Search This Blog

Thursday, November 16, 2006

Menguber Biang Demam


HARI Minggu pagi, 12 November 2006 lalu, rumah kami terasa putih. Bukan karena salju bawaan dari Bandung masih menempel. Hari itu Pak RT punya program cukup penting, penyemprotan nyamuk demam berdarah.
Dua jam sebelum acara dimulai, Mommy sudah ribut. Ia menyuruh mbak Minah dan mbak Mur menyingkirkan semua makanan dan peralatan makan-minum dari atas meja ke dalam lemari, dan ditutup rapat. Ia juga sibuk menyiapkan masker, untuk menutup mulutnya Darrel.
Tumben, kali ini ia suka rela ‘’tutup mulut’’. Soalnya, mommy melontarkan kalimat-kalimat yang menakutkan. ‘’Awas, kalau tidak pakai masker, obatnya bisa masuk mulut… bahaya…’’
****
Menyemprot nyamuk hampir menjadi hal rutin setiap beberapa bulan, terutama di musim hujan. Kali ini, meski kemarau masih melanda Jakarta dan sekitarnya, si begundal aedes aegepty harus diuber karena –menurut kabar—sudah makan korban. Ada anak di luar kompleks yang sakit demam berdarah.
Maka diundanglah petugas untuk menyemprot nyamuk, dari rumah ke rumah. Termasuk ke Permata Timur Blok JJ/3 Jaticempaka, tempat kami bermukim.
Petugas datang jam 10-an. Ia langsung menyemprot di taman belakang. Setelah itu, ia masuk ke kamar tidur utama. Gudang, garasi, dapur, semuanya disemprot. Bahkan teras depan dan tamannya, juga ikut ditembak.
*****
Menguber nyamuk aedes aegepty, yang jadi penular sakit demam berdarah, sebenarnya sangat simpel. Dalam bahasa pemerintah, kegiatannya diberi nama ”3M”, yakni ”menguras”, ”menutup”, dan ”mengubur”. Menguras yaitu melakukan pengurasan secara teratur seminggu sekali tempat penampungan air bersih.

Menutup adalah menutup rapat-rapat tempat penampungan air bersih. Dan mengubur, yang dimaksudkan adalah mengubur atau menyingkirkan kaleng-kaleng bekas, plastik, dan barang bekas lainnya yang dapat menampung air hujan hingga menjadi sarang nyamuk.
Wartawan Pikiran Rakyat, Bandung, Marsis Santoso, dalam artikelnya di Pikiran Rakyat 17 Januari tiga tahun lalu menulis, siapa pun yakin tidak ada yang sulit untuk melakukan kegiatan tiga ‘’M’’. Tidak perlu biaya dan kalaupun harus dikeluarkan hanya sedikit tenaga. Namun, apakah orang mau melakukannya? Di sini memang problemanya.
Kendati sejak 1998, Departemen Kesehatan pernah membuat klip program kampanye penanggulangan demam berdarah dengan menggunakan bintang film/sinetron populer Rano ”Si Doel” Karno yang rajin tayang di televisi, rasanya orang lebih terpikat dengan akting sang bintang. Apakah pemirsanya mau mengikuti dan melaksanakan anjurannya, masih perlu dipertanyakan.
Terbukti, penyakit demam berdarah atau Demam Berdarah Dengue (BDB) masih sering mewabah. Seperti yang tengah melanda Desa Sengon Kecamatan Tanjung Kabupaten Brebes, Jawa Tengah belakangan ini. Bahkan, karena telah merenggut nyawa 8 anak-anak dalam sebulan terakhir (Pikiran Rakyat, 15/1), hampir setiap orang tua di desa itu dibuat panik berlebihan setiap salah seorang atau lebih dari anaknya menderita panas dan demam. Mereka takut anak-anaknya akan sama nasibnya dengan kedelapan anak yang telah meninggal akibat gigitan nyamuk Aedes aegypty itu.
Setelah menjadi wabah seperti itu, menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes Dr. H. Laode Budiono, M.P.H., warga desa yang terkena maupun desa-desa sekitarnya langsung berbondong meminta dilakukan fogging (pengabutan) atau penyemprotan dengan menggunakan campuran Malathion 4% dan solar. ”Karena masyarakat menganggap, penyemprotan merupakan satu-satunya senjata pamungkas. Ada kasus demam berdarah, asumsi masyarakat berarti harus ada fogging,” ujarnya.
Padahal dalam upaya penanggulangan demam berdarah dewasa ini, pengabutan hanyalah upaya penanggulangan sesaat dan tidak memiliki efek pencegahan.
Alasannya, nyamuk-nyamuk yang mati akibat terkena semprotan hanya nyamuk Aedes aegypty dewasa saja. Sementara itu, jentik dan kepompong sebagai stadium nyamuk yang hidup di tempat berair tidak tersentuh. Oleh karena itu, efek pengabutan akan hilang bersama hilangnya kabut insektisida yang disemprotkan. Selama penderita DBD masih ada dalam wilayah tersebut, nyamuk baru yang muncul kemudian dari kepompong tetap memunyai kesempatan mengisap darah penderita DBD yang masih ada dan penularan akan tetap berlangsung.
Diakui Laode, bila pengabutan dilakukan berulang kali dengan frekuensi teratur, memang akan menekan kepadatan populasi nyamuk. Akan tetapi, setelah pengabutan dihentikan, populasi nyamuk akan kembali meningkat. Di sisi lain, pengabutan di era krisis seperti sekarang ini dihadapkan pada banyak kendala. Pengabutan memerlukan biaya yang tidak sedikit, terutama dalam pengadaan insektisida. Gambarannya, satu kali pengabutan dengan jangkauan wilayah yang tidak terlalu luas biaya yang diperlukan Rp 150.000,00 per liter.


”Karenanya, dengan program penanggulangan DBD di Kabupaten Brebes yang saat ini sumber dananya dari Dana Alokasi Umum (DAU), yang pada tahun 2001 anggarannya cuma sebesar Rp 12,2 juta dan naik menjadi Rp 15 juta untuk tahun 2002, sulit bagi Dinkes untuk bisa meliputi 295 desa dan kelurahan yang ada,” kata Laode menambahkan.
******
Kabupaten Brebes merupakan daerah endemi DBD. Pada tahun 2001, terdapat 17 desa endemis di 7 kecamatan yakni Jatibarang, Ketanggungan, Larangan, Bulakamba, Wanasari, Tanjung, dan Brebes. Jumlah kasus sebanyak 120 penderita dengan 8 orang di antaranya meninggal. Dari data itu diperoleh kesimpulan, angka kesakitan sebesar 7 per 100.000 penduduk. Dari sisi ini tergolong baik karena target nasional 20 penderita per 100.000 penduduk. Namun, dari sisi angka kematian (case fatality rate) yang mencapai sebesar 6,7%, bisa dikatakan kurang baik karena target nasionalnya kurang dari 1%. Adanya kasus wabah di Desa Sengon yang terjadi awal tahun ini dan menyebabkan 8 orang penderitanya meninggal, mengisyaratkan bahwa DBD diam-diam terus menelan korban.
Untuk itu, Ka Dinkes Laode Budiono kembali menegaskan, kini sudah saatnya orientasi penanggulangan DBD mesti berubah. Program penanggulangan DBD yang selama ini cenderung pada upaya pemberantasan nyamuk dewasanya saja, sementara aspek pencegahan dengan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) belum mendapatkan perhatian sungguh-sungguh. Padahal, justru PSN merupakan kegiatan yang efektif dan efisien hanya belum secara utuh diketahui masyarakat sebagai langkah penanggulangan DBD yang benar.
”Asumsi ini bisa saja keliru. Tetapi, jika mengkaji beberapa surat usulan dari masyarakat untuk kegiatan pengabutan masih menunjukkan ketidaktahuan masyarakat terhadap upaya penanggulangan DBD. Misalnya saja, ada surat dari seorang kepala desa yang meminta agar wilayahnya segera diberikan pengabutan dengan alasan di wilayahnya banyak air kotor yang tergenang. Alasan ini bisa dikatakan kontradiktif, mengingat nyamuk Aedes aegypty lebih suka bertelur dalam bejana dengan air yang relatif jernih bahkan yang tidak kontak dengan tanah,” kata Laode.
Pemberantasan sarang nyamuk pada dasarnya menganut prinsip-prinsip dalam pencegahan DBD. Yakni kemampuannya untuk memutuskan rantai penularan karena daur hidup Aedes aegypty tidak akan pernah tercapai. Jadi pada gilirannya mampu menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypty. Pemberantasan sarang nyamuk akan menjadi sangat berarti jika dilaksanakan satu kali dalam seminggu, dengan maksud agar daur hidup nyamuk yang berlangsung 7-10 hari tidak tercapai sehingga nyamuk tidak sempat menjadi dewasa.
Memang banyak kendala yang menyertai upaya pencegahan ini. Akan tetapi, paling tidak sudah ada agenda nasional yaitu ”Bulan Gerakan 3M” yang telah dicanangkan sejak 24 April 1998. Tinggal bagaimana masyarakat menyikapinya untuk meningkatkan kualitas dan konsistensi gerakan kebersihan tersebut.
Menurut Dr. H. Laode Budiono M.P.H., pendekatan reward and punishment dapat saja diterapkan dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk. Misalnya, bila ada rumah yang bebas jentik nyamuk Aedes aegypty maka oleh warga masyarakat lainnya akan diberikan ”penghargaan”. Begitu pun sebaliknya, layak diberikan ”hukuman” pada warga yang rumahnya banyak jentik nyamuk Aedes aegypty-nya. Bentuk-bentuk penghargaan maupun hukuman tersebut dapat disepakati bersama oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

Dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, hendaknya masyarakat sendiri yang melaksanakan kegiatan perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasinya. Sementara itu, petugas kesehatan hanyalah bertindak sebagai pendorong saja. Hanya dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, masyarakat masih perlu meminta bantuan petugas kesehatan yang memunyai data mengenai Demam Berdarah dengue. Petugas kesehatan akan menentukan ”Bulan Gerakan 3 M” sebaiknya dilakukan. Jadi, menguras, menutup, dan mengubur sebagaimana disarankan Rano ”Si Doel” Karno lewat kampanye ”Gerakan 3 M” memang satu-satunya cara untuk menghindar dari ancaman demam berdarah**
******
Mau 3M, atau M3, tidak jadi masalah. Tapi, lebih penting dari itu adalah bagaimana menjaga pola hidup bersih, sehingga si nyamuk tidak punya tempat untuk bermukim….

Dunia Salju Isinya Es Batu


DI halaman parkir Bandung Super Mall, dekat kampus Seskoad Bandung, ada ‘’Snow World’’. Bahasa Indonesianya: dunia salju. Bahasa Sundanya? Kurang jelas, tapi mungkin Ice Juice… Di Bandung Tourism, ada infonya.
Melihat namanya, kesannya amat sensasional. Di Bandung yang terik menyengat, ada salju. Maka, begitu selesai bermain di ‘’Alam Fantasi’’ Bandung Supermall, mommy mengajak Darrel berjalan ke tempat parkir, masuk ke Snow World alias Ice Juice itu.
Harganya cukup mahal. Untuk anak-anak, Rp 25.000. Untuk orang dewasa, Rp 35.000. Hampir Rp 100.000 hanya untuk merasakan dinginnya cuaca plus hembusan salju. Si ‘’dunia salju’’ itu terletak di barak, mirip tempat pengungsian. Luasnya kira-kira 500 meter persegi.
****
Mommy membeli tiga tiket. Antrenya lumayan, sekitar 10 menit. Sebelum masuk, kita diberi jaket warna merah, yang harus dikembalikan begitu keluar dari ruangan ‘’bersalju’’.

Semula saya mau mencoba untuk tidak usah memakai jaket. Ternyata tidak bisa. Begitu masuk ke ruangan, langsung terasa dinginnya minta ampun… Bakat reumatik saya terbukti. Tangan saya langsung ngilu-ngilu. Gigi ikut linu.
Yang namanya dunia salju ini ternyata ya dunia bohong-bohongan. Lebih pas bila disebut sebagai dunia es batu. Begitu masuk, kita akan melihat patung macan, garuda, gajah, juga puteri duyung, yang semuanya dari es batu. Di kiri kanan gedung terlihat lobang-lobang cukup besar, sekitar 75 cm, tempat mesin pendingin menghembuskan hawa ademnya.
Saya tidak tahu kenapa penyelenggara menyebutnya sebagai ‘’Dunia Salju’’, bukan ‘’Dunia Es Batu’’. Tapi kalau mau mencari dingin saja, ya pas. Karena memang menyengat banget dinginnya.
Saya betul-betul tidak tahan. Baru masuk sebentar, sudah ingin mencari jalan darurat untuk keluar. Mommy juga begitu. Tapi Darrel tenang saja. Sekali-kali ia ketawa sambil mencopot jaketnya. Walah.
‘’Eh, Darrel. Ayo pake jaket…’’ teriak mommy.
Yang diteriaki malah tersenyum, sambil melarikan diri…
*****
Ini bukan ‘’Dunia Salju’’ yang pertama di Indonesia. Kompas 31 Desember 2005 menulis berita ‘’Sensasi Titik Beku Dunia Salju’’. Ini kisah pengalaman wartawannya yang berkelana ke dunia salju di Dunia Fantasi, Ancol, Jakarta. Tulisannya sebagian saya muat di sini:
Tak perlu jauh-jauh ke Eropa, Amerika, atau daerah kutub untuk menikmati pemandangan serba es dan hujan salju. Kini, suasana itu telah hadir di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Ice World, nama tempat itu, mulai membius warga Ibu Kota. Sayang, seperti arena lain di Ancol, harga tiketnya tidak murah untuk kocek rakyat kecil.

Bukan berarti ada perubahan iklim jika salah satu tempat di Pantai Carnaval, Ancol, tiba-tiba bersuhu di bawah nol derajat Celsius. Pada suhu seperti itu, napas yang terembus melalui hidung atau mulut menyemburkan buih tipis. Kulit yang tak terlindungi terasa mengeras, membeku, dan seperti mau pecah.
Suasana tidak lazim untuk penduduk di negeri tropis itu justru menjadi magnet bagi ribuan warga Ibu Kota guna memadati Ice World, sejak dibuka 23 Desember lalu. Seperti pada hari Jumat (30/12), antrean pengunjung tampak mengular panjang di depan pintu masuk. Lapangan dan kiri-kanan jalan di sekitar taman hiburan itu penuh dengan mobil pengunjung.
Begitu padatnya pengunjung siang itu, Marketing Manajer Ice World Waylan Gerung sempat cemas karena tiket mulai habis. Menurut dia, beberapa hari terakhir pengunjung terus meningkat. Dari 1.000, 1.500, 2.000, hingga 3.400 orang per hari.
Seperti namanya, Ice World (dunia salju) menawarkan suasana alam dan pemandangan serba es. Di dalam ruangan seluas 1.200 meter persegi, setiap pengunjung bisa merasakan suhu di bawah titik beku, yakni berkisar minus 10-15 derajat Celsius. Pada suhu ini pengunjung harus memakai jaket tebal yang telah disediakan pengelola.
Sambil merasakan embusan suhu sangat dingin, seperti lazimnya di negara-negara Eropa atau Amerika pada musim dingin, pengunjung disuguhi pahatan-pahatan es berbentuk obyek-obyek dari tujuh keajaiban dunia, seperti Istana Taj Mahal (India), Menara Eiffel (Paris, Perancis), Istana Kaisar China di Kota Terlarang, kereta Narnia, papan seluncur es, serta ikan keberuntungan. Tidak ketinggalan, juga guyuran butiran-butiran putih hujan salju.
Seperti diakui sejumlah pengunjung, semuanya mendatangkan sensasi tersendiri mengingat mereka umumnya belum pernah mengalami suasana iklim tersebut. Kami jadi tahu rasanya tinggal di negara-negara yang mengalami hujan salju. Dingin banget, menggigil, tapi menyenangkan, kata Bobby (12). Kayak di negara kutub aja, timpal Dio (9), saudaranya.
Kami pernah tinggal setahun di Perth, Australia, tapi belum pernah mengalami suasana seperti ini, ujar Yanti (31), warga Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang membawa serta anaknya yang berusia tiga tahun.
Pemahat Harpin
Pahatan es dalam beraneka bentuk itu terlihat semakin indah karena muncul cahaya berwarna-warni dari dalam es. Menurut Waylan, inilah yang membedakan Ice World Ancol dari Ice World serupa di Barcelona (Spanyol), Auckland (Selandia Baru), Sidney (Australia), Ho Chi Minh City (Vietnam), Manila (Filipina), serta Kuala Lumpur dan Malaka (Malaysia).
Di sini semua lampu itu tertanam di dalam es. Di luar negeri, pencahayaan berupa lampu sorot, ujar Waylan. Lampu es berwarna-warni itu tampak dominan dengan pengaturan cahaya dalam ruangan yang sedemikian rupa. Pahatan-pahatan es bertahan pada bentuknya berkat pengaturan suhu ruangan yang digerakkan 12 mesin.

Keindahan pahatan es tersaji di hadapan pengunjung berkat keahlian pemahat dari Harpin, daerah di China bagian utara. Satu di antara mereka, menurut Waylan, adalah juara dunia pemahat tahun 2005 di Belgia. Selama bulan Desember, pengunjung bisa juga menikmati kemahiran para pemahat itu dalam membentuk balok-balok es.
Untuk membentuk pahatan-pahatan es itu, pengelola mendatangkan tak kurang dari 480 balok es. Balok-balok es dipilih dari sejumlah pabrik es yang bebas dari kotoran untuk menghasilkan pahatan es sempurna, tanpa ternoda kotoran.
****
Mau ke mall atau mau ke Dunia Fantasi, silakan. Bebas pilih. Yang jelas, kondisi fisik harus prima. Kalau kita lagi sakit gigi, lagi pusing, atau perut mual, masuk ke dunia es batu sungguh tidak nyaman.
Yang tak kalah penting, jangan lupa membawa dompet dengan isi tebal.

Thursday, November 09, 2006

Taman Pintar Yogya


DI Yogyakarta, ada tempat wisata baru untuk anak-anak. Namanya Taman Pintar. Lebaran lalu, ayah dan Darrel main ke tempat di sebelah timur Benteng Vredeburg ini. Tiga puluh tahun lalu, saya sering main ke tempat lokasi Taman Pintar ini, sewaktu masih menjadi toko buku bernama ‘’Shopping Center Sasana Triguna’’.

Pak Herry Zudianto, walikota Yogya sekarang, menggagas lahirnya Taman Pintar. Saya teringat sewaktu dua tahun lalu bertemu beliau di Hotel Sahid, Jakarta. Pak Herry sedang menginap di situ, ketika itu. Ia bercerita, Yogyakarta sebagai kota pelajar ternyata malah tidak punya tempat wisata pendidikan. Ia mengangankan lahirnya Taman Pintar, yang diharapkan bisa menambah mencorong citra Yogya sebagai kota pelajar.

Pak Herry kemudian menggandeng berbagai lembaga untuk mengisi Taman Pintar. Ada pabrik susu Sari Husada, Excelcomindo, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Jangan kaget kalau main ke Taman Pintar, di situ ada berbagai baliho nampang. Saya memandang ini merupakan bukti kecerdikan Pak Wali.
****
Di situs www.tamanpintar.jogja.go.id, om, tante, eyang dan opung, bisa menyaksikan konsep lahirnya Taman Pintar. Kalimat di situs ini bunyinya filosofis banget: ‘’Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, adalah sesuatu yang seharusnya disyukuri karena menjanjikan kemudahan bagi peningkatan peradaban manusia. Akan tetapi perkembangan ilmu pengetahuan juga menyembunyikan tantangan berupa sikap manusia atas laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.’’
Lanjutnya: ‘’Program pembangunan Taman Pintar secara umum terbagi dalam perencanaan secara umum, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta perencanaan dan pelaksanaan materi isi. Perencanaan materi isi mempunyai arahan untuk dapat menyampaikan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada keseluruhan kelompok sasaran. Pendekatan untuk menyampaikan ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan melalui berbagai media dengan tujuan meningkatkan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.’’

Secara garis besar materi isi Taman Pintar terbagi menurut kelompok usia dan penekanan materi. Menurut kelompok usia terbagi atas usia tingkat pra sekolah hingga taman kanak - kanak dan sekolah dasar hingga sekolah menengah, sedangkan menurut penekanan materi diwujudkan dalam interaksi antara pengunjung dengan materi yang disampaikan melalui anjungan yang ada.
****

Tiga perusahaan pengusung teknologi informatika, IBM Indonesia, Cisco Indonesia, dan PT Excelcomindo Pratama Tbk, ikut membiayai lahirnya Taman Pintar. Juli tahun lalu, ketiga perusahaan ini menggalang kerja sama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta membangun 'Taman Pintar.'

'Taman pintar' dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi anak-anak dan masyarakat umum di Yogyakarta sebagai tempat untuk mengekspresikan, mengkreasi, serta belajar ilmu pengetahuan dan teknologi.

Rencananya, dalam 'Taman Pintar' itu akan disediakan berbagai fasilitas seperti warung informasi teknologi, radio anak, warung internet, ruang eksibisi, serta ruang pertemuan.

Kelompok sasaran dari program pembangunan 'Taman Pintar' adalah anak-anak dari usia pra-sekolah hingga tingkat sekolah menengah. Rentang usia kelompok sasaran ini dipilih karena dipandang sebagai generasi penerus bangsa yang potensial untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Direktur Komersial Excelcomindo Pratama (XL) Joy Wahjudi mengatakan, untuk mendukung 'Taman Pintar' ini perseroan akan menyediakan koneksi internet dengan kecepatan akses 64 kilo byte per second dan mengisi content berbasis teknologi informasi.
*****

Kementerian Negara Riset dan Teknologi juga membantu dengan menyerahkan alat peraga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, pada 12 Desember 2005. Taman Pintar ini merupakan Pusat Peragaan Iptek di Yogyakarta sebagai salah satu sarana pembelajaran Iptek luar sekolah.

Kementerian Ristek menyediakan paket alat peraga listrik yang terdiri dari : Halilintar (yang berfungsi untuk menjelaskan kepada anak-anak tentang proses terjadinya halilintar); Bola Listrik (berfungsi untuk menjelaskan pola kilatan bunga api listrik akibat proses ionisasi); Generator Pedal (berfungsi untuk menjelaskan prinsip kerja generator yang merubah energi mekanik menjadi energi listrik); dan Generator Van de Graff (berfungsi untuk menjelaskan timbulnya listrik statis).

Tak gampang untuk menjelaskan kepada para murid ihwal berbagai fenomena ilmu pengetahuan di atas. Maka disarankan agar orang tua mendampingi anak-anaknya melihat Taman Pintar..
"Para orangtua siswa di samping mendampingi putra-putri mereka ke Taman Pintar sekaligus bisa mendapat semacam bimbingan konseling mengenai tumbuh kembang anak," kata Pak Suparno, pejabat yang mengurusi Taman Kanak-kanak di Yogya.
Pak Suparno merencanakan, 215 TK di Yogya datang bergiliran ke Taman Pintar. "Hanya saja, untuk biaya selain penggunaan fasilitas playground yang gratis, sepertinya akan dibebankan ke sekolah dulu. Berat jika pemerintah kota menanggung bagi 215 TK yang ada di wilayahnya," tuturnya.
Suparno mengemukakan, pemanfaatan Taman Pintar sebagai tempat rekreasi edukatif dengan sistem kunjung yang terjadwal lebih mudah dilakukan kepada siswa TK ketimbang anak yang belum menginjak bangku TK. Selain sekolah lebih mudah mengawasi, siswa TK juga lebih mampu melakukan kegiatan mandiri.
*****
Tapi, mohon berhati-hati kalau membawa anak ke Taman Pintar. Saya pernah ke Dunia Fantasi, Taman Safari, juga Kota Fantasi di Bandung Supermall. Kalau dibandingkan, tampak Taman Pintar kedodoran. Misalnya saja, WC-nya cuma ada dua. Ketika Darrel kebelet pipis, dia saya suruh ngampet dulu. La antreannya saja sepuluh orang.
Waktu mau berteduh, walah, susahnya… Semua tempat sudah keisi. Walhasil, ya kita harus tahan-tahan berpanas-panas.
Lebih repot lagi, pengamanan untuk anak juga jadi masalah. Salah satu favorit anak-anak, termasuk Darrel, adalah menaiki jaring-jaring tali untuk menggapai jembatan gantung. Susah lo untuk menaiki tali yang dianyam menjadi seperti net volley itu.
Tingginya sekitar 2,5 meter. Kalau jaringnya masih utuh, gampang bagi anak-anak untuk naik. Sayangnya tali di baris kedua dari atas sudah hilang. Walhasil, terdapat lobang besar. Darrel hampir jatuh. Kalau jatuh beneran wah… bisa repot..
Anehnya, tidak ada petugas yang menunggu. Hampir semua arena permainan dibebaskan. Tak ada satu pun petugas yang menunggui.
***
Kalau ada kekurangan, harap dimaklumi. Yang jelas, kalau mau ke Taman Pintar, ya siap-siap saja untuk capek menunggui buah hati. Lebih bagus perginya berdua, biar bisa gantian nunggu anak. Kalau sendirian, dijamin lumayan melelahkan.
Saya merasa amat lelah, sepulang dari Taman Pintar. Sebaliknya Darrel. Ia tetap saja gembira, tertawa, dan terus bermain-main. Tanpa capek.

Maklumlah, kalori yang tersimpan di perutnya saja amat berlimpah ruah…

Wednesday, November 01, 2006

Lebaran 1427 H


LEBARAN ini, keluarga kami terpisah menjadi dua kubu. Kubu Senin dan kubu Selasa. Kubu Senin artinya ada kelompok yang berlebaran pada Senin 3 Oktober 2006. Kelompok ini anggotanya dua: ayah dan mommy. Kubu Senin lebih banyak pasukannya: Tante Agus, Mbak Mur, Sugeng, Opung, dan Eyang.

Darrel ikut siapa?
Tak jelas kubunya. Karena ia juga belum salat. Berdoa saja paling baru bisa ‘’Bismillalohmanilohim... Allahuakban...’’. Di usianya yang ke-3,5 tahun, ia belum bisa bilang ‘’r’’ dengan baik. Mohon dimaafkan kalau ia belum bisa melafalkan ‘’bismillahirrahmanirrahiim dan Allahu Akbar’’ dengan baik.

Pagi itu, ketika saya dan mommy sibuk berbenah untuk salat Idul Fitri, Darrel masih terlelap. Ia nyenyak di kamarnya. Tante Agus, Mbak Mur, dan Sugeng, juga masih di kamar. Dan Mbak Minah? Ia sudah ada di Purwokerto, pagi itu.

Saya dan mommy sudah sejak awal membuat keputusan: akan mengikuti jadwal idul fitri dan jadwal puasa mengikuti agenda PP Muhammadiyah. Mohon dimaklumi, di dompet saya ada kartu anggota Muhammadiyah. Sedang di dompet mommy yang hilang, ada kartu Aisyiyah.
***
Maka, di Senin pagi itu, kami –ayah dan mommy—bergegas Salat Idul Fitri. Rencananya, kami mau salat di halaman Giant, Jalan Jatiwaringin Raya, Pondokgede. Empat tahun lalu, tatkala Darrel masih dalam kandungan, kami salat Idul Fitri di Lapangan Parkir Timur, Senayan. Saya masih ingat, Muhammadiyah dan pemerintah tahun itu berbeda jadwal idul fitri-nya. Kami harus berjauh-jauh menempuh perjalanan ke Parkir Timur, untuk mencari tempat salat. Beruntung pula, khotibnya adalah Amien Rais.

Tahun itu, 2003, untuk kedua kalinya kami tidak mudik ke Yogya. Dokter melarang mommy naik pesawat terbang, karena lagi hamil muda. Kalau mau mudik pake mobil rasanya capek. Jadi, ya istirahat saja. Sebelumnya kami pernah tidak mudik pada 1997, ketika mommy harus operasi pengangkatan kista.

Pada tahun 2003, salat idul Adha juga berbeda jadwal –maafkan kalau saya lupa. Yang jelas kami salat di halaman toko grosir Giant, yang diselenggarakan oleh Pengurus Muhammadiyah Cabang Pondokgede. Jalan untuk menuju ke sana hari itu muacettt... Maklumlah, halaman sempit, sedang yang menuju ke Giant buanyakkk....
****
Tahun ini mommy tidak bisa ikut ke Yogya. Ia baru delapan bulan kerja di an-tv, sehingga belum boleh ambil jatah cuti.

Maka, keluarga Permata Timur mengirim dua jagoannya ke Yogya: Iwan dan Darrel. Si Iwan sebagai bapak, si Darrel sebagai anak. Wuah, pengalaman berlebaran hanya berdua sungguh mengesankan.

Kami naik Lion Air, jadwalnya terbang jam 13.40. Seperti biasa, Lion Air meminta penumpang datang dua jam sebelumnya. Kami diantar mommy dan Tante Agus.
Begitu ditinggal mommy, mulailah persoalan baru. Mengajak Darrel untuk antre check in saja susahnya minta ampun. Akhirnya hukum rimba berlaku. Lengannya saya pegang erat-erat. Ia tidak boleh pergi. Berontak-berontak lumayan keras, sampai akhirnya dia diam karena kecapekan.

Selesai check ini, kami menuju ruang tunggu. Anehnya, hingga jam 13.40, pengumuman boarding pesawat belum juga dikeluarkan.
Tak lama kemudian, barulah keluar cuap-cuap: karena masalah operasional di bandara Balikpapan, pesawat Lion Air kode JT558 menuju Yogya tertunda keberangkatannya.
Apa itu yang dimaksud dengan masalah operasional, saya tidak tahu. Yang jelas, Darrel makin rewel saja.

Diam lima menit saja, bagi Darrel sudah persoalan besar. Apalagi untuk menunggu dua jam. Dan itu pun molor hingga akhirnya empat jam. Lebih repot lagi, ini melewati jam makan siang. Perjuangan berat.

Ketika lagi menunggu, tiba-tiba datang serombongan keluarga yang dengan enaknya mengeluarkan makanan junkfood Kentucky Fried Chicken.
Begitu melihat itu, Darrel langsung teriak: ayah, aku mau makanan seperti ini....
****
Di Yogya, saya dan Darrel dijemput Pakde Joni dan Bude Yeni. Alhamdulillah. Karena capek dan lapar, saya dan Darrel langsung menuju rumah Tahunan, tempat tinggal pakde dan bude.

Hari kedua di Yogya, yaitu Selasa, diisi dengan silaturahmi ke Klaten. Pesertanya cukup banyak. Yangkung dan Yangti, pakde Joni dan bude, cita-bella-tifa (kok akhirannya ‘’a’’ semua ya??), dan keluarga dik Sigit.

Kami mampir dulu ke kediaman bu Warsito. Ini mertuanya Tante Atik, alias mamanya Om Ando. Rumahnya cukup luas, di Gedongkuning.

Bu Warsito kini sendirian. Pak Warsito telah wafat, kalau tidak salah Agustus lalu (semoga beliau dilapangkan jalannya oleh Allah SWT, dan keluarga yang ditinggalkan mendapat berkah kesabaran). Bu Warsito kondisinya juga kurang sehat. Ketika ditemui, beliau harus duduk di kursi roda.



Sekitar 30 menit kami di situ. Setelah itu, ke rumah Bu Zaidan, ini mertuanya Bude Yeni, alias ibunya Pakde Joni. Di situ juga sekitar 30 menit.

Setelah itu, kami meluncur ke Klaten.
****
Hari Kamis, saya dan Darrel melihat Taman Pintar. Ini merupakan kawasan wisata bagi anak-anak, yang dibangun di bekas toko buku Shopping Center Sasana Triguna, di seberang SMP 2 Yogya.

Tempatnya sebetulnya lumayan menarik. Ada jembatan gantung. Ada roda putar.
Tapi, di cuaca terik seperti itu, bermain di Taman Pintar pada jam 13 sungguh menyiksa.
(Insya Allah, soal Taman Pintar akan kami lanjutkan di cerita berikutnya).