SYAWAL tahun ini merupakan lebaran ke-3 bagi Mohamad Darrel ‘’Dayen’’ Cetta Askara. Lebaran tahun pertama, ia masih berusia 6 bulan. Lebaran berikutnya, ia 1 tahun 6 bulan. Kali ini, ia berumur 2 tahun 6 bulan. Beratnya 24 kilogram. Tingginya 104 Cm, tepat dua kali dari saat ia lahir di Rumah Sakit MMC, Jakarta.
Tak mudah mengajak Darrel untuk mengikuti ritual lebaran yang, bagi sebagian orang, juga terasa membosankan. Pagi-pagi sekali, ia harus sudah bangun. Salat Idul Fitri dimulai jam 7 pagi. Bagi kami, meski ini sembahyang sunah muakad, tapi ini wajib diikuti.
Maka, jam 5 pagi, Darrel saya bangunkan. Wah, susahnya minta ampun. Apalagi, ia seperti punya ritual yang sulit diubah: bangun, mimik susu, lalu minta agar boleh nonton Dora The Explorer… Tapi, kali ini tak ada Dora. Tak ada Maisy. Begitu bangun, harus langsung ke kamar mandi.
Baju Darrel lebaran tahun ini adalah model Turki. Baju gamis ini dibeli mommy sewaktu umrah tempo hari. Harganya tidak mahal, sekitar 20 real, alias Rp 55.000-an. Kainnya bergaris-garis, panjangnya hingga menyentuh lutut.
Jam 6.30, saya, mommy, dan Darrel sudah sampai di Masjid Al Abrar, bersama eyang dan opung. Ini adalah masjid yang letaknya persis di samping rumah eyang. Semula Darrel ingin bersama saya, di lantai dua. Tapi baru lima menit di lantai atas, ia berontak. Minta turun. Di lantai satu, tempat jamaah wanita, ia menyapa: ‘’Mommy nya di mana?’’
*****
Semula kami merencanakan setelah bersungkem ria kepada eyang, opung, serta bersalaman dengan adik-adik, akan keliling ke sejumlah senior. Ada saudara, sejumlah sumber berita seperti menteri, ditutup membawa Darrel ke Pak Wakil Presiden dan Pak Presiden. Lumayan kan, kalo besar nanti, Darrel punya kenangan foto salaman dengan para pejabat tinggi negara itu?
Tahun ini, hal itu tidak kami lakukan. Lebaran kali ini kami kumpul-kumpul dengan keluarga. Di rumah. Soalnya, kami selama puasa, kami sudah bertemu dengan sebagian besar pejabat yang akan kami temui di hari lebaran itu. Puasa memang waktu yang ekstra sibuk bagi kami. Hampir tiap sore ada undangan buka bersama. Sebagian besar harus kami hadiri.
Sorenya, kami bertiga berangkat ke Yogya, dengan pesawat Garuda. Wuah… cuacanya sungguh mengerikan. Penerbangan ke Yogya sebetulnya tak lama, Cuma 50 menit. Tapi, penerbangan kali ini terasa begitu lama. Begitu menakutkan. Semuanya diawali dari pengumuman pilot di menit ke 25. Ia memerintahkan kami menggunakan sabuk pengaman, karena cuaca jelek.
Ternyata, jeleknya lebih buruk dari dugaan kami. Pesawat seperti memasuki gumpalan awan, yang menggulung dan menghentakkan Boeing 737-400 yang kami naiki. Pesawat diayun-ayun, ke kiri, ke kanan. Lalu ke atas, setelah itu tiba-tiba meluncur ke bawah.
Saya berusaha tenang, walo wajah kami pasti terlihat pucat. Uni juga begitu. Berkali-kali kami menyebut ‘’Allahu Akbar’’ di dalam hati. Hanya Darrel yang ekspresif.
‘’Aku takut,’’ katanya, sambil menangis. Saya berusaha menenangkannya. Uni lalu memeluknya.
Sekitar 15 menit kami bagai naik di ayunan. Ayunan yang sungguh mengkhawatirkan. Karena, kami bertiga, satu dinasti, ada di dalam pesawat ini.
******
Di Bandar Udara Adisucipto, Yogyakarta, Om Sigit Widyatmoko sudah menunggu. Ini adik saya yang paling bungsu. Sekarang ia menempuh pendidikan spesialis penyakit dalam, di UGM. Jadwalnya, Desember depan ia dilantik. Tapi karena ia naik haji, jadwal wisudanya mundur ke April.
Om Sigit menggantikan Pakde Joni, yang semula mau menjemput. Pakde Joni, nama aslinya Faisal Heryono. Ia dokter spesialis penyakit dalam yang bertugas di Palangkaraya. Di foto sebelah, ia yang mengemudikan mobil Avanza silver, yang baru dibeli awal tahun ini.
Mas Joni, demikian saya menyebutnya, mempunyai tiga puteri. Paling besar namanya Mbak Cita, kini kuliah di Fakultas Kedokteran UGM. Yang nomor dua adalah Bella, kelas satu di SMA 8 Yogyakarta, satu sekolah dengan anaknya Made Suarjana, kawan saya satu kantor. Paling kecil namanya Tifa, kelas dua di SMP 5 Yogyakarta.
Mas Joni adalah kakak ipar saya. Ia menikah dengan Yeni Widowaty, kakak sulung saya. Mereka sama-sama sekolah di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta. Mereka berlima kini tinggal di Tahunan, persis di belakang Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Yogyakarta. Rumahnya cukup luas. Semula hanya 112 meter persegi, tapi kemudian diperluas, dengan membeli tanah di sebelah.
Sebulan sekali, kadang-kadang dua kali, Mas Joni pulang dari Palangkaraya ke Yogya. Rutenya bisa dari Plk-Jakarta-Yogya, atau perjalanan darat dulu ke Banjarmasin, terus dengan Mandala Airlines ke Yogyakarta. Rute kedua tiketnya lebih murah Rp 400.000. Hanya saja, bikin badan pegel. Jalan Plk-Banjarmasin memang tidak senyaman tol Cikampek, atau jalanan protokol di Jakarta. Di beberapa tempat masih terasa hentakan-hentakan, yang membuat rusuk terasa sakit.
*******
Acara utama kami di Yogya adalah sungkeman ke Bapak dan Ibu, di rumah sewaktu saya masih kecil, di Suryodiningratan. Rumah ini luasnya sekitar 350 meter persegi. Bapak dan Ibu membeli rumah ini pada 1971, sewaktu masih berdinas di Karangmojo, Gunungkidul.
Sesibuk apapun saya, atau mommy, acara sungkeman selalu mendapat prioritas. Kami terngiang-ngiang dengan salah satu renungan di Delta FM yang antara lain berbunyi: ‘’Kalau anak dibesarkan dengan bentakan, ia akan menjadi anak yang keras. Kalau anak dibesarkan dengan kasih sayang, ia akan menjadi anak yang lembut. Kalau ia dibesarkan dalam suasana orang tua yang supersibuk, tanpa perhatian, ia akan melakukan hal sama kepada orangtuanya, tatkala besar nanti.’’
No comments:
Post a Comment