Situs Iwan Qodar Himawan - Uni Lubis - Darrel Cetta. Iwan, terakhir bekerja di GATRA. Uni, wartawan, pernah di Warta Ekonomi, Panji Masyarakat, TV7, kini di Antv. Darrel, murid Embun Pagi Islamic International School, Jakarta Timur. Website of The Family of Iwan Qodar Himawan-Uni Lubis-Darrel Cetta. Iwan, journalist. Now running his own company. Uni, journalist, now working for Antv, Jakarta based private TV Station. We live in Permata Timur, Jaticempaka, Pondokgede, Indonesia.
Search This Blog
Tuesday, November 29, 2005
Ulang Tahun Mommy
TANPA disadari, usia terus merambat naik. Hari ini mommy-nya Mohamad Darrel ‘’Dayen’’ Cetta Askara, genap berusia 38 tahun. Zulfiani Lubis, ini nama lengkap mommy-nya Dayen, lahir di Jakarta, tatkala opung dan eyang masih hidup serba sederhana. Tinggalnya di rumah kontrakan. Setelah itu, opung menjadi hakim. Perjalanan hidup mommy pun mengikuti kepindahan tugas opung.
Mommy Uni pernah bersekolah di Bangil, Jawa Timur. Ia pernah sekolah di Sumbawa. Ijazah SMA-nya dari Tangerang, karena opung menjadi hakim di kota itu. Tapi, tatkala opung bertugas di Yogyakarta, mommy tidak pindah sekolah ke sana. Ia diterima sekolah di Institut Pertanian Bogor, Jurusan Sosial Ekonomi. Bahwa kemudian mommy menjadi wartawan, itu memang perjalanan hidup.
Selasa pagi, pas di ulang tahunnya, biasanya mommy berangkat siang, sekitar jam 10. Jadwal rutinnya, ia mengantar Dayen bersekolah dulu, jam 9-10. Setelah itu baru berangkat. Tumben, hari ini pagi-pagi ia sudah pake baju rapi. Jam 06.30 Rejo Mulyono, sopirnya, sudah datang. Ketika saya dan Darrel sedang main bola di belakang, tiba-tiba mommy menghampiri. Sudah wangi. ‘’Pamit dulu ya…’’
Tapi pamitnya tertunda, karena mommy harus menemani ayah dan Darrel sarapan lebih dulu.
‘’Ada rapat GM. Harusnya Kamis kemarin, tapi diundur,’’ katanya. GM itu General Manager. Rapat GM artinya rapat pimpinan di TV7, kantor televisi tempat mommy menjadi wakil pemimpin redaksi.
Usia 38 tahun, yang digapai Mommy pada hari ini, adalah umur yang harus disyukuri. Sebelas tahun lalu, sewaktu mommy dan ayah mulai menjadi suami istri, mommy bekerja di Warta Ekonomi, sebuah majalah mingguan ekonomi. Setelah itu perjalanan panjang ia lalui. Ia bersama kawan-kawannya menghidupkan Majalah Panji Masyarakat, yang tutup lagi empat tahun kemudian. Ia kini di TV7, dengan beberapa kegiatan ekstra. Mommy adalah anggota Dewan Pers. Ia juga Ketua Harian Asosiasi Televisi Siaran Indonesia.
Tony Blair, di usia ke-42, adalah seorang ketua Partai Buruh di Inggris. Dua tahun kemudian ia menjadi menteri. Di usia yang sama, Bung Karno menjadi presiden, pada 1945. Bill Clinton menjadi presiden di usia 47. Memang, banyak orang yang mencapai posisi hebat di usia 40an. Tapi jauh lebih banyak yang belum mendapat apa-apa.
Di sinilah, mommy, demikian pula saya, harus bersyukur. Paling tidak, penghasilan kami sudah jauh melampaui gaji minimum. Kami juga bisa tidur dengan nyaman, di kamar sendiri, dengan privasi yang terjaga. Tiap hari kami bisa pergi dengan kendaraan sendiri.
*****
Kesehatan adalah sesuatu yang menjadi perhatian kami, tatkala usia sudah berkepala empat. Saya sudah melewati angka 40, Januari lalu. Mommy, insya Allah, dua tahun lagi. Masalah kesehatan menjadi tema penting yang akhir-akhir ini kami bicarakan.
Ongkos berobat memang makin mahal. Sekadar untuk pemeriksaan rutin di Rumah Sakit MMC, ongkosnya bisa mencapai Rp 200-an ribu. Seperempat upah minimum pegawai di Jakarta. Ongkos perawatan di rumah sakit, mahalnya minta ampun. Dua tahun lalu, tatkala Darrel masuk rumah sakit, ongkosnya mencapai Rp 3,5 juta, untuk tiga hari perawatan. Sakitnya apa? Ternyata flu…
Darrel, di usia ke-3 Juni tahun depan, masih dalam proses pengenalan. Ia tengah belajar memfungsikan anggota tubuhnya dengan baik. Ia berlatih berjalan, melompat, belari. Organ-organ tubuhnya masih berkembang menuju kematangan. Dalam proses berkembang itu, energiknya luar biasa. Salah-salah, Anda bisa dipukul.
Sayangnya perkembangan manusia tak bisa berlangsung terus-menerus. Setelah mencapai usia tertentu, ‘’proses menjadi’’ itu berakhir. Berikutnya yang terjadi adalah proses kemunduran. Tinggal pintar-pintarnya kita memelihara diri.
Jumat malam lalu, dalam perjalanan pulang saya mendengarkan sebuah radio. Temanya adalah konsultasi kesehatan: Menjaga Prostat Agar Sehat. Tahukah Anda, bahwa setelah usia 35 tahun, prostat laki-laki mengalami kemunduran? Bila tak hati-hati menjaga pola makan, misalnya dengan banyak menelan santapan berlemak, bisa-bisa prostat kita membengkak tak karu-karuan.
Kemarin pagi, sebelum berangkat ke kantor, mommy menyimak sekali lagi tawaran untuk mengikuti program asuransi kesehatan. Untuk yang usianya di atas 38, preminya ternyata Rp 100.000 lebih mahal ketimbang yang usia di bawahnya, di paket program yang sama. ‘’Mahal je,’’ kata mommy.
Semoga Tuhan memberi mommy, Darrel, dan ayah, kesehatan. Demikian pula untuk teman-teman serta kerabat yang membaca tulisan ini, dikaruniai Allah kesalehan serta rejeki yang halal. Amien.
Bila kita melihat usia harapan hidup rakyat Indonesia, kita yang di hari ini ada di usia 40-an, masih punya peluang cukup panjang untuk bertambah umur. Harapan hidup rakyat Indonesia sudah menembus angka 60 tahun. Tertinggi: Yogya –lebih tepatnya Gunungkidul, 67 tahun. Tapi bisakah kita mencapai usia sepanjang itu? Kata Ustadz Muhammad Ikhsan –ini adiknya Mukhson: kematian, demikian pula rejeki dan jodoh, hanya Allah SWT yang mengetahui. Dan yang perlu kita renungkan, bagaimanakah kualitas hidup kita dengan umur yang diberikan oleh Allah swt?
******
Usia berjalan seiring bertambahnya waktu. Menjadi pertanyaan yang belum pernah terjawab tuntas: siapakah sesungguhnya Sang Kala? Di manakah titik nolnya? Mungkinkah kita berjalan mundur, menelusuri kembali waktu yang telah kita tempuh selama puluhan tahun?
Di pelajaran sekolah, kita dikenalkan pada Teori Albert Einstein, yang disebut relativitas khusus. Teori ini mengungkapkan bahwa bagi seorang pengamat yang diam secara relatif, waktu kelihatannya berjalan lebih lambat bagi sebuah obyek yang bergerak dengan lebih cepat.
Manusia nyatanya selalu berjalan dalam waktu; dalam cara segaris, dari waktu sekarang ke masa depan per satuan waktu sampai kematiannya. Beberapa teori, yang paling terkenal adalah relativitas khusus dan umum, menyarankan bahwa geometri yang tepat dari ruang-waktu, atau beberapa jenis gerakan dalam ruang, dapat memungkinkan kita berjalan ke masa lampau dan masa depat bila geometri atau gerakan ini memungkinkan.
Dalam bahasa gampang, kita mengenal sinetron ‘’Lorong Waktu’’, yang disutradarai Deddy Mizwar. Di film asing ada ‘’Time Tunnel’’. Intinya: manusia bisa kembali ke masa lalu, atau sebaliknya bisa melompat ke masa depan.
Alangkah eloknya bila kita bisa melihat masa depan. Nabi Muhammad tahu saat kematiannya sudah dekat, karena mendapat isyarat dari Allah. Dalam kisah di keraton Surakarta, ada cerita tentang Ranggawarsito, pujangga kelahiran 1802, yang di Serat Serat Sabdajati meramalkan kematiannya. Makamnya hingga kini dikeramatkan.
*****
''Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam posisi merugi. Kecuali mereka yang beriman,
dan saling mengingatkan tentang kebenaran dan kesabaran.'' Itu kira-kira pelajaran dari guru agama kita, yang menerjemahkan surat Al ‘Ashr.
Saling mengingatkan, dalam istilah gagah sekarang adalah ''check & balances''. Bahasa lainnya adalah tabayyun: konfirmasi. Kalau ada sesuatu, jangan langsung dipercaya, tapi silakan cek dulu.
Setiap kali pergantian tahun, demikian pula setiap kali bertambah usia, surat Al ‘Ahsr ini pantas kita ingat. Karena kita tidak tahu, apakah kita masih ada di titik tengah, atau sudah di ujung. Ujung dari sebuah perjalanan usia.
****
Tentu, saya, juga Darrel, berharap mommy dilimpahi rejeki halal, dalam jumlah cukup. Dengan rejeki yang cukup itu, Darrel bisa disekolahkan ke tempat pendidikan yang bagus. Syukur bisa ke luar negeri. Kalau ada masalah yang mengharuskan kami merogoh duit, baik itu saya, mommy, maupun keluarga, kami tak perlu ngutang ke sana ke mari. Selain itu, sejak beberapa tahun terakhir ini ada tiga orang yang bekerja di rumah kami. Seorang sopir, seorang yang menjaga Darrel, dan seorang yang memasak. Mereka tentu juga berharap memiliki rumah, kendaraan, dan lainnya.
Semoga mommy diberi kesehatan. Kesalehan. Berkah. Kelapangan karier dan rejeki. Semoga Darrel diberi mendapat capaian yang jauh melewati mommy-nya.
IQH
Saturday, November 26, 2005
Lobster Memang Enak
LOBSTER bukan makanan murah. Di Pangandaran, Cilacap, Gunugkidul, atau perairan Bali, kehadirannya hanya sesekali. Sekarang ini tatkala nelayan tengah dirundung persoalan BBM, mereka mendapat masalah lain lagi: mencari lobster susahnya minta ampun.
Penyebabnya, terjadi penangkapan melebihi kapasitas. Dalam bahasa resmi pemerintah, terjadi overfishing, alias penangkapannya melebihi kapasitas lestari. Penangkapan lobster semena-mena menyebabkan satwa
laut itu kini terancam punah. Padahal pembudidayaan jenis yang jadi
komoditas ekspor itu belum dilakukan.
Kawan saya, Susi Pudjiastuti, pengusaha lobster dari Pangandaran, mengeluhkan soal itu. ‘’Nelayan sini serakah. Udang kecil-kecil ditangkapi. Padahal kalau mereka mau menunggu sebentar saja, lobsternya akan jadi mahal,’’ katanya. Lobster kecil, seukuran jari paling harganya Rp 20.000. Kalau mau menunggu tiga bulan, harganya bengkak menjadi Rp 100.000.
Keluhan Susi itu mirip dengan ucapan kolega saya lainnya, Pak Sarwono Kusumaatmadja, sewaktu masih menjadi menteri kelautan. Sewaktu mengunjungi para nelayan di Cirebon, pada 1999, Pak Sarwono, yang kini adalah petinggi di Dewan Perwakilan Daerah, menekankan pentingnya pengendalian penangkapan udang laut besar alias lobster. Misalnya dengan mengeluarkan peraturan bahwa lobster bertelur dan yang ukurannya kurang dari sekian sentimeter dilarang ditangkap.
Tapi, kalau peraturan itu dikeluarkan, muncul pertanyaan berikutnya: emangnya siapa yang bakal mengawasi?
************
Aneh juga, Indonesia, yang perairannya melimpah ruah ini, sampai kesulitan mengembangbiakkan lobster. Tapi ini mungkin salah satu ciri negara yang kelebihan sumber daya. Pernah baca kan, tulisan Joseph Stiglitz? Sekadar mengingatkan, Stiglitz adalah mantan guru besar ekonomi Universitas Harvard. Ia kini Direktur Program Earth Institute, Columbia University.
Stiglitz mengingatkan, di negara yang kaya raya sumber dayanya, warganya cenderung tidak kreatif. Lihatlah negara-negara Arab, yang kaya sumber daya minyak. Ternyata pertumbuhan ekonominya jeblok. Industrinya juga tidak maju-maju juga.
Untunglah –kalau dibilang untung ya—budidaya lobster di air darat mulai digalakkan. Di Yogya, tepatnya di Dusun Sempu, Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, budidaya itu tengah dicoba. Para petani pemilik lahan diminta membiakkan lobster.
Budidaya untuk pembesaran lobster air tawar bisa menggunakan dua
cara. Pertama, metode Extreme Density Unit (EDU) yang mengejar
kepadatan individu per meter persegi. Metode EDU biasanya digunakan
oleh petani LAT di Australia karena keterbatasan lahan. Dalam petak
satu meter persegi, kepadatan LAT bisa mencapai 800 ekor.
Kedua, metode bak atau kolam terbuka yang dibuat permanen atau
semipermanen. Dinding kolam harus disemen supaya LAT tidak keluar
kolam. Kepadatan bak terbuka, ujar Hari, berkisar antara 20-25 ekor
per meter persegi. Metode ini cocok untuk petani ikan di Sleman yang
ingin membudidayakan LAT.
Sayangnya, saat ini masyarakat belum banyak yang mengetahui
budidaya LAT untuk konsumsi. Beberapa petani yang membudidayakan lobster darat masih dalam tahap penjajakan. Skala budidaya juga masih kecil, berkisar antara 500-1.000 ekor per orang. Mereka tersebar di daerah Medari, Berbah, dan Kalasan.
*********
‘’Enak lo, maem lobster,’’ kata Mommy. Dagingnya mantap. Bumbunya bikin ketagihan.
Mommy memasak lobster dengan bumbu sederhana. Kecap, bawang merah, dan cabe rawit. Bawang dan cabe itu diiris, diberi kecap, kemudian ditambah peresan jeruk nipis. Rasane: uenak tenan. Lobster yang sudah direbus kemudian dicelupkan ke kuah kecap itu.
Bagi yang belum terbiasa mengonsumsi lobster, mungkin agak kesulitan sewaktu mengupasnya. Kulitnya memang keras. Bisa-bisa jari kita keiris kulit yang keras.
Saya semula mengalami kesulitan serupa. Tapi sewaktu ketemu Susi Pudjiastuti sekitar enam bulan lalu, ia mengajari saya teknik sederhana: pegang kepala lobster, tangan kita satunya memegang badannya. Setelah itu kepala lobster diputar. Klok!!! Lobster gampang dikupas.
Tapi jangan terlalu sering masak lobster di rumah. Bikin ketagihan? Bukan. ‘’Harganya itu lo. Nggak tahan….’’
Friday, November 25, 2005
Duit dari Kelinci
Tak ada yang tahu sejak kapan kelinci mulai diternakkan. Konon, di Afrika beberapa abad yang lalu disebut sebagai yang pertama kali dimulainya pemanfaatan kelinci sebagai hewan peliharaan. Kemudian terus berkembang ke kawasan Mediterania sekitar 1.000 tahun yang lalu. Dari hasil peternakan di Mediterania itulah kelinci kemudian mulai menyebar ke daratan Eropa. Kemudian setelah bangsa Eropa memutuskan bermigrasi ke berbagai benua baru yang ditemukan, maka hewan kelinci turut menyebar ke berbagai pelosok dunia. Termasuk di dalamnya penyebaran ke Benua Amerika, Australia dan Asia.
Di Indonesia sendiri khususnya di Jawa, kelinci konon dibawa oleh orang-orang Belanda sebagai ternak hias mulai sekitar tahun 1835. Keberadaan kelinci di Indonesia sempat tidak jelas sejak kedatangan Jepang tahun 1942. Kemudian berlanjut dengan zaman revolusi kemerdekaan sampai tahun 1950-an. Catatan yang ada hanya menjelaskan tentang keberadaan kelinci yang tidak punah pada zaman itu karena ternyata banyak dikembangbiakkan oleh para peternak di daerah pegunungan yang relatif aman dari pertempuran.
Selanjutnya baru pada tahun 1980-an pemeliharaan kelinci sebagai sumber daging mulai digalakkan pemerintah dengan tujuan pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Namun pola pengembangan tersebut tidaklah berjalan mulus. Hal tersebut terjadi karena hanya sebagian kecil peternak kelinci yang bertujuan untuk berdagang dan sisanya hanya untuk kesenangan saja.
Sebenarnya kelinci-kelinci sendiri terdiri dari berbagai macam ras dan jenisnya. Ada ras Alaska yang berasal dari Jerman. Kemudian ras Angora yang sebenarnya berasal-usul kurang jelas. Menurut ceritanya, ras Angora ini pertama kali ditemukan oleh pelaut Inggris yang kemudian membawanya ke wilayah Prancis sekitar tahun 1723.
Jenis ras yang lain adalah American Chincilla yang kemudian dibedakan lagi atas tiga tipe, yaitu tipe standar, besar dan giant alias raksasa. Khusus untuk yang bertipe giant ini bila dewasa bisa berbobot mencapai 6-7 kg.
Sedangkan jenis ras Champagne d’ Argent, yang asli berasal dari Prancis, mempunyai ciri-ciri bulunya berwarna putih perak. Atau jenis ras yang lain seperti Carolina yang merupakan persilangan antara kelinci spesies New Zealand white dan New Zealand red. Ras Caroline ini sangat terkenal di Eropa sebagai kelinci penghasil daging.
Ada lagi jenis ras Dutch yang terkenal di seluruh dunia sebagai jenis kelinci peliharaan. Warna bulunya khas, kerena mempunyai bulu melingkar seperti pelana berwarna putih dari pinggang terus ke leher sampai ke kaki bagian depan. Sebenarnya banyak lagi jenis ras kelinci yang lain, seperti ras Himalayan, Flemish giant, Havana, Lop yang berciri khas mempunyai kuping yang terkulai ke bawah, Polish, Rex, Satin, Silver, Simonoire, Siamese Sable dan banyak lagi yang lain lengkap dengan ciri khas masing-masing.
Di Indonesia sendiri sebenarnya ada jenis kelinci lokal tersendiri. Tapi dimungkinkan jenis kelinci lokal yang ada di Indonesia adalah jenis kelinci berketurunan ras Dutch. Ras ini dikenal sebagai ras asli dari Negeri Belanda, jadi mungkin saja dahulu orang-orang Belanda yang bermigrasi ke Indonesia sempat membawa kelinci ini dari kampung halamannya dan mengembangbiakkannya di sini.
Ras kelinci Dutch ini punya ciri bentuk tubuh yang kerdil, sehingga lazim disebut kelinci mini, merupakan kelinci terkecil di dunia. Biasanya jenis ini dipelihara hanya untuk hiasan dan cocok untuk mainan anak-anak. Dengan bentuk tubuh pendek, kepala agak bulat, bentuk telinga tegak dan mempunyai panjang hanya sekitar lima sentimeter. Biasanya kelinci ini berbulu sangat bagus dan berwarna putih. Sedangkan ciri lainnya mempunyai mata berwarna merah.
Memilih dan Memelihara
Sebelum memutuskan untuk memelihara kelinci, ada baiknya kita mengetahui dahulu bagaimana kiat-kiat memilih kelinci yang baik. Bagaimana cara membuat dan mengurus kandang serta bagaimana cara memilih makanannya.
Memilih bibit kelinci yang baik sebenarnya tidaklah terlalu sulit. Biasanya kelinci yang sehat memiliki sifat yang lincah dan aktif, gerakannya energik dan memiliki nafsu makan yang tinggi. Secara umum biasanya bibit kelinci yang baik memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut; pertama memiliki kepala yang sesuai dengan ukuran badan.
Kelinci yang baik bila bertubuh panjang membutuhkan tipe kepala yang panjang pula.
Kelinci berbadan besar dan lebar membutuhkan kepala yang besar juga dan begitu pula jenis kelinci bertubuh kecil yang baik adalah yang memiliki jenis kepala kecil juga.
Tipe kepala yang seimbang dan kompak sangat sesuai untuk hampir semua tipe ras kelinci, seperti Dutch, Havana, Standard Chincilla, Lilac dan ras kelinci lainnya.
Kelinci yang sehat juga biasanya bermata bulat bercahaya, selaput matanya bersih, mempunyai pandangan yang cerah dan jernih. Bila pandangan matanya layu dan kurang jernih, itu menandakan kelinci tersebut sedang sakit atau kurang baik kondisi fisiknya.
Lihat juga bagian hidung, moncong dan mulutnya apakah dalam keadaan bersih. Kelinci yang hidungnya basah dan lembab kemungkinan terserang pilek.
Selain bentukan kepala dan wajah bibit kelinci yang baik juga haruslah berkaki normal. Cirinya kuat, kokoh dan berkuku pendek. Lebih baik bila kakinya tidak bengkok atau cacat. Kaki yang cacat berbentuk seperi huruf O atau X, sedangkan kaki yang baik cirinya lurus dan sempurna.
Ciri lainnya adalah berbadan bulat, berdada lebar, padat dan singset. Kondisi seperti ini menunjukkan keadaan fisik yang prima dan bertenaga kuat. Bentuk badan yang kuat juga mencerminkan jumlah daging yang banyak. Sedangkan tambahan referensi lain tentang kelinci yang sehat adalah biasanya berkulit licin dan tidak berasa benjol-benjol bila diraba. Berbulu bersih, licin, halus, mengkilat dan rata.
Berdubur bersih, kering dan tidak terdapat tanda-tanda kotoran bekas mencret.
Juga lihat ekornya. Bila terlihat ekornya kecil, tumbuh lurus ke atas dan tampak menempel ke punggung serta bentuknya tidak miring atau rebah ke samping/terpuntir berarti memang benar kelinci itu bagus adanya. Dan sebaliknya bila ekor tidak lurus ke atas berarti kelinci tersebut cacat.
Cara Mengangkat
Dalam memelihara kelinci perhatikan juga cara mengangkatnya. Hal ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Perlakuan yang salah bisa menimbulkan hal-hal yang merugikan seperti cacat permanen dan rusaknya peredaran darah. Kebanyakan orang mengangkat kelinci dengan memegang kedua telinganya.
Memang cara ini paling mudah tapi sebenarnya keliru adanya. Telinga kelinci sangat sensitif dan tidak kuat menahan bobot tubuhnya sendiri. Kalau cara ini dilakukan, otot dan saraf telinga akan rusak. Kerusakan akan lebih parah lagi kalau kelinci yang diangkat meronta-ronta. Posisi kepala akan menjadi miring sehingga kelinci akan cacat seumur hidupnya.
Untuk mengangkat kelinci besar, pegang kulit tengkuk atau punggung dengan salah satu tangan. Begitu terangkat, tangan yang satu digunakan untuk mendukung bagian pantat. Kerjakan pengangkatan itu dengan tenang dan penuh kasih sayang. Sedangkan untuk kelinci yang masih kecil proses pengangkatan dapat dimulai dengan memegang bagian sebelah depan kaki belakang melalui punggung, dan proses selanjutnya sama dengan kelinci dewasa.
Sedangkan masalah kandang untuk kelinci tidaklah terlalu sulit dicari. Sebab kelinci mudah sekali beradaptasi terhadap berbagai bentuk kandang yang disediakan, asalkan kondisinya memenuhi persyaratan kesehatan dan kebutuhan hidup kelinci tersebut.
Apa pun bentuk dan ukuran kandang, asalkan berlokasi baik yang ditandai dengan cukupnya sinar matahari yang masuk menjadi hal pertama yang harus diperhatikan. Hal lainya adalah bersuhu sejuk, memiliki ventilasi sempurna, tempatnya kering, lingkungan tenang dan tak jauh dari rumah.
Lantai kandang dapat dibuat dari kawat, bambu dan kayu atau tanah. Bila memilih lantai dari kawat, ada sebagian yang terbuat dari lembaran papan. Lantai kawat sangat melelahkan otot-otot kaki kelinci. Karena itu, adanya lembaran papan dapat digunakan kelinci untuk beristirahat.
Kandang yang baik haruslah juga memenuhi kebutuhan sarana berupa kotak sangkar, tempat makanan, tempat minum dan perlengkapan lain. Kandang bisa saja di dalam ruangan atau di luar ruangan, terserah kemauan pemiliknya dan tujuan pemeliharannya.
Pangan
Kelinci yang hidup di alam bebas tidak terlalu sulit untuk mengurusi makannya. Selama di tanah masih ada hijauan dan bisa ditumbuhi rumput, biji-bijian dan umbi-umbian, kelinci masih dapat hidup. Sedangkan kelinci yang diternakkan hidupnya terbatas di sekeliling kandang saja. Kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh perhatian dan perawatan peternaknya. Jenis, jumlah dan mutu makanan yang diberikan sangat menentukan pertumbuhan, kesehatan dan perkembangbiakannya.
Makanan kelinci yang baik adalah yang terdiri dari sayuran hijau, jerami, biji-bijian, umbi dan konsentrat. Makanan hijau yang diberikan antara lain semacam rumput lapangan, limbah sayuran seperti kangkung dan wortel, daun pepaya, daun talas dan lain-lain. Sayuran hijau yang akan diberikan pada kelinci ini kalau bisa telah dilayukan dan jangan dalam keadaan segar. Proses pelayuan selain untuk mempertinggi kadar serat kasar, juga untuk menghilangkan getah atau racun yang dapat menimbulkan kejang-kejang atau mencret.
Bentuk makanan lain bisa juga berupa jerami atau rumput awetan yang dipotong menjelang berbunga. Rumput ini dikeringkan secara bertahap sehingga kandungan gizinya tak rusak. Bisa juga berbentuk biji-bijian yang berfungsi sebagai makanan penguat. Sedangkan untuk makanan jenis umbi-umbian seperti ubi jalar, singkong dan lainnya dapat diberikan kepada kelinci sebagai makanan tambahan.
Konsentrat juga diperlukan dalam tambahan makanan kelinci. Berfungsi untuk meningkatkan nilai gizi yang diberikan dan mempermudah penyediaan makanan. Konsentrat sebagai ransum diberikan sebagai makanan tambahan penguat, kalau makanan pokoknya sayuran hijau. Konsentrat untuk makanan kelinci dapat berupa pellet (makanan buatan dari pabrik), bekatul, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, ampas tahu atau gaplek.
Potensi Kelinci
Potensi kelinci sebenarnya masih sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Bukan hanya sebagai penghasil daging, melainkan juga sebagai penghasil bulu, fur (kulit dan bulu) atau sebagai ternak hias.
Menurut informasi dari BLPP Ciawi, Bogor, pasar komoditas kulit bulu kelinci semakin meningkat. Peningkatan terjadi karena santernya kritik yang dilontarkan para pecinta alam dan lingkungan seperti Green Peace terhadap perburuan dan pembantaian satwa liar.
Sebelumnya, bulu untuk pembuatan jaket dan aksesorinya di negara-negara beriklim dingin umumnya menggunakan kulit beruang hasil buruan. Dengan santernya kritik tersebut para produsen jaket kulit lantas berusaha melirik bahan baku lain. Dan kelinci dianggap sebagai salah satu ternak yang bisa menggantikan kebutuhan bulu untuk jaket.
Ada baiknya tujuan pemeliharaan kelinci digunakan untuk diambil kulit bulunya dan bukan dagingnya. Beternak kelinci Rex atau Angora bisa mengahasilkan daging seberat 1,5 kg/ekor. Harga daging kelinci bisa mencapai US$ 1 hingga US$ 1,5 per kilogramnya di AS. Tapi nilai daging tersebut sangat kecil dibandingkan harga kulit kelinci yang bisa laku sampai US$ 8 - 15 perlembar. Setelah disamak harga kulit bulu kelinci bisa mencapai US$ 18 perlembarnya.
Kulit bulu kelinci bisa dipakai sebagai bahan pakaian berbulu, jaket, selendang, tas, dompet, boneka. Satu mantel eksklusif terbuat dari 20-30 lembar kulit kelinci harganya bisa mencapai US$ 3.000. Pasar kulit bulu ini mencakup daratan Eropa, Rusia, Amerika dan Asia Utara. Produsen kulit bulu kelinci antara lain Hong Kong, Taiwan, Jepang dan Korea Selatan.
Tapi kenyataan yang ada sekarang, potensi tersebut belumlah didayagunakan secara maksimal. Banyak peminat pemelihara kelinci hanya memanfaatkan kelinci sebagai bahan penghibur saja. Padahal bila mau diseriuskan bukan tidak mungkin bisa menjadi sumber penghasilan juga adanya.
(Sulung Prasetyo S.)
Copyright © Sinar Harapan 2002
Bani Makan Wortel
BANI belum punya teman. Sejak kawannya, si putih Bono mati, belum satu pun konconya didatangkan. Maka, Bani pun memonopoli halaman belakang yang luasnya 200 meter persegi itu. Minah serta Mur mengeluh. ''Tanaman cabe, semangka, dan daun pandan habis semuanya dilahap Bani,'' katanya.
Di kalangan petani Jawa Tengah, kelinci disebut sebagai truwelu. Ia masuk kelompok hama. Ganasnya memang minta ampun. Tumbuhan yang ditanam dengan susah payah disikat. Dengan sekali melahirkan sampai tiga ekor lebih, kehadiran kelinci pun menjadi musibah yang nggegirisi. Mirip dengan kanguru di Australia, si lucu namun karena cepat beranak jadi menyebalkan. Kalau mau memelihara truwelu, jangan sama sekali membayangkan Bobo: si kelinci yang pintar, lucu, dan baik hati.
Maka, rencana menghadirkan si Bani pun menjadi pro-kontra (dibuat istilah begini, biar terkesan seperti DPR yang penuh konflik). Mbak Mur dan Mbak Minah termasuk kelompok anti. Mommy inginnya Bani segera diberi teman. Ada catatannya: dibuatkan kandang lebih dulu. Dayen? Hehe... ia mah nurut. Saya? Melihat pohon cabe habis, ya jengkel...
Sejak awal, Bani memang tidak diniatkan untuk menjadi Bobo. Mommy bilang, ia ingin sejak awal Darrel bisa berkenalan dengan binatang. Sehingga ia tidak jadi penakut. Hasilnya ada lo.
Mula-mula, Darrel sangat grogi untuk ketemu Bani. Bukan hanya untuk menyentuh. Untuk berdekatan pun ia ngeri. Kini, ia sudah berani mengelus. Memberi wortel juga ok. Bahkan, Bani kini bisa menjadi pembujuk. Kalau Darrel susah bangun, atau ngotot tidak mau mandi, ia bisa diberi iming-iming: ditunggu Bani di belakang.
***
Thursday, November 24, 2005
Bikers Jalanan Jakarta
‘’JAKARTA berubah menjadi kota motor’’. Ini judul tulisan di Kompas, edisi Rabu 23 November 2005. Saya kutipkan di sini alinea pertama tulisan itu: ‘’Pada pagi hari, puluhan ribu sepeda motor membanjiri wilayah DKI Jakarta. Mereka datang dari Tangerang, Depok, Bogor, dan Bekasi. Pada jam-jam sibuk pagi dan sore hari, Jakarta memang kebanjiran sepeda motor. Jalan-jalan di Jakarta saat ini disesaki si kuda besi itu.’’
Wartawan Kompas itu melaporkan, arus sepeda motor yang berangkat dari kota satelit, seperti Tangerang, Bekasi, Depok, dan Bogor mengalami peningkatan. Dari Tangerang, misalnya, arus sepeda motor terbagi tiga jalur masuk, yaitu jalur
utara (Daan Mogot), jalur tengah (Ciledug), dan jalur Selatan
(Ciputat dan Pamulang).
Artikel di atas merupakan berita yang kesekian kalinya, yang ditulis Kompas mengenai gangguan oleh para pemotor. Pada Mei, harian yang sama menulis "BIKERS" DAN KERUWETAN JAKARTA’’. Motor, yang berliku-liku jalannya, menyelip di antara bajaj, bus, dan sedan, membanjiri jalanan Jakarta. Aksi mereka disebut mirip stuntman, pemeran pengganti di film-film. Dengan kecepatan yang dipacu hingga pol, para pengendara meliuk-liuk mirip pemeran tong setan di arena sekaten. Wah…
***
Naik motor memang lebih menjamin ketepatan waktu. Namun juga ada risikonya: kecelakaan. Belum lagi jika kita memikirkan tingkat keselamatan para
pengendara itu sendiri. Berdasarkan data Kepolisian Negara RI (Polri)
tahun 2003 dari 13.399 kecelakaan, sebanyak 9.386 kasus dialami oleh
pengendara sepeda motor.
Dengan lalu lintas Jakarta yang luar biasa macet, yang membuat perjalanan senantiasa tersendat, motor memang pantas dilirik. Ongkosnya murah. Kawan saya, Taufik Alwie, yang rumahnya di Cibubur, sekitar 23 kilometer dari kantor, sekarang banyak memarkir mobilnya. ‘’Dengan motor, saya Cuma butuh Rp 5.000, bolak-balik. Kalo pake mobil, bisa Rp 50.000,’’ katanya.
Taufik memilih Yamaha Mio. Harganya Rp 10 juta lebih. Dengan pinjaman dari koperasi, plus dari tabungan, motor itu ia beli tunai.
Pekan lalu Taufik mencoba naik taksi ke Jalan Wahid Hasyim. Eh, ia mengeluh: naik taksi mahalnya minta ampun. Memang sih. Ke Wahid Hasyim, yang jaraknya kurang dari 10 Kilometer, ongkosnya Rp 50.000 lebih. Bolak-balik, sudah bisa untuk membeli susunya Darrel 1 Kilogram…
****
Saya termasuk pengendara motor, sejak awal 2004. Motornya Suzuki Thunder 250 CC. Motor itu dibeli Mommy dari kantornya, yang mendapat barter iklan dari Indomobil. Harganya Rp 19 juta, boleh dicicil tanpa bunga selama 18 bulan. Murah kan?
Senin sampai Kamis, saya biasanya naik motor. Mobil ditinggal di rumah. Karena biasanya ada acara di luar. Jumat-nya saya naik mobil. Dengan naik motor, mobilitas saya lebih terjamin. Tak perlu mikir urusan parkir, atau kemacetan di jalan. Motor bisa menyalip ke sana ke mari.
Sayangnya, tak semua gedung menyediakan tempat parkir yang layak. Di Hotel Intercontinental, misalnya, saya tak dipercaya ketika ditanya Satpam bahwa saya mau makan. Saya harus parkir di gedung belakang hotel. Selain itu, saya diberi kartu nama ''Supplyer''. Padahal saya betul-betul mau makan siang lo, di Intercontinental.
Di Setiabudi Building, tempat parkir motor ditutup. Lokasinya dipakai untuk gedung baru. Kalau datang ke situ, motor harus dikandangkan di Rumah Sakit Mata Aini, atau di Matari Advertising, sekitar 700 meter. Enam bulan lalu, sehabis makan di Setiabudi, saya harus berhujan-hujan untuk mengambil motor. Walah...
Hotel Hilton juga tak menyediakan tempat nyaman untuk pemotor. Semula harus parkir di Parkir Timur, Senayan. Berarti untuk menuju hotel harus berjalan sampai 800-an meter. Panas. Berdebu. Kadang hujan. Tempat parkir itu kini lagi ditutup. Tempat parkir dipindah ke halaman yang mepet Jalan Gatot Subroto. Lebih dekat, tapi tetap saja jauh...
*****************
‘’Ati-ati lo, jangan ngebut,’’ kata Mommy.
Kalimat itu penting. Sebetulnya yang dimaksud tak hanya ‘’jangan ngebut’’. Tapi juga ‘’berhati-hati’’ lah. Naik motor, demikian pula naik mobil, kadang-kadang membutuhkan nasib baik. Datangnya sial tak pernah bisa diduga. Kalau tiba-tiba kita ketemu motor atau kendaraan yang dipacu sopir geblek, repotlah kita. Mobil saya yang dulu, Starlet, pernah ketabrak truk. KIA Carens yang sekarang masih jadi andalan, pernah disundul metromini dari belakang. Babak bundas.
********************
Darrel sangat suka naik motor. Pagi-pagi, menjelang saya berangkat ke kantor, ia sering minta diajak keliling kompleks. Kalau ke rumah eyang dan opung, ia juga saya antar pake motor. Tapi, kalau sudah malam hari, saya tak berani mengajaknya naik motor. Saya takut udara malam membuatnya sakit.
Usia balita memang masih rawan pada berbagai penyakit. Untuk menjaganya, mommy membelikan Darrel jaket yang bagus. Mahal lagi. Lebih bagus dan lebih mahal dari jaket punya ayahnya.
Darrel juga punya helm. Pelindung kepala itu dibeli dari Eko Suparman, pegawai administrasi di GATRA yang punya usaha jual beli suku cadang motor di rumahnya. Namun, itu lebih pas disebut sebagai helm-helm-an. Helm palsu. Soalnya plastiknya sangat tipis. Busa peredamnya juga sekadar spon. Tak ada fungsinya untuk melindungi.
Sewaktu di Yogya, untuk lebaran lalu, Darrel mencoba helm anak, kepunyaan mbak Naila. Warnanya oranye. Sejak itu, Darrel juga saya biasakan menggunakan helm sesungguhnya, punya Mommy. Warnanya hitam. Karena Mommy kurang begitu suka naik motor, helm itu juga nyaris tak pernah dipakai. Masih baru. Dipakai Darrel ternyata cukup pas. Cuma sedikit lebih longgar.
Untuk jarak jauh, saya tak berani mengajak Darrel naik motor. Jarak terjauh yang pernah ditempuhnya adalah sewaktu di Yogya, lebaran lalu. Dengan motor bebek, saya dan Mommy memboncengkan Darrel di depan. Wah, betul-betul orang mudik.
******
Kalau disuruh memilih, ya saya lebih suka naik mobil, sebetulnya. Hawanya adem. Bisa mendengarkan musik. Kalau ada telpon, bisa menerima --walau dengan perangkat bebas tangan.
Bila angkutan massal perkotaan yang nyaman sudah tersedia, saya lebih suka naik angkutan massal. Saya tidak perlu berpikir soal parkir, dan berbagai risiko yang kemungkinan dihadapi. Misalnya, mobil ketabrak mikrolet. Namun, untuk naik angkutan massal dari rumah, jalurnya berliku-liku. Dan bikin capek.
Saya harus naik ojek, untuk menuju Kalimalang. Setelah itu naik mikrolet dua kali. Setelah itu jalan kaki. Total sekitar 1,5 jam dibutuhkan, untuk menempuh jarak yang cuma 12 Kilometer itu. Kalau ada angkutan umum yang murah, adem, juga aman, seperti MRT di Singapura, atau Subway di Jerman dan Prancis, saya pasti memilihnya.
Dengan prasarana angkutan jalan yang masih acakadut begitu, mohon dimaafkan bila saya memilih naik motor. Mohon maaf bila saya bergabung dalam barisan berjuta-jura pemotor, yang tiap hari memadati jalanan Jakarta.'
Doakan tak ada halangan menimpa saya, dan para pengendara motor lain.
Friday, November 18, 2005
Perhatian Model AA Gym
KYAI Haji Abdullah Gymnastiar dikenal sebagai kyai yang sejuk. Ceramahnya selalu menganjurkan sikap damai. Jangan kisruh. Jangan bikin ribut. Petuah agar kita selalu tenang dan menjaga kerukunan, sudah berkali-kali ia sampaikan. Menjelang lebaran lalu, kami --maksudnya duet Iwan dan Uni-- mengikuti pengajian Aa Gym. Tempatnya di Hotel Shangrilla. Penyelenggaranya: Keluarga Rachmat Gobel.
Meski yang hadir kalangan politisi, pengusaha, dan orang-orang melek politik, jangan harapkan Aa Gym ngomong politik dengan gaya partisa. Ia malah mengajak ''ayo rukun''. Kalimat lain ''kalo sampe berantem, kita rugi'', dst.
Memang, jangan harap ada nama K.H. Abdullah Gymnastiar nongol sebagai pengurus di partai politik mana pun. Bahkan, sebagai anggota biasa pun tidak. Tapi, ketika bursa calon presiden dibuka, dan kala pemburu kekuasaan mencari tumpangan partai politik guna pencalonan dirinya, justru banyak kalangan yang mendorong Aa Gym --begitu kiai muda ini biasa disapa-- masuk gelanggang perebutan kursi RI-1.
Sokongan pada dirinya tak main-main. Buktinya, nama Aa Gym kerap bertengger di papan atas calon presiden dambaan para responden jajak pendapat yang diselenggarakan berbagai lembaga survei. Masuk akal kalau tokoh sekaliber Amien Rais pernah menimang-nimang Aa Gym untuk menjadi satu dari sederet calon pendampingnya dalam pemilihan presiden.
Tapi, tawaran dan dukungan itu ditanggapi Aa Gym dengan dingin. Ia tetap memilih sebagai da'i, yang berjuang di jalur dakwah. Ia ingin dirinya tetap berada dan diterima semua kalangan, tidak terjebak jadi milik satu partai politik atau kelompok.
Namun, sikap itu tak lantas membuat Aa Gym alergi berbicara soal politik. Pucuk pimpinan Pesantren Daarut Tauhid, Bandung, ini justru muncul sebagai sosok da'i muda yang modern. Ia bisa bicara perkara demokrasi, misalnya, sama fasihnya dengan ngomong soal budi pekerti dan akhlak mulia. Itu pula yang membuat Aa Gym tak kehilangan peran ketika negeri ini terlanda euphoria pesta demokrasi pemilihan presiden langsung.
Sikap politik Aa Gym ini tercermin pula pada sikap politik pesantrennya, Daarut Tauhid, di Gegerkalong, Bandung. Boleh dibilang Daarut Tauhid tak bisa lepas dari sosoknya. Maka, ketika Aa Gym membuka diri dari semua partai politik, Daarut Tauhid pun dengan tangan terbuka menerima kedatangan elite politik ''yang ingin bersilaturahmi''.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Amien Rais, misalnya, tercatat sebagai calon presiden yang bertandang ke Daarut Tauhid, beberapa saat sebelum pemilu. Sepertinya, dua kandidat ini berlomba ''mencuri'' simpati dari pondok pesantren yang kini tercatat punya 10.000 santri itu. Belum lagi simpatisan Aa Gym yang tak terhitung jumlahnya, yang selalu berjubel bila Aa Gym menggelar pengajian.
Ketika hari pencoblosan tiba, kedua calon presiden ini menuai hasilnya. Pada pilpres putaran pertama, Amien Rais unggul di tempat pemungutan suara (TPS) sekitar Daarut Tauhid. Pada pilpres putaran kedua giliran, SBY yang mendulang suara. Di TPS Nomor 22, yang terletak di lingkungan pesantren, misalnya, SBY mengumpulkan 216 pendukung, meninggalkan Megawati yang hanya kebagian 46 suara. Sedangkan di TPS nomor 27, tempat Aa Gym mencoblos, SBY mengoleksi 174 suara. Mega cuma 40 suara.
Apakah kemenangan SBY --juga Amien pada putaran pertama-- berkat campur tangan Aa Gym? Secara langsung, mungkin tidak. Beberapa santri maupun warga yang berdomisili di sekitar pesantren, mengaku tak pernah diberi ''petunjuk'' oleh Aa Gym. Tokoh berpengaruh ini memberi kebebasan untuk memilih. ''Pilihan saya tetap, karena saya percaya pada pilihan saya,'' kata Marwan Romli, yang satu TPS dengan Aa Gym.
Namun, dalam beberapa kesempatan, menurut Marwan, Aa Gym memberi sinyal bahwa ia menginginkan perubahan. ''Tak disebutkan pun (namanya) kita tahu ke mana suaranya diberikan,'' kata seorang ibu berkerudung menimpali pendapat Marwan, kepada Ekos Koswara dari Gatra. Itu berarti suara Aa Gym ke SBY? Wallahu'alam. Saat dapat giliran mencoblos, Aa Gym hanya berujar, ''Ini rahasia.''
Daarut Tauhid --berarti perkampungan bagi orang-orang yang mengabdi kepada keesaan Allah SWT-- lahir dari rahim Kelompok Mahasiswa Islam Wiraswasta (KMIW). Perkumpulan yang didirikan Aa Gyum beserta kawan-kawannya tahun 1987 ini, bergerak dalam usaha kecil. Misalnya, membuat stiker dan kaos yang ditulisi dengan pesan-pesan religius. Sebagian dari hasil usaha itu disisihkan untuk biaya pengajian rutin yang diikuti oleh remaja dan umum.
Barulah pada 4 September 1990, Daarut Tauhid berdiri dengan menempati dua kamar di rumah kontrakan di Jalan Gegerkalong Girang Nomor 38. Lambat tapi pasti, Daarut Tauhid terus berkembang hingga akhirnya berhasil mendirikan Koperasi Pondon Pesantren Daarut Tauhid pada 1994. Setahun kemudian, koperasi yang masih ''hijau'' ini dapat pinjaman dari PT Astra Mitra Ventura, sehingga bisa membangun gedung berlantai tiga. Dari gedung inilah kegiatan ekonomi Daarut Tauhid terus menggeliat. Satu per satu ''anak perusahaan'' koperasi berlahiran. Mulai dari super minimarket hingga yang terakhir MQ TV.
Di bidang dakwah, nama Aa Gym pun meroket. Jamaah yang hadir ke pengajiannya terus bertambah, terutama dari kalangan remaja dan mahasiswa. Dari pengajian inilah lambat laun pria kelahiran Bandung, 29 Januari 1962 ini ''menghimpun'' pengikut, yang jumlahnya merangkak mulai puluhan, ratusan, ribuan, bahkan mungkin kini bisa disebut jutaan orang.
Bersama pengikutnya inilah, di penghujung tahun 1990-an Aa Gym tak sekadar berdakwah secara lisan. Ia menjadi semacam kelompok penekan yang ''mengoreksi'' moral masyarakat. Satu di antaranya, Aa Gym berhasil menggerakkan ribuan simpatisannya dalam aksi damai menentang perjudian di Bandung.
Layar kaca mulai dirambahnya lewat TVRI Stasiun Bandung, masih di tahun 1990. Lantas wajah penuh senyum ini mulai nongol secara nasional pada Oktober 2000, kala Aa Gym meneken nota perjanjian kerja sama (MoU) dengan RCTI untuk mengisi acara ''Hikmah Fajar''. Sejak itu Aa Gym mulai booming. Semua stasiun televisi berlomba menampilkannya. Di sepanjang bulan Ramadan, dan di semua stasiun televisi, boleh dibilang tak ada hari tanpa wajah Aa Gym.
Demam Aa Gym pun merambah. Topik ceramah masalah sehari-hari yang dikemas dengan pilihan kata sederhana jadi daya tarik dakwahnya. Saking lenturnya pesan yang disampaikan, sampai-sampai kaum nonmuslim pun banyak yang menyimak. Ketika Poso, Sulawesi Tengah, diharu-birukan oleh kerusahan berbau SARA, misalnya, Aa Gym mencatatkan diri sebagai da'i yang bisa diterima gereja di sana, dan sekaligus bicara kepada jemaatnya. Ia menekankan gerakan moral sebagai penawar gesekan politik.
Dalam ceramah di Shangrilla, gerakan moral itu ditawarkan Aa Gym sekali lagi. ''Saya risau, kok umat Islam yang ditonjolkan selalu kepalan tangannya. Padahal, sifat Allah yang diutamakan adalah pengasih dan penyayang. Bukan keperkasaannya...'' kata Aa Gym.
Ia meringkas, agar hidup tenteram, tingkah laku kita menggunakan rumus ''PERHATIAN''. Artinya: P= pemaaf, E= empati, R= ramah, H= hormat, A=akrab, T=teduh, I=indah, A=aman, N=nyaman.
Dalam soal ramah, misalnya. ''Masak, pengajian dua jam, eh kok dengan tetangga sebelah belum juga kenal....''
****
Kami mengikuti ceramah Aa Gym dari ruang sebelah, sambil makan. Menunya enak. Ada masakah Gorontalo --Rachmat Gobel punya akar keluarga di Gorontalo. Ada masakah Manado. Juga ada menu hotel yang standar, semacam roti, desert, dan minuman coca-cola.
Tiba-tiba mommy bilang, ''yah, itu di pojok ada Ustad Jeffry al Buchori..'' Ustad Jeffry baru menjadi cover di Majalah GATRA, sepekan sebelumnya. Judul sampulnya ''Generasi Baru Ustad Gaul''. Umurnya masih 33 tahun. Muda. Sebelum Aa Gym memberi ceramah, Jeffry menjadi imam salat tarawih dan salat isya. Caranya membaca mengingatkan kami pada Imam di Masjidil Haram. Penuh nada naik, turun, dengan suara yang enak sekali.
''Yah, tolong ya, difoto. Untuk kenang-kenangan...''
Jadilah jepret...jepret.. jepret..
Ustad Jeffry, istrinya, dan Mommy pun menghiasi blog ini.
Thursday, November 17, 2005
Dari Buku ke Buku (2): Paulo Coelho
PAULO Coelho menjadi penghuni baru di rak buku kami. Coelho adalah orang Brazil yang ketiban apes: dipecat dari kantornya, BMG Sony. Eh, lepas dari situ, ia malah mendapat lahan baru: menjadi penulis.
Hasil karyanya bak menjadi mantra sihir bagi jutaan penggemarnya. Buku-bukunya telah "menghipnotis" ribuan orang sehingga rela antre berjam-jam untuk mendapatkan tanda tangannya. Hal itu terjadi di Perpustakaan Kretzulescu, Bukarest, Rumania, Sabtu dua pekan lalu, saat peluncuran The Zahir, novel teranyar Coelho. Dengan sabar, selama hampir empat jam tanpa jeda, Coelho meneken ribuan buku yang disodorkan para pemuja karya-karyanya.
Sejak muncul April lalu, The Zahir telah dicetak lebih dari 8 juta eksemplar dan dipasarkan di 101 negara. Novel ini berkisah tentang pencarian seorang suami yang istrinya tiba-tiba menghilang tanpa meninggalkan jejak. Selanjutnya dikisahkan bagaimana pencarian atas sosok istrinya yang hilang berubah menjadi sebuah perjalanan mempertanyakan eksistensi dan jati diri.
Mommy termasuk pembeli Zahir. Ia mencarinya ke sana ke mari. Butuh perjuangan keras, sampai akhirnya mendapatkannya. Novel ini menarik karena narasinya yang sederhana dan bahasanya yang lugas. Zahir dalam bahasa Arab artinya "hadir secara lahiriah". Namun sukses penjualan The Zahir di berbagai negara tak diikuti oleh pasar Iran. Pertengahan Mei lalu, menurut AFP, dalam pameran buku tahunan Teheran, novel itu dilarang pemerintah.
"Buku itu dilarang meskipun kami telah melewati prosedur normal untuk mendapatkan izin dari pemerintah untuk diterbitkan," kata Coelho, seperti disampaikan Flammarion, penerbit karya-karya Coelho di Prancis. Menurut Arash Hejazi, penerbit yang memegang hak cipta buku Coelho di Iran, aparat intelijen menyatroni stannya dan menyita 1.000 kopi novel yang masih tersisa.
"Namun 2.000 eksemplar telanjut dibeli orang," ungkap Arash Hejazi kepada Gatra lewat e-mail yang diprasaranai Flammarion. Menurut Arash, tampaknya Kementerian Kebudayaan dihinggapi ketakutan berlebihan melihat popularitas Coelho di mata rakyat yang terus meningkat.
Popularitas Coelho memang sulit dimungkiri. Kini 10 novelnya telah diterjemahkan dalam 60 bahasa dan mencatat penjualan hingga 65 juta eksemplar. Di beberapa negara, novelnya meraih rekor penjualan tertinggi. Ia juga telah menerima 22 penghargaan dari berbagai negara.
Tapi, meski mendulang sukses internasional, sejumlah kritikus sastra Brasil, negeri asalnya, menilai Coelho sebagai pengarang biasa. Karyanya disebut begitu sederhana tak ubahnya buku tuntunan hidup. Ketika namanya masuk ke Brazilian Academy of Letters, muncul kontroversi. Sebab beberapa kritikus menyebut novel Coelho komersial, alias cuma berorientasi pasar.
Bersama istrinya, Christina Oiticica, Coelho kini mendirikan Paulo Coelho Institute di Rio de Janeiro, kota tempat ia lahir pada 24 Agustus 1947. Lembaga ini bertujuan membantu anak dan orangtua miskin yang terpinggirkan. Separuh hidupnya dalam setahun dihabiskan di Tarbes, Prancis. Penggemar traveling ini juga mempraktekkan kyudo, sejenis panahan meditatif. Setiap pagi, usai jalan kaki selama dua jam, ia melesakkan 24 anak panah melalui satu dari tiga busur miliknya.
Satu novelnya, Veronika Memutuskan untuk Mati, telah difilmkan sutradara Jepang, Kei Horie. Film ini akan diluncurkan awal tahun depan. Saking kagum atas karya-karya Coelho, dua gadis Georgia, Tamuna dan Anuki, mendirikan sebuah kafe bacaan di Tbilisi, ibu kota Georgia. Novel Sang Alkemis juga telah menginspirasi grup musik Aurah menciptakan album berjudul ''Songs of The Alchemist''.
Ketika remaja, Coelho dimasukkan orangtuanya ke rumah sakit jiwa hingga tiga kali karena sering memberontak. Awal 1970-an, Coelho menjalani hidup sebagai hippies. "Semuanya semata demi seks, obat-obatan, dan rock 'n' roll," katanya. Ia juga pernah tiga kali masuk penjara karena mengecam rezim diktator militer Brasil.
Ketika berumur 36 tahun, Coelho memutuskan melakukan ziarah ke Santiago de Compostela, Spanyol Utara. Perjalanan inilah yang menginspirasi novel perdananya, The Pilgrimage. Sejak itu, sambil terus mempertanyakan makna hidupnya, Coelho memutuskan untuk hidup sebagai penulis. Ia sukses.
****
''Karya-karyanya bagus lo,'' kata Mommy.
Beberapa kali ia pergi ke QB, toko buku di kawasan Kemang, ia kehabisan buku Zahir. Ia kemudian memesan. Tiga bulan kemudian, QB meneleponnya. Tapi waktu itu Mommy sudah terlanjur membeli. Ia mendapatkan Zahir sewaktu melawat ke luar negeri --kalo tak salah ke Amerika. Di salah satu toko buku, Mommy mendapati Zahir, tinggal satu eksemplar.
Buku ''Gunung Kelima'' sudah lama dibeli Mommy. Dalam bahasa Inggris, judulnya ''The Fifth Mountain''. ''Coba deh, baca dengan teliti. Bisa memberi inspirasi,'' kata Mommy. Juga bisa memberi semangat hidup.
Gunug Kelima adalah satu-satunya buku Coelho yang sudah saya baca sampai habis. Buku yang lain baru melihar covernya. Kalo Mommy sudah membaca semuanya. Hebat ya?
Bagian atas diambil dari GATRA 22 Oktober 2005, dengan modifikasi.
Tuesday, November 15, 2005
Dari Buku ke Buku
DI salah satu sudut rumah kami, ada secuil ruangan yang termasuk sering kami hampiri. Di situ ada rak buku enam susun, sebanyak dua buah. Di situlah buku-buku (juga ada dokumen), kami simpan. Sebelah ruang buku itu merupakan tempat kosong, yang dibuat untuk membantu sirkulasi udara bagian tengah rumah. Ruang kosong itu beratapkan langit. Kalo hujan, ya basah. Dulunya ruangan itu dipakai sebagai kamar mandi kamar utama. Setelah rumah direnovasi, ruangan diperluas, kamar mandi itu sengaja dikosongkan.
Belum jelas, berapa banyak buku yang kami punyai. Maklum, kami bukan pencatat yang baik. Paling hanya bisa memberi ancar-ancar. Empat bulan lalu, mommy membeli stiker untuk dilekatkan di sampul buku. Tulisannya: Uni Lubis-Iwan QH, Permata Timur JJ/3 Jatiwaringin. Penandaan ini dimaksudkan untuk perekat, agar siapapun yang menemukan buku itu, bila suatu saat nyasar, tak kebingungan untuk mengembalikannya. Jumlah stikernya waktu itu 900 lembar. Habis.
Bulan Puasa lalu, mommy membeli 1000 lembar kertas stiker lagi. Selama tujuh hari terakhir Ramadhan 1426 H, menempeli stiker menjadi kegiatan saya. Dari pagi sampai malam. Kira-kira stiker yang kepakai baru separuhnya. Berarti, paling tidak ada 1.400 buku kami miliki. Ditambah sisanya yang belum kami tempel, mungkin kami punya 1.600an buku.
Jenis buku kami bermacam-macam. Tapi kalo mau dibagi menurut jenisnya, buku biografi menempati posisi terbesar. Ada yang tokoh lokal semacam Bimbo, Presiden SBY, Wiranto, Edi Sudradjat, Suhardiman, Akbar Tandjung, Hatta. Tokoh luar negeri lebih banyak lagi: Mao Zedong, Che Guevara, Hu Jintao, Deng Xiao Ping, Katherine Graham, Kennedy, Bill Clinton, dan Colin Powell, Lee Kuan Yew, Anwar Ibrahim.
Di urutan kedua adalah novel. Buku Dan Brown: Da Vinci Code dan Angel and Devil, kami punyai. Buku Harry Potter, semuanya ada. Buku-buku Sidney Sheldon, John Grisham, Michael Crichton, hingga roman klasik yang rada berat, seperti Musashi, Taiko, Orang-orang Munafik, Arok-Dedes, hingga yang ekstra berat seperti karangan Anton Chekov, ada di situ. Sebagian sudah kami baca hingga tuntas. Sebagian lagi baru kami sentuh preambulnya.
Di urutan berikutnya adalah buku-buku sejarah-militer-politik. Buku jurnalistrik ada di nomor empat. Buku ‘’Sembilan Elemen Jurnalisme’’ karangan Bill Kovach, kami miliki. Malah sampai beberapa eksemplar. Yang asli dalam bahasa Inggris juga ada. Yang bahasa Indonesia, juga ada. Yang fotokopian? Heheh… juga ada….
Tentu saja kami juga mempunyai buku-buku agama. Al Quran sampai beberapa buku. Sebagai orang Muhammadiyah, kami juga memiliki ‘’Himpunan Putusan Majelis Tarjih’’. Bukunya Ahmad Wahib, hingga buku tuntutan salat dan doa, kami punya.
Sebagai wartawan, kami memang menyukai buku yang berdasar kisah nyata. Buku-buku agama yang berdasar peristiwa, lebih kami sukai, ketimbang yang hanya berisi debat. Buku debat juga sering kami baca, sepanjang masih ngepeg. Ini istilah jurnalistik untuk menyebut ''peristiwanya masih hangat''.
****
Buku-buku itu kami dapatkan dengan berbagai cara. Paling banyak adalah membeli sendiri. Sewaktu ke Amerika Serikat September lalu, meliput kunjungan Presiden SBY, mommy membeli banyak buku di basement Markas PBB. Jauh ya? Di New York, sebuah tempat yang jaraknya beribu-ribu kilometer dari Jakarta.
''Di Markas PBB ada toko buku yang bagus lo,'' kata Mommy.
Sewaktu ke Eropa, tahun lalu, Mommy juga membeli banyak buku. Terutama buku mengenai dunia penyiaran. Wah, banyak sekali.
Paling banyak, kami membeli buku di GRAMEDIA. Sebagai karyawan Kelompok Kompas Gramedia, Mommy mendapat fasilitas khusus: diskon 30% setiap kali membeli buku di toko buku Gramedia. Lumayan lo. Buku-buku seperti Harry Potter, Da Vinci Code, harganya di atas Rp 100.000. Adanya diskon itu sangat membantu.
Di sisi lain, adanya diskon juga sering membuat kami rakus berbelanja. Merasa harganya murah, lalu kami membeli berbagai macam buku, yang sering kami tak sempat membacanya. Ketika memberi label tempo hari, saya menemukan ada beberapa buku yang ternyata belum kami baca sama sekali. Buku itu masih terbungkus plastik, rapi.
Kami juga sering mendapat oleh-oleh buku dari beberapa teman yang melancong ke luar negeri. Mereka tahu, sebagai wartawan, buku sangat penting bagi kami. Setiap pekan saya membuat tulisan dua kolom. Namanya ''Lensa''. Saya membutuhkan banyak referensi untuk menulis cerita yang, kalo dibaca, kurang dari lima menit itu.
Monday, November 14, 2005
Dengan Pesawat Ku Pergi Jauh
SABTU lalu (12 November 05), saya ke kantor lagi. Jarang sekali saya ke kantor pada Sabtu siang, setelah sebelumnya harus menginap, begadang urusan deadline.
Saya mengajak Mohammad Darrel ''Dayen'' Cetta Askara. Panjang ya namanya?
Dengan suka cita ia meninggalkan acara televisi yang tengah ia tongkrongi. ''Pilih ikut ayah,'' katanya. Saya segera membawa susu satu botol, dan beberapa minuman kotak. Tak lupa, barang kiriman untuk Ibu di Yogya, yang dititipkan mobil GATRA, dimasukkan.
''Ke mana kita Yah?'' tanya Dayen, sewaktu mobil tengah meluncur di jalan tol.
''Ke kantor.''
''Kantor mommy?''
''Kantor ayah.''
''Di mana?''
''Kalibata,'' jawab saya.
''Kalibata mana?'' ia mengejar.
''Pasar Minggu.''
''Pasar Minggu mana?''
''Jakarta Selatan.''
''Ohhh, Jakarta ya?''
Alhamdulillah, pertanyaan berhenti. Soalnya, ia lebih banyak bertanya ''di mana, di mana, dst''. Padahal, belum tentu juga ia paham letak-letak geografis yang saya sampaikan. Namun, kadang-kadang pertanyaannya juga sulit. Pertanyaan dasar yang selama ini kita tak berusaha mencari tahu jawabannya.
Di GATRA, ia saya ajak masuk ke ruangan. Pandangannya langsung tertumpu pada sosok pesawat: GATRA Airways. Pesawat ini souvenir dari kawan Ayah. Katanya, biar GATRA cepat tinggal landas.
Pesawat adalah mainan kesukaan Darrel. Saya tidak tahu, kenapa boneka, mainan cewek seperti peralatan dapur, langsung dijauhi DArrel. ia juga suka mobil dan motor. Film kesukaannya Yaterman, yang ditayangkan Spacetoon tiap hari jam 19.00. Kalo kata Mommy, ''Darrel ini cowok sekali.'' La iya kan?
Darrel jauh lebih beruntung daripada saya dalam hal pesawat. Saya pertama kali naik pesawat terbang ketika menjadi wartawan Tempo. Itu tahun 1990, alias saat saya berumur 25 tahun. Darrel, tatkala berumur 6 bulan, sudah berkelana di angkasa. Dari segi penghasilan, apa yang didapat saya dan Mommy memang jauh lebih baik, ketimbang yang didapat eyang di Yogya, tatkala saya masih lahir. Kalo kata Eyang Kakung, ''Saya harus bersyukur, alhamdulillah..''
Di kantor, acara tak lama. Sekitar setengah jam. Di halaman depan, Darrel saya minta berpose.
Wing...wingg... wingg...
Ia menirukan suara pesawat.
Saturday, November 12, 2005
Makanan Berformalin di Pasaran
Badan Pengawasan Obat dan Makanan menemukan empek-empek dan mi basah yang dijual di beberapa tempat di Sumatera Selatan ternyata mengandung formalin. Belum lama ini, Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Pemerintah Kota Jakarta Pusat juga mendapati puluhan ayam berformalin dijual di sejumlah pasar tradisional. FORMALIN sebenarnya adalah nama dagang dari larutan formadehid dalam air dengan kadar 30-40 persen. Di pasaran, formalin dapat diperoleh dalam bentuk sudah diencerkan dengan kadar formaldehid 40, 30, 20, dan 10 persen, serta dalam bentuk tablet yang beratnya masing-masing lima gram. Formalin biasanya digunakan dokter forensik untuk mengawetkan mayat. Mengapa sampai para pedagang membubuhi formalin pada dagangannya? Mungkin mereka akan bungkam jika ditanya demikian. Namun, jika menilik formalin biasa digunakan untuk mengawetkan mayat, bisa diduga para pedagang ingin agar dagangannya tahan lama. Setidaknya, jika barang tidak laku hari ini, ayam atau tahu yang telah diformalin bisa dijual kembali keesokan harinya dan tetap terlihat segar.
Ini baru formalin pada bahan pangan. Masih ada sederet bahan tambahan atau kimia yang kerap dibubuhkan dalam makanan, seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna kuning), boraks, kloramfenikol, dietilpilokarbonat, dulsin, dan nitrofurazon. Padahal, penggunaan bahan-bahan kimia makanan tersebut sudah dilarang menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999.
Perhatikan cirinya
Monitoring sebenarnya sudah dilakukan petugas terkait dengan mengambil sampel bahan secara acak ke sejumlah pedagang pasar tradisional atau pedagang jajanan sekolah. Pasar swalayan juga menjadi sasaran inspeksi mendadak para petugas. Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan DKI Jakarta Edy Setiarto dan Kepala Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Jakarta Pusat (Jakpus) Sigit Budiarto secara terpisah mengatakan, pemerintah mempunyai program memonitoring para penjual makanan ternak di pasar-pasar tradisional. Bagi yang tertangkap basah menjual bahan makanan berformalin, misalnya ayam, akan disita dan dibakar di tempat pembakaran. Di Jakpus misalnya, insenerator terletak di halaman kantor Kecamatan Senen.
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Dedi Fardiaz mengatakan, BPOM bertugas menyurvei makanan olahan atau jajanan. ?Hasil survei menjadi dasar untuk membina para pedagang,? katanya. BPOM antara lain menyurvei segala jenis makanan yang dikonsumsi anak sekolah. Di sini dilihat apakah makanan olahan atau jajanan tersebut mengandung pewarna berbahaya atau tidak. Ini, menurut Dedi, penting dilakukan mengingat dampaknya terhadap kesehatan. Agar tidak tertipu produk berbahaya itu, masyarakat sebaiknya berhati-hati dan memerhatikan ciri-ciri serta perbedaan antara bahan pangan segar dan yang mengandung bahan pengawet. ?
Kalau ayam berformalin, ciri yang paling mencolok adalah tidak ada lalat yang mau hinggap. Jika kadar formalinnya banyak, ayam agak sedikit tegang (kaku). Yang paling jelas adalah jika daging ayam dimasukkan ke dalam reagen atau diuji laboratorium, nanti akan muncul gelembung gas,? papar anggota staf Seksi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Feteriner Sudin Peternakan dan Perikanan Jakpus Elita Gunarwati.
Para pedagang biasanya membubuhi formalin dengan kadar minimal, sehingga konsumen pada umumnya bingung ketika harus membedakannya dengan bahan pangan segar. Pada daging ayam misalnya, karena hanya dibubuhi sedikit formalin, bau obat tidak tercium. Untuk itu, masyarakat harus lebih waspada dan bisa memilih dengan baik. ?Seperti yang dilakukan ibu-ibu di Pasar Benhil, Jakarta Pusat. Mereka biasanya memilih membeli ayam hidup dan langsung dipotong di tempat,? kata Sigit.
Konsumen juga harus berhati-hati jika menemui ayam atau daging yang dijual dengan harga relatif jauh lebih murah daripada harga pasaran. Kemungkinan bahan pangan ini mengandung bahan pengawet berbahaya. Kalau membeli dalam jumlah banyak, misalnya untuk hajatan, pastikan pedagangnya layak dipercaya. Seberapa pun sempitnya waktu, sebaiknya Anda tetap meneliti ayam atau daging yang dibeli satu per satu.
Tahu berformalin
Untuk mendeteksi tahu berformalin relatif lebih mudah. Dosen Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian IPB Eddy Setyo Mudjajanto dalam artikelnya menyebutkan, tahu berformalin akan membal atau kenyal jika ditekan. Sedangkan tahu tanpa formalin biasanya mudah hancur. Tahu berformalin akan tahan lama, sedangkan tahu tanpa pengawet paling-paling hanya tahan dua hari. Tahu tanpa pengawet bisa lebih lama bertahan jika disimpan dalam kulkas, atau dibubuhi pengawet yang dianjurkan. Bahan pengawet tersebut seperti vitamin C 0,05 persen (tahu diberi pengawet selama empat jam), natrium benzoat 1.000 ppm (selama 24 jam), atau asam sitrat 0,05 persen (selama delapan jam).
Memang orang yang mengonsumsi tahu, mi, bakso, atau ayam berformalin beberapa kali saja belum merasakan akibatnya. Efek dari bahan makanan berformalin baru terasa beberapa tahun kemudian. Kandungan formalin yang tinggi akan meracuni tubuh, menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat karsiogenik (menyebabkan kanker), dan bersifat mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel). Dalam kadar yang sangat tinggi, hal ini bisa menyebabkan kegagalan peredaran darah yang bermuara pada kematian. Mengonsumsi makanan apa pun sebaiknya Anda memilih dengan cermat. Namun sebaliknya, jangan pula karena begitu khawatir, Anda menjadi takut secara berlebihan. Masih banyak pedagang yang jujur dan bisa mempertanggungjawabkan barang dagangannya. (IVV)
*) KOMPAS - Minggu, 26 Jun 2005,Halaman: 40
Mengangkat Masjid Yang Tarandam
SETIAP Lebaran, saya tak hanya teringat pada opor ayam masakan Ibu. Suara takbir dan beduk di masjid dekat rumah senantiasa membawa ingatan pada kampung tempat saya dibesarkan di Yogyakarta. Ketika keluarga saya mulai tinggal di situ pada 1970-an, kampung itu tak punya masjid. Saya harus jalan kaki ke kampung lain untuk salat Jumat, atau sesekali untuk salat wajib.
Perlahan, seiring ekonomi yang membaik, kampung kami berhasil membangun masjid di atas tanah wakaf. Luasnya 300 meter persegi. Pemilik lahan di sebelah masjid belakangan juga tertarik untuk mewakafkan tanahnya. Masjid itu pun makin luas.
Kini, kalau berkunjung ke kampung saya, Anda punya banyak pilihan. Ada tiga masjid plus minimal satu langgar. Tiap masjid punya kegiatan hampir sama: salat lima waktu, salat Jumat, tarawih di bulan Ramadan, serta ibadah kurban.
Seperti di kampung saya, di banyak tempat lain di negara kita, jumlah masjid juga bertambah. Menurut data Departemen Agama, pada 1998 terdapat 619.000 masjid, langgar, dan musala. Meningkat sekitar 140.000 dibandingkan dengan 1981. Saya yakin, jumlah sebenarnya jauh lebih besar. Banyak kantor, gedung pertemuan, sekolah, serta kampus, yang mengubah sebagian bangunannya menjadi masjid, tak masuk daftar.
Tahun ini, angkanya pasti jauh lebih besar dibandingkan dengan 1998. Meski hampir lima tahun Indonesia loyo dihantam krisis ekonomi, pembangunan "tempat bersujud" tak pernah surut. Tak salah bila Indonesia disebut sebagai "negeri sejuta masjid". Di pompa bensin, sekolah, atau pertokoan, bangunan masjid atau musala gampang dijumpai.
Masjid memang telah menjadi bagian kehidupan masyarakat. Perannya tak bisa dicabut dari sejarah, juga politik Indonesia. Para sultan Jawa menyatukan masjid, alun-alun, dan halaman depan istana, untuk menunjukkan pada rakyat bahwa sang penguasa dekat dengan Gusti Mahakuasa. Sebagian bupati mengikuti jejak itu dengan meletakkan pendopo kabupaten, alun-alun, serta masjid di satu kompleks yang sama.
Satu versi menyebutkan, di Indonesia, masjid pertama dibangun di Peureulak, Samudra Pasai, Aceh. Setelah itu berkembang ke wilayah lain di Sumatera dan pantai utara Jawa. Fungsi masjid juga bergerak. Kadang sekadar sebagai tempat salat. Di lain waktu juga menjadi tempat berniaga, bicara urusan politik, atau tempat pendidikan.
Pada abad ke-17, Burhanuddin, pemuda Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat, nyantri ke Syekh Abdurrauf Al-Singkili, Aceh. Ia lalu balik kampung mendirikan langgar. Ini, menurut guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta, Profesor Azyumardi Azra, merupakan surau pertama di Sumatera Barat yang penuh muatan keilmuan (Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta, 2003).
Di surau, sesepuh dan kaum cendekia mewariskan ilmu kepada kaum muda. Latihan silat, ajaran "adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah" diteruskan. Sejumlah tokoh tenar dihasilkan kurikulum surau. Peran mereka penting dalam pentas sejarah. Seperti Buya Hamka, Mohammad Natsir, A.R. Sutan Mansyur, dan Bey Arifin. Setelah itu, kita belum mengenal tokoh Sumatera Barat hasil didikan kurikulum surau sehebat para senioren itu.
Peran surau, dalam istilah Azyumardi, "kian tarandam".
***
Adalah sesosok kakek, penjaga surau yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk berbakti kepada Tuhan. Waktunya hanya untuk berzikir, berbuat baik, menghafal Quran, dan salat. Suatu hari, ia bertemu Ajo Sidi, seorang pekerja keras yang juga pintar bercerita.
Ajo Sidi mendongeng tentang kisah Haji Saleh, yang perilakunya mirip kakek: waktunya dihabiskan untuk berbakti kepada Tuhan. Tatkala hari perhitungan tiba, Haji Saleh menghadap Tuhan dengan riang.
"Aku selalu menghabiskan waktuku untuk memuji-Mu."
"Terus apa lagi?" tanya Tuhan.
"Ooo, aku selalu membaca kitabmu," jawab Saleh.
"Terus apa lagi?"
"Itulah. Semua telah kuceritakan padamu. Aku selalu berbuat baik pada-Mu."
"Masuk kamu ke dalam neraka."
Saleh pun merasakan hangatnya neraka. Anehnya, di situ ia berkumpul dengan para syekh dan ulama yang sudah berhaji berkali-kali. Malaikat memberitahu Haji Saleh mengapa ia masuk neraka: selama di dunia, ia tak bekerja keras dan membiarkan kaumnya tetap melarat. Saleh dinilai berdoa untuk menyembunyikan diri dari urusan dunia nyata.
Kakek bersedih mendengar kisah itu. Ia merasa, Ajo Sidi menghakiminya akan masuk neraka. Begitu beratnya kegundahan kakek. Penjaga surau itu akhirnya memilih bunuh diri.
Kisah kakek dengan suraunya itu adalah hasil rekaan pengarang tenar Sumatera Barat, Ali Akbar Navis, dalam cerita Robohnya Surau Kami pada 1956. Sang pengarang tampaknya ingin menyindir secara halus para pengurus surau yang mengartikan ibadah dengan cara sempit: salat, naik haji, atau mengaji. Padahal, mencukupi kebutuhan duniawi, termasuk memakmurkan umat, serta menjadikan masjid sebagai pusat perbaikan moral, adalah ibadah yang tak kalah penting.
Kita pantas bersyukur, kini banyak masjid tak sekadar jadi tempat ibadah dalam arti sempit. Masjid difungsikan sebagaimana surau Burhanuddin, dengan pengelolaan modern. Silakan longokkan pandangan Anda ke Al-Azhar, sebuah masjid penuh pergerakan di Jakarta Selatan.
Masjid ini memiliki Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar, pengelola sekolah yang kini sudah beranak-pinak di berbagai penjuru negeri. Kualitasnya diakui. Lapangan di samping masjid bahkan telah disulap menjadi gedung jangkung tempat Universitas Islam Al-Azhar bernaung. Bila berkunjung ke Masjid Al-Azhar, Anda akan mendapati ruang-ruang di sekeliling masjid dikelola untuk berbagai tempat usaha. Mulai ruang pertemuan, warung telekomunikasi, hingga biro perjalanan.
Dari berbagai hasil usahanya ini, pengurus Masjid Al-Azhar bisa mencukupi kebutuhan rutinnya, termasuk menggaji pegawai. Kita berharap, apa yang terjadi di Masjid Al-Azhar itu bisa menular ke tempat lain.
Di luar persoalan ekonomi, harus kita akui, para pengurus masjid menghadapi tantangan tak kalah berat. Masih terjadi kesenjangan cukup tinggi antara apa yang diajarkan di masjid dan dunia nyata. Setiap pekan, berjuta-juta kaum muslim mendapatkan pencerahan moral lewat ajaran para khatib. Namun ajakan berbuat baik itu banyak yang cuma lewat telinga. Sebagian dari mereka yang rajin ke masjid itu tetap meneruskan ulah nakalnya, usai ritual ibadah.
***
Masjid seyogianya bisa menjadi lembaga dakwah plus sarana pengembangan ekonomi yang menggiurkan. Tanah tempatnya berdiri adalah aset yang kian mahal seiring pesatnya perkembangan zaman. Di berbagai kota, terutama Jakarta, banyak masjid yang berdiri di lokasi utama.
Di sekitarnya bercokol gedung-gedung jangkung, tempat bisnis berskala milyaran berlangsung. Konsep baru pengembangan masjid, yang intinya memanfaatkan lahan wakaf untuk bangunan multiguna, rasanya bisa diterapkan di sini. Dengan cara ini, masjid bisa mengongkosi kebutuhan dakwahnya.
Namun ada batasnya: fungsi ekstra itu jangan sampai mengganggu fungsi utamanya sebagai tempat beribadah. Inilah yang dipesankan Umar bin Khattab, khalifah kedua.
Alkisah, Umar menggunakan tempat ibadah yang dibangun Rasulullah, Masjid Nabawi, sebagai tempat ibadah dan pusat pemerintahan. Di bangunan yang tiangnya dari kayu kurma itulah ia mengatur strategi perluasan wilayah, sekaligus nguping gejolak masyarakat. Seiring makin riuhnya kota Madinah, Masjid Nabawi terasa kian ramai. Masyarakat juga menggunakannya untuk berdagang. Sampai Umar merasa terganggu.
Ia kemudian meluaskan masjid, dan mendirikan bangunan baru di sampingnya. "Barang siapa membaca syair, membuat kegaduhan, atau berdagang, pergilah ke tempat itu," kata sang khalifah.
Umar menjadikan kompleks Masjid Nabawi sebagai pusat pemerintahan serta berbagai keperluan lain. Tak ada salahnya bila kita, umat Islam yang hidup 15 abad kemudian, menjadikan masjid di sekitar kita sebagai "Masjid-masjid Nabawi" yang lain.
Iwan Qodar Himawan
iwan@gatra.com
(Mukadimah Edisi Khusus GATRA, November 2005)
-------G-------
Perlahan, seiring ekonomi yang membaik, kampung kami berhasil membangun masjid di atas tanah wakaf. Luasnya 300 meter persegi. Pemilik lahan di sebelah masjid belakangan juga tertarik untuk mewakafkan tanahnya. Masjid itu pun makin luas.
Kini, kalau berkunjung ke kampung saya, Anda punya banyak pilihan. Ada tiga masjid plus minimal satu langgar. Tiap masjid punya kegiatan hampir sama: salat lima waktu, salat Jumat, tarawih di bulan Ramadan, serta ibadah kurban.
Seperti di kampung saya, di banyak tempat lain di negara kita, jumlah masjid juga bertambah. Menurut data Departemen Agama, pada 1998 terdapat 619.000 masjid, langgar, dan musala. Meningkat sekitar 140.000 dibandingkan dengan 1981. Saya yakin, jumlah sebenarnya jauh lebih besar. Banyak kantor, gedung pertemuan, sekolah, serta kampus, yang mengubah sebagian bangunannya menjadi masjid, tak masuk daftar.
Tahun ini, angkanya pasti jauh lebih besar dibandingkan dengan 1998. Meski hampir lima tahun Indonesia loyo dihantam krisis ekonomi, pembangunan "tempat bersujud" tak pernah surut. Tak salah bila Indonesia disebut sebagai "negeri sejuta masjid". Di pompa bensin, sekolah, atau pertokoan, bangunan masjid atau musala gampang dijumpai.
Masjid memang telah menjadi bagian kehidupan masyarakat. Perannya tak bisa dicabut dari sejarah, juga politik Indonesia. Para sultan Jawa menyatukan masjid, alun-alun, dan halaman depan istana, untuk menunjukkan pada rakyat bahwa sang penguasa dekat dengan Gusti Mahakuasa. Sebagian bupati mengikuti jejak itu dengan meletakkan pendopo kabupaten, alun-alun, serta masjid di satu kompleks yang sama.
Satu versi menyebutkan, di Indonesia, masjid pertama dibangun di Peureulak, Samudra Pasai, Aceh. Setelah itu berkembang ke wilayah lain di Sumatera dan pantai utara Jawa. Fungsi masjid juga bergerak. Kadang sekadar sebagai tempat salat. Di lain waktu juga menjadi tempat berniaga, bicara urusan politik, atau tempat pendidikan.
Pada abad ke-17, Burhanuddin, pemuda Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat, nyantri ke Syekh Abdurrauf Al-Singkili, Aceh. Ia lalu balik kampung mendirikan langgar. Ini, menurut guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta, Profesor Azyumardi Azra, merupakan surau pertama di Sumatera Barat yang penuh muatan keilmuan (Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta, 2003).
Di surau, sesepuh dan kaum cendekia mewariskan ilmu kepada kaum muda. Latihan silat, ajaran "adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah" diteruskan. Sejumlah tokoh tenar dihasilkan kurikulum surau. Peran mereka penting dalam pentas sejarah. Seperti Buya Hamka, Mohammad Natsir, A.R. Sutan Mansyur, dan Bey Arifin. Setelah itu, kita belum mengenal tokoh Sumatera Barat hasil didikan kurikulum surau sehebat para senioren itu.
Peran surau, dalam istilah Azyumardi, "kian tarandam".
***
Adalah sesosok kakek, penjaga surau yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk berbakti kepada Tuhan. Waktunya hanya untuk berzikir, berbuat baik, menghafal Quran, dan salat. Suatu hari, ia bertemu Ajo Sidi, seorang pekerja keras yang juga pintar bercerita.
Ajo Sidi mendongeng tentang kisah Haji Saleh, yang perilakunya mirip kakek: waktunya dihabiskan untuk berbakti kepada Tuhan. Tatkala hari perhitungan tiba, Haji Saleh menghadap Tuhan dengan riang.
"Aku selalu menghabiskan waktuku untuk memuji-Mu."
"Terus apa lagi?" tanya Tuhan.
"Ooo, aku selalu membaca kitabmu," jawab Saleh.
"Terus apa lagi?"
"Itulah. Semua telah kuceritakan padamu. Aku selalu berbuat baik pada-Mu."
"Masuk kamu ke dalam neraka."
Saleh pun merasakan hangatnya neraka. Anehnya, di situ ia berkumpul dengan para syekh dan ulama yang sudah berhaji berkali-kali. Malaikat memberitahu Haji Saleh mengapa ia masuk neraka: selama di dunia, ia tak bekerja keras dan membiarkan kaumnya tetap melarat. Saleh dinilai berdoa untuk menyembunyikan diri dari urusan dunia nyata.
Kakek bersedih mendengar kisah itu. Ia merasa, Ajo Sidi menghakiminya akan masuk neraka. Begitu beratnya kegundahan kakek. Penjaga surau itu akhirnya memilih bunuh diri.
Kisah kakek dengan suraunya itu adalah hasil rekaan pengarang tenar Sumatera Barat, Ali Akbar Navis, dalam cerita Robohnya Surau Kami pada 1956. Sang pengarang tampaknya ingin menyindir secara halus para pengurus surau yang mengartikan ibadah dengan cara sempit: salat, naik haji, atau mengaji. Padahal, mencukupi kebutuhan duniawi, termasuk memakmurkan umat, serta menjadikan masjid sebagai pusat perbaikan moral, adalah ibadah yang tak kalah penting.
Kita pantas bersyukur, kini banyak masjid tak sekadar jadi tempat ibadah dalam arti sempit. Masjid difungsikan sebagaimana surau Burhanuddin, dengan pengelolaan modern. Silakan longokkan pandangan Anda ke Al-Azhar, sebuah masjid penuh pergerakan di Jakarta Selatan.
Masjid ini memiliki Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar, pengelola sekolah yang kini sudah beranak-pinak di berbagai penjuru negeri. Kualitasnya diakui. Lapangan di samping masjid bahkan telah disulap menjadi gedung jangkung tempat Universitas Islam Al-Azhar bernaung. Bila berkunjung ke Masjid Al-Azhar, Anda akan mendapati ruang-ruang di sekeliling masjid dikelola untuk berbagai tempat usaha. Mulai ruang pertemuan, warung telekomunikasi, hingga biro perjalanan.
Dari berbagai hasil usahanya ini, pengurus Masjid Al-Azhar bisa mencukupi kebutuhan rutinnya, termasuk menggaji pegawai. Kita berharap, apa yang terjadi di Masjid Al-Azhar itu bisa menular ke tempat lain.
Di luar persoalan ekonomi, harus kita akui, para pengurus masjid menghadapi tantangan tak kalah berat. Masih terjadi kesenjangan cukup tinggi antara apa yang diajarkan di masjid dan dunia nyata. Setiap pekan, berjuta-juta kaum muslim mendapatkan pencerahan moral lewat ajaran para khatib. Namun ajakan berbuat baik itu banyak yang cuma lewat telinga. Sebagian dari mereka yang rajin ke masjid itu tetap meneruskan ulah nakalnya, usai ritual ibadah.
***
Masjid seyogianya bisa menjadi lembaga dakwah plus sarana pengembangan ekonomi yang menggiurkan. Tanah tempatnya berdiri adalah aset yang kian mahal seiring pesatnya perkembangan zaman. Di berbagai kota, terutama Jakarta, banyak masjid yang berdiri di lokasi utama.
Di sekitarnya bercokol gedung-gedung jangkung, tempat bisnis berskala milyaran berlangsung. Konsep baru pengembangan masjid, yang intinya memanfaatkan lahan wakaf untuk bangunan multiguna, rasanya bisa diterapkan di sini. Dengan cara ini, masjid bisa mengongkosi kebutuhan dakwahnya.
Namun ada batasnya: fungsi ekstra itu jangan sampai mengganggu fungsi utamanya sebagai tempat beribadah. Inilah yang dipesankan Umar bin Khattab, khalifah kedua.
Alkisah, Umar menggunakan tempat ibadah yang dibangun Rasulullah, Masjid Nabawi, sebagai tempat ibadah dan pusat pemerintahan. Di bangunan yang tiangnya dari kayu kurma itulah ia mengatur strategi perluasan wilayah, sekaligus nguping gejolak masyarakat. Seiring makin riuhnya kota Madinah, Masjid Nabawi terasa kian ramai. Masyarakat juga menggunakannya untuk berdagang. Sampai Umar merasa terganggu.
Ia kemudian meluaskan masjid, dan mendirikan bangunan baru di sampingnya. "Barang siapa membaca syair, membuat kegaduhan, atau berdagang, pergilah ke tempat itu," kata sang khalifah.
Umar menjadikan kompleks Masjid Nabawi sebagai pusat pemerintahan serta berbagai keperluan lain. Tak ada salahnya bila kita, umat Islam yang hidup 15 abad kemudian, menjadikan masjid di sekitar kita sebagai "Masjid-masjid Nabawi" yang lain.
Iwan Qodar Himawan
iwan@gatra.com
(Mukadimah Edisi Khusus GATRA, November 2005)
-------G-------
Friday, November 11, 2005
Memilih Sekolah Untuk Anak
Kiat Memilih Pendidikan Prasekolah
Tiap orangtua tentu akan berusaha memberikan pendidikan yang terbaik buat putra-putrinya bahkan sejak usia prasekolah. Peranan pendidikan prasekolah dianggap makin penting karena diyakini bisa memberikan landasan yang kuat untuk tingkatan sekolah selanjutnya.
BELAKANGAN ini, ada banyak sekali tawaran program pendidikan bagi anak-anak usia prasekolah, seperti kelompok bermain (play group) dan taman kanak-kanak (TK). Orangtua harus memilihkan anaknya pendidikan prasekolah yang tepat. Karena, jika keliru memilih tempat, tak hanya berarti kerugian secara finansial, juga risiko mempertaruhkan anak menghadapi masa depannya. Lalu, bagaimanakah memilih tempat pendidikan prasekolah yang tepat yang sesuai dengan kemampuan keuangan keluarga?
Berikut ini adalah beberapa pertimbangan praktis dalam memilih prasekolah yang tepat, disarikan berdasarkan pengalaman penulis bekerja sebagai Assistant Group Leader di Uni Playhouse & Child Care Centre, Brisbane, Australia, selama dua tahun. Sebelum memutuskan memilih tempat pendidikan prasekolah, orangtua bisa mempertanyakan beberapa hal berikut.
* Pengaturan program. Sudahkah program yang diterapkan terarah sesuai dengan kelompok umur, berdasarkan minat anak sehingga dapat meningkatkan perkembangan fisik, intelektual, sosial emosional dan kemampuan berkomunikasi untuk mengemukakan pendapatnya. Sebaiknya kegiatan dirancang dengan konsep "belajar sambil bermain" sehingga anak-anak dapat betah "belajar", dan merangsang keterlibatan anak secara aktif dalam segala aktivitas sehingga dapat meningkatkan kemandirian anak.
* Merancang aktivitas. Sebaiknya aktivitas anak dirancang sebagai pelaksanaan dari rencana program yang telah disebutkan di atas. Aktivitas harus bervariasi sehingga anak-anak tak merasa cepat bosan. Tiap aktivitas seharusnya dilengkapi alat bantu/peraga yang menarik bagi anak. Misalnya untuk pengenalan huruf dan angka, sebaiknya menggunakan balok-balok huruf dan angka yang berukuran agak besar dengan warna-warni. Anak-anak dibiasakan mengikuti pembacaan cerita oleh guru untuk merangsang minat baca anak. Buku cerita sebaiknya bergambar jelas dengan warna menarik. Aktivitas lain yang biasa diberikan untuk mencegah kebosanan anak, antara lain memasang balok-balok (lego), melukis, bernyanyi, menari yang diiringi lagu/musik, bermain komputer dan menonton (video) program anak-anak. Anak-anak juga perlu diajak bermain di luar ruangan seperti menggunakan ayunan, prosotan, bermain air dan pasir. Jenis mainan harus sesuai dengan kelompok umur agar tidak membahayakan.
* Lama sekolah. Pengalaman menunjukkan, makin pendek waktu sekolah anak dan/atau makin jarang mereka mengikuti program dalam seminggu, makin stres anak mengikuti program prasekolah. Ini terjadi karena secara psikologis anak mengalami proses adaptasi dengan lingkungan sekolahnya setelah hampir seharian penuh di rumah bersama orangtua atau pengasuh. Proses adaptasi ini perlu waktu yang tak cepat sesuai dengan pribadi masing-masing anak. Hanya sedikit anak yang dapat cepat beradaptasi dengan lingkungannya. Faktor yang menghambat proses adaptasi anak dalam aktivitas prasekolah adalah rasa kedekatan yang berlebihan dengan orangtua atau pengasuhnya. Anak umumnya minta ditunggui pada saat mengikuti prasekolah. Tak jarang orangtua atau pengasuhnya harus ikut masuk kelas menunggu si anak. Proses berpisah antara anak dengan orangtua atau pengasuh pada saat mengikuti prasekolah inilah yang sangat menghambat keberanian dan kemandirian anak.
Jika program pendidikan prasekolah hanya dilaksanakan dalam waktu 2 jam sehari, maka pada saat naluri keberanian anak mulai muncul ternyata anak sudah harus pulang karena bel tanda pulang sudah berbunyi. Demikian juga halnya dengan program prasekolah yang hanya tiga kali seminggu menyebabkan anak harus mengulangi proses adaptasinya tiap kali datang ke sekolah karena kemarinnya seharian anak bersama orangtua atau pengasuh di rumah. Kedua hal di atas akan menghambat keberanian anak sehinggga kelihatannya tak ada kemajuan yang menyenangkan terhadap keberanian dan kemandirian anak. Hal ini seringkali memusingkan dan membuat para orangtua frustrasi dan menganggap si anak belum siap untuk mengikuti program prasekolah.
Kalau program prasekolah dibuat lebih lama dan rutin, misalnya 4 jam dalam sehari selama 5 - 6 kali seminggu, maka anak akan lebih mudah mengikuti program yang direncanakan dan lebih leluasa mengekspresikan dirinya, karena mereka sudah melewati masa adaptasi dengan lingkungan sekolahnya. Belajar dari pengalaman penulis di Australia bahwa sampai kurun waktu tertentu, anak justru tidak mau pulang karena mereka telah "menemukan" dirinya dalam lingkungannya, yaitu punya teman bermain dan sudah beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya (guru-guru). Anak pada kondisi ini sudah mulai bisa menguasai dirinya sendiri, punya rasa percaya diri yang pada akhirnya anak akan berani dan mandiri. Hal ini akan dapat dicapai apabila didukung oleh program-program yang menarik yang mampu merangsang anak untuk tergabung dan larut dalam kelompoknya.
* Rasio jumlah guru dan anak. Rasio antara jumlah guru dan anak sangat ditentukan usia anak. Jika tempat prasekolah itu menyediakan fasilitas penitipan bayi, maka rasio yang baik adalah satu orang pengasuh menangani maksimum empat bayi (0-2 tahun). Jumlah bayi dalam satu kelompok berkisar 8-10 bayi. Agar efektif, satu kelompok terdiri dari 10 bayi dan diasuh oleh 3 orang pengasuh. Untuk program Kelompok Bermain/Playgroup (2-4 tahun), maksimum rasionya adalah satu guru menangani 10 anak. Satu kelas yang efektif berisi 20-25 anak, diasuh 2 guru dan seorang asisten. Sedangkan untuk TK (5-6 tahun), rasio ideal adalah satu guru menangani 10 anak. Untuk dapat efektif, jumlah anak maksimum tiap kelas TK adalah 25-30 anak (tergantung besar/kecilnya ruangan yang digunakan), diasuh 2 guru dan seorang asisten. * Kenyamanan dan keamanan anak. Perhatikan fasilitas yang dimiliki seperti gedung, ruang kelas, sarana dan prasarana yang mendukung aktivitas anak seperti media pengajaran dan te! mpat untuk bermain. Telitilah media pengajaran yang dipergunakan seperti buku-buku dan alat bantu belajar lainnya. Perhatikan alat permainan yang dimiliki -- aktivitas dalam ruangan (indoor) maupun luar ruangan
(outdoor)
-- apakah sudah sesuai dengan harapan? Aspek keamanan dan kenyamanan dalam aktivitas anak sangat penting diperhatikan untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Misalnya untuk aktivitas outdoor, apakah dilakukan di atas tanah yang telah ditanami rumput atau ditutup dengan karpet untuk mengurangi efek benturan seandainya ada anak yang terbentur ke tanah akibat terjatuh dari tempat mainannya? Perhatikan pula jenis mainan yang disediakan, ukuran dan bahan yang digunakan harus aman dan tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan anak.
* Penerapan disiplin. Guru atau pengasuh sebaiknya memakai pendekatan positif dalam memberikan pengarahan dan menerapkan disiplin terhadap anak. Memberikan contoh kepada anak adalah cara yang terbaik sehingga anak-anak tidak akan merasa stres dan terbebani untuk mengikuti disiplin yang ditetapkan.
* Pemeriksaan kesehatan. Kesehatan anak berpengaruh besar tehadap perkembangan anak. Carilah kejelasan, apakah tempat prasekolah itu menyediakan sarana pemeriksaan kesehatan secara rutin oleh tenaga medis (dokter/perawat).
* Program kunjungan. Kunjungan ke tempat-tempat yang menarik dan penting akan menambah wawasan bagi anak-anak anda. Apakah kunjungan tersebut dilakukan secara berkala dan terorganisasi dengan baik? Apakah diperlukan persetujuan orangtua untuk mengikutsertakan anak mereka dalam kegiatan ini dan bagaimana peranan orangtua dalam kegiatan ini? Apakah perlu mambayar untuk kegiatan ekstra atau biayanya sudah termasuk dalam uang sekolah?
* Perbedaan budaya dan agama. Perlu ditanyakan apakah sekolah/guru akan memberikan perlakuan yang sama terhadap semua anak? Ini penting untuk meyakinkan bahwa semua anak akan memperoleh perhatian dan perlakuan yang sama dengan menghargai perbedaan agama dan latar belakang budaya.
Sejumlah informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih tempat pendidikan prasekolah yang terbaik bagi anak. Tentunya harus tetap memperhatikan kondisi keuangan keluarga karena makin berkualitas fasilitas dan program yang ditawarkan maka makin mahal biayanya.
*) diambil dari milis idakrisnashow@yahoogroups.com, edisi 9 November 2005.
Subscribe to:
Posts (Atom)