SETIAP Lebaran, saya tak hanya teringat pada opor ayam masakan Ibu. Suara takbir dan beduk di masjid dekat rumah senantiasa membawa ingatan pada kampung tempat saya dibesarkan di Yogyakarta. Ketika keluarga saya mulai tinggal di situ pada 1970-an, kampung itu tak punya masjid. Saya harus jalan kaki ke kampung lain untuk salat Jumat, atau sesekali untuk salat wajib.
Perlahan, seiring ekonomi yang membaik, kampung kami berhasil membangun masjid di atas tanah wakaf. Luasnya 300 meter persegi. Pemilik lahan di sebelah masjid belakangan juga tertarik untuk mewakafkan tanahnya. Masjid itu pun makin luas.
Kini, kalau berkunjung ke kampung saya, Anda punya banyak pilihan. Ada tiga masjid plus minimal satu langgar. Tiap masjid punya kegiatan hampir sama: salat lima waktu, salat Jumat, tarawih di bulan Ramadan, serta ibadah kurban.
Seperti di kampung saya, di banyak tempat lain di negara kita, jumlah masjid juga bertambah. Menurut data Departemen Agama, pada 1998 terdapat 619.000 masjid, langgar, dan musala. Meningkat sekitar 140.000 dibandingkan dengan 1981. Saya yakin, jumlah sebenarnya jauh lebih besar. Banyak kantor, gedung pertemuan, sekolah, serta kampus, yang mengubah sebagian bangunannya menjadi masjid, tak masuk daftar.
Tahun ini, angkanya pasti jauh lebih besar dibandingkan dengan 1998. Meski hampir lima tahun Indonesia loyo dihantam krisis ekonomi, pembangunan "tempat bersujud" tak pernah surut. Tak salah bila Indonesia disebut sebagai "negeri sejuta masjid". Di pompa bensin, sekolah, atau pertokoan, bangunan masjid atau musala gampang dijumpai.
Masjid memang telah menjadi bagian kehidupan masyarakat. Perannya tak bisa dicabut dari sejarah, juga politik Indonesia. Para sultan Jawa menyatukan masjid, alun-alun, dan halaman depan istana, untuk menunjukkan pada rakyat bahwa sang penguasa dekat dengan Gusti Mahakuasa. Sebagian bupati mengikuti jejak itu dengan meletakkan pendopo kabupaten, alun-alun, serta masjid di satu kompleks yang sama.
Satu versi menyebutkan, di Indonesia, masjid pertama dibangun di Peureulak, Samudra Pasai, Aceh. Setelah itu berkembang ke wilayah lain di Sumatera dan pantai utara Jawa. Fungsi masjid juga bergerak. Kadang sekadar sebagai tempat salat. Di lain waktu juga menjadi tempat berniaga, bicara urusan politik, atau tempat pendidikan.
Pada abad ke-17, Burhanuddin, pemuda Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat, nyantri ke Syekh Abdurrauf Al-Singkili, Aceh. Ia lalu balik kampung mendirikan langgar. Ini, menurut guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta, Profesor Azyumardi Azra, merupakan surau pertama di Sumatera Barat yang penuh muatan keilmuan (Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta, 2003).
Di surau, sesepuh dan kaum cendekia mewariskan ilmu kepada kaum muda. Latihan silat, ajaran "adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah" diteruskan. Sejumlah tokoh tenar dihasilkan kurikulum surau. Peran mereka penting dalam pentas sejarah. Seperti Buya Hamka, Mohammad Natsir, A.R. Sutan Mansyur, dan Bey Arifin. Setelah itu, kita belum mengenal tokoh Sumatera Barat hasil didikan kurikulum surau sehebat para senioren itu.
Peran surau, dalam istilah Azyumardi, "kian tarandam".
***
Adalah sesosok kakek, penjaga surau yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk berbakti kepada Tuhan. Waktunya hanya untuk berzikir, berbuat baik, menghafal Quran, dan salat. Suatu hari, ia bertemu Ajo Sidi, seorang pekerja keras yang juga pintar bercerita.
Ajo Sidi mendongeng tentang kisah Haji Saleh, yang perilakunya mirip kakek: waktunya dihabiskan untuk berbakti kepada Tuhan. Tatkala hari perhitungan tiba, Haji Saleh menghadap Tuhan dengan riang.
"Aku selalu menghabiskan waktuku untuk memuji-Mu."
"Terus apa lagi?" tanya Tuhan.
"Ooo, aku selalu membaca kitabmu," jawab Saleh.
"Terus apa lagi?"
"Itulah. Semua telah kuceritakan padamu. Aku selalu berbuat baik pada-Mu."
"Masuk kamu ke dalam neraka."
Saleh pun merasakan hangatnya neraka. Anehnya, di situ ia berkumpul dengan para syekh dan ulama yang sudah berhaji berkali-kali. Malaikat memberitahu Haji Saleh mengapa ia masuk neraka: selama di dunia, ia tak bekerja keras dan membiarkan kaumnya tetap melarat. Saleh dinilai berdoa untuk menyembunyikan diri dari urusan dunia nyata.
Kakek bersedih mendengar kisah itu. Ia merasa, Ajo Sidi menghakiminya akan masuk neraka. Begitu beratnya kegundahan kakek. Penjaga surau itu akhirnya memilih bunuh diri.
Kisah kakek dengan suraunya itu adalah hasil rekaan pengarang tenar Sumatera Barat, Ali Akbar Navis, dalam cerita Robohnya Surau Kami pada 1956. Sang pengarang tampaknya ingin menyindir secara halus para pengurus surau yang mengartikan ibadah dengan cara sempit: salat, naik haji, atau mengaji. Padahal, mencukupi kebutuhan duniawi, termasuk memakmurkan umat, serta menjadikan masjid sebagai pusat perbaikan moral, adalah ibadah yang tak kalah penting.
Kita pantas bersyukur, kini banyak masjid tak sekadar jadi tempat ibadah dalam arti sempit. Masjid difungsikan sebagaimana surau Burhanuddin, dengan pengelolaan modern. Silakan longokkan pandangan Anda ke Al-Azhar, sebuah masjid penuh pergerakan di Jakarta Selatan.
Masjid ini memiliki Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar, pengelola sekolah yang kini sudah beranak-pinak di berbagai penjuru negeri. Kualitasnya diakui. Lapangan di samping masjid bahkan telah disulap menjadi gedung jangkung tempat Universitas Islam Al-Azhar bernaung. Bila berkunjung ke Masjid Al-Azhar, Anda akan mendapati ruang-ruang di sekeliling masjid dikelola untuk berbagai tempat usaha. Mulai ruang pertemuan, warung telekomunikasi, hingga biro perjalanan.
Dari berbagai hasil usahanya ini, pengurus Masjid Al-Azhar bisa mencukupi kebutuhan rutinnya, termasuk menggaji pegawai. Kita berharap, apa yang terjadi di Masjid Al-Azhar itu bisa menular ke tempat lain.
Di luar persoalan ekonomi, harus kita akui, para pengurus masjid menghadapi tantangan tak kalah berat. Masih terjadi kesenjangan cukup tinggi antara apa yang diajarkan di masjid dan dunia nyata. Setiap pekan, berjuta-juta kaum muslim mendapatkan pencerahan moral lewat ajaran para khatib. Namun ajakan berbuat baik itu banyak yang cuma lewat telinga. Sebagian dari mereka yang rajin ke masjid itu tetap meneruskan ulah nakalnya, usai ritual ibadah.
***
Masjid seyogianya bisa menjadi lembaga dakwah plus sarana pengembangan ekonomi yang menggiurkan. Tanah tempatnya berdiri adalah aset yang kian mahal seiring pesatnya perkembangan zaman. Di berbagai kota, terutama Jakarta, banyak masjid yang berdiri di lokasi utama.
Di sekitarnya bercokol gedung-gedung jangkung, tempat bisnis berskala milyaran berlangsung. Konsep baru pengembangan masjid, yang intinya memanfaatkan lahan wakaf untuk bangunan multiguna, rasanya bisa diterapkan di sini. Dengan cara ini, masjid bisa mengongkosi kebutuhan dakwahnya.
Namun ada batasnya: fungsi ekstra itu jangan sampai mengganggu fungsi utamanya sebagai tempat beribadah. Inilah yang dipesankan Umar bin Khattab, khalifah kedua.
Alkisah, Umar menggunakan tempat ibadah yang dibangun Rasulullah, Masjid Nabawi, sebagai tempat ibadah dan pusat pemerintahan. Di bangunan yang tiangnya dari kayu kurma itulah ia mengatur strategi perluasan wilayah, sekaligus nguping gejolak masyarakat. Seiring makin riuhnya kota Madinah, Masjid Nabawi terasa kian ramai. Masyarakat juga menggunakannya untuk berdagang. Sampai Umar merasa terganggu.
Ia kemudian meluaskan masjid, dan mendirikan bangunan baru di sampingnya. "Barang siapa membaca syair, membuat kegaduhan, atau berdagang, pergilah ke tempat itu," kata sang khalifah.
Umar menjadikan kompleks Masjid Nabawi sebagai pusat pemerintahan serta berbagai keperluan lain. Tak ada salahnya bila kita, umat Islam yang hidup 15 abad kemudian, menjadikan masjid di sekitar kita sebagai "Masjid-masjid Nabawi" yang lain.
Iwan Qodar Himawan
iwan@gatra.com
(Mukadimah Edisi Khusus GATRA, November 2005)
-------G-------
No comments:
Post a Comment