan judicial review merupakan hak masyarakat. Akan tetapi, pihak yang mengajukan keberatan UU tersebut menurut dia bukan dalam konteks filosofi melainkan konteks bisnis. "Mereka mengkhawatirkan desentralisasi kepemilikan frekuensi yang memungkinkan orang daerah berkesempatan memiliki televisi sendiri," katanya.
Effendy mengatakan, dengan aturan baru itu pihak televisi swasta tak akan bisa segera meraih keuntungan dan lebih lama mencapai titik impas.
Sekalipun demikian, ia mempersilakan lembaga penyiaran mengajukan uji material UU tersebut. "Ini kan demokrasi. Tapi, kalau nanti mereka menang dan kita kembali memakai UU yang lama jangan kaget. Untuk urusan siaran relai harus ada aturan. Lembaga pemerintah semacam Deppen akan ada lagi dan akan lebih membelenggu gerak mereka," katanya.
Lubis mengatakan, industri televisi memang padat modal. Untuk siaran, gaji pegawai, dan lainnya dalam sebulan dibutuhkan dana Rp 5-10 miliar. "Tetapi, judicial review tak ada kaitannya dengan bisnis," tambahnya. (TRI)
Mobil Kuningku
SEJAK punya mobil listrik baru, Mohamad Darrel ‘’Dayen’’Cetta Askara punya kegiatan ekstra. Sekitar tiga kali sepekan, ia naik mobilnya, keliling kompleks. Lumayan jauh lo. Dari rumah, sampe ke masjid di Permata Timur 1, jaraknya hampir 700 meter. Kalo Dayen naik mobil, mbak Mur dan mbak Minah menyertai di belakangnya.
Dihitung dari sisi jaraknya, mungkin om dan tante bilang, ‘’Apa itu, cuma 700 meter. Dekat!’’ Tapi, tahukah om dan tante, bahwa Permata Timur 1 itu terletak di Kelurahan Pondok Kelapa, Jakarta Timur? Berarti, dengan naik mobil dari rumahku ke masjid, saya sudah menyeberangi perbatasan Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Om dan tante perlu tahu, rumahku terletak di Perumahan Permata Timur II, Blok JJ Nomor 3. Kelurahannya Jati Cempaka, Kotamadya Bekasi. Dulunya di kelurahan Jatiwaringin. Tapi sejak tahun lalu, kelurahannya dipecah menjadi dua: Jatiwaringin dan Jaticempaka..
Dayen sering pergi naik mobil bersama kak Pasha. Cuma, biasanya kalo dengan kak Pasha, naik mobilnya di taman. Di situ ada sebidang tanah yang disemen, sering dipakai olahraga volley, badminton, serta sepakbola oleh kakak-kakak. Pagi-pagi, kalo lagi kosong lapangannya, saya juga sering main.
Waktu 17 Agustus lalu, aku juga naik mobil ke kolam renang. Di situ Kak Pasha sedang ikut lomba menggambar. Aku belum boleh ikut, karena belum bisa. Hanya bisa ngoret-oret buku, kasur, atau sprei. Maka, aku hanya menunggui kak Pasha yang sedang ikut lomba. Di kolam renang, aku main ayunan dengan mbak Mur, mbak Minah. Mbak Mur banyak motret aku, dengan kamera punya ayah.
Aku pulang dari kolam renang dengan naik mobil lagi. ‘’Ayo, sudah selesai. Dayen pulang,’’ kata mbak Mur dan mbak Minah. Aku pun pulang, maem, lalu bobok…Habis, di rumah sepi. Ayah dan mommy malah ke kantor.
Padahal, di kalender tanggal merah lo!!!
Cerdas dengan Olahraga
Minggu, 13 Maret 2005
Olahraga bisa menstimulasi yang bisa mengembangkan seluruh kecerdasan anak. Sayang, orang tua sering abai untuk urusan fisik ini. Yuni begitu khawatir anaknya Yogi (9 tahun) yang kini duduk di bangku SD tak mendapatkan ranking di sekolah. Berbagai upaya dilakukannya. Sepulang sekolah, Yogi mengikuti bermacam-macam les agar bisa masuk peringkat atas di sekolah.
Agar Yogi tak perlu keluar rumah, Yuni menyediakan play station atau computer games di rumahnya. Matematika, IPA, IPS, dan Bahasa Inggris merupakan 'menu harian' Yogi di rumah. ''Saya ingin anak saya berprestasi. Penting untuk masa depannya,'' ujar sang ibu. Cerita di atas menggambarkan betapa sebagian orang tua begitu puas bila anaknya mendapatkan peringkat tinggi di sekolah. Pertanyaan pun terlontar, benarkah cara mengajar anak seperti itu? Efektifkah memaksakan si anak untuk mengikuti berbagai macam les dan menjejalinya dengan pelajaran akademik?
Menurut psikolog dari Universitas Indonesia (UI), Dra Surastuti Nurdadi MSi, semua itu tidaklah akan cukup menjadi bekal bagi si buah hati untuk menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. ''Kecerdasan individu tak hanya berdasarkan hasil skor tes inteligensi saja,'' ujarnya dalam seminar di Fakultas Psikologi UI, Depok, pekan lalu.Untuk tumbuh menjadi generasi yang cerdas dan kreatif, katanya, seorang anak juga perlu berolahraga. Berilah si anak waktu untuk bergerak dan bermain. Melalui gerak tubuh, kata Nuki, begitu ia akrab disapa, anak akan memperoleh keterampilan bergerak dan kebugaran jasmani.
Butuh keseimbangan
Gerakan tubuh, menurut Nuki, ternyata merupakan perantara yang aktif untuk mengembangkan kemampuan persepsi motorik. ''Masa bayi anak bermain dengan menggerak-gerakkan anggota tubuhnya,'' tuturnya. Pada tahun-tahun pertama dalam kehidupan, seorang anak melakukan gerak motorik kasar. Tambah usia, anak akan mulai memainkan alat permainan atau objek yang dapat digunakannya untuk bermain. ''Pada saat usia prasekolah, anak membutuhkan keleluasaan untuk bermain dan bergerak,'' imbuhnya. Dengan menguasai kegiatan motorik, pada diri anak akan timbul rasa senang dan percaya diri karena dapat berprestasi.
Bila seorang anak memiliki keterampilan berolahraga, tutur Nuki, maka pada diri si buah hati akan muncul rasa senang. Lewat olahraga pula, anak akan belajar bersaing. ''Berolahraga juga bisa meningkatkan harga diri dan keterampilan sosial,'' katanya. Tentu saja, anak pun bisa merasa bugar. Bahkan, sebuah penelitian ilmiah menyebutkan kebiasaan berolahraga yang dilakukan seorang anak ternyata mampu meningkatkan kinerja akademis.
Bahkan, olahraga pun ternyata bisa mengurangi tingkah laku negatif. ''Olahraga bisa mengurangi tingkah laku yang merusak,'' imbuhnya. Intinya, kata Nuki, seorang anak perlu diberi keseimbangan.Keseimbangan itu berupa stimulasi yang dapat mengembangkan ke seluruhan kecerdasannya. ''Olahraga/aktivitas merupakan salah satu stimulasi,'' paparnya.
Melalui olahraga anak bisa belajar. Sebab, olahraga dapat memengaruhi aspek kognitif dan emosi-sosial si buah hati. Hal senada diungkapkan dr Indrarti S SpKO. Menurut dia, secara naluri anak-anak cenderung selalu aktif bergerak. Mereka bergerak didasari oleh rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Aktivitas motorik pada anak akan tumbuh seiring proses tumbuh kembang yang harus mereka lalui.
Menurut dokter spesialis kedokteran olahraga ini, kemampuan motorik akan berkembang menjadi suatu keterampilan motorik tertentu. Hal itu, imbuh dia, akan tergantung sejauh mana mereka mendapat pengalaman-pengalaman gerak dari lingkungan sekitarnya. ''Peran orang tua, guru, teman dan orang-orang terdekat serta sarana prasarana akan sangat mempengaruhi hal itu.'' Tubuh yang selalu aktif bergerak, kata Indrarti, ternyata tak hanya bisa memberi pengaruh positif pada kondisi fisik, namun juga akan berpengaruh pada kondisi psikologis, intelektual, dan sosialnya. Anak-anak pun bakal mempelajari segala macam yang ada di dunia melalui aktivitas motoriknya sesuai dengan tahapan perkembangan psikomotornya. ''Anak-anak yang mendapat lingkungan yang kondusif akan menjadikannya sebagai anak-anak yang aktif, bugar, kreatif dan terampil,'' paparnya.
Hambatan orang tua
Menurut Indrarti, hampir semua orang tua menginginkan anaknya tumbuh sehat, ceria, banyak memiliki ide cemerlang, kreatif dan berprestasi. Sayangnya, banyak orang tua yang tak memahami dan menyadari pentingnya proses tumbuh kembang pada anak. Tak heran, lanjut dia, bila saat ini di Indonesia terdapat tiga masalah yang kurang mendapat perhatian. Saat ini, tutur dia, tingkat kesegaran jasmani anak-anak begitu kurang. ''Masalah lainnya, model pembelajaran di sekolah kurang merangsang aktivitas anak serta kurangnya waktu serta lahan untuk bermain dan olahraga,'' tandasnya. Selain itu, olahraga yang disajikan kurang sesuai dengan tahapan usia anak.
Mengajarkan anak berolahraga secara teratur tentu sangat baik bagi perkembangannya. Anak-anak dengan tubuhnya yang mungil lebih senang dan aktif berlari, loncat, dan berguling tak menentu. Terkadang, mereka dengan riangnya naik meja, kursi, atau memanjat pohon dan pagar yang ada di dekat rumahnya. Sayangnya, kata Indriarti, orang tua tidak suka dengan sikap anaknya tersebut. Teguran pun biasanya dilontarkan orang tua. Ternyata, kata dia, bila hal itu dilarang justru akan menghambat dan mengganggu proses aktualisasi diri anak melalui aktivitas motorik mereka.
Proses aktualisasi diri anak juga sering kali terhambat karena guru olahraga di sekolah atau di klub olahraga memberi latihan di luar kapasitas fisik anak-anak. Akibatnya, anak-anak menjadi kurang aktif, lesu, tak bergairah, sering sakit, berperilaku aneh, tidak menyenangkan, dan selalu buruk di mata orang tua.Yang perlu diperhatikan, anak perlu diberi kesempatan untuk bergerak dan bermain sesuai dengan kesenangannya. Sarana dan prasarana yang digunakan harus dipastikan aman. Selain itu, akan pun tak boleh dibiarkan bergerak terlalu capai. Semua itu tentu harus diajarkan dengan penuh kasih sayang.
Sesuaikanlah dengan Pertumbuhan Anak
Mengajarkan anak berolahraga tak bisa dilakukan sembarangan. Menurut dr Indrarti S SpKO, olahraga yang diajarkan harus sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Berikut ini tahapan olahraga yang bisa diajarkan pada anak berdasarkan usia:
Periode umur 5-6 tahun
Latihlah si anak gerakan dasar sederhana seperti jalan, baris-berbaris, lari, lompat-lompat, keseimbangan dan berguling, berputar atau rolling. Pada usia ini, anak juga bisa diajarkan gerak meniru, jalan/ gerak binatang, pesawat terbang, menebang kayu dan lain-lain.
Bisa pula anak diajarkan gerakan memanjat, bergelantungan dan berayun. Permainan sederhana dengan bola, koordinasi dan kelincahan, bebas tanpa aturan yang ketat. Baik pula anak diajarkan latihan keseimbangan, berjalan di atas titian balok garis lurus atau bengkok.
Anak usia ini juga bisa diajarkan gerak dalam tari dan lagu. Beri juga mereka aktivitas di alam terbuka. Untuk olahraga, pada usia ini bisa diajarkan senam, renang, dan loncat indah.
Periode umur 7-8 tahun
Latihan untuk memperbaiki postur tubuh, gerakan membungkuk, melompat, dan meregang. Pada usia ini baik juga diajarkan, kombinasi lari -- lompat dengan irama musik, menginterpretasikan irama musik dan gerakan ritmis (tari). Bisa juga diajarkan permainan yang melibatkan kekuatan, keseimbangan, dan kelincahan.
Usia ini anak diajarkan lempar-tangkap bola, memasukkan bola ke dalam keranjang, sepak bola, dan kasti. Bisa pula diperkenalkan, permainan dengan peraturan sederhana dengan ukuran peralatan olahraga lebih kecil. Kenalkan pula aktivitas di alam terbuka. Olahraga tenis, tenis meja.
Periode umur 9 tahun
Bisa dikenalkan aktivitas conditioning, lari, lompat. Usia ini mulai mempelajari keterampilan gerak --menendang bola, melempar bola untuk jarak dan ketepatan, keterampilan berenang. Permainan lebih bervariasi dan aktivitas lebih keras. Olahraga bola basket (bola ringan), bulu tangkis, dan bola voli (bola lebih kecil).
Periode umur 10-11 tahun
Pada usia ini, aktivitas sudah mulai diarahkan pada aktivitas-aktivitas meningkatkan kesegaran jasmani (latihan aerobik, kekuatan otot, kelenturan) dan keterampilan cabang olahraga. Olahraga: atletik, sepak bola, voli, panahan, pencak silat, anggar. (hri)
*)Dari Republika edisi 13 Maret 2005.
Pulang ke Libya
AHAD lalu, 24 Agustus 05, Om Ando, Tante Atik, mbak Naila, dan dik Azul, pulang ke Libya. Setelah selama sekitar satu bulan pulang ke Indonesia, Om Ando harus balik lagi. Ia memang bekerja di perusahaan minyak di Tripoli. Ia menjadi ahli geofisika. Kata ayah, Om Ando bertugas mencari kemungkinan adanya kandungan minyak bumi di perut bumi. Ia menganalisis cekungan, juga pantulan gelombang yang dikirimkan sumur yang dibor.
Keluarga Om Ando pulang ke Yogyakarta pada akhir Juli lalu. Semula ia mau balik pada awal Agustus. Tapi karena ayah dan mommy om Ando sakit, dan masuk rumah sakit, pulang Om Ando dimajukan satu pekan.
Selama satu bulan di Indonesia, saya tidak sempat bertemu Om dan Tante. Mereka sibuk menemani ayah dan mommy nya di rumah sakit. Kak Naila dan dik Azul juga tidak sempat saya temui. Saya baru sempat ketemu sekali, tahun lalu, sewaktu lebaran. Dik Azul masih bayi. Umurku juga baru setahun lewat sedikit. Kalo sekarang ketemu lagi, mungkin aku sudah lupa.
Kata mommy, om Ando sempat main ke kantornya sekali, di Wisma Dharmala. Ayah juga nemuin om Ando di situ. Ia memotretnya. Di situs ‘’Kabar dari Permata Timur’’, foto om Ando dan mommy sudah dipasang.
Kalo dengan Tante Atik, ayah malah belum ketemu sama sekali. Padahal Tante Atik adalah adiknya ayah bener lo. Adiknya pas. Maka, ketika tahu Om Ando sekeluarga mau pulang, ayah sengaja menemui mereka di Bandar Udara Cengkareng. Ayah janjian ketemu di terminal keberangkatan internasional, terminal 2 F.
Begitu ketemu, ayah segera menggendong dik Azul. Dik Azul mau saja digendong. Eh, tak lama kemudian ia berontak. Ia mau lepas, memilih mbrangkang, atau digendong Tante Atik. Kak Naila lain lagi. Ia sama sekali tidak mau disalami ayah. Maunya nempel terus dengan Om Ando. Ayah bertemu Om Ando selama hampir satu jam. Setelah itu, mereka masuk bandara, naik KLM.
Hari Senin pagi, om Ando kirim kabar. ‘’Aku wis tekan,’’ katanya lewat Yahoo Messenger. Selamat kembali lagi ke Libya Om! Jangan lupa kaos Madridnya kalo kembali lagi ke Indonesia.
Thursday, August 25, 2005
Liburan ke Bali
Di depan Hotel Santika Bali, Oktober 2004: Opung, Eyang, Tante Uti, Ayah, dan aku. Mommy motret. Jadi tidak kelihatan. Mommy dan ayah waktu itu mendapat undangan untuk meliput Musyawarah Nasional Golkar. Mereka mengajak aku, tante, eyang dan opung. Jadinya, kalo siang hari, aku ditinggal ayah dan mommy yang bekerja, meliput musyawarah nasional itu.
Kongres itu berlangsung di Nusa Dua. Ayah menyewa mobil Kijang Super, yang kuno, yang knalpotnya ngebul. Ayah bolak-balik ke Nusa Dua bareng mommy. Kasihan ya, kerjanya berat...
Wednesday, August 24, 2005
Baca dan Dongeng
AKU punya banyak buku di rumah. Paling banyak adalah buku mewarnai. Ada buku Spongebob, Dora, juga dari Bobo. Maklum, karena mommy kerja di TV-7, kalo beli buku di Gramedia, dapat diskon. Lumayan, sampe 30%.
Aku juga punya buku cerita. Di antaranya, ‘’Kumpulan Dongeng Anak dari Berbagai Negara’’. Juga ada buku ‘’Ensiklopedia Binatang untuk Anak-anak’’. Kadang-kadang mommy dan ayah membacakan dongeng untukku, kalo aku mau tidur. Tapi kadang-kadang mereka pulang sampe rumah sudah malam. Mommy dan ayah sudah capek. Nggak sempat ndongeng untukku. Jangan gitu dong!
Di situs www.kak-seto.com, ada beberapa tulisan mengenai manfaat membaca untuk anak-anak, berarti termasuk aku. Dengan didongengkan, berarti aku dilatih untuk gemar membaca. Nih, saya kutipkan di sini tulisa dari situsnya kak-seto.com.
Gemar Membaca
Buku adalah jendela pengetahuan. Dengan membaca buku, kita dapat menyerap banyak informasi, dapat berkelana ke berbagai negara, bahkan ke dunia dongeng sekalipun. Pendeknya, dengan membaca, wawasan pengetahuan kita akan semakin luas. Namun, sayangnya tidak semua anak gemar membaca. Nah, bagaimana caranya membuat anak kita gemar membaca?
Kenalkan buku sejak dini
Buku cerita yang cocok untuk balita adalah yang memiliki banyak gambar dengan tulisan yang sedikit. Gambar yang berwarna akan lebih menarik daripada gambar yang hitam putih. Biarkan anak memilih sendiri buku yang ingin dibacanya, sehingga ia lebih antusias dalam membaca.
Bacakan buku cerita dengan menarik
Dalam membaca cerita, usahakan sehidup mungkin sehingga anak dapat merasa seolah-olah berada di dalam cerita tersebut. Atur nada suara dan bumbui dengan gerakan-gerakan tubuh yang berekspresi untuk membangun suasana yang hidup. Bahkan bayi pun dapat menikmati buku yang dibacakan, yaitu dari irama suara dan kehangatan tubuh pembaca yang memangkunya.
Model orang tua
Orang tua harus menjadi contoh yang baik. Bila orang tua gemar membaca, menyediakan bacaan yang memadai dan mengatur suasana rumah yang mendukung untuk membaca, maka niscaya anak akan ikut gemar membaca.
Jelas kan Ayah, mommy? jadi, ndongeng terus dong untukku....
Tidur di Kasur Bawah
Ayah pulang dari kerja jam 21.00, Selasa 23 Agustus lalu. Sewaktu sampe di kamar, aku sudah di atas kasurku. Aku paling suka tidur di atas kasur, yang digelar di lantai. Enak sekali. Mula-mula, ayah dan mommy menggelar kasur di bawah untukku, karena mereka takut aku jatuh. Habis sudah dua kali aku jatuh ke lantai. Sakit lo. Suaranya ‘’duk’’. Aku nangis. Ayah dan mommy cemas, sampai konsultasi ke dokter segala.
Sekarang aku ketagihan tidur di bawah. Habis, dari situ aku bisa nonton tv. Nonton Dora, Spongebob Square Pants, Spacetoon, Robotoon. Kalo sudah nonton tv, wah... bisa berjam-jam. Kadang-kadang habis nonton Maissy, aku nonton Dora, habis itu Maissy lagi. Sampe-sampe mommy dan ayah marah. ''Bagaimana sih, kok sampe nonton tv-nya kelamaan. Sakit nanti matanya,'' kata mommy. Ayah juga kadang-kadang ikut nyambung.
Aku tahu, maksud mommy dan ayah baik. Cuma, gimana ya mom, mommy kan pernah kecil. Dulu kan kalo dimarahi eyang dan opung, mommy juga ngeyel. Masak aku nggak boleh ngeyel?
Monday, August 22, 2005
17-an Permata Timur
PADA 17 Agustus 1945, ayah belum lahir. Mommy juga belum. Apalagi saya. Saya juga belum paham, buat apa berbagai peringatan 17-an itu diadakan. Urusan yang rumit-rumit begini, biar ayah dan mommy yang mengurus. Mereka kan kerjanya di soal yang njlimet seperti itu.
Tahun ini, 17 Agustus 2006, di komplek tempatku tinggal, Perumahan Permata Timur, Jati Cempaka (ini adalah pecahan kelurahan Jatiwaringin), Pondokgede Bekasi, juga diadakan peringatan 17-an. Sayang, ayah dan mommy tidak bisa ikut kegiatan di rumah. Mereka berdua masuk kantor. Kata ayah, ‘’Ayah kan pergi untuk beli susu buat Darrel.’’
Saya diantar Mbak Mur dan Mbak Minah ke kolam renang, melihat lomba 17-an. Di situ ada Kak Pasha, tetangga saya, yang sedang ikut lomba menggambar. Saya belum bisa menggambar. Karena itu, saya hanya datang, melihat Kak Pasha bermain lomba. Eh, ketika saya nyamperin Kak Pasha, tangan saya dipegang Mbak Mur. Katanya tidak boleh mengganggu. Ya sudah…
Dari situ, saya kemudian pulang naik mobil listrik warna kuning, yang masih baru. Wah, enak sekali. Hanya kata ayah, kalo saya naik mobil, jalannya masih di tengah. Mengganggu mobil lain yang mau lewat.
‘’Memangnya tidak boleh lewat di tengah,’’ tanyaku sambil menggerutu.
‘’Nggak boleh dong mas… Kan kasihan kendaraan lain yang mau lewat. Mas lewat saja di pinggir, biar yang lain juga bisa berlalu.’’
Peringatan 17-an tahun depan, insya Allah, saya sudah bisa ikut karnaval sepeda hias. Merdeka!
All About Strawberry
PERRY Tristianto, 46 tahun, adalah pengusaha ulet. Ia sudah mendirikan 12 factory outlet (FO), gerai belanja pakaian di Bandung dan Sentul, yang semuanya sukses. Perry pada 2003 meresmikan lahan wisata belanja seluas 8.000 m2 di kawasan Cihanjuang. Namanya All About Strawberry.
Ke sanalah Darrel ''Dayen'' Cetta Askara, Ahad 21 Agustus 05 lalu berkunjung. Ia datang berenam. Darrel duduk di belakang bersama ayah. Mommy di tengah dengan eyang. Di paling depan adalah Tante Agus dengan sopir, Pak Rejo. Baru jalan 30 menit, Dayen sudah ngantuk. Ia tidur lelap, kepalanya disenderkan di pundak ayah.
Dari rumah, jarak ke Bandung kini bisa ditempuh cepat. Setelah ada tol Cipularang, ke Bandung kini tak sampai 2 jam. Sejak tiga bulan lalu mommy bilang, ia ingin ke All About Strawberry. Kini, keinginan itu terkabul. Rupanya mommy menunggu Tante Agus berulang tahun.
Darrel bangun menjelang sampai kebun. Mommy membayar Rp 25.000 untuk membeli tiket masuk, yang kemudian ditukarkan dengan ‘’welcome drink’’. Dalam bahasa ayah yang british, itu artinya ‘’unjukan sugeng rawuh’’.
Begitu sampai di lokasi, Dayen seger meluncur ke tempat mainan. Ada kuda-kudaan, burung-burungan, juga permainan jungkit. Dayen dibantu Pak Rejo untuk bermain jungkit.
Kata ayah, All About Strawberry semula hanya tempat kediaman Perry dan keluarga. Di situ ia juga memiara kolam ikan Koi koleksinya. Dia bermaksud memanfaatkan rumah tinggalnya yang terpencil, sambil meringankan ongkos pemeliharaan.
Kini, Perry mencoba membuat terobosan perpaduan konsep bermain di alam terbuka, belanja, makan dan jajan, sambil mengenang masa bocah di tengah kebun strawberry. Perry adalah sosok kreatif dan inovatif. Ia mengusung kenangannya itu menjadi sebuah lahan bisnis yang menguntungkan.
Perry adalah lulusan Universitas Parahyangan, Bandung, dan Administrasi Bisnis Stanford College, Singapura. Sebanyak 12 gerai belanja (fashion) telah dihadirkannya dengan nama The Big Price Cut, Rich & Famous, GalleryClothing, The Summit, Happening, Oasis, Emirates, Metropolis, China Emporium, The Ware House, LA Clothing, dan The Container.
Di Strawberry, Perry ingin merangkul para penjual penganan tradisional yang dikumpulkan dalam konsep pasar. Ia juga berjanji memperbagus dan memperbaiki sarana jalan ke kawasan All About Strawberry. Ada jalanan tembus yang mempermudah orang Jakarta mampir melalui Cimahi, berjarak sekitar kurang dari tiga kilometer. Ada jalan lintas dari Padalarang melalui jalur tol Baros. Di samping itu ada arah masuk dari daerah Subang dan Lembang. Boleh dibilang, demikian Perry, All About Strawberry seperti awalnya (kawasan wisata) Kampung Daun saat pertama kali hadir.
"Think rest and fresh," katanya bila menatap ke kawasan All About Strawberry. Di tengah lahan seluas 8.000 meter persegi, Perry menyediakan kebun strawberry dalam rumah kaca, warung tradisional makanan renyah, serta kafe bernuansa Eropa.
Selain itu di All About Strawberry, pengunjung dapat menyalurkan kebiasaan berbelanja di Clothing and X'cessories Outlet (CX Outlet).
Arena bermain terbuka juga disuguhkan oleh Perry, sebutlah itu flying fox untuk anak serta orangtuanya, jembatan goyang di atas kolam, panjat tebing untuk anak, dan sejumlah jenis permainan lain.
Di sana dapat kita temukan Kampoeng Masa Kecil-Koe (Area I), yang selain ada perkebunan strawberry, juga permainan anak Low Rope Element yang berfungsi untuk melatih dan merangsang motorik kasar pada anak. Ada pula toko aksesori yang berbentuk "rumah keju".
Di Area II ada wilayah "Impian Masa Kecil-Koe" yang mengajak kita untuk sejenak bermimpi ke dunia khayal. Suasana yang dibangun adalah bentuk permainan Adventure Game berupa Flying Fox, dikelilingi oleh rumah liliput atau Hobbit's House, serta Gendalf House atau rumah topi dan rumah boneka yang bisa diubah fungsinya sebagai Camping Ground.
Konsep terbaru berbelanja untuk keluarga terdapat di Area III yang bertema Butik Rekreatif-Koe. Setelah itu bisa ditemukan "Bla...Bla...Koe", rumah koboi yang difungsikan untuk kafe Eropa dan dilengkapi kolam renang. Di situ sekaligus bisa dijadikan area permainan rakit, yang diselingi pertunjukan musik akustik pada akhir minggu.
Dayen tidak suka dengan butik, kolam renang, dan kebun-kebun. Begitu melihat permainan, ia langsung berhenti. Lebih dari satu jam ia habiskan dengan naik ‘’cuda’’. Ada juga mainan topeng monyet, tapi Dayen tak tertarik. Baru setelah digendong paksa oleh ayah, dibawa ke lapangan, Dayen diam. Soalnya di situ ada patung ‘’Strawberry Air’’ berdiri.
Di sini, juga hampir satu jam Dayen bermain-main. Naik pesawat, lalu turun lewat perosotan. Asyik!!!
Setelah itu, Dayen meneruskan perjalanan ke The Heritage, FO yang sangat terkenal di Bandung. Letaknya di Jalan Riau. Susah lo mencari tempatnya. Muter-muter, bermodal peta fotokopian, membuat mobil berkali-kali keblasuk. Di jalan ada pengasong yang menjual peta. Mommy membelinya, harganya Rp 6.000. Eh, ternyata petanya tidak bagus.
Dayen meninggalkan Bandung jam 16. Alhamdulillah, perjalanan lancar. Walau, di jalan Dayen capek. Berkali-kali ia ''memukung'' ayah. ''Ayo.. ayah turun.. pindah mobil sana... ayah naik tuk sana... ayah nangis...''
Saturday, August 20, 2005
Diskusi Obat Mahal Farmasi ITB
Oleh Soichiro W.
Wed, 15 Jun 05
Seakan tak mau kalah dengan “Star Wars III”- nya George Lucas, IA-ITB Jurusan Farmasi juga meluncurkan hajatan talk show perdananya. ”Obat Murah Untuk Siapa?”. Itulah titel yang mereka usung.
Satu lagi produk anyar dari IA-ITB Jurusan Farmasi. Ga jauh-jauh kok dari dunianya. Apalagi kalo bukan sekitar obat. Iyalah. Lha, wong emang di situ habitatnya. Ga perlulah ngikutin hobi tetangga sebelah :”Orang hukum kok ngurusin kotak suara”. Botaklah kepala.
Selasa,7 juni 2005 di Hotel Sahid, tepatnya di Ruang Andrawina I, prosesi tersebut dilangsungkan. Peserta bertotal jendral 43 orang. Dari sisi jumlah, sedikit emang. Tapi dilihat dari luas ruangan yang disediakan, dah paslah. Dah klop. Panitia seakan tahu berapa peserta yang berminat dan memastikan hadir. ”Ngerti sadurunge winarah”. Mbah dukun kali,ye!
Tepat pukul 14.23, acara dimulai seiring dengan ucapan selamat datang kepada peserta dari Master Ceremony. Telah siap di kursi pembicara berturut-turut:
Ø DR.W.Bintoro Wanandi
Beliau adalah Ketua Dewan Penasehat Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia. Jabatan lain sudah tentu masih ada.
Ø Drs. Darojatun,MBA.
Salah satu jabatan beliau adalah Komisaris PT. Mustika Ratu.
Ø DR.Sukmadjaja Asyarie
Dosen Departemen Farmasi ITB. Jabatan yang lain juga masih ada.
Ø Ir. Uni Z.Lubis
Beliau ini adalah wartawan di stasiun TV7.
Ø Dra.Endang Hoyaranda,Apt.
Pada kesempatan ini punya kekuasaan penuh untuk memimpin dan memandu acara.
Acara dibumbui dengan sambutan oleh Ketua IA-ITB Jurusan Farmasi, Drs. Fuad Afdal. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa talk show ini adalah salah satu saja dari sekian banyak kegiatan IA-ITB Jurusan Farmasi. Diharapkan acara seperti ini berlangsung 2 bulan sekali.
Sejurus kemudian, sang moderator memperkenalkan masing-masing pembicara. Dah tentu lengkap dengan kesibukannya saat ini. Dari perkenalan ini saja, sudah kental terasa bahwa talk show kali ini akan bermutu. Betapa tidak. Tiga orang dari 4 pembicara adalah pendekar di bidangnya. Wong Fei Hong-nya obat-obatan. Sedangkan 1 pembicara lainnya sengaja dipasang untuk menjadi oposisi. Mudah ditebak, acaranya pasti joss! Meski tanpa energy drink segala. Pasti berkelas. Anak kecil aja, tahu! Bak novel Harry Potter yang kehadirannya bikin orang gila. Percaya ga, copy-an hasil curian seri terakhirnya saja dihargai 870 juta perak. Apa ga edun!
DR.Sukmadjaja membuka paparannya dengan melemparkan opini masyarakat bahwa obat yang baik = mahal. Sedang obat murah = gak bermutu?
“Ga selalu benar opini tersebut”, ucapnya. ”Bermutu nggaknya obat tuh tergantung banyak hal. Zat aktif adalah salah satunya”, tambahnya.
Juga disampaikan betapa melimpahnya bahan baku obat di Indonesia. Tetapi sayang, produksi obatnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara yang miskin bahan baku seperti Korea Selatan.
Khusus untuk obat tradisional, Indonesia adalah surganya. Namun baru 5 buah jamu yang berhasil lolos uji klinis. Jumlah itu sangat jauh bila dibandingkan negara China yang sudah meloloskan ratusan jenis jamu. Maka jangan heran kalo di kanan kiri Anda terdapat Koh Sinshe dengan ratusan resep jamu. Mo singset? Mo tambah padet dan berisi? Semua ada.
Tentang harga, banyak keadaan yang mempengaruhi. Jangan tanya mengenai perbedaan biaya di rumah sakit swasta dengan negeri. Nggak perlu tambah bengek setelah melihat jumlah tagihan rawat inap di rumah sakit swasta.
Menutup uraiannya, DR.Sukmadjaja memberikan gambaran harga obat generik dibanding produk ber-branded keluaran pabrik PMA. Untuk ampicilin, generik berharga 244 perak per tablet. Sedang keluaran pabrik PMA ber-branded bisa mencapai 1200 perak per tablet.
Untaian paparan DR.Sukmadjaja kental dengan aroma akademisnya. Terasa banget farmasisnya. Iyalah. Maklum, beliau khan ahli farmasi? Emang dah seharusnya gitu khan? Yang ahli farmasi, ya bau obat. Yang sipil, bau semen. Yang elektro, bau gosong. Yang aneh tuh, ahli hukum bau tinta!
Di saat pembicara kedua mulai membuka makalah, aroma pedagang begitu menyengat. Menyeruak ke sekeliling ruang. Menusuk-nusuk hidung bagai lebah berebut madu. Aroma ruangan berubah dari wangi Axe menjadi bau duit. Aroma apek khas duit menguasai atmosfer Andrawina I. Harap maklum, kali ini yang berpidato adalah Ketua Dewan Penasehat Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia, DR.Biantoro Wanandi. Oooo…..pantesan aja.
Sebagai pembuka, beliau mengutarakan bahwa masalah pengobatan adalah masalah semua negara. Nggak negara maju macem Jerman atau negara miskin kayak Indonesia. Terkecuali negara komunis seperti Kuba.
“Obat di Indonesia mahal?” tanyanya.
Tergantung persepsi. Tergantung siapa yang diajak ngomong. Mahal tidaknya tergantung daya beli. Buat Si Miskin, harga obat batuk 3.000 perak per tablet mungkin mahal sekali. Tapi buat yang gajinya 10 juta per bulan, itu mah harga WC sekali kencing.
Lebih lanjut disampaikan pula bahwa harus dibedakan antara harga obat dengan biaya pelayanan kesehatan. Dengan isi resep yang sama, biaya di rumah sakit terkenal akan berbeda dengan biaya di rumah sakit kelas melati. Bahkan mungkin dengan dokter yang sama sekalipun. Mengapa? Ya, jelaslah. Kasur rumah sakit terkenal tuh kalo kesenggol bokong : “Juuuuussssssh!” Laen kalo di kelas cethek, pasti: ”Grubyaaak!”.
Harga obat adalah partial only. Biaya pelayanan kesehatan tergantung banyak faktor:
v Registrasi
v Konsultasi
v Tindakan Medis
v Laboratorium
v Dll
Jadi, bisa saja yang bikin mahal itu bukan obatnya, tapi pengiringnya. Kayak kalo nongkrong di Plasa Senayan. Kopinya sich sama dengan yang di warteg pinggir jalan. Yang bikin mahal tuh…..itunya,bo!
Lebih lanjut, DR.Wanandi mengemukakan bahwa quality = price. Untuk memperoleh kualitas obat yang baik perlu melewati banyak tahapan:
Ø Good Manufacturing Practice
Ø Bio Availability,Bio Equivalent
Ø Quality Formulation
Ø Good distribution Practice
Ø Good Pharmacy Practice
Ø Quality of Row Material
Dengan begitu jelas bahwa untuk memperoleh mutu yang bagus perlu biaya besar. Pada akhirnya, ya harga obat jadi mahal. Simpel, kok.
Untuk mengatur harga obat di pasaran, beberapa saran disampaikan DR.Wanandi:
v Kampanye pemakaian obat generik
v BUMN harus memproduksi obat yang bersubsidi
v Membuat kebijakan nasional tentang obat
v Asuransi kesehatan
Pembicara berikutnya adalah Komisaris PT. Mustika Ratu (Pemegang Lisensi Miss Universe di Indonesia), Drs.Darojatun, MBA. Sssst……ngomong-omong, apa Artika Sari Dewi finalis Miss Universe di Bangkok juga make obat murah, ya?
Mengawali ceramahnya, Drs.Darojatun,MBA mengutarakan bahwa masalah obat erat sekali dengan masalah ekonomi berikut:
Ø Jumlah keluarga miskin
Ø Jumlah pengangguran
Ø Angka kematian dan angka kesakitan
Apabila data tersebut tersedia, maka akan dapat dijadikan rujukan mengenai tingkat pembiayaan yang lebih efisien baik asuransi dan kebijakan yang lain. Masalah utama adalah daya beli masyarakat yang rendah. Konsumsi belanja obat orang Indonesia adalah $US 9 per tahun per orang. Paling rendah di ASEAN.
Pengendalian harga dapat dilakukan dengan:
v Pembuatan UU kesehatan
v Kerjasama pemerintah dengan industri farmasi untuk mengendalikan harga
v Intervensi pemerintah untuk nurunin harga
v Mendorong untuk meresepkan obat murah
v Insentif pajak terhadap pabrik farmasi
Pembicara paling bontot adalah Ir. Uni Zulfian Lubis. Jebolan Pertanian IPB, Bogor. Saat ini aktif sebagai wartawan stasiun TV7. Lain dari yang lain. Beliau bukan orang obat-obatan atau semacamnya. Kali ini memerankan korban yang terjajah oleh harga obat.
Banyak uneg-uneg yang yang ditumpahkan. Beliau mengutarakan banyak hal mulai dari pelitnya dokter memberi penjelasan sampai kesengajaan berbagai kalangan agar obat tetap menjadi mahal.
Setumpuk masalah yang disoroti beliau. Berikut ini diantaranya:
Ø Dokter ga ngasih kesempatan kepada pasien untuk bertanya
Ø Dokter ngasih obat segunung
Ø Apa harga obat bisa turun?
Ø Gimana struktur harga obat?
Ø Siapa yang harus ngejelasin tentang obat?
Ø Dokter menjadi penjual obat dari pabrik farmasi
Ø Public Campaigne obat murah harus dilakukan
Menanggapi uneg-uneg di atas, DR.Sukmadjaja menambahkan bahwa di kawasan ASEAN, harga obat di Indonesia masih termasuk murah. Tetapi di Asia, harga kalah murah dibanding India, China, Pakistan. Indonesia masih mengimport bahan baku obat sampai 95%. Harga obat bisa murah kalau ada asuransi dan subsidi.
DR.Wanandi menuturkan bahwa memang benar kegiatan dokter dibiayai oleh pabrik obat. Seminar. Konggres. Tamasya. Dan thethek bengek lainnya. Jadi,wajar kalau pabrik obat minta timbal baliknya dengan menjadikan dokter sebagai tenaga penjual tak kentara. Menjadi tenaga marketing “Uka-Uka” ato “Dunia Lain”. Pedagang yang 7 kali lipat o’onnya dari Oneng pun pasti akan melakukan hal yang serupa. Mosok,lu aja yang enak! Sekedar info, marketing cost itu bisa mencapai 30 % biaya produksi.
Menanggapi keluhan Ir. Uni Lubis, Drs.Darojatun, MBA mengatakan bahwa sakit adalah sesuatu yang tak diinginkan sehingga jadi beban. Nah, di sinilah pasien ga punya nilai tawar. Sehingga hanya bisa pasrah. Pasrah. Dan pasrah.
Satu setengah jam lebih para pembicara membeberkan pendapatnya. Kini tibalah giliran peserta untuk unjuk gigi.
Oh, iya. Selama acara berlangsung, panitia menyediakan kue-kue. Ada kroket isi daging yang “Uenak tuenan!”. Dan satu lagi….apaan ya? Yang jelas bukan singkong gorengnya Mang Udin samping Sarinah. Lumayan deh untuk ganjal perut. Bagi yang mau ngopi, dipersilakan. Juga teh panas. Cukuplah untuk mencegah peserta megap-megap kehausan.
“Itu doang pengganjal perutnya?” Hush! Ini khan cuma acara intern Alumni Farmasi ITB.
“Tapi iklannya khan ke mana-mana?”
“Au - ah gelap!”
Lima penanya mencurahkan keluh kesahnya:
v Mbok iyao memberi usulan pembahasan obat kepada pemerintah
v Kenapa obat dibiarkan ngikutin pasar? Bukannya nyontoh Kuba yang bisa mengendalikan harga obat di dalam negerinya.
v Kenapa obat mahal?
v Dokter dan apotek punya ‘udang di balik batu’
v Bahan baku baik masih import. Apa industri dalam negeri ga bisa bikin?
Atas keluhan tersebut, pembicara menyampaikan alur perjalanan obat dari pabrik sampai ke tangan konsumen:
Ø Raw material (Import 95%)
Ø Production (Alat mahal)
Ø Marketing (Biaya tinggi)
Ø Distribution (Jalur panjang)
Ø Price
Ø RetailJelaslah mengapa harga obat jadi mahal.
Mengenai contoh Kuba, DR.Wanandi balik bertanya mampu ga pemerintah meng-handle ribuan jenis obat. Kalo satu masalah seperti bensin, masih bisalah. Di negara komunis, harga obat sudah termasuk dalam pajak sehingga murah bahkan gratis.
Mengenai raw material yang import, hal ini disebabkan belum adanya good will dan policy dari pemerintah. Sebenarnya kalo mau, pemerintah tinggal bilang ” Turun!”. Pasti turun,kok. Kurangnya minat tuk ngolah raw material disebabkan investasinya yang panjang dan return-nya lama. Pedagang yang ketularan penyakitnya Oneng saja yang mau ngejalanin!
Pada sesi penutup, moderator mendaulat Direktur Produksi Indofarma, Drs. Yuliarti. R. Merati untuk memberikan wejangan. Dalam wejangannya beliau mengatakan bahwa emang benar bahwa Indofarma adalah pabrik obat terbesar di Indonesia. Sehingga punya daya saing yang tinggi dengan pabrik lain. Sebelum era otonomi daerah, semua kebutuhan obat yang ngatur adalah pemerintah pusat. Tapi sekarang tiap daerah diberi kebebasan dalam membeli obat.
Jaman dulu Indofarma ibarat piaraan di Taman Safari yang selalu dilindungi dan dimanja. Tapi saat ini, Indofarma dilepas dalam belantara yang gelap bak malam tak berbintang. Lebih parah lagi, sesama BUMN saling cakar. Oleh karena itu dibutuhkan peran pemerintah untuk menginisiasi BUMN agar bersatu.
Dengan berakhirnya wejangan Drs. Rahayu R. Merati, berakhir pula hajatan kali ini. Acara ditutup dengan pemberian cindera mata dari panitia. Segenap peserta meninggalkan ruangan yang tenang membisu seribu basa. Mungkin masih ada segudang pertanyaan di kepala peserta. Ada yang puas. Setengah puas. Setengah pening. Tiga perempat bingung. Setengah mateng. Ato….
Yang sangat terasa, sepertinya tema acara hari itu harus dipermak abis. Itu-tuh biar kayak “SWAN’”nya Amrik. Yang pesek jadi mancung. Yang tepos menjelma jadi montok. Yang kendor kembali kenceng. Demikian juga dengan tema,seharusnya: ”Ada ga sich obat murah ?”
Abis, dari awal hingga akhir acara, ga ada ceritanya obat itu murah. Yang ada hanya mahal. Mahal. Dan mahal. Boro-boro nanya untuk siapa. Obatnya yang murah aja kagak muncul.
Tak terasa Hotel Sahid telah tertinggal jauh di belakang. Ga tahu persis kenapa kepala pusing banget. Perasaan tuh ga ada masalah dengan diri ini. Istri juga ga teriak-teriak memproklamirkan siapa Bapak dari anak yang di rumah. Istri yang di rumah khan bukan model? Tak mau ambil resiko, mampirlah diri ini ke dokter umum seberang jalan. Pemeriksaan selesai.
“Berapa,Dok?”
“Empat ratus lima puluh ribu”
“Wadoooowwwwww! Mana obat murahnya? Pusiiiiingng!
*) Naskah diambil dari website Ikatan Alumni ITB --www.ia-itb.com
Wed, 15 Jun 05
Seakan tak mau kalah dengan “Star Wars III”- nya George Lucas, IA-ITB Jurusan Farmasi juga meluncurkan hajatan talk show perdananya. ”Obat Murah Untuk Siapa?”. Itulah titel yang mereka usung.
Satu lagi produk anyar dari IA-ITB Jurusan Farmasi. Ga jauh-jauh kok dari dunianya. Apalagi kalo bukan sekitar obat. Iyalah. Lha, wong emang di situ habitatnya. Ga perlulah ngikutin hobi tetangga sebelah :”Orang hukum kok ngurusin kotak suara”. Botaklah kepala.
Selasa,7 juni 2005 di Hotel Sahid, tepatnya di Ruang Andrawina I, prosesi tersebut dilangsungkan. Peserta bertotal jendral 43 orang. Dari sisi jumlah, sedikit emang. Tapi dilihat dari luas ruangan yang disediakan, dah paslah. Dah klop. Panitia seakan tahu berapa peserta yang berminat dan memastikan hadir. ”Ngerti sadurunge winarah”. Mbah dukun kali,ye!
Tepat pukul 14.23, acara dimulai seiring dengan ucapan selamat datang kepada peserta dari Master Ceremony. Telah siap di kursi pembicara berturut-turut:
Ø DR.W.Bintoro Wanandi
Beliau adalah Ketua Dewan Penasehat Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia. Jabatan lain sudah tentu masih ada.
Ø Drs. Darojatun,MBA.
Salah satu jabatan beliau adalah Komisaris PT. Mustika Ratu.
Ø DR.Sukmadjaja Asyarie
Dosen Departemen Farmasi ITB. Jabatan yang lain juga masih ada.
Ø Ir. Uni Z.Lubis
Beliau ini adalah wartawan di stasiun TV7.
Ø Dra.Endang Hoyaranda,Apt.
Pada kesempatan ini punya kekuasaan penuh untuk memimpin dan memandu acara.
Acara dibumbui dengan sambutan oleh Ketua IA-ITB Jurusan Farmasi, Drs. Fuad Afdal. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa talk show ini adalah salah satu saja dari sekian banyak kegiatan IA-ITB Jurusan Farmasi. Diharapkan acara seperti ini berlangsung 2 bulan sekali.
Sejurus kemudian, sang moderator memperkenalkan masing-masing pembicara. Dah tentu lengkap dengan kesibukannya saat ini. Dari perkenalan ini saja, sudah kental terasa bahwa talk show kali ini akan bermutu. Betapa tidak. Tiga orang dari 4 pembicara adalah pendekar di bidangnya. Wong Fei Hong-nya obat-obatan. Sedangkan 1 pembicara lainnya sengaja dipasang untuk menjadi oposisi. Mudah ditebak, acaranya pasti joss! Meski tanpa energy drink segala. Pasti berkelas. Anak kecil aja, tahu! Bak novel Harry Potter yang kehadirannya bikin orang gila. Percaya ga, copy-an hasil curian seri terakhirnya saja dihargai 870 juta perak. Apa ga edun!
DR.Sukmadjaja membuka paparannya dengan melemparkan opini masyarakat bahwa obat yang baik = mahal. Sedang obat murah = gak bermutu?
“Ga selalu benar opini tersebut”, ucapnya. ”Bermutu nggaknya obat tuh tergantung banyak hal. Zat aktif adalah salah satunya”, tambahnya.
Juga disampaikan betapa melimpahnya bahan baku obat di Indonesia. Tetapi sayang, produksi obatnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara yang miskin bahan baku seperti Korea Selatan.
Khusus untuk obat tradisional, Indonesia adalah surganya. Namun baru 5 buah jamu yang berhasil lolos uji klinis. Jumlah itu sangat jauh bila dibandingkan negara China yang sudah meloloskan ratusan jenis jamu. Maka jangan heran kalo di kanan kiri Anda terdapat Koh Sinshe dengan ratusan resep jamu. Mo singset? Mo tambah padet dan berisi? Semua ada.
Tentang harga, banyak keadaan yang mempengaruhi. Jangan tanya mengenai perbedaan biaya di rumah sakit swasta dengan negeri. Nggak perlu tambah bengek setelah melihat jumlah tagihan rawat inap di rumah sakit swasta.
Menutup uraiannya, DR.Sukmadjaja memberikan gambaran harga obat generik dibanding produk ber-branded keluaran pabrik PMA. Untuk ampicilin, generik berharga 244 perak per tablet. Sedang keluaran pabrik PMA ber-branded bisa mencapai 1200 perak per tablet.
Untaian paparan DR.Sukmadjaja kental dengan aroma akademisnya. Terasa banget farmasisnya. Iyalah. Maklum, beliau khan ahli farmasi? Emang dah seharusnya gitu khan? Yang ahli farmasi, ya bau obat. Yang sipil, bau semen. Yang elektro, bau gosong. Yang aneh tuh, ahli hukum bau tinta!
Di saat pembicara kedua mulai membuka makalah, aroma pedagang begitu menyengat. Menyeruak ke sekeliling ruang. Menusuk-nusuk hidung bagai lebah berebut madu. Aroma ruangan berubah dari wangi Axe menjadi bau duit. Aroma apek khas duit menguasai atmosfer Andrawina I. Harap maklum, kali ini yang berpidato adalah Ketua Dewan Penasehat Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia, DR.Biantoro Wanandi. Oooo…..pantesan aja.
Sebagai pembuka, beliau mengutarakan bahwa masalah pengobatan adalah masalah semua negara. Nggak negara maju macem Jerman atau negara miskin kayak Indonesia. Terkecuali negara komunis seperti Kuba.
“Obat di Indonesia mahal?” tanyanya.
Tergantung persepsi. Tergantung siapa yang diajak ngomong. Mahal tidaknya tergantung daya beli. Buat Si Miskin, harga obat batuk 3.000 perak per tablet mungkin mahal sekali. Tapi buat yang gajinya 10 juta per bulan, itu mah harga WC sekali kencing.
Lebih lanjut disampaikan pula bahwa harus dibedakan antara harga obat dengan biaya pelayanan kesehatan. Dengan isi resep yang sama, biaya di rumah sakit terkenal akan berbeda dengan biaya di rumah sakit kelas melati. Bahkan mungkin dengan dokter yang sama sekalipun. Mengapa? Ya, jelaslah. Kasur rumah sakit terkenal tuh kalo kesenggol bokong : “Juuuuussssssh!” Laen kalo di kelas cethek, pasti: ”Grubyaaak!”.
Harga obat adalah partial only. Biaya pelayanan kesehatan tergantung banyak faktor:
v Registrasi
v Konsultasi
v Tindakan Medis
v Laboratorium
v Dll
Jadi, bisa saja yang bikin mahal itu bukan obatnya, tapi pengiringnya. Kayak kalo nongkrong di Plasa Senayan. Kopinya sich sama dengan yang di warteg pinggir jalan. Yang bikin mahal tuh…..itunya,bo!
Lebih lanjut, DR.Wanandi mengemukakan bahwa quality = price. Untuk memperoleh kualitas obat yang baik perlu melewati banyak tahapan:
Ø Good Manufacturing Practice
Ø Bio Availability,Bio Equivalent
Ø Quality Formulation
Ø Good distribution Practice
Ø Good Pharmacy Practice
Ø Quality of Row Material
Dengan begitu jelas bahwa untuk memperoleh mutu yang bagus perlu biaya besar. Pada akhirnya, ya harga obat jadi mahal. Simpel, kok.
Untuk mengatur harga obat di pasaran, beberapa saran disampaikan DR.Wanandi:
v Kampanye pemakaian obat generik
v BUMN harus memproduksi obat yang bersubsidi
v Membuat kebijakan nasional tentang obat
v Asuransi kesehatan
Pembicara berikutnya adalah Komisaris PT. Mustika Ratu (Pemegang Lisensi Miss Universe di Indonesia), Drs.Darojatun, MBA. Sssst……ngomong-omong, apa Artika Sari Dewi finalis Miss Universe di Bangkok juga make obat murah, ya?
Mengawali ceramahnya, Drs.Darojatun,MBA mengutarakan bahwa masalah obat erat sekali dengan masalah ekonomi berikut:
Ø Jumlah keluarga miskin
Ø Jumlah pengangguran
Ø Angka kematian dan angka kesakitan
Apabila data tersebut tersedia, maka akan dapat dijadikan rujukan mengenai tingkat pembiayaan yang lebih efisien baik asuransi dan kebijakan yang lain. Masalah utama adalah daya beli masyarakat yang rendah. Konsumsi belanja obat orang Indonesia adalah $US 9 per tahun per orang. Paling rendah di ASEAN.
Pengendalian harga dapat dilakukan dengan:
v Pembuatan UU kesehatan
v Kerjasama pemerintah dengan industri farmasi untuk mengendalikan harga
v Intervensi pemerintah untuk nurunin harga
v Mendorong untuk meresepkan obat murah
v Insentif pajak terhadap pabrik farmasi
Pembicara paling bontot adalah Ir. Uni Zulfian Lubis. Jebolan Pertanian IPB, Bogor. Saat ini aktif sebagai wartawan stasiun TV7. Lain dari yang lain. Beliau bukan orang obat-obatan atau semacamnya. Kali ini memerankan korban yang terjajah oleh harga obat.
Banyak uneg-uneg yang yang ditumpahkan. Beliau mengutarakan banyak hal mulai dari pelitnya dokter memberi penjelasan sampai kesengajaan berbagai kalangan agar obat tetap menjadi mahal.
Setumpuk masalah yang disoroti beliau. Berikut ini diantaranya:
Ø Dokter ga ngasih kesempatan kepada pasien untuk bertanya
Ø Dokter ngasih obat segunung
Ø Apa harga obat bisa turun?
Ø Gimana struktur harga obat?
Ø Siapa yang harus ngejelasin tentang obat?
Ø Dokter menjadi penjual obat dari pabrik farmasi
Ø Public Campaigne obat murah harus dilakukan
Menanggapi uneg-uneg di atas, DR.Sukmadjaja menambahkan bahwa di kawasan ASEAN, harga obat di Indonesia masih termasuk murah. Tetapi di Asia, harga kalah murah dibanding India, China, Pakistan. Indonesia masih mengimport bahan baku obat sampai 95%. Harga obat bisa murah kalau ada asuransi dan subsidi.
DR.Wanandi menuturkan bahwa memang benar kegiatan dokter dibiayai oleh pabrik obat. Seminar. Konggres. Tamasya. Dan thethek bengek lainnya. Jadi,wajar kalau pabrik obat minta timbal baliknya dengan menjadikan dokter sebagai tenaga penjual tak kentara. Menjadi tenaga marketing “Uka-Uka” ato “Dunia Lain”. Pedagang yang 7 kali lipat o’onnya dari Oneng pun pasti akan melakukan hal yang serupa. Mosok,lu aja yang enak! Sekedar info, marketing cost itu bisa mencapai 30 % biaya produksi.
Menanggapi keluhan Ir. Uni Lubis, Drs.Darojatun, MBA mengatakan bahwa sakit adalah sesuatu yang tak diinginkan sehingga jadi beban. Nah, di sinilah pasien ga punya nilai tawar. Sehingga hanya bisa pasrah. Pasrah. Dan pasrah.
Satu setengah jam lebih para pembicara membeberkan pendapatnya. Kini tibalah giliran peserta untuk unjuk gigi.
Oh, iya. Selama acara berlangsung, panitia menyediakan kue-kue. Ada kroket isi daging yang “Uenak tuenan!”. Dan satu lagi….apaan ya? Yang jelas bukan singkong gorengnya Mang Udin samping Sarinah. Lumayan deh untuk ganjal perut. Bagi yang mau ngopi, dipersilakan. Juga teh panas. Cukuplah untuk mencegah peserta megap-megap kehausan.
“Itu doang pengganjal perutnya?” Hush! Ini khan cuma acara intern Alumni Farmasi ITB.
“Tapi iklannya khan ke mana-mana?”
“Au - ah gelap!”
Lima penanya mencurahkan keluh kesahnya:
v Mbok iyao memberi usulan pembahasan obat kepada pemerintah
v Kenapa obat dibiarkan ngikutin pasar? Bukannya nyontoh Kuba yang bisa mengendalikan harga obat di dalam negerinya.
v Kenapa obat mahal?
v Dokter dan apotek punya ‘udang di balik batu’
v Bahan baku baik masih import. Apa industri dalam negeri ga bisa bikin?
Atas keluhan tersebut, pembicara menyampaikan alur perjalanan obat dari pabrik sampai ke tangan konsumen:
Ø Raw material (Import 95%)
Ø Production (Alat mahal)
Ø Marketing (Biaya tinggi)
Ø Distribution (Jalur panjang)
Ø Price
Ø RetailJelaslah mengapa harga obat jadi mahal.
Mengenai contoh Kuba, DR.Wanandi balik bertanya mampu ga pemerintah meng-handle ribuan jenis obat. Kalo satu masalah seperti bensin, masih bisalah. Di negara komunis, harga obat sudah termasuk dalam pajak sehingga murah bahkan gratis.
Mengenai raw material yang import, hal ini disebabkan belum adanya good will dan policy dari pemerintah. Sebenarnya kalo mau, pemerintah tinggal bilang ” Turun!”. Pasti turun,kok. Kurangnya minat tuk ngolah raw material disebabkan investasinya yang panjang dan return-nya lama. Pedagang yang ketularan penyakitnya Oneng saja yang mau ngejalanin!
Pada sesi penutup, moderator mendaulat Direktur Produksi Indofarma, Drs. Yuliarti. R. Merati untuk memberikan wejangan. Dalam wejangannya beliau mengatakan bahwa emang benar bahwa Indofarma adalah pabrik obat terbesar di Indonesia. Sehingga punya daya saing yang tinggi dengan pabrik lain. Sebelum era otonomi daerah, semua kebutuhan obat yang ngatur adalah pemerintah pusat. Tapi sekarang tiap daerah diberi kebebasan dalam membeli obat.
Jaman dulu Indofarma ibarat piaraan di Taman Safari yang selalu dilindungi dan dimanja. Tapi saat ini, Indofarma dilepas dalam belantara yang gelap bak malam tak berbintang. Lebih parah lagi, sesama BUMN saling cakar. Oleh karena itu dibutuhkan peran pemerintah untuk menginisiasi BUMN agar bersatu.
Dengan berakhirnya wejangan Drs. Rahayu R. Merati, berakhir pula hajatan kali ini. Acara ditutup dengan pemberian cindera mata dari panitia. Segenap peserta meninggalkan ruangan yang tenang membisu seribu basa. Mungkin masih ada segudang pertanyaan di kepala peserta. Ada yang puas. Setengah puas. Setengah pening. Tiga perempat bingung. Setengah mateng. Ato….
Yang sangat terasa, sepertinya tema acara hari itu harus dipermak abis. Itu-tuh biar kayak “SWAN’”nya Amrik. Yang pesek jadi mancung. Yang tepos menjelma jadi montok. Yang kendor kembali kenceng. Demikian juga dengan tema,seharusnya: ”Ada ga sich obat murah ?”
Abis, dari awal hingga akhir acara, ga ada ceritanya obat itu murah. Yang ada hanya mahal. Mahal. Dan mahal. Boro-boro nanya untuk siapa. Obatnya yang murah aja kagak muncul.
Tak terasa Hotel Sahid telah tertinggal jauh di belakang. Ga tahu persis kenapa kepala pusing banget. Perasaan tuh ga ada masalah dengan diri ini. Istri juga ga teriak-teriak memproklamirkan siapa Bapak dari anak yang di rumah. Istri yang di rumah khan bukan model? Tak mau ambil resiko, mampirlah diri ini ke dokter umum seberang jalan. Pemeriksaan selesai.
“Berapa,Dok?”
“Empat ratus lima puluh ribu”
“Wadoooowwwwww! Mana obat murahnya? Pusiiiiingng!
*) Naskah diambil dari website Ikatan Alumni ITB --www.ia-itb.com
Perlu Lembaga Independen untuk Audit AC Nielsen
Bandung, Kompas - Sebagai satu-satunya lembaga pemeringkat (rating) di Indonesia, AC Nielsen seharusnya diaudit oleh suatu lembaga independen. Sebab, rating yang merupakan ukuran popularitas tayangan televisi itu berujung pada mutu tayangan yang akan disuguhkan kepada masyarakat.
"Banyak masyarakat atau pihak televisi sendiri mempertanyakan validitas dari penghitungan rating AC Nielsen. Sulitnya, lembaga itu seperti monopoli, tidak ada bandingannya. Untuk itu, karena kami, para users (televisi), tidak bisa mengaudit, maka jalan keluarnya adalah dengan menyewa konsultan independen yang tahu metodologinya dengan tetap menjaga kerahasiaan riset," ujar Ketua Harian Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Uni Lubis seusai Diskusi Etika Penyiaran Radio dan Televisi, di Bandung, Sabtu (17/4).
Fachry Mohammad dari Dewan Pengawas Standar Profesional Radio Siaran mengatakan, media selama ini sangat terpengaruh oleh rating. "Rating itu bagaikan dewa dan hantu bagi media. Karena sibuk mengejar rating, media pun mengabaikan penegakan kode etik," ujarnya.
Uni menambahkan, kadang rating itu membuat pengelola televisi seperti terlalu bersemangat untuk melakukan hal yang ekstrem, misalnya untuk tayangan kejahatan, televisi berlomba-lomba mengambil pilihan gambar yang berdarah-darah. Biro iklan pun belum mau memperhitungkan hal-hal lain selain rating. Mereka akan memasang iklan pada tayangan yang memperoleh rating tinggi.
Seragam
Dikatakan, rating juga menyebabkan keseragaman jenis tontonan di stasiun televisi. Ia mengambil contoh tayangan misteri di suatu televisi yang mendapat rating tinggi, tak lama kemudian televisi lain pun berlomba membuat tayangan seperti itu. Efeknya, baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada masyarakat.
"ATVSI pernah menanyakan kepada AC Nielsen mengenai metodologi yang dipakai. Mereka hanya bilang kalau metodologinya memakai standar internasional dengan memasang sekitar 3.500 alat pengukur di rumah-rumah. Namun, mengenai lokasi pemasangan, AC Nielsen tidak akan memberitahu karena khawatir ada pihak-pihak tertentu yang ingin berbuat curang. Namun, apakah 3.500 sampel itu bisa mewakili kecenderungan menonton masyarakat Indonesia?" kata Uni.
Fachry menegaskan bahwa media, terutama televisi, merupakan cermin dari masyarakatnya. Karena itu, ia meminta agar masyarakat turut mendukung kode etik penyiaran radio dan televisi. "Karena kode etik adalah representasi dari masyarakat terhadap profesi kita," katanya.
Moral publik
Sementara itu, praktisi surat kabar Dja'far Assegaf menjelaskan, televisi dengan audio visualnya mempunyai efek yang lebih besar terhadap masyarakat dibanding radio dan surat kabar. Karena itu, para praktisi pertelevisian harus dapat menjaga moral publik.
"Idealnya, praktisi media harus mempunyai jiwa pebisnis, dan bukan pedagang. Kalau pedagang itu sifatnya profit oriented (berorientasi pada keuntungan), tetapi kalau pebisnis cenderung punya prinsip harus memberikan yang terbaik," tambah Fachry. (k02)
Wednesday, August 17, 2005
Mandi (Pagi dan Sore) Sebelum Main dan Tidak Demam
SAYA paling suka mandi di halaman belakang. Wuah, hawanya segar sekali. Sambil mandi, saya bisa mendengarkan suara burung perkutut milik tetangga dan suara ayam piaraan. Kalo ayah lebih suka di kamar mandi belakang, saya lebih seneng menggunakan selang. Enak lo.
Kadang-kadang saya dimandikan oleh mbak Mur ato mbak Minah. Kalo pas rewel, ya saya minta ayah ato mommy yang gantian repot. Katanya sudah lama nunggu Dayen hadir, kok pas saya mandi, malah baca koran? Ayah dan mommy harus tanggung jawab dong…
Di halaman belakang, mommy dan ayah menanam berbagai tumbuhan. Ada belimbing, mangga, kepel. Untuk menyirami tanam-tanaman itu, ada dua keran yang dipasangi selang. Itulah yang saya pake mandi. Tapi, di teras belakang juga ada keran plus selangnya. Saya juga sering mandi di situ. Luas kan, kamar mandi saya? Lebih dari 300 meter persegi lo, kalo dihitung.
Kalo belum mandi, saya dilarang main ke tempat Kak Pasha, kawan mainku yang tinggal di rumah sebelah. Kalo sudah mandi, wuah, bebas… Saya boleh naik mobil, naik becak, main bola..
Biasanya, kalo mandi, saya juga keramas. Habis, saya banyak gerak sih. Rambut jadi bau. Dulu, aku paling sering pake shampoo kodomo. Nggak tahu kenapa merek ini yang dipake. Mungkin karena ia paling sering pasang iklan di TV7, tempat mommy bekerja.
Kini, shampoo yang saya pake bergantian. Kadang-kadang kodomo, sering pula pigeon. Juga ada shampoo yang bisa dipakai sekaligus untuk sabun.
Kalo pake sahmpoo dan sabun punya mommy, saya nggak kuat. Pedes di mata saya. Karena itu, saya memake yang khusus untuk anak seusiaku.
Tapi kalo lagi panas sedikit saja, mommy melarang saya mandi. Apalagi keramas.
Menurut aturan, kalo lagi demam sebaiknya memang tidak mandi. Kalo demamnya biasa, tidak masalah. Tapi kadang-kadang demam itu tanda penyakit yang serius. Ini bisa lo.
Tiap kali saya demam, ayah menelepon Om Sigit Widyatmoko, adiknya yang jadi dokter di Boyolali, atau Tante Nurul, istri Om Sigit, yang juga dokter. Kakak ipar ayah, Pakde Joni Faisal Heryono, juga sering ditelepon. Pakde Joni sudah tiga tahun lebih menjadi dokter di Palangkaraya. Pakde selalu bilang, ''Anak kecil yang panas itu biasa. Nggak usah kawatir. Kalo seminggu, baru boleh risau.''
Ayah punya kawan, namanya Om Muhammad Mukhson, yang menjadi dokter anak di Purwokerto. Om Mukhson ini kawan ayah waktu SMA di Yogyakarta. Kalo Om Mukhson selalu menyarankan saya pake obat-obatan. Juga memberi sirup, biar saya makin banyak makan. Padahal, saya sudah gemuk lo...
Eh, om dan tante tahu nggak sih artinya demam? Kalo belum tahu, ini saya postingkan artikel dari Asuransi Cigna.
Apa sih Demam Itu?
Demam dapat merupakan suatu gejala penyakit atau infeksi. Juga dapat merupakan suatu akibat sebagai pengaruh dari olah raga, cuaca panas atau imunisasi. Suhu tubuh yang normal adalah antara 36C sampai 37 C. Jika anak om dan tante demam dengan temperatur yang diukur melalui mulut atau telinga 37,8C, atau melalui rektum 38C dan 37,2 C melalui ketiak, kemungkinannya putera om dan tante terserang demam. Anak-anak biasanya terserang demam lebih tinggi dari pada orang dewasa.
Kejang-kejang
Jika suhu badan naik dengan cepat, biasanya terjadi kejang-kejang. Selama itu, badan, tangan, kaki menjadi kaku, dan gigi terkatup. Kemungkinan juga mata terbalik dan si anak berhenti napas sejenak, muntah, kencing atau buang air besar. Kejang-kejang bisa berlangsung selama satu sampai lima menit. Walaupun sangat mengerikan, kejang demam pada anak usia 6 bulan sampai 4 tahun biasanya tidak serius. Lebih baik periksakanlah anak Anda segera ke dokter.
Kapan Harus Dirawat
Untuk demam yang ringan saja yang menyebabkan kurang nyaman, tidak diperlukan penanganan khusus. Demam itu sendiri merupakan suatu cara bahwa anak itu sedang melawan suatu infeksi. Dokter Anda mungkin menyarankan untuk tidak melakukan apa-apa selama 24 jam. Jika demamnya cukup tinggi dan mengganggu minum, makan, tidur atau kegiatan- kegiatan sehari-harinya, baru harus ditangani.
Om, Tante, jadi jelas kan, kalo puteranya demam, tidak usah dipaksa mandi. Kasihan kalo sampe kedinginan. Nggak enak betul lo rasanya demam. Apalagi kalo pake muntah. Uhhhh... rasanya mual sekali di perut.
Om Meilando Datang
Rabu pekan lalu (10 Agustus 05), Om Ando datang dari Yogya. Tiba-tiba saja, pada pagi hari sekitar jam 08, ayah menerima SMS. ‘’Saya di Jakarta. Di mana ya gedung Summitmas?’’
Waktu itu ayah sedang sarapan pagi di Hotel Four Seasons, bersama mommy dan dua kawannya. Begitu membaca SMS itu, ayah segera mengontak Tante Agustina ‘’Uti’’ Lubis, yang kantornya di gedung BEJ. ‘’Di mana ya gedung Summitmas?’’ tanya ayah. Tante Uti menjawab, gedungnya terletak dua gedung setelah Wisma Niaga, bila kita berjalan dari Semanggi ke arah Blok M.
Ayah segera menyampaikan informasi itu ke Om Ando.
Om Ando ternyata datang ke Jakarta untuk menutup rekening HSBC-nya. Tak lama di situ. Kemudian ia meluncur ke Gedung WTC di Jalan Sudirman, untuk mengurus rekeningnya di Citibank. Setelah itu, ia main ke kantor mommy.
Ayah menyusul Om Ando ke Wisma Dharmala. Sejak kedatangan Om Ando ke Jakarta, akhir Juli lalu, ayah memang belum ketemu Om Ando.
Menurut rencana, 21 Agustus ini Om Ando balik lagi ke Libya, bersama Tante Atik, Mbak Naila, dan dik Azul.
Nonton Koes Plus
KOES Plus adalah legenda musik Indonesia. Kelompok musik ini terdiri dari empat orang: Jon Koeswoyo, Yok Koeswoyo, Murry, dan Tony. Mereka adalah kelompok musik bagi generasi yang berusia belasan tahun di era 1970-an. Generasi di milenium baru ini baru berusia belasan tahun, kurang akrab dengan Koes Plus. Kelompok musik ini mungkin dikira sebagai musik museum.
Erwin Gutawa, salah satu penata musik tenar Indonesia, tahun lalu membuat kaset ‘’Album Salute to Koes Plus’’. Lagu-lagu keluarga Koeswoyo diaransemen ulang. Lagunya jadi lebih nyaman lo. Walo, bagi mereka yang pernah mendengarkan edisi aslinya, pasti akan terkaget-kaget. Kok musik Koes Plus yang sederhana jadi rumit, njlimet, dan serius banget. Tapi yang namanya re-arransemen tentu harus memasukkan unsur kekinian dengan lebih menonjol. Kalo sekadar menirukan suara Koes Plus, namanya hanya mengopi. Itu mah pekerjaan pengamen.
Selasa malam pekan lalu (9 Agustus 05), Erwin Gutawa bersama penata artistiknya, Jay Subyakto, menuangkan albumnya itu ke sebuah konser bertajuk ''Erwin Gutawa Salute to Koes Plus/Bersaudara'' di Plenary Hall, Jakarta Convention Center. Selain menampilkan repertoar album tersebut, konser ini juga mengemas lagu-lagu seri Nusantara dalam aransemen baru.
Konser dibuka dengan komposisi Overture: Koes Potpourri. Ini versi orkestra dari beberapa lagu Koes Plus yang paling populer, seperti Kembali ke Jakarta, Nusantara, Hatiku Beku, dan Cintamu Telah Berlalu. Komposisi tersebut dibawakan oleh sekitar 100 anggota Erwin Gutawa Orkestra.
Kemudian berturut-turut lagu-lagu yang pernah populer dibawakan kuartet Yok, Yon, Nomo, dan Tony Koeswoyo. Ada lagu ''Jemu'' yang dibawakan Armand Maulana dalam format rock yang sangat mengentak. Manis dan Sayang yang dinyanyikan Andy/rif ditemani sayatan gitar elektrik Eet Syahranie. Kemudian Audy membawakan versi baru Bilakah Kau Pulang yang bernuansa rock renyah akhir tahun 1990-an yang mengingatkan pada lagu-lagu soundtrack film Dawsons Creek. Sayang, Koes Plus tidak tampil menyanyi.
Lagu-lagu Koes Plus, seperti Kolam Susu, Nusantara, Diana, populer ketika saya masih SD. Saya ingat, tetangga di sebelah rumah di Yogya, namanya Sigit Wurdiyantoro, pada 1974-an itu membuat taman. Ia membuat kolam berwarna biru, bentuknya hati. Ia menuliskan ''Kolam Susu'' di dinding kolam. Waktu itu, Kolam Susu memang ngetop banget.
Heddy Lugito, juga Made Suarjana, sedikit lebih senior dari saya. Ia juga penggemar musik Koes Plus. Ketika musik Koes Plus gedombrengan di radio-radio, Heddy masih sekolah di Semarang. Made masih di Bali. Bertiga --saya, Made, Heddy-- nonton konser bareng-bareng. Di antrean masuk, kami bertemu Catharina Widyasrini -bos perusahaan PR AAJ Komunika-- yang nonton bersama suaminya, Atmadji Sumarkidjo, wapemred RCTI.
Heddy tampak sangat bersemangat nonton Koes Plus. Ia tak henti-henti menyanyi, menirukan suara artis di panggung.
Made juga tak kalah bersemangat. Di akhir acara, ia berteriak, ''Band pengiringe dari ISI Yogya...'' Anaknya memang baru mulai kuliah di ISI Yogya.
Monday, August 15, 2005
Berkendara Aman Dengan Anak Anda
Dari: [Ida-Krisna Show] Berkendara Aman Dengan Anak Anda
Seringkali kita dihadapkan pilihan yang mengkhawatirkan, jika kita harus bepergian dengan mengajak anak yang masih bayi atau balita. Untuk memastikan anak anda selamat ketika ikut berkendara, kita memasang child safety seat, tapi ternyata jok untuk balita sendiri belum bisa menjamin keselematan anak anda. Hal itu karena cara pemasangannya yang salah, baik menggunakan safety seat maupun hanya sabuk pengaman. Sebelum mobil berjalan pastikan sang anak terlebih dahulu duduk di kursi agar Anda yakin sudah pas dengan posturnya.
Tanda atau label instruksi pada kursi anak, sebaiknya utuh. Label ini juga bisa menjadi indikator bahwa piranti ini masih laik pakai. Hindari memakai kursi yang sudah lama/bekas. Apalagi kursi yang pernah terpasang pada mobil yang pernah terlibat kecelakaan. Manual Book kendaraan penting disimak, khususnya instruksi yang berhubungan dengan penggunaan kursi keselamatan anak. Berikut beberapa tips yang penting jika anda berkendara dengan balita :
Berkendara dengan Bayi ( + < 1 th)
- Jangan pernah menghadapkan bayi ke bagian depan kendaraan. Karena bila terjadi tabrakan atau mobil berhenti mendadak, bisa membuat leher bayi cedera.
- Bayi tidak diperkenankan duduk di kursi depan mobil yang memiliki kantung udara, karena bila terjadi kecelakaan, kantung udara bisa menghantam kursi lalu melukai bahkan bayi bisa saja terbunuh.
- Jangan memangku bayi saat berkendara, karena jika terjadi tabrakan atau mobil berhenti secara mendadak bisa melukai bayi bahkan bisa mengakibatkan kematian. Apabila usia anak kurang dari 1 tahun tapi beratnya lebih dari 10 kg, pastikan kursi yang laik untuk bobot bayi yang sesuai. Selain itu posisinya tetap menghadap ke belakang.
Berkendara dengan Anak Kecil (1-5) th
- Untuk anak kecil dengan bobot lebih dari 10 kg kurang dari 20 kg kira-kira berumur 1 th harus menghadap ke bagian depan kendaraan.
- Anak dengan bobot lebih dari 20 kg sebaiknya menggunakan booster seat hingga sabuk duduk dan bahu pas untuk mereka. Sabuk lingkar harus disesuaikan ketinggian pinggul dan melingkar rapih. Sementara yang menyilang di bahu serta yang melintang di atas pangkuan, tidak boleh melintang di wajah atau leher mereka.
- Jangan menempatkan sabuk bahu di belakang punggung atau di bawah lengan mereka.
sumber: oto.co.id
Hangtuah Digital Library
Seringkali kita dihadapkan pilihan yang mengkhawatirkan, jika kita harus bepergian dengan mengajak anak yang masih bayi atau balita. Untuk memastikan anak anda selamat ketika ikut berkendara, kita memasang child safety seat, tapi ternyata jok untuk balita sendiri belum bisa menjamin keselematan anak anda. Hal itu karena cara pemasangannya yang salah, baik menggunakan safety seat maupun hanya sabuk pengaman. Sebelum mobil berjalan pastikan sang anak terlebih dahulu duduk di kursi agar Anda yakin sudah pas dengan posturnya.
Tanda atau label instruksi pada kursi anak, sebaiknya utuh. Label ini juga bisa menjadi indikator bahwa piranti ini masih laik pakai. Hindari memakai kursi yang sudah lama/bekas. Apalagi kursi yang pernah terpasang pada mobil yang pernah terlibat kecelakaan. Manual Book kendaraan penting disimak, khususnya instruksi yang berhubungan dengan penggunaan kursi keselamatan anak. Berikut beberapa tips yang penting jika anda berkendara dengan balita :
Berkendara dengan Bayi ( + < 1 th)
- Jangan pernah menghadapkan bayi ke bagian depan kendaraan. Karena bila terjadi tabrakan atau mobil berhenti mendadak, bisa membuat leher bayi cedera.
- Bayi tidak diperkenankan duduk di kursi depan mobil yang memiliki kantung udara, karena bila terjadi kecelakaan, kantung udara bisa menghantam kursi lalu melukai bahkan bayi bisa saja terbunuh.
- Jangan memangku bayi saat berkendara, karena jika terjadi tabrakan atau mobil berhenti secara mendadak bisa melukai bayi bahkan bisa mengakibatkan kematian. Apabila usia anak kurang dari 1 tahun tapi beratnya lebih dari 10 kg, pastikan kursi yang laik untuk bobot bayi yang sesuai. Selain itu posisinya tetap menghadap ke belakang.
Berkendara dengan Anak Kecil (1-5) th
- Untuk anak kecil dengan bobot lebih dari 10 kg kurang dari 20 kg kira-kira berumur 1 th harus menghadap ke bagian depan kendaraan.
- Anak dengan bobot lebih dari 20 kg sebaiknya menggunakan booster seat hingga sabuk duduk dan bahu pas untuk mereka. Sabuk lingkar harus disesuaikan ketinggian pinggul dan melingkar rapih. Sementara yang menyilang di bahu serta yang melintang di atas pangkuan, tidak boleh melintang di wajah atau leher mereka.
- Jangan menempatkan sabuk bahu di belakang punggung atau di bawah lengan mereka.
sumber: oto.co.id
Hangtuah Digital Library
Friday, August 12, 2005
Mobil, Sepeda, dan Pesawat
SEJAK Ahad pekan lalu, aku punya mobil-mobilan dari listrik. Ayah membelinya di Pasar Manggarai. Jauh lebih murah ketimbang kalo membeli di mal. Di Mal Artha Gading, Kelapa Gading, mobil yang kecil saja harganya di atas Rp 1 juta. Yang besar, bisa mengangkut dua anak, sampe Rp 4,5 juta. ‘’Eman-eman,’’ kata ayah, dengan logat British-nya yang kental.
Padahal, di Mal Artha Gading, ayah dan mommy sudah nglarik. Tiap kios dimasuki. Ternyata, hanya ada dua tempat yang menjual mobil-mobilan: Kids Park dan Ace Hardware. Hanya saja, di Kids Park, harganya ''nggak ketulungan'', kata ayah. Habis dari situ, kami terus meluncur ke Ace hardware. Kata Tante Agus, yang baru lewat, di Ace banyak dijual mobil dan motor mainan.
Ayah, mommy, dan saya, juga mbak Mur dan mbak Minah, segera jalan ke Ace. Memang sih, di lantai satu banyak dijual motor-motoran. Hanya saja, ini bukan mainan yang biasa itu. Ini bisa berjalan kencang. Mesinnya serius betul. Ada yang model pake listrik, ada pula yang digerakkan dengan bahan bakar bensin. Harganya paling murah Rp 2,25 juta. Rodanya juga harus dipompa.
Tentu ayah tidak mau. Aku cuma nangis. Aku pengin banget punya mainan. Akhirnya aku diajak lagi ke lantai tiga, di dekat lokasi permainan. Aku naik mobil-mobilan, yang harganya satu koin Rp 10.000. Lumayan, aku naik dua putaran.
Kalo disuruh mbandingkan, ya paling cepat tentu naik pesawat. Aku pernah berkali-kali lo naik. Setelah itu naik mobil. Naik motor? Ini juga cepat. Tapi ayah belum berani mengajakku jalan jauh naik motor. Paling banter ke tempat opung dan eyang. Naik sepeda? Wah, ini berkali-kali. Tapi aku belum bisa mengayuhnya.
Ikanku Warna-warni
KENALKAN mainan baru saya: akuarium. Sejak Kamis 11 Agustus ini, ayah mulai mengisi akuariumnya dengan berbagai ikan. Ada ikan patin, emas koki, cupang, dan patin. Ikan penuh warna-warni itu dibeli dengan harga Rp 25.000. Sebetulnya penjual ikan juga menawari ikan arwana. Gedenya se-telapak tangan. Tapi harganya Rp 200 ribu. Ayah nggak mau.
Saya rajin memberinya makan. Satu wadah dibeli ayah Rp 3.000. Ini bisa untuk dua hari. Mommy bilang, ia mau membeli ikan lohan. Memang, tiga bulan lalu ada kawan yang menawarinya lohan, tapi ditolak karena tidak ada tempat untuk memiaranya. Kini, setelah akuariumnya diisi air, dan ikan, lohan itu akan menjadi sahabat saya.
Ada dua tempat akuarium di rumah. Yang pertama dari toples. Ini dibeli mommy waktu masih bekerja di Panji Masyarakat. Ketika ia keluar dari majalah islam itu, toplesnya diangkut. Mungkin ini jadi jimat ya? Bertahun-tahun toples itu tak diisi. Kamis lalu, ketika kantor ayah libur, toples itu diisi air. Ayah membelikannya berbagai ikan. Harganya Rp 6.000.
Nah, waktu beli ikan itu, ayah ketemu tukang akuarium. Ia segera dipanggil ke rumah, untuk mendandani akuarium yang rusak, yang nganggur lebih dari dua tahun. Tukang akuarium itu namanya Pak Thaat, di Jalan Curug Raya, dekat jalan Kalimalang. Ia punya tiga anak. Pak Thaat cekatan sekali. Ia memasang kertas gambar akuarium, membersihkannya, dan memasanng pompa serta penyaring. Kurang dari satu jam, semua selesai.
Kini aku punya mainan baru.
Wednesday, August 10, 2005
Anak dengan Berbagai Moda Angkutan
Saya naik pesawat terbang pertama kali pada 1990. Ketika itu umur saya 25 tahun, dan sudah menjadi wartawan Tempo. Saya naik pesawat dari Jakarta ke Semarang, untuk meninjau pabrik tekstil milik Texmaco di Kendal.
Setelah itu, tak terhitung lagi, berapa kali saya naik burung besi. Entah itu yang untuk urusan kantor, maupun urusan pribadi. Kini, tiap lebaran, atau ke Yogya, saya naik pesawat terbang. Dengan waktu yang terbatas, pesawat memang jadi pilihan utama. Apalagi ongkosnya tak jauh dari harga tiket kereta api.
Generasi baru, seperti Darrel, sangat diuntungkan oleh kemajuan teknologi. Juga, tentu saja, perbaikan penghasilan dari bapak dan ibunya. Di usianya yang ke-2 ini, ia sudah berkali-kali naik pesawat terbang. Pertama kali, di usianya yang hampir 6 bulan, ia ke Yogya untuk lebaran. Setelah itu ia ke Pekanbaru, Palembang, Surabaya, Bali.
Tak gampang lo membawa anak untuk terbang. Di milis dunia ibu, bagaimana membawa anak naik pesawat, selalu menjadi diskusi yang tak pernah berhenti. Salah satu di antaranya saya cuplikkan di bawah ini.
"Bayinya umur berapa? yang paling penting sebaiknya konsultasikan dulu ke DSAnya. Pengalaman bawa bayi naik pesawat baru saya alami kemarin (pulang mudik) anakku baru 2 bulan - saran DSAnya boleh dia dibawa naik pesawat dengan satu syarat waktunya berangkat bayi "Tidak boleh Flu" (mungkin karena masih dibawa 3 bulan) wah,,, jadinya saya extra hati- hati menjaga sikecil selalu dalam keadaan sehat sampai saatnya kita berangkat. Benar saat pesawat take off dan landing bayi dalam keadaan disusui (menghisap) kalaupun dia tertidur pas saatnya take off/landing tidak apa-apa tempelkan saja mulutnya ke puting susu atau dot sambil pipinya ditepuk-tepuk perlahan nanti dia refleks sendiri untuk menghisap. Kalaupun sikecil tidak tidur buat dia nyaman ; dibuai dan ajak dia bicara, mudah-mudahan hal yang baru buat sikecil akan membuat dia menikmati dan tidak terjadi hal-hal yang ditakutkan - Selamat melakukan perjalanan." [Ys]
"Dulu aku pernah bawa bayiku 12 bulan, lumayan perjalanannya sekitar 14 jam, naik pesawat.
1. Obat2an yang standard aja , kalau obat yang khusus yang biasanya dipakai bayinya (mis, bayinya allergi, dalam pengobatan). Dulu sebelum berangkat aku sempet konsul ke DSAnya, beliau tidak kasih apa2 tuh, cuma untuk jaga2 dia kasih diazepam puyer. (tapi ternyata tidak kepake juga)
2. Supaya sikecil tidak bosen dan nagis, siap2 deh bawa mainan yang banyak, terus ganti2an ajak main aja sama suami oiya, jangan lupa bawa makanan yang biasa dia makan ya, (dipesawat juga dikasih makanan bayi, tapi takut tidak cocok), Diapers yang cukup (jangan sampe dia ngerasa tidak nyaman, sering2 ganti lah)" [Nn]
Darrel juga pernah naik sepeda, juga becak. Naik sepeda yang dibonceng di depan, berkali-kali. Tapi sejak berat badannya melewati 15 kg, ia tak bisa lagi. Boncengan sepeda yang di depan hanya mampu menyangga berat 12 kg. Padahal Darrel kini sudah 22 kg. Sudah beberapa toko saya masuki untuk mendapat boncengan depan itu. Tak ada yang menjualnya.
Tentu saja, Darrel paling sering naik mobil. Hampir tiap hari ia naik ''bin''. Ke sekolah, ke tempat belanja, paling jauh ke Puncak. Sejak Ahad lalu, maksudnya 7 Agustus ini, ia punya mobil listrik. Kami membelinya di Manggarai, jauh lebih murah ketimbang harga di Mal Artha Gading, dan mal-mal lain.
Sore hari, ia biasa bermain mobil-mobilan listriknya di depan rumah. Bersama Pasha, anak sebelah, dan Owen, tetangga sekitar 50 meter dari rumah dari kami.
Setelah itu, tak terhitung lagi, berapa kali saya naik burung besi. Entah itu yang untuk urusan kantor, maupun urusan pribadi. Kini, tiap lebaran, atau ke Yogya, saya naik pesawat terbang. Dengan waktu yang terbatas, pesawat memang jadi pilihan utama. Apalagi ongkosnya tak jauh dari harga tiket kereta api.
Generasi baru, seperti Darrel, sangat diuntungkan oleh kemajuan teknologi. Juga, tentu saja, perbaikan penghasilan dari bapak dan ibunya. Di usianya yang ke-2 ini, ia sudah berkali-kali naik pesawat terbang. Pertama kali, di usianya yang hampir 6 bulan, ia ke Yogya untuk lebaran. Setelah itu ia ke Pekanbaru, Palembang, Surabaya, Bali.
Tak gampang lo membawa anak untuk terbang. Di milis dunia ibu, bagaimana membawa anak naik pesawat, selalu menjadi diskusi yang tak pernah berhenti. Salah satu di antaranya saya cuplikkan di bawah ini.
"Bayinya umur berapa? yang paling penting sebaiknya konsultasikan dulu ke DSAnya. Pengalaman bawa bayi naik pesawat baru saya alami kemarin (pulang mudik) anakku baru 2 bulan - saran DSAnya boleh dia dibawa naik pesawat dengan satu syarat waktunya berangkat bayi "Tidak boleh Flu" (mungkin karena masih dibawa 3 bulan) wah,,, jadinya saya extra hati- hati menjaga sikecil selalu dalam keadaan sehat sampai saatnya kita berangkat. Benar saat pesawat take off dan landing bayi dalam keadaan disusui (menghisap) kalaupun dia tertidur pas saatnya take off/landing tidak apa-apa tempelkan saja mulutnya ke puting susu atau dot sambil pipinya ditepuk-tepuk perlahan nanti dia refleks sendiri untuk menghisap. Kalaupun sikecil tidak tidur buat dia nyaman ; dibuai dan ajak dia bicara, mudah-mudahan hal yang baru buat sikecil akan membuat dia menikmati dan tidak terjadi hal-hal yang ditakutkan - Selamat melakukan perjalanan." [Ys]
"Dulu aku pernah bawa bayiku 12 bulan, lumayan perjalanannya sekitar 14 jam, naik pesawat.
1. Obat2an yang standard aja , kalau obat yang khusus yang biasanya dipakai bayinya (mis, bayinya allergi, dalam pengobatan). Dulu sebelum berangkat aku sempet konsul ke DSAnya, beliau tidak kasih apa2 tuh, cuma untuk jaga2 dia kasih diazepam puyer. (tapi ternyata tidak kepake juga)
2. Supaya sikecil tidak bosen dan nagis, siap2 deh bawa mainan yang banyak, terus ganti2an ajak main aja sama suami oiya, jangan lupa bawa makanan yang biasa dia makan ya, (dipesawat juga dikasih makanan bayi, tapi takut tidak cocok), Diapers yang cukup (jangan sampe dia ngerasa tidak nyaman, sering2 ganti lah)" [Nn]
Darrel juga pernah naik sepeda, juga becak. Naik sepeda yang dibonceng di depan, berkali-kali. Tapi sejak berat badannya melewati 15 kg, ia tak bisa lagi. Boncengan sepeda yang di depan hanya mampu menyangga berat 12 kg. Padahal Darrel kini sudah 22 kg. Sudah beberapa toko saya masuki untuk mendapat boncengan depan itu. Tak ada yang menjualnya.
Tentu saja, Darrel paling sering naik mobil. Hampir tiap hari ia naik ''bin''. Ke sekolah, ke tempat belanja, paling jauh ke Puncak. Sejak Ahad lalu, maksudnya 7 Agustus ini, ia punya mobil listrik. Kami membelinya di Manggarai, jauh lebih murah ketimbang harga di Mal Artha Gading, dan mal-mal lain.
Sore hari, ia biasa bermain mobil-mobilan listriknya di depan rumah. Bersama Pasha, anak sebelah, dan Owen, tetangga sekitar 50 meter dari rumah dari kami.
Tuesday, August 09, 2005
Futsal-GATRA
PADA 23 Juli 05, Amway, perusahaan multilevel marketing terbesar di Indonesia, berulang tahun. Salah satu acara yang diselenggarakan adalah dengan mengadakan pertandingan sepakbola antar-media. Gatra ikut.
Saya sebetulnya tidak ikut bermain. Tapi karena Sabtu pagi hari kosong, ya saya datang saja ke lapangan Aldiron Dirgantara, persis setelah Pancoran kalo kita berjalan dari Cawang. Saya mengajak Darrel dan Uni.
Ternyata cuaca panasnya minta ampun. Cari tempat berteduh juga tak gampang. Walhasil, saya harus menggelar payung. Baru 30 menit di lapangan, Darrel sudah teriak-teriak minta pulang. Panas. Saya mengungsikannya ke tempat dingin. Eh, tetap saja dia berontak.
Kepada mbak Rini --Catharina Widyasrini, AAJ Kommmunika, penggelar acara ini-- saya bilang, ''Mbak, tahun depan kasih tempat untuk berteduh dong. Kepanasan nih saya...'' Mbak Rini menjawab, ''heheh...oke...''
Tim dari GATRA terbilang lengkap. Ada Tantan, Arief Ardiansyah, Dwitri Waluyo, Luqman Hakim Arifin, Alexander Wibisono, Aries Kelana. Juga ada teman dari redaksi yang turut bermain. Pertama kali, GATRA melawan Amway. Skor 1-0 untuk GATRA, saat separuh pertama --artinya 10 menit pertama. Setelah itu istirahat 5 menit.
Saat lagi istirahat itu, teriakan Darrel tak tertahankan lagi. Akhirnya kami pulang. Pas lagi meninggalkan lapangan, terdengar teriakan, ''horeeeee''. Eh, gantian GATRA kebobolan: 1-1, sampai pertandingan selesai.
Setelah itu, GATRA melawan Media Indonesia. ''Kami berhasil menahan, sehingga skor 2-6,'' kata Tantan. Maksudnya, GATRA kalah 6-2. Di babak berikutnya, GATRA melawan deMOkrasi, 2-1 untuk GATRA. Tapi, majalah van Kalibata ini akhirnya tersingkir, kalah selisih gol lawan Amway.
Monday, August 08, 2005
Sumber Anonim
MAJALAH GATRA dan nara sumber adalah dua sosok yang tak mungkin dipisahkan. Nara sumber butuh kami untuk menyampaikan gagasannya. Tanpa nara sumber, GATRA juga tak bisa terbit. Dari merekalah, barangkali termasuk Anda, kami mendapat berbagai informasi yang layak muat. Setiap pekan, kami menghubungi sekitar 200 nara sumber.
Sebagian minta jati dirinya disimpan rapat-rapat. Dalam bahasa resmi kami, mereka adalah ''sumber berita dengan derajat kerahasiaan tinggi''. Semua informasi itu, baik dari anonim maupun yang ''terang-benderang'', kami terima.
Tak semuanya bisa menjadi berita yang tercetak. Sejumlah standar dasar kelayakan GATRA harus dipenuhi. Di antaranya: cakupan peristiwanya luas, hangat, menyangkut kepentingan publik. Setelah rapat memutuskan bahwa informasi awal itu memenuhi standar kelayakan, kami memasuki tahap paling penting: verifikasi berita.
*****
''Tugas utama jurnalistik adalah menyampaikan kebenaran. Tugas pokok jurnalis adalah memverifikasi semua informasi yang ia terima.'' Itu adalah kalimat yang bisa dijumpai dalam buku ''The Elements of Journalism'', tulisan Bill Kovach dan Tom Rosentiell (Crown Publishers, New York, 2001).
Buku dua jurnalis senior itu kami santap sejak 2002. Tulisannya memperkuat apa yang selama ini jadi pegangan di pelatihan internal. Dengan verifikasi, kami berupaya keras agar informasi yang kami sampaikan adalah sesuatu yang benar. Sehingga, kepentingan publik akan informasi akurat dan terpercaya, terjaga.
Verifikasi menjadi sangat penting, karena nara sumber anonim punya motif beragam. Ada yang murni untuk kepentingan publik, ada pula yang lantaran persaingan politik, atau sekadar mengetes reaksi publik terhadap sebuah rencana. Selain itu, dengan mengijinkan munculnya si anonim, artinya kami siap mengambil alih tanggung jawab bila terjadi tuntutan hukum.
Kasus itu sudah banyak terjadi. Misalnya, Washington Post vs TNI, Tempo vs Tomy Winata, dan Sriwijaya Post vs ZA Maulani. Di luar dugaan, GATRA, yang selama ini berupaya sangat berhati-hati, masuk daftar. Kami digugat Wakil Kepala Badan Intelijen Nasional, As’ad Said Ali, atas berita edisi 24 tanggal 30 April 2005.
Kami berterima kasih kepada sejumlah pihak yang bersimpati. Di antaranya, Dewan Pers, Aliansi Jurnalis Independen, Persatuan Wartawan Indonesia, serta sejumlah rekan pengacara. Karena perkara ini sudah bergulir ke pengadilan, kami juga menunjuk pengacara, yakni M. Luthfie Hakim dan Partners.
Luthfie tak asing bagi kami. Ia pernah aktif di kantor pengacara Adnan Buyung Nasution, dan juga salah seorang pengacara Abubakar Baasyir. Luthfie dibantu asistennya, Sonny Mertakusuma, dan Andhesa Erawan.
Di internal, kami memverifikasi ulang berita bermasalah itu. Ternyata, si anonim tak punya bukti cukup. Belakangan ia menarik informasinya. Demi kejujuran, kami harus mengoreksi berita yang telah kami turunkan. Iklan permintaan maaf kami dapat Anda lihat di GATRA edisi ini. Kami pun melakukan pembenahan internal.
*****
Kami memperketat syarat munculnya sumber anonim. Sejumlah ''harus'' kami syaratkan. Ia musti orang di lingkaran pertama peristiwa. Karena itu, ''menurut yang saya dengar'' kini tak laku lagi. Info macam begini, dalam istilah bergurau di tempat kami, ''buang aje ke laut''. Ucapannya harus didukung dokumen cukup. Motivasinya membeberkan informasi adalah demi kepentingan publik. Bila identitasnya diungkap, keselamatannya terancam.
Katharine Graham, salah satu perintis The Washington Post, dalam memoarnya ''Personal History'' (Random House, New York, 1997) menulis perlunya asas kehati-hatian dalam liputan dengan nara sumber anonim. ''Editor harus menanganinya lebih dari berita dengan nara sumber biasa. Informasinya harus didukung pihak lain independen. Setiap kata yang akan dicetak harus dibaca lebih dari seorang editor senior.''
Sebagian asas kehati-hatian itu kami adopsi. Informasi si anonim harus dicek ulang kepada pihak lain independen. Kami juga membuat perjanjian: bila informasi yang terlanjur kami siarkan belakangan terbukti bohong, identitasnya dibuka. Kini, redaktur pelaksana menjadi penjaga gerbang boleh tidaknya nara sumber anonim digunakan.
Ia berhak tahu identitas si nara sumber. Pewawancara, entah itu reporter, pemimpin redaksi, atau redaktur, wajib membukakan identitasnya, manakala diminta. Hirarki keredaksian kami tegaskan kembali: pemimpin redaksi punya hak veto terhadap layak tidaknya berita dengan nara sumber anonim itu diturunkan.
Sejumlah ‘’harus’’ itu kami pasang demi menjaga hak pembaca akan informasi yang terpercaya. Karena itu, kami mohon maaf kepada nara sumber, bila akhir-akhir ini wartawan kami lebih ''rewel''.
Berbagai rambu itu kelak kami satukan dengan kode etik yang tengah kami perbaiki, untuk menyesuaikan dengan situasi yang terus berkembang.
Iwan Qodar Himawan
iwan@gatra.com
*)Dimuat di GATRA nomor 39 tahun XI
Friday, August 05, 2005
Sarapan Pagi
Saya biasa sarapan pagi jam 8. Saat itu, biasanya saya sudah membaca dua koran yang saya langgani. Satu jam sebelumnya, Darrel sudah sudah sarapan, nonton tv. Begitu melihat bapak ibunya makan, dia ikut-ikutan ambil piring.
Dibanding yang saya makan dan minum, rasanya porsi yang dia santap lebih banyak. Sehari lebih dari tiga liter air susu dia minum. Tiap botol, isinya 250 cc, mengandung dua sendok susu Procall. Sebulan dia habis lima kaleng besar susu Procall, yang beratnya satu kilogram itu.
Bila tidak direm, yang dia habiskan jauh lebih banyak. Tapi karena cadangan lemaknya sudah berlebih, konsumsi susunya direm. Air susunya sengaja diencerkan. Ngirit? Memang. Tapi bukan itu tujuan utamanya. Darrel bagaimanapun juga harus dibiasakan minum air putih biasa. Tidak harus minum susu.
Acara mandi pagi juga program yang sangat mengasyikkan bagi Darrel. Biasanya tempatnya di belakang rumah. Di situ, di antara teras dan pagar tembok belakang, kami memasang ember, selang, serta berbagai perangkat mandi lainnya. Tak mudah untuk memandikan Darrel.
Kadang-kadang, ia lebih suka nonton TV, main, atau tiduran, daripada mandi. Sehingga acara mandi pagi harus dengan prosedur yang, kadangkala, cukup rumit. Darrel harus dikejar-kejar. Harus ditangkap. Dipegang. Disiram, dst. Saat paling sulit adalah memaksanya gosok gigi. Acara nangis pasti berlangsung. Wah...
TANGGAPAN UNI Z LUBIS
Izinkan saya menanggapi surat pembaca Bapak Safrin, ketua Jurusan
Ilmu Komunikasi FISIP USU Medan, sebagai berikut:
Terima kasih atas tanggapan Anda terhadap tulisan saya di Kompas
(29/12/2004). Saya pikir, pada hari-hari pascagempa, banyak tulisan
pakar komunikasi yang menyayangkan kinerja media televisi (TV)
Indonesia dalam memberitakan bencana di Aceh secara cepat di hari
pertama, Minggu siang, 26 Desember 2004. Pendapat itu kami terima.
Masing-masing media punya alasannya, tetapi Anda benar, penonton
tidak mau tahu. Termasuk kenyataan bahwa sejumlah koresponden TV di
Aceh menjadi korban.
Sebenarnya, sejumlah TV sudah memasang news bar pada hari Minggu
dengan info yang sangat terbatas. TV-TV asing pun pada hari itu belum
memiliki info soal Aceh, dan baru memberitakan Nias. Info TV asing
yang kami cuplik termasuk info bencana di Sri Lanka, India, dan
Thailand. Kerusakan infrastruktur dan keterisolisasian mereka tidak
separah Aceh. Pada hari Senin, 27 Desember 2004, di program Inspirasi
Pagi yang tayang pukul 05.30, TV7 sudah menayangkan gambar dari
koresponden kami di Lhok Seumawe, plus laporan langsung via telepon
dengan wartawan Kompas.
Toh kerusakan yang sebenarnya belum diketahui, sampai kemudian TV-TV, termasuk TV7, berhasil masuk ke Banda Aceh, hari Senin, 27 Desember 2004 pukul 10.15. Segera setelah telepon satelit berhasil dioperasikan pada pukul 12.00, saya kirimkan
laporan telepon soal kondisi Banda Aceh. Pada saat itulah baru
disadari parahnya situasi.
Saya percaya, divisi pemberitaan semua stasiun TV berupaya keras
menyajikan info paling cepat dan semaksimal mungkin bagi pemirsa.
Info tentu tidak cukup memuaskan penonton, termasuk Anda, terutama
karena keterlambatan gambar di hari Minggu. Atas nama teman-teman
jurnalis TV, kami mohon maaf. Sebagai jurnalis, saya berharap TV7
lebih cepat. Namun, kalaupun Metro TV yang lantas paling intensif,
kami pun bersyukur pula.
Yang penting berita sampai ke publik melalui saluran apa pun. Di lapangan, TV-TV berbagi gambar. Kalau ada helikopter yang cuma bisa memuat satu juru kamera, gambar itu dibagi kepada TV lain. CNN melakukan pengiriman gambar dan siaran langsung
menggunakan fasilitas SNG TV7 juga. Ini menggambarkan bahwa CNN pun
sulit bergerak di Aceh. Namun, yang Anda dan sejumlah orang lain
persoalkan adalah hari Minggu, 26 Desember 2004.
Karena itu, satu-satunya keberatan saya atas tulisan Effendi
Gazali adalah bagian yang menggambarkan seolah-olah kami lebih
bersemangat memberitakan Musyawarah Nasional Golkar di Bali ketimbang
Aceh. Bagian lainnya kami terima dengan lapang dada. Kami kurang
banyak memasang news bar pada hari Minggu. Koreksi pada hari-hari
berikutnya mudah-mudahan dapat mengobati kekecewaan Anda.
Saya bukan ahli gempa, Pak. Bahkan media asing pun menduga Sri
Lanka adalah negara dengan korban terbanyak. Naluri jurnalis saya
mengatakan ada tragedi besar di Aceh (itu sebabnya saya berangkat ke
sana pada Senin pagi), tetapi saya sama sekali tidak menduga (dan
tidak berharap) kerusakan sebegitu dahsyat! Allah SWT menunjukkan
kekuasaannya dengan berbagai cara.
Tsunami memorakporandakan lapangan Blang Padang, tetapi replika Seulowah berdiri tegak, bersih. Sekeliling Masjid Baiturrahman luluh lantak, tetapi masjid kebanggaan
itu tegak berdiri. Begitu juga dengan gereja. Pulau Simeuleu yang terletak di atas patahan, dan diperkirakan paling parah, ternyata selamat. Tentu saja ada korban di sana. Bagaimana menjelaskan itu, Pak? Maka, saya tidak berani berandai-andai. Marilah kita lakukan apa yang kita bisa untuk Aceh dan Sumatera Utara, dan tidak hanya menyalahkan orang lain.
Uni Zulfiani Lubis
Wartawan TV7
Ilmu Komunikasi FISIP USU Medan, sebagai berikut:
Terima kasih atas tanggapan Anda terhadap tulisan saya di Kompas
(29/12/2004). Saya pikir, pada hari-hari pascagempa, banyak tulisan
pakar komunikasi yang menyayangkan kinerja media televisi (TV)
Indonesia dalam memberitakan bencana di Aceh secara cepat di hari
pertama, Minggu siang, 26 Desember 2004. Pendapat itu kami terima.
Masing-masing media punya alasannya, tetapi Anda benar, penonton
tidak mau tahu. Termasuk kenyataan bahwa sejumlah koresponden TV di
Aceh menjadi korban.
Sebenarnya, sejumlah TV sudah memasang news bar pada hari Minggu
dengan info yang sangat terbatas. TV-TV asing pun pada hari itu belum
memiliki info soal Aceh, dan baru memberitakan Nias. Info TV asing
yang kami cuplik termasuk info bencana di Sri Lanka, India, dan
Thailand. Kerusakan infrastruktur dan keterisolisasian mereka tidak
separah Aceh. Pada hari Senin, 27 Desember 2004, di program Inspirasi
Pagi yang tayang pukul 05.30, TV7 sudah menayangkan gambar dari
koresponden kami di Lhok Seumawe, plus laporan langsung via telepon
dengan wartawan Kompas.
Toh kerusakan yang sebenarnya belum diketahui, sampai kemudian TV-TV, termasuk TV7, berhasil masuk ke Banda Aceh, hari Senin, 27 Desember 2004 pukul 10.15. Segera setelah telepon satelit berhasil dioperasikan pada pukul 12.00, saya kirimkan
laporan telepon soal kondisi Banda Aceh. Pada saat itulah baru
disadari parahnya situasi.
Saya percaya, divisi pemberitaan semua stasiun TV berupaya keras
menyajikan info paling cepat dan semaksimal mungkin bagi pemirsa.
Info tentu tidak cukup memuaskan penonton, termasuk Anda, terutama
karena keterlambatan gambar di hari Minggu. Atas nama teman-teman
jurnalis TV, kami mohon maaf. Sebagai jurnalis, saya berharap TV7
lebih cepat. Namun, kalaupun Metro TV yang lantas paling intensif,
kami pun bersyukur pula.
Yang penting berita sampai ke publik melalui saluran apa pun. Di lapangan, TV-TV berbagi gambar. Kalau ada helikopter yang cuma bisa memuat satu juru kamera, gambar itu dibagi kepada TV lain. CNN melakukan pengiriman gambar dan siaran langsung
menggunakan fasilitas SNG TV7 juga. Ini menggambarkan bahwa CNN pun
sulit bergerak di Aceh. Namun, yang Anda dan sejumlah orang lain
persoalkan adalah hari Minggu, 26 Desember 2004.
Karena itu, satu-satunya keberatan saya atas tulisan Effendi
Gazali adalah bagian yang menggambarkan seolah-olah kami lebih
bersemangat memberitakan Musyawarah Nasional Golkar di Bali ketimbang
Aceh. Bagian lainnya kami terima dengan lapang dada. Kami kurang
banyak memasang news bar pada hari Minggu. Koreksi pada hari-hari
berikutnya mudah-mudahan dapat mengobati kekecewaan Anda.
Saya bukan ahli gempa, Pak. Bahkan media asing pun menduga Sri
Lanka adalah negara dengan korban terbanyak. Naluri jurnalis saya
mengatakan ada tragedi besar di Aceh (itu sebabnya saya berangkat ke
sana pada Senin pagi), tetapi saya sama sekali tidak menduga (dan
tidak berharap) kerusakan sebegitu dahsyat! Allah SWT menunjukkan
kekuasaannya dengan berbagai cara.
Tsunami memorakporandakan lapangan Blang Padang, tetapi replika Seulowah berdiri tegak, bersih. Sekeliling Masjid Baiturrahman luluh lantak, tetapi masjid kebanggaan
itu tegak berdiri. Begitu juga dengan gereja. Pulau Simeuleu yang terletak di atas patahan, dan diperkirakan paling parah, ternyata selamat. Tentu saja ada korban di sana. Bagaimana menjelaskan itu, Pak? Maka, saya tidak berani berandai-andai. Marilah kita lakukan apa yang kita bisa untuk Aceh dan Sumatera Utara, dan tidak hanya menyalahkan orang lain.
Uni Zulfiani Lubis
Wartawan TV7
Bencana Aceh: MANUSIA DI UJUNG COBAAN TUHAN
KOMPAS Rabu, 29-12-2004. Halaman: 7
UMAT manusia-khususnya di bumi Serambi Mekkah, Nanggroe Aceh
Darussalam-sedang diuji keimanannya.
Bencana tsunami yang meluluhlantakkan bumi Aceh menunjukkan
betapa manusia sebagai ciptaan Allah tidaklah ada artinya sama sekali.
Manusia berada di ujung coban Allah.
Uni Z Lubis, wartawati stasiun televisi TV7, melihat langsung
betapa dampak korban bencana tsunami di negara lain yang sering kita
lihat melalui layar kaca maupun berita media cetak terpapar langsung
di depan mata.
Betapa mayat anak-anak, laki-laki perempuan, tua muda
bergelimpangan di seantero jalanan dan Lapangan Blang Padang, Banda
Aceh.
Jerit tangis memilukan pecah menyambut kedatangan Wakil Presiden
(Wapres) Jusuf Kalla di Rumah Sakit Kesehatan Kodam (Kesdam), Senin
(27/12) siang. "Tolong, Pak, tolonglah kami, Pakà," Beberapa
perempuan memburu Wapres Jusuf Kalla dan memegangi tangannya. Wajah
mereka tampak lusuh. Sangat lelah. Pakaian robek di beberapa tempat.
Sisa-sisa lumpur masih menempel di kaki, juga di pakaian. Sekujur
tubuh penuh dengan luka-luka akibat tergores benda kasar.
Lorong-lorong Rumah Sakit Kesdam memang dipenuhi dengan ratusan
korban. Rumah sakit itu menjadi satu-satunya instalasi perawatan
kesehatan yang masih berfungsi, meski tidak sepenuhnya.
Seorang perempuan, Eli, menangis seraya meraih tangan Wapres. Di
pelukannya terdapat anak perempuan berusia sekitar 11 tahun. Sebelah
matanya dibalut dengan perban karena luka parah. Sambil sesenggukan,
Eli meminta bantuan pengobatan bagi mata anaknya. Ibu dan anak itu
selamat, sementara suami dan keluarga lainnya tak jelas
nasibnya. "Cuma kami berdua yang tersisa, Pak, tolonglahà," isak
Eli. Air bah yang datang sekejap setinggi tak kurang dari 6 meter
menggulung keluarganya. Wapres tercenung.
Di bagian belakang rumah sakit, terhampar 415 mayat. Kondisi
mereka sangat mengenaskan. Perut menggembung penuh air. Tubuh penuh
luka-luka. Bau pun merebak.
Wapres Jusuf Kalla menyandarkan tubuhnya pada sebuah tiang di
lorong rumah sakit. Tak ada kata yang terucap dari mulutnya. Sejumlah
anggota rombongan menggumamkan kalimat, inna lillahi wa inna ilaihi
rajiÆun à astagfirullah alazimà.
Ketika rombongan hendak meninggalkan Rumah Sakit Kesdam, tangis
kembali pecah di lorong rumah sakit. "Kami belum makan, Pak,
tolonglah," kata seorang ibu.
Ada anggota rombongan yang merogoh dompet hendak memberikan uang
kepada mereka, namun ditolak. "Kami perlu makanan dan pakaian, bukan
uang," kata mereka. Ekonom Muhammad Iksan yang ikut dalam rombongan
itu membuka ranselnya dan mengeluarkan baju kaus dan celana yang ia
bawa sebagai pakaian ganti.
Wapres langsung memerintahkan agar siang itu juga makanan dan
minuman didatangkan dengan cara apa pun, kalau perlu dari
Medan.
Sedikitnya 800 mayat dibaringkan di pinggir jalan. Sebagian
ditutupi daun, robekan kertas koran, plastik, apa saja. Ada warga
yang masih mencoba membalik-balik jenazah, sekadar memastikan apakah
itu anggota keluarganya atau orang yang mereka kenal.
Betapa akibat bencana alam di Aceh amat dahsyat. Lebih dahsyat
dari gambaran yang sudah muncul di liputan berita internasional atas
kondisi di sejumlah negara yang terkena musibah yang sama.
"Kenapa ya Aceh kok selalu dirundung duka?"
***
Aceh lumpuh. Listrik, telekomunikasi, air bersih dan air minum,
serta bahan bakar minyak juga menipis.
Di sepanjang jalan saya gundah juga. Bagaimana mengirim berita
dan gambar ke Jakarta kalau saluran telepon tak berfungsi? Kalaupun
ada telepon satelit atau Flexi Telkom lokal yang bisa digunakan,
bagaimana kalau baterainya habis?
Saya geleng-geleng kepala membaca tulisan seorang pakar
komunikasi di Kompas edisi Selasa (28/12), yang membandingkan liputan
bencana di Aceh dan Nias dengan liputan Munas Golkar di Bali! Jelas
bagaikan bumi dan langit kondisi dan fasilitasnya. Analisis pakar
tersebut didasarkan pada ketidaktahuannya soal kondisi Aceh
pascagempa dan badai tsunami.
Bisa dikatakan, kunjungan rombongan Wapres adalah titik awal
terbukanya komunikasi dengan Banda Aceh.
Kini Banda Aceh hancur, rumah-rumah pimpinan daerah di sekeliling
Lapangan Blang Padang di pusat kota berantakan. Namun tidak semuanya.
Pesawat DC-3 Dakota yang dipajang seperti prasasti di sana tampak
utuh. Bersih. Masjid Baiturrahim berdiri tegak. Sekeliling masjid
hancur. Sulit dimengerti memang, bagian itu bisa selamat, sementara
bagian lainnya tidak.
Begitu mendarat di Bandara Polonia, kami memutuskan kondisi Aceh
harus diketahui rakyat Indonesia, juga dunia. Rakyat Aceh butuh
bantuan. Jeritan tangis itu terus terngiang di telinga, "Tolonglah
kamià." (Uni Z Lubis, dari Banda Aceh, NAD)
UMAT manusia-khususnya di bumi Serambi Mekkah, Nanggroe Aceh
Darussalam-sedang diuji keimanannya.
Bencana tsunami yang meluluhlantakkan bumi Aceh menunjukkan
betapa manusia sebagai ciptaan Allah tidaklah ada artinya sama sekali.
Manusia berada di ujung coban Allah.
Uni Z Lubis, wartawati stasiun televisi TV7, melihat langsung
betapa dampak korban bencana tsunami di negara lain yang sering kita
lihat melalui layar kaca maupun berita media cetak terpapar langsung
di depan mata.
Betapa mayat anak-anak, laki-laki perempuan, tua muda
bergelimpangan di seantero jalanan dan Lapangan Blang Padang, Banda
Aceh.
Jerit tangis memilukan pecah menyambut kedatangan Wakil Presiden
(Wapres) Jusuf Kalla di Rumah Sakit Kesehatan Kodam (Kesdam), Senin
(27/12) siang. "Tolong, Pak, tolonglah kami, Pakà," Beberapa
perempuan memburu Wapres Jusuf Kalla dan memegangi tangannya. Wajah
mereka tampak lusuh. Sangat lelah. Pakaian robek di beberapa tempat.
Sisa-sisa lumpur masih menempel di kaki, juga di pakaian. Sekujur
tubuh penuh dengan luka-luka akibat tergores benda kasar.
Lorong-lorong Rumah Sakit Kesdam memang dipenuhi dengan ratusan
korban. Rumah sakit itu menjadi satu-satunya instalasi perawatan
kesehatan yang masih berfungsi, meski tidak sepenuhnya.
Seorang perempuan, Eli, menangis seraya meraih tangan Wapres. Di
pelukannya terdapat anak perempuan berusia sekitar 11 tahun. Sebelah
matanya dibalut dengan perban karena luka parah. Sambil sesenggukan,
Eli meminta bantuan pengobatan bagi mata anaknya. Ibu dan anak itu
selamat, sementara suami dan keluarga lainnya tak jelas
nasibnya. "Cuma kami berdua yang tersisa, Pak, tolonglahà," isak
Eli. Air bah yang datang sekejap setinggi tak kurang dari 6 meter
menggulung keluarganya. Wapres tercenung.
Di bagian belakang rumah sakit, terhampar 415 mayat. Kondisi
mereka sangat mengenaskan. Perut menggembung penuh air. Tubuh penuh
luka-luka. Bau pun merebak.
Wapres Jusuf Kalla menyandarkan tubuhnya pada sebuah tiang di
lorong rumah sakit. Tak ada kata yang terucap dari mulutnya. Sejumlah
anggota rombongan menggumamkan kalimat, inna lillahi wa inna ilaihi
rajiÆun à astagfirullah alazimà.
Ketika rombongan hendak meninggalkan Rumah Sakit Kesdam, tangis
kembali pecah di lorong rumah sakit. "Kami belum makan, Pak,
tolonglah," kata seorang ibu.
Ada anggota rombongan yang merogoh dompet hendak memberikan uang
kepada mereka, namun ditolak. "Kami perlu makanan dan pakaian, bukan
uang," kata mereka. Ekonom Muhammad Iksan yang ikut dalam rombongan
itu membuka ranselnya dan mengeluarkan baju kaus dan celana yang ia
bawa sebagai pakaian ganti.
Wapres langsung memerintahkan agar siang itu juga makanan dan
minuman didatangkan dengan cara apa pun, kalau perlu dari
Medan.
Sedikitnya 800 mayat dibaringkan di pinggir jalan. Sebagian
ditutupi daun, robekan kertas koran, plastik, apa saja. Ada warga
yang masih mencoba membalik-balik jenazah, sekadar memastikan apakah
itu anggota keluarganya atau orang yang mereka kenal.
Betapa akibat bencana alam di Aceh amat dahsyat. Lebih dahsyat
dari gambaran yang sudah muncul di liputan berita internasional atas
kondisi di sejumlah negara yang terkena musibah yang sama.
"Kenapa ya Aceh kok selalu dirundung duka?"
***
Aceh lumpuh. Listrik, telekomunikasi, air bersih dan air minum,
serta bahan bakar minyak juga menipis.
Di sepanjang jalan saya gundah juga. Bagaimana mengirim berita
dan gambar ke Jakarta kalau saluran telepon tak berfungsi? Kalaupun
ada telepon satelit atau Flexi Telkom lokal yang bisa digunakan,
bagaimana kalau baterainya habis?
Saya geleng-geleng kepala membaca tulisan seorang pakar
komunikasi di Kompas edisi Selasa (28/12), yang membandingkan liputan
bencana di Aceh dan Nias dengan liputan Munas Golkar di Bali! Jelas
bagaikan bumi dan langit kondisi dan fasilitasnya. Analisis pakar
tersebut didasarkan pada ketidaktahuannya soal kondisi Aceh
pascagempa dan badai tsunami.
Bisa dikatakan, kunjungan rombongan Wapres adalah titik awal
terbukanya komunikasi dengan Banda Aceh.
Kini Banda Aceh hancur, rumah-rumah pimpinan daerah di sekeliling
Lapangan Blang Padang di pusat kota berantakan. Namun tidak semuanya.
Pesawat DC-3 Dakota yang dipajang seperti prasasti di sana tampak
utuh. Bersih. Masjid Baiturrahim berdiri tegak. Sekeliling masjid
hancur. Sulit dimengerti memang, bagian itu bisa selamat, sementara
bagian lainnya tidak.
Begitu mendarat di Bandara Polonia, kami memutuskan kondisi Aceh
harus diketahui rakyat Indonesia, juga dunia. Rakyat Aceh butuh
bantuan. Jeritan tangis itu terus terngiang di telinga, "Tolonglah
kamià." (Uni Z Lubis, dari Banda Aceh, NAD)
Sipilis vs TBC
DI Masjid Al Azhar, Jakarta Selatan, seusai salat Jumat 5 Agustus ini, berlangsung tabligh akbar. Berkumpul ratusan orang di dalam mesjid yang megah itu. Mereka bicara mengenai fatwa Majelis Ulama Indonesia yang, dalam pandangan mereka, disikapi secara keliru oleh ''segelintir umat Islam''.
Fatwa MUI itu ada 11. Tapi yang mendapat sorotan adalah pada dua hal: ahmadiyah dan sipilis. Ahmadiyah, dalam pandangan para pengkhotbah ini, adalah ajaran sesat. Mereka mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Ini jelas-jelas sesat, karenanya tak pantas bila Ahmadiyah menyebut dirinya sebagai Islam. ''Jelas murtad,'' kata Ustadz Amin Jamaluddin dari LPPI, Jakarta.
Terdengar teriakan dari hadirin. ''Orang murtad hukumnya bunuh....''
Syukur tak mendapat tanggapan.
Para pembicara mengupas fatwa MUI itu dari berbagai sudut pandang. Ismail Yusanto, juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, menilai Mirza Ghulam Ahmad sebagai sesat. ''Menurut literatur, ia adalah antek Inggris,'' katanya.
Dalam pandangan pembicara, musuh umat Islam dewasa ini adalah sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Disingkat sipilis. Penyakit kotor itu melengkapi wabah TBC --takhayul, bid'ah, dan khurafat-- yang selama ini ada.
Seusai acara, sebagian laskar berseragam langsung berbaris. Mereka bergegas menuju markas Jaringan Islam Liberal di Utan Kayu, Jakarta Timur. Namun rombongan ini tak sempat sampai di Utan Kayu. Di Masjid Al Ikhlas, Salemba, mereka berhenti untuk salat asar. Setelah itu, mereka balik, membubarkan diri.
Sukur tak terjadi perkelahian. Karena, perbedaan pendapat memang tak pantas diselesaikan dengan kekuatan fisik. Apalagi, baik Ahmadiyah, JIL, FPI, maupun organisasi Islam lainnya, adalah sama-sama percaya bahwa Allah SWT adalah Tuhan pencipta alam. Mereka juga sama-sama mengucapkan syahadat.
Jadi, buat apa berkelahi?
Subscribe to:
Posts (Atom)