Situs Iwan Qodar Himawan - Uni Lubis - Darrel Cetta. Iwan, terakhir bekerja di GATRA. Uni, wartawan, pernah di Warta Ekonomi, Panji Masyarakat, TV7, kini di Antv. Darrel, murid Embun Pagi Islamic International School, Jakarta Timur. Website of The Family of Iwan Qodar Himawan-Uni Lubis-Darrel Cetta. Iwan, journalist. Now running his own company. Uni, journalist, now working for Antv, Jakarta based private TV Station. We live in Permata Timur, Jaticempaka, Pondokgede, Indonesia.
Search This Blog
Wednesday, September 28, 2005
''Silakan Masuk Tuan''
‘’Ayah, ada angin topan.’’
Kalimat itu diucapkan Darrel pada Jumat 23 September lalu. Sambil berkata begitu, ia melongokkan kepalanya ke halaman belakang. Di situ angin bertiup lumayan kencang.
‘’Angin topan?’’
‘’Ya. Tuh, daunnya goyang-goyang…’’
Saya kaget, dari mana Dayen mendapat istilah angin topan.
Setelah itu, saya bertanya pada Mur, mbak yang mengasuh Darrel, serta mengantarnya ke sekolah. ‘’Oh ya Pak, kemarin Darrel nonton berita ada badai katrina di Amerika. Ia mendengar ada istilah angin topan….’’
Wow.., rupanya dari sini, kata ‘’angin topan’’ ia dapat.
Kalau Anda membaca tabloid Nakita, juga membaca ‘’Bagaimana Membuat Cerdas Otak Bayi Anda’’, sejumlah keajaiban memang akan kita temui di anak yang berusia 2 tahun lewat sedikit. Mohamad Darrel Cetta Askara masuk kriteria itu. Ia lahir pada 5 Juni 2003. September tahun ini, usianya baru 2 tahun 3 bulan.
Menurut Nakita dan buku ‘’Bagaimana Membuat ..’’ itu, anak usia 2 tahun mendapat tambahan kosakata yang luar biasa. Kalau pada tahun sebelumnya penambahan kata, serta latihan bicaranya berjalan lambat, kali ini mereka seperti berlari speed. Kencang.
Volume anak usia 2 tahun sudah mencapai lebih dari 60% dari manusia dewasa. Pada usia 5 tahun, mencapai 75%. Setelah itu, penambahan berjalan lambat, sampai mencapai 100% tatkala pertumbuhan manusia berhenti. Kemudian, otak menyusut perlahan-lahan, seiring dengan makin uzurnya usia.
Saya sudah membaca buku dan tabloid itu. Mommy-nya Dayen, Mommy Uni, juga membaca, dengan tingkatan yang lebih sering.
Toh kami sering kaget, terkaget-kaget melihat ucapan-ucapannya.
Semalam, Selasa 25 September, saya tengah menemani mommy makan di ruang keluarga bagian belakang.
Darrel tiba-tiba lari dari depan, membuka pintu. ‘’Silakan masuk, Tuan…’’
Ia mempersilakan saya dan mommmy masuk kamar. Saya kaget. Uni juga kaget. ‘’Dari mana ia belajar kalimat itu Yah,’’ tanya mommy. Saya tidak bisa menjawab.
Sejak tiga bulan lalu, ada kata yang dihapal Darrel di luar kepala: pukung. Ini pengucapan tidak jelas dari kata ‘’pukul’’.
‘’Awas, ayah saya pukung…’’ Kalimat ini menunjukkan bahwa Dayen tak suka atas apa yang dilakukan ayahnya. ‘’Ayah, pergi sana…’’ juga ‘’Ayo, ayah nangis…’’
Begitu cepat pertambahan kata. Begitu cepat ia menambah kekayaan bahasanya.
Saya, juga mommy, kadang-kadang tidak paham. Dari mana ya, anak kami mendapat tambahan kata-kata secara luar biasa itu?
Tuesday, September 20, 2005
New York Nan Luas
DI New York, berbagai acara dilakukan mommy. Tak kalah penting, berbagai pose juga digelar. Di Gedung PBB, di jalan, di depan perwakilan tetap RI, juga di Bursa London. Pokoknya, harus ada kenang-kenangan bahwa mommy pernah ke New York. Sayang, mommy Uni terlalu sibuk mengikuti acara Pak Presiden. Jadinya, tak terlalu banyak foto yang dijepretkan...
New York memang terlalu luas. Terlalu pendek untuk bisa ditelusuri dalam kunjungan selama empat hari. Apalagi bila dalam kunjungan itu terlalu sibuk dengan acara-acara seremonial. Walhasil, ya pasti belum terlalu banyak yang dikunjungi mommy. Padahal, kata Frank Sinatra, ''Kalo kamu sukses di New York, kamu akan sukses di manapun, di seluruh dunia....'' Mungkin, walikota New York, ato Senator Hillari Clinton, karena sudah sukses di kotanya, mereka bisa menjadi presiden di mana pun, di dunia. Itu kalo penafsiran dari kalimat Frank Sinatra itu benar...
New York memang terlalu luas. Terlalu pendek untuk bisa ditelusuri dalam kunjungan selama empat hari. Apalagi bila dalam kunjungan itu terlalu sibuk dengan acara-acara seremonial. Walhasil, ya pasti belum terlalu banyak yang dikunjungi mommy. Padahal, kata Frank Sinatra, ''Kalo kamu sukses di New York, kamu akan sukses di manapun, di seluruh dunia....'' Mungkin, walikota New York, ato Senator Hillari Clinton, karena sudah sukses di kotanya, mereka bisa menjadi presiden di mana pun, di dunia. Itu kalo penafsiran dari kalimat Frank Sinatra itu benar...
Monday, September 19, 2005
SENIN pagi, mommy pulang dari Amerika, setelah selama sepekan lebih mengikuti kunjungan SBY. ''Wuah, capek banget,'' katanya. Tapi, sampe rumah, mommy nggak bisa istirahat. Darrel, yang ketika mommy sampe rumah masih bobok, nggak mau ditinggal mommy. Ia minta dimandikan mommy. Makan bareng mommy. Bobok dengan mommy. Ketika saya mencoba mendekat, Dayen berteriak. ''Ayah, pergi jauh sana....'' Selama di Amerika, mommy pergi ke banyak tempat. Ke Bursa New York, Gedung PBB, patung Madame de Tussaud, ke toko buku, juga ke Lexington Avenue, kantor Opus Dei, organisasi katholik yang jadi heboh gara-gara novel Da Vinci Code. Cerita perjalanan mommy akan ditulis mommy lebih lengkap. Insya Allah.
Saturday, September 17, 2005
Ini adalah foto lebaran tahun lalu, di rumah Opung dan Eyang. Kelihatan dari kursinya, kursi yang dibeli Opung sekitar delapan tahun lalu. Di Permata Timur, tempat Dayen tinggal, tidak ada kursi berwarna coklat begini. Gambar ini dijepret mommy, menjelang salat Idul Fitri di Masjid Al Abrar, Jaticempaka --dulu Jatiwaringin. Ayah pake baju dan celana andalan. Kopiahnya itu yang membelikan Pakde Joni, di Palangkaraya, sewaktu ayah Kongres PWI di kota itu. Cocok kan, kombinasi baju ayah dan bajuku?
Buang Bombbbbb
PAGI, siang, sore, bahkan pada saat buang ''bom'' tetap harus gembira. Darrel di kamar mandi depan, yang biasa digunakan tamu dan tante kalo datang ke rumah, langsung saja ndongkrok, begitu ''sesuatu'' terasa mendesaknya. Wah!
Maaf ya om, tante, kalo saya nampang dalam posisi beginian. Bukan maksud saya tidak sopan. Saya kan masih kecil. Saya nggak harus nutup pintu kalo ''uuk''. Yang salah ini ayah. Masak saya lagi begini, difoto. Habis itu disiarkan lagi, lewat blogger. Wih....
Maaf ya om, tante, kalo saya nampang dalam posisi beginian. Bukan maksud saya tidak sopan. Saya kan masih kecil. Saya nggak harus nutup pintu kalo ''uuk''. Yang salah ini ayah. Masak saya lagi begini, difoto. Habis itu disiarkan lagi, lewat blogger. Wih....
Thursday, September 15, 2005
Latihan Jadi Model???
Alangkah susahnya mengajak D pasang senyum di depan kamera. Dua bulan lalu, ada iklan di Nakita. Isinya: ikuti lomba foto ayah dan anak.
‘’Ayo dong yah, ikut,’’ kata mommy.
Ternyata menyuruh ayah untuk ikut lomba beginian sulit. Giliran ia bilang ‘’ya’’,
Dayen susah untuk diajak berfoto dengan muka senyum. Pas mau dijepret, ia malah pasang muka cemberut. Tangannya juga mau merebut kamera. Gawat.
Selasa lalu, mbak Mur seusai mengantar Dayen ke sekolah, bercerita: ada lomba fotogenik. Syaratnya, pas difoto pake kaos Tumbletotts dan naik sepeda roda tiga.
Wah, berbagai upaya dilakukan untuk membuat Dayen mau difoto dalam posisi riang gembira, di atas sepeda. Heran, tidak gampang ya?
Mungkin ada taktik dan teknik sendiri untuk mengajak agar anak mau difoto. Maklum, suasana hatinya kan gampang berubah-ubah.
Wednesday, September 14, 2005
Mommy di Amerika
Selama sepekan lebih, mommy Uni Z Lubis berada di Amerika. Ia ditugaskan kantornya untuk meliput kunjungan Presiden SBY ke St Louis, Kansas, dan New York. Hari Sabtu malam (10 September) mommy berangkat dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma, diantar ayah. Senin pagi, 19 September, ia dijadwalkan pulang.
Tumben-tumben kali ini Dayen banyak nanya soal mommy. Minggu pagi, hari pertama ia ditinggal, ia sudah bertanya-tanya. ‘’Mana mommy, Ayah?’’ Hari Senin pagi, ia bertanya lagi. Maka, setelah tahu mommy sudah mendarat, ayah segera menelepon mommy. Percakapan jarak jauh, Bekasi-St Louis, berlangsung.
Pada Rabu pagi, mommy muncul di TV. Ayah mbangunkan Dayen lebih dulu. ‘’Itu mommy,’’ kata Dayen, begitu tahu mommynya nongol.
Tiga puluh menit kemudian, Dayen telepon mommy. Ia protes, karena dipaksa mandi oleh ayah. ‘’Aku tidak mau mandi….’’ Katanya.
Terpaksa, mommy di New York sana berusaha keras mendiamkan Dayen.
Weleh-weleh, pasti ongkos mendiamkan Dayen lebih mahal ketimbang sabun satu botol.
Sehari kemudian, mommy nongol lagi di tv. Ia masih seperti sehari sebelumnya, tampil menjadi analis. Ia diwawancara Patsy Widyakuswara, bekas penyiar M97 yang kini bekerja di VOA Amerika.
Mommy menganalisis pidato SBY. Termasuk mengapa SBY selalu menyelipkan kalimat ''perdamaian di Aceh''.
Tak sampe lima menit setelah siaran mommy selesai, SMS dari New York datang. ''Bagaimana siarannya?''
''Wah, kok kayak jadi Andi Mallarangeng?'' ini jawaban SMS dari ayah.
''Masak sih. Lumayan kritis lo...''
''Heheh.. bergurau. Kalau mommy yang tampil sendiri, mewawancarai nara sumber lebih bagus lo...''
''Enggak. Aku disuruh jadi analis.''
''Yo uwis mom. Ini D masih bobok...''
Tuesday, September 13, 2005
Perang Media dan Media Perang: Netralitas Wartawan
Senin, 12 September 2005
Diskusi | 20/04/2003
Akhirnya, pasukan Amerika Serikat dan sekutunya berhasil menduduki Irak. Benar-benar menyedihkan! Tentu saja kita tak lupa, invasi ke Irak ini tak hanya mengandalkan peralatan perang yang canggih. Propaganda perang melalui jaringan media telah digunakan Amerika dan Inggris, bahkan sebelum pertempuran itu dimulai. Uniknya, perang kali ini konsumen berita sangat dimanjakan oleh sajian yang beragam sehingga jaringan televisi sekuat CNN, Fox News atau NBC harus “bertempur” habis-habisan dengan televisi Al-Jazeera dan Al-‘Arabiyya untuk memperebutkan opini publik.
Bagaimana sih media-media itu, termasuk media di Indonesia, meliput dan melaporkan tentang perang ini? Redaksi KAJIAN minggu ini menurunkan petikan diskusi ‘Media dan Perang’ yang diselenggarakan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan Radio 68H di Jakarta, 3 April 2003. Hadir sebagai pembicara Ulil Abshar-Abdalla, Greta Morris (Konsulat Pers Kedubes AS), Eriyanto (pengamat media dari PANTAU) dan Uni Lubis (TV7 yang me-relay Al-Jazeera). Beberapa peserta seperti Agus Sudibyo (pengamat media dari ISAI), Jason Tejakusuma (koresponden Time) dan M. Iqbal (Pascasarja Komunikasi UI) juga terlibat. Karena keterbatasan ruang, tak seluruh hasil diskusi bisa ditampilkan.
Netralitas Wartawan Peliput Perang
Eriyanto:
Petinggi militer AS sejak awal menyadari bahwa media harus diperhatikan selain operasi militer itu sendiri. Dalam Perang Teluk pertama, AS memakai sistem pool: wartawan dikumpulkan dalam satu pool, lalu ia meliput dengan bantuan dari militer.
Kali ini, kerjasama wartawan dan militer juga tak bisa dihindarkan karena pasukan koalisi banyak mengandalkan serangan dari udara. Intinya, media butuh militer dan militer juga butuh media. Fenomena menarik dalam perang ini ialah embedded journalist: wartawan “melekat” di dalam militer. Ada 500-an wartawan yang ikut serta dalam konvoi militer pasukan koalisi.
Justru itulah yang memancing kritik. Pertama, praktek jurnalisme semacam ini merentankan independensi wartawan. Dia hidup, menghadapi bahaya, makan dan bergerak bersama-sama dengan militer yang ditumpanginya. Kedua, pola itu juga menimbulkan distorsi dan terkesan melebih-lebihkan. Ketiga, liputan semacam itu hanya menampilkan kehebatan dan kecanggihan peralatan perang pasukan koalisi, tapi jarang menampilkan korban-korban perang itu sendiri. CNN misalnya, banyak sekali memakai kata our soldiers (tentara kita atau kami).
Ulil Abshar-Abdalla:
Embedded journalist memang tak menghinggapi Al-Jazeera. Stasiun yang baru berdiri 1996 ini kini menjadi hero di Timur Tengah, dan negara-negara lain, termasuk Indonesia. Kalau dilihat secara jujur, televisi ini juga menyuguhkan propaganda dalam bentuk lain. Menjadi fenomenal karena selama ini propaganda perang hanya diberikan pers AS. Baik CNN, Fox, NBC maupun Al-Jazeera sebetulnya sejak awal sudah mempunyai sikap tertentu. Al-Jazeera, bila kita simak keseluruhan siarannya, dan bagaimana ia mem-frame siarannya, jelas sekali bahwa sikapnya antiinvasi AS ke Irak.
Sebaliknya, seluruh media AS, mungkin ini generalisasi, bila dilihat dari mainstream-nya, tampak sekali mendukung pemerintahnya. Tentu dengan berbagai variasi yang sedikit berbeda antara satu media dengan media yang lain.
Kolumnis New York Times, Tom Friedman, mengritik Al-Jazeera dengan mengatakan bahwa sebagai salah satu televisi, Al-Jazeera hanya melayani keinginan audience Timur Tengah, yakni berita tentang kemenangan Saddam dan kekalahan pasukan koalisi. Tapi apa yang dikatakan Tom ini juga berlaku untuk media AS. Media AS tak berani melawan arus publik yang lebih pro pada pemerintahnya. Ada satu kasus, misalnya Peter Arnett dipecat dari NBC karena diwawancarai TV Irak yang isinya dinilai merugikan publik.
Ada media yang agak independen, BBC misalnya. Tapi BBC juga tidak semuanya netral. The Guardian juga sering menerbitkan artikel-artikel yang kritis. Tapi secara keseluruhan, agak susah dalam situasi perang seperti ini membayangkan ada media yang betul-betul independen, karena media sebenarnya ditujukan untuk melayani pembaca atau pemirsanya.
Uni Z. Lubis:
Pers memang tak mungkin netral. Kalau Anda baca buku yang paling saya gemari, Elements of Journalism karya Bill Kovack, mengatakan bahwa wartawan tak pernah netral. Masalahnya, bagaimana wartawan mengambil keputusan harus didasarkan pada hati nurani dan pengamatan faktual di lapangan.
Tentu media yang punya akses bagus, yaitu Al-Jazeera yang bisa mengamati di lapangan secara faktual. Al-Jazeera juga memberikan tempat kepada pejabat-pejabat dari AS dan sekutunya untuk beropini. Semua pihak yang berperang punya public relation (PR). Yang tak punya PR itu justru rakyat Irak yang menjadi korban. Wartawan Al-Jazeera bisa melihat tragedi kemanusiaan yang terjadi di lapangan dan mereka menjadi PR-nya warga Irak.
Seandainya TV7 atau media punya akses seperti Al-Jazeera, saya yakin, semua wartawan kita ingin lebih mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan akibat dari perang. Kewajiban kita sebagai wartawan untuk menyuarakan yang selama ini dikatakan the voiceless, yang tak pernah didengar.
Keputusan TV7 untuk merelai Al-Jazeera hanya diambil dalam hitungan dua jam. Tapi Al-Jazeera sudah menjadi perhatian kami sejak lama. Alasannya, prestasinya luar biasa dalam perang di Afghanistan. Kami menyadari juga bahwa publik Indonesia punya kedekatan emosional dengan masyarakat di kawasan Timur Tengah. Kalau ada televisi lain yang sudah menayangkan versi CNN secara terus-menerus, maka kami juga berhak menayangkan versi di luar CNN. Tapi versi CNN tetap kami beritakan dalam TV7.
Greta Morris:
Saya mau katakan bahwa soal pemecatan Peter Arnett, Al-Jazeera yang tak diperkenankan meliput di bursa New York, itu di luar kebijakan pemerintah AS. Sebelum perang dimulai, banyak surat kabar atau tajuk rencana yang menentang perang. Tapi karena perang sudah dimulai, kebanyakan orang AS mendukung pemerintah mereka. Karenanya liputan media AS berubah menjadi lebih mendukung perang.
Kebebasan pers tetap ada di AS. Tapi selalu ada faktor human error dalam semua liputan media massa. Walaupun coba meliput secara mendalam dan jujur, tetap ada unsur propaganda.
Uni:
Saya mau tanggapi Gretta soal kebebasan pers di AS tetap ada. Saya mau menyinggung salah satu isu yang paling krusial di kalangan pers AS saat ini adalah global cencorship yang sudah terjadi sejak tragedi 11 September. Kita tahu, Condoleeza Rice menelpon para eksekutif media agar tidak menayangkan cottage-cottage Osama. Negara-negara yang dipimpin oleh diktator mengatakan kalau AS saja sudah membatasi persnya, kenapa kita tidak? Akses wartawan untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya tentang perang juga sangat terbatas. Bahkan sudah ada wartawan yang mengajukan somasi kepada pemerintah AS.
Para wartawan yang biasa bertugas di Pentagon juga kesulitan mendapatkan informasi yang sebenarnya, bahkan untuk sekadar informasi rutin. Gejala ini dimulai semenjak Donald Rumsfeld menjadi Menteri Pertahanan. Ada artikel yang mengutip kepala biro New York Times yang menceritakan seorang jenderal ketakutan setelah berbicara dengan wartawan.
Greta:
Saya pikir, itu menyangkut “sensitive informations,” keterangan yang sangat sensitif atau terkait keamanan. Tapi ada hal baru kali ini di mana wartawan dapat akses luar biasa dalam meliput perang di Irak melalui kebijakan embedded journalist. Wartawan bisa mendapat keterangan first hand dan bisa menayangkan langsung kepada penonton. Tapi ada segi yang sedikit kurang baik, seperti ditulis The Asia Wall Street Journal, 1 April 2003. Untuk keseluruhan gambar besar, ‘the big picture,’ justru kurang, sedang hal-hal yang terperinci malah overdosis.
Agus Sudibyo:
Saya kira, sampai hari ini yang paling bagus menggambarkan perang dari sisi korban adalah Al-Jazeera. Media-media Barat, terutama AS dan Inggris, seperti terekam dalam Perang Teluk I, invasi ke Granada dan Panama, selalu menggiring diskursus perang ini semata-mata diskursus starwar. Perang hanya dilihat sebagai pertarungan teknologi perang kelas wahid, tanpa ada korban dari sipil. Ini sebuah kebohongan, karena bagaimanapun perang adalah perang. Ada air mata, darah dan kehancuran.
Nah, dalam hal ini, kita membutuhkan media seperti Al-Jazeera bahwa perang harus dilihat dari sisi korban. Soal kebebasan pers, bukan rahasia lagi, banyak sekali literatur yang menggambarkan betapa AS ingin menggambarkan perang mereka dengan negara lain itu sebagai hidden invasion: perang yang selalu ditutup-tutupi dari pemberitaan media secara terbuka.
Ulil:
Saya sendiri menolak perang ini. Sebenarnya saya suka menonton Al-Jazeera. Sampai saat ini Al-Jazeera menjadi menu utama saya setiap hari, bahkan dua hari pertama saya tak tidur; hampir 48 jam saya tongkrongi Al-Jazeera. Masalahnya, Al-Jazeera sendiri, sebagai station TV, posisinya agak sulit. Markas Al-Jazeera di Qatar, sedang pemerintahnya mendukung invasi. Tapi sebagai TV yang melayani pemirsa Timur Tengah yang hampir semua audience-nya tak setuju invasi, otomatis ia tak bisa melawan aspirasi dari pemirsanya.
Jadi Al-Jazeera seperti terperangkap dalam dua keadaan yang sulit. Kalau kita lihat seluruh pemerintahan Timur Tengah sekarang ini, sebagian besar menyetujui invasi AS; Mesir, Arab Saudi, Qatar, Emirat Arab, dan negara-negara Teluk pada umumnya menyetujui perang karena menilai Irak sebagai ancaman. Karenanya beberapa penguasa di Timur Tengah tak menyukai Al-Jazeera. Hosni Mubarak tak suka Al-Jazeera, bahkan pernah melarang mereka di Mesir, dengan dalih Al-Jazeera lebih pro-fundamentalis. Lha wong penyiarnya nggak pakai jilbab dan cantik-cantik kok disebut fundamentalis..ha..ha..Tom Friedman malah menuding Al-Jazeera sebagai TV yang bertanggung jawab dalam memprovokasi sentimen anti-AS di Timur Tengah.
Eriyanto:
Yang menarik dalam Perang Teluk II ini adalah pemirsa mempunyai banyak pilihan. Kalau dalam Perang Teluk pertama, pilihannya cuma CNN, apalagi saat itu TV swasta di Indonesia tak banyak sehingga “larinya” ke koran. Sekarang pemirsa bisa memilih channel yang disukai. Ada dua kubu di sini, meski masing-masing kubu juga berusaha untuk tetap balance. Saya ingin tahu respon pemirsa terhadap dua kubu itu.
Uni:
Saya ingin menyampaikan data-data yang kami peroleh. Hari pertama kami menyiarkan Al-Jazeera, pada Jum’at, 21 Maret 2003 kami hanya merencanakan siaran setiap hari pukul 07.00 pagi sampai pukul 11.00. Setelah itu, kami akan masuk program reguler. Begitu kami hentikan, telpon, sms, fax berdering dan marah semua dan meminta agar tayangan itu dilanjutkan. Karenanya, malam harinya kami siaran lagi pukul 23.30 sampai 11.00. Itu bukti pertama
Kedua ditunjukkan oleh angka-angka rating dan audience share yang biasanya keluar pada hari Rabu. Pemirsa TV7 naik dua kali lipat hanya untuk minggu lalu. Minggu ini (minggu kedua sejak perang dimulai) naik tiga kali lipat, bahkan khusus siaran Al-Jazeera di TV7 pada malam hari share-nya bisa sampai 26 dan rating 3. Yang menarik ialah sebagian besar yang menonton adalah ibu-ibu atau perempuan. Mungkin karena Al-Jazeera banyak menampilkan sisi-sisi kemanusiaan korban, maka yang attach kebanyakan kaum perempuan dan rela begadang sampai pagi menonton Al-Jazeera.
Greta:
Al-Jazeera bukan hanya mewakili korban dari warga sipil Irak, tapi juga korban dari pasukan koalisi (Mungkin dia merujuk pada penayangan tawanan AS di Al-Jazeera). Tapi Al-Jazeera tak mewakili korban dari kekejaman Saddam Husein. Padahal ada banyak korban dari Saddam Husein. Beberapa hari lalu, Kedutaan AS menayangkan perempuan, Zainab al-Syuaiz, yang memberikan banyak keterangan tentang kekejaman Saddam Husein atas orang Irak sendiri, suku Kurdi, orang Iran dan Kuwait. Seharusnya media memberitakan semua fakta yang ada.
Jason:
Idealnya memang harus menyajikan semua fakta dan kebenaran, tapi jelas bahwa semua TV swasta di dunia ini untuk mencari rating. Ini bisnis dan bukan fenomena baru. Kalau Fox News, saya tak heran mereka berpihak pada pasukan koalisi dan memakai istilah-istilah yang menjijikkan. Kita juga selalu mencari media yang sesuai dengan pendapat atau interest kita juga.
Ulil:
Secara umum, Al-Jazeera berusaha mengikuti norma-norma dan standar jurnalisme yang standar. Dia cover semua konferensi pers yang diadakan pasukan koalisi maupun Irak. Semuanya ditayangkan dan diterjemahkan dengan bagus sekali, lebih baik daripada para penerjemah Indonesianya. Sudah pasti Al-Jazeera punya biro yang sangat kuat di London, Washington, Kairo, Baghdad selain di Doha sendiri. Dari segi prinsip-prinsip jurnalisme dasar, ia memberitakan secara fair. Meski kita tahu cover-both-side itu bukan segala-galanya, karena ketika cover-both-side itu di-print atau diletakkan dalam satu kerangka tertentu, tentu punya kesan yang berbeda.
Bagaimana Liputan Media di Indonesia?
Greta:
Saya kira, liputan media di sini soal perang ini cukup bagus karena digali dari beberapa sumber. Ada dari Reuters, Al-Jazeera, CNN, BBC dan lain-lain. Reaksi orang Indonesia atas perang di Irak juga bagus sekali. Walau ada unjuk rasa di sana-sini, tapi berlangsung sangat damai. Perang ini juga disebut tak ada kaitan dengan agama. Kami sangat berterima kasih. Kadang masih ada berita yang kami sesalkan. Misalnya dilaporkan duta besar AS dan staf sudah meninggalkan Indonesia. Ini tidak betul sama sekali. Kami merasa aman di sini, meski banyak yang mendemo kami.
Eriyanto:
Pemikir asal AS, Walter Dickman, mengatakan bahwa dalam perang seringkali media bukan menampilkan apa yang terjadi, tapi apa yang dikehendaki publik untuk terjadi. Ini bukan cuma terjadi di AS, tapi juga di Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia, katakanlah, pro-Irak. Ini ditangkap oleh media kita di mana banyak sumber-sumber berita yang dikutip dan dijadikan headline adalah berita-berita yang menggambarkan kemenangan Irak atau pasukan koalisi yang menjadi pecundang. Saling serang antara tentara AS dengan Inggris (friendly fire) diekspos besar-besaran dan seterusnya.
Yang unik ialah seringnya pengutipan tanpa kritis. Minggu lalu beberapa harian misalnya, Jawa Pos, Media Indonesia, Koran Tempo dan Republika menurunkan headline soal pesawat helikopter yang canggih, Apache, yang ditembak petani. Melihat foto Apache yang masih utuh tanpa ada kerusakan, agak mustahil bila ia ditembak petani tua yang bersenjata tradisional. Koran Tempo dan Republika juga memberitakan Brigade Lapis Baja ke-7 tentara Inggris yang dibuat tak berkutik ketika menghadapi pertempuran di Basra. Realitasnya, tidak ada satupun tentara Inggris yang tewas dalam pertempuran itu.
Koran-koran juga sering menampilkan berita serdadu koalisi kelaparan karena ada serangan terhadap konvoi-konvoi yang membawa amunisi dan perbekalan. Seringnya berita semacam ini dikutip media-media kita tanpa sikap kritis, sehingga muncul persepsi yang menggelikan. Ini semua mungkin dalam rangka memuaskan sensasi yang diinginkan kebanyakan warga Indonesia.
Uni:
Memang ada unsur dramatisasi. Masalahnya, bayangan kita, invasi ini akan berlangsung sangat singkat. Artinya AS tak sampai menjatuhkan bom dan rudal sebanyak ini untuk menjatuhkan Baghdad dan membuat Saddam Husein mati. Memang ada semacam perasaan sorak-sorai ketika Amerika tidak bisa maju karena terhalang oleh badai gurun pasir dan lain-lain. Itu saja sudah dianggap kekalahan dalam perang ini yang mirip David versus Goliath.
M. Iqbal:
Tema besar kita ialah antiperang karenanya media massa kita seharusnya berpihak pada peace journalism. Jurnalisme damai menjadi momentum membangun kesadaran kritis untuk ditunjukkan pada publik dunia. Kalau media nasional tak meliput langsung dalam arena perang, mereka bisa menulis features atau liputan humaniora tentang korban perang. Inilah kesempatan media massa melawan perang itu sendiri.
Eriyanto:
Tapi kondisi riil media kita agak susah untuk melakukan jurnalisme damai. Media kita mungkin menolak perang, tapi diam-diam harus diakui bahwa perang ini juga sudah menaikkan oplah dan rating mereka. Rating TV7 naik tiga kali lipat selama perang ini, demikian pula oplah koran-koran kita. Ada yang mengatakan bahwa oplah media sekarang rata-rata naik hampir 10.000,-an. Saya kira, orang makin cenderung baca koran, mendengar radio, menonton TV dan mengakses internet untuk memperoleh informasi soal perang.
Media massa juga sulit meliput secara berimbang karena keterbatasan akses menemui pihak-pihak yang berseteru. Media dari AS misalnya, tak punya akses yang cukup leluasa untuk menemui sumber-sumber di Irak. Tinggal bagaimana kekritisan kita sebagai khalayak untuk mencermati setiap berita yang ditampilkan media. Kalau tidak kritis, maka yang terjadi adalah dramatisasi kejadian yang awalnya biasa lalu menjadi sangat luar biasa []
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=24
Hak cipta ©2001-2005, Jaringan Islam Liberal (JIL). Kontak: redaksi@islamlib.com
Monday, September 12, 2005
Susilo Bambang Yudhoyono Janji Hapus Diskriminasi
Nasional
Selasa, 07 September 2004 | 20:42 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di depan sejumlah pimpinan media massa, televisi serta tokoh ekonomi dan politik, berjanji akan menghapuskan semua kebijakan yang bersifat diskriminatif. Dengan jargon "diskriminasi no, kesetiakawanan sosial yes", Yudhoyono menjanjikan lima komitmen utamanya apabila terpilih sebagai presiden.
"100 hari pertama, semua kebijakan yang diskriminatif akan ditinjau ulang," katanya dalam diskusi yang bertajuk "Indonesia untuk Semua" di Jakarta, Selasa (7/9). Untuk memastikan semua komitmennya terlaksana, dia akan menunjuk pembantu-pembantu yang benar-benar se-visi dan ideologi, serta telah teruji kemampuannya.
Tampak hadir dalam diskusi ini sejumlah tokoh pers seperti Djaffar Assegaf, Pemimpin Redaksi Media Indonesia Andi F. Noya, Pemimpin Redaksi Tempo Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi RCTI Derek Manangka, dan Direktur Pemberitaan TV7 Uni Lubis. Sejumlah pelaku ekonomi juga hadir antara lain Lin Che Wei, mantan Kepala BPPN Edwin Gerungan.
Yudhoyono memaparkan, komitmennya yang pertama adalah menciptakan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Dengan mengutip pernyataan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi, dia mengatakan kemajuan suatu bangsa tidak akan ada artinya apabila tidak dapat menumbuhkan kebanggaan. Untuk itu, pembangunan karakter dan bangsa akan dimasukkan dalam sistem pendidikan nasional.
Komitmennya yang kedua adalah menghapuskan semua kebijakan yang diskriminatif dan menumbuhkan kesetiakawanan sosial. Pemerintah, menurutnya, harus secara nyata terlibat dalam program kesetiakawanan sosial untuk membantu mereka yang miskin dan tidak dapat menikmati pendidikan.
Untuk menguatkan rasa sebagai satu bangsa, Yudhoyono juga menilai perlunya pembangunan prasarana transportasi, baik laut, darat maupun udara, yang menghubungkan seluruh Indonesia. Dia berjanji akan membangun sistem transportasi, Trans Indonesia, untuk mewujudkan hal itu.
Dia juga menilai perlunya kembali menghidupkan prestasi olahraga dan seni budaya Indonesia. Hal itu berguna untuk menciptakan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Yang lebih penting lagi, ujar Yudhoyono, adalah kerja keras. Mesin birokrasi yang selama ini dinilai lambat dan tidak efisien, harus diubah. "Itu harus dimulai dari orang pertama di negeri ini," katanya.
Soal dukungan partai kepadanya yang kurang dari 50 persen kursi parlemen, Yudhoyono mengatakan akan memperbaiki keseimbangan kekuatan di parlemen apabila terpilih nanti. Menurutnya, komposisi kekuatan politik saat ini masih mungkin berubah setelah pemilihan presiden diketahui hasilnya.
Namun menurutnya, dalam sistem presidensial seperti yang dipakai Indonesia, pemerintahan yang dukungan parlemennya tidak mencapai mayoritas tidak serta-merta akan gagal. "Tujuan DPR kan juga tidak sekedar mau menjatuhkan pemerintahan," katanya.
Sapto Pradityo - Tempo News Room
Saturday, September 10, 2005
Dora & Darrel
Darrel termasuk maniak televisi. Beberapa film menjadi favoritnya. Ada Bob the Builder, Maisy, serta yang paling favorit adalah Dora The Explorer.
Sedang nangis, sedang maem, atau lagi naik sepeda, kegiatannya terhenti, bila Dora melintas di tv.
Film anak asal Spanyol ini diproduksi Nickelodeon. Di Indonesia disiarkan Lativi. Demam Dora ini bisa dilihat juga ceritanya di detik.com. Kalo baca cerita di bawah ini, pasti paham, mengapa Darrel, juga anak-anak lain seusianya, sangat suka pada Dora.
Demam Dora The Explorer
Yulia Dian - detikHot Jakarta, Belakangan ini demam film kartun Dora The Explorer melanda anak-anak Indonesia. Film animasi lucu yang sangat interaktif ini memang sangat mendidik.
Dora The Explorer pertama kali ditayangkan oleh channel Nickelodeon di Amerika Serikat pada tahun 2000. Dan kini film animasi dapat dikonsumsi masyarakat Indonesia di stasiun televisi Lativi.
Bagi yang belum pernah nonton dan heran mengapa banyak anak Indonesia yang tertarik pasti akan bertanya, apa sih Dora The Explorer itu? Dora adalah gadis latin yang imut dengan pakaian lucu yang pergi bertualang bersama teman sejatinya yang selalu bersepatu merah bernama Boots. Selama petualangannya dia selalu membawa tas ranselnya yang bisa berbicara dan sebuah map yang bisa menyanyikan lagu-lagu lucu.
Dia juga tidak lupa membawa peralatan lainnya yang bisa berbicara. Petualangannya seperti dalam komputer dilengkapi adanya mouse di layar yang diklik untuk menentukan pilihan jalan yang akan diambilnya. Dora bertanya pada penonton dan menunggu respon dari mereka.
Dora selalu melakukan petualangan ke suatu tempat dan harus melalui berbagai rintangan. Dia selalu membawa peralatan petualangannya di ransel kesayangan pemberian orangtuanya. Ransel itu selalu memberikan solusi untuk petualangan Dora tapi tentu saja dengan bantuan penonton. Dora mengajak penonton mengatakan apa yang harus dilakukan dan Dora meminta bantuan penonton untuk mengikuti ucapannya, mengucapkan bahasa Spanyol dalam kata yang sederhana.
Dora berhasil bereksplorasi dengan alam pikir anak kecil dan membuat anak kecil yang menonton Dora seakan ikut berpetualang dengannya. Tampilan gambar dan warna pada film animasi ini juga terlihat simpel dengan pemandangan alam yang sangat natural seperti benar-benar ada di pikiran anak kecil. Ditambah dengan lagu yang unik seta gampang diingat mengajak anak-anak ikut bernyanyi.
Pada beberapa episodenya Dora mengenalkan sepupunya Diego yang bekerja sebagai penyelamat hewan dan kemudian ikut menemani Dora berpetualang. Setiap episode Dora, selalu menampilkan contoh dan melatih kemampuan untuk mengambil keputusan, mengikuti petunjuk, kemampuan berhitung, musik, koordinasi fisik dan alih bahasa Inggris dan Spanyol yang sangat interaktif. Dora mengajak penonton berbicara dan mengeluarkan pendapatnya. Ini membuat anak-anak bisa terasah kemampuannya.
Dora the Explorer masih diproduksi hingga kini. Dora dan perusahaannya mengembangkan tokoh ini dengan merilis buku berisikan Dora dan berbagai macam aksesoris Dora. Acara ini muncul di Inggris walaupun dibuat dengan susunan bahasa Spanyol membentuk sebuah karya bagi penonton muda mengenai kehidupan dan pengalaman nyata. (tis)
Young (and Handsome) Photographer
SABTU, 3 September lalu, saya sedang duduk di ruang keluarga bagian belakang. Sambil megang kamera digital. Tiba-tiba Dayen datang. ‘’Pinjam kamera,’’ ucapnya dengan suara yang masih dengan ‘’bahasa planet’’.
Ia langsung nyahut kamera yang saya pegang –Panasonic DMC-FX1. Lalu ia jepret-jepret-jepret.
Eit, salah. Lensa kamera ia arahkan pada dirinya.
‘Dayen, arahnya salah. Arahkan pada ayah dan mommy,’’ teriak mommy.
Ia bingung. Melalui berbagai instruksi, akhirnya kamera itu ia arahkan pada saya dan mommy, yang lagi duduk di sofa panjang.
Kemudian jepret-jepret-jepret.
Jadilah beberapa gambar.
‘’Eit, jangan lensanya yang dipegang.’’
Saya terpaksa berteriak dengan keras –bukan galak lo—karena Dayen mau memasukkan lensa yang lagi zoom in dengan cara menekan. Wah, kan repot…
Eh, Dayennya malah ketawa. Ngakak lagi. Ia seneng, bisa mengganggu orang tuanya.
Kemudian kamera ia arahkan ke kiri. Di situ ada Tante Uti sedang makan. Hari Sabtu, Tante Agus memang libur. Ia sering datang untuk menginap keponakannya.
Kini, keponakan yang ia kangeni itu membalas dengan sebuah aksi foto. Jepret… kamera menyala. Tapi salah, arahnya terlalu atas.
Ia mengulangi lagi.
Kali ini pas arahnya, walau gambarnya goyang.
Hasilnya? Watch this….
Tuesday, September 06, 2005
DARI PONDOKGEDE KE GUNUNG GEDE
TAHUN lalu, mommy punya kerja raksasa: menjadi panitia 17an di kantornya. Tahun lalu, kantornya mengadakan acara ‘’jambore jejak petualang’’. Namanya jambore, artinya ada acara kumpul-kumpul para pecinta kegiatan naik gunung. Istilahnya, para pencinta alam. Karena ‘’jejak petualang’’ adalah program di bawah urusan bagian news, maka mommy ikut sibuk.
Jarang lo mommy naik gunung. Malah, sejak kenal ayah 15 tahun lalu, sekalipun ia belum pernah mendaki gunung. Waktu kuliah mommy memang pernah ikut resimen mahasiswa. Waktu SMP juga pernah jadi anggota pramuka, bahkan sampe ikut jambore di Sibolangit, Sumatera Utara.
Setelah belasan tahun tidak ber-alam ria, dan tubuh sudah ‘’turun mesin’’ gara-gara melahirkan Dayen, tiba-tiba saja mommy memutuskan mau ikut naik gunung. Weleh-weleh…..
Ayah mengira, mommy hanya main-main. Eh, ternyata beneran. Mommy berangkat benar ke Gunung Gede! Ia naik gunung, mendaki, sampe puncak lagi.
‘’Wah, capek sekali lo, naik gunung. Aku hampir pingsan,’’ kata mommy. Ia bercerita, di berbagai pos pemberhentian, selalu beristirahat. Minum, terutama. ‘’Eh, ada anak kecil lo, dengan ayah dan ibunya, bisa jalan cepat,’’ kata Mommy. ‘’Darrel harus kita ajak suatu saat,’’ katanya.
Di puncak gunung, mommy tak lama. Setelah beristirahat, lalu upacara, mommy turun. Di sini muncul masalah baru. Untuk turun ternyata kakinya harus ngerem. Kuku pun jadi korban. Sehari setelah mommy mendarat di Jatiwaringin –kini Jaticempaka, Pondokgede, mommy berobat ke Rumah Sakit MMC, Kuningan. Dua kuku jempolnya harus dicopot.
Woalah….
Ke Aceh (Lagi) Setelah Tsunami
GEMPA disusul gelombang tsunami yang mengguncang Aceh, 26 Desember tahun lalu, bekasnya masih terasa hingga kini. Sebuah pembangkit terapung di Aceh masih teronggok di daratan. Pembangkit itu dulunya persis di tepi pantai. Gelombang dahsyat menyeretnya ke tengah daratan. Luar biasa.
Pekan lalu, 3 dan 4 September 2005, mommy pergi ke Banda Aceh. Ini kepergiannya yang mungkin sudah ke-6. Mommy pertama kali ke Aceh dalam rangka tsunami pada 27 Desember, alias sehari setelah badai dahsyat. Waktu itu, banyak sekali jenazah yang berserakan. Kisah perjalanan mommy, yang nebeng pesawat Wakil Presiden itu, sudah dimuat di posting bulan lalu. Karena mengerikan, foto-foto jenazah yang berserakan tidak dimuat di situs ini.
Setelah itu, mommy pergi beberapa kali. Sebagian besar untuk urusan TV7. Bahkan, mommy juga pernah ke Meulaboh, daerah yang dihantam tsunami dengan kerusakan hampir 80%.
Kali ini mommy ke Aceh lagi, karena Dana Kemanusiaan Kompas dan TV7 meresmikan proyek sosialnya. Ada pembangunan asrama, sekolah, masjid, yang tersebar di dua kota: Meulaboh dan Banda Aceh. Mommy juga sempat mampir ke PLTD terapung, yang jasadnya masih teronggok. Ia berfoto dengan mas Bambang Sukartiono, bosnya di bagian pemberitaan, di kantor.
Untuk menggambarkan dahsyatnya tsunami itu, dimuat di sini berita dari Banjarmasin Post, edisi 23 Januari 2005.
PLTD Itu Terbawa Hingga 2,5 km
"Kapal (PLTD) itu menahan tsunami dan menyelamatkan ratusan nyawa"
ADA banyak kisah di balik dahsyatnya gempa dan gelombang tsunami yang memporandakan Aceh, 26 Desember lalu. Salah satu bukti dahsyatnya gelombang tsunami adalah terhempasnya PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel) Apung (terapung) milik PLN seberat 200 ton (225 ton termasuk BBM) dari tambatannya di komplek dermaga Ulelheu Banda Aceh.
PLTD berbentuk kapal itu terbawa arus gelombang hingga ke kawasan Punge Blang Cut yang jaraknya (perhitungan garis lurus) tidak kurang 2,5 kilometer. Masya Allah!
Hingga kemarin --empat pekan pascabencana-- PLTD Apung itu masih teronggok di antara puing-puing bangunan. Kawasan Punge Blang Cut sebelum bencana terjadi merupakan kawasan padat penduduk. Hebatnya, meski ‘terlempar’ hampir tiga kilometer, PLTD itu tetap utuh.
"Tak ada kerusakan apa-apa. Kalaupun sekarang difungsikan, masih bisa," kata Subaktian, koordinator Posko Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada, di pendopo Gubernur Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Banda Aceh, Sabtu (22/1).
Kisah PLTD Apung tak sebatas menjadi simbol dahsyatnya gelombang tsunami. Pembangkit listrik itu juga menjadi simbol heroik di tengah bencana dahsyat tersebut. Setidaknya pengakuan satu keluarga dari kawasan Punge Blang Cut yang selamat dari hantaman gelombang tsunami, karena ‘bantuan’ PLTD Apung.
Menyusul gempa dahsyat pada Minggu (26/12) pagi, semua orang cemas dan takut. Semua ke luar rumah mencari tempat-tempat yang dinilai aman untuk berlindung dari reruntuhan bangunan.
Adalah keluarga Midun (46) bersama istrinya, Idah (40) dan beberapa anaknya. Ketika bencana itu mengguncang Desa Punge Blang Cut, Banda Aceh, sebagaimana orang-orang lainnya, Midun bersama anak-istrinya serta menantu perempuan yang sedang hamil tua berkumpul di luar rumah.
Belum lagi hilang panik akibat gempa, tiba-tiba terdengar jeritan hiksteris air laut naik. Semua berlarian mencari selamat, termasuk keluarga besar Midun.
Menurut cerita keluarga Midun yang bertempat tinggal di kawasan Lambhuk Ulee Kareng, di tengah kejaran gelombang tsunami maha dahsyat itu, mendadak para korban melihat sebuah kapal diseret gelombang. Kapal itu diseret posisi melintang. Dengan posisi kapal seperti itu, gelombang dari arah belakang tertahan di badan kapal, sehingga ada celah air kosong di bagian depan.
"Terbentuk seperti parit besar tanpa air di bagian depan kapal. Di situlah orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Lengah sedikit akan digilas kapal dan gelombang yang datang dari kiri-kanan," ungkap satu korban yang selamat dari amukan tsunami.
Tidak gampang memang menyelamatkan diri dari terkaman tsunami dahsyat itu. Tapi kalau Allah SWT berkehendak seseorang itu selamat, maka tak ada yang bisa mencegahnya. Itulah yang dialami keluarga Midun. Seluruh anggota keluarganya luput dari maut setelah dikejar, bukan hanya oleh gelombang tetapi juga oleh kapal (yang ternyata PLTD Apung). Bahkan, menantu perempuannya yang sedang hamil tua selamat, dan kini dilaporkan sudah melahirkan di sebuah rumah sakit di Medan.
Lalu, bagaimana kondisi PLTD Apung sendiri?
Menurut Subaktian, koordinator Posko ESDM di pendopo Gubernur NAD, meski terhempas sejauh 2,5 kilometer dari tambatannya namun PLTD itu tak kurang suatu apapun. Menurut seorang relawan dari UNDP (United Nations Development Programme), Phill Elders, butuh waktu sebulan mengangkat kembali PLTD Apung itu ke tempat semula, di Ulelheu. Perusahaan yang dilaporkan mampu untuk tugas itu adalah Kellihers Electrical.
"Kami mengatakan pihak PLN oke-oke saja kalau mereka punya donatur untuk tugas tersebut, karena program penempatan kembali PLTD Apung ke tempat semula belum termasuk prioritas untuk sementara ini," ucap Subaktian. SI/nasir nurdin
Ke Sea World
HARINYA Senin, tanggal 22 Agustus 05. Pagi-pagi sekali, Darrel sudah sibuk. ‘’Hayo bangun. Hari ini Darrel ada acara ke Sea World,’’ kata Mommy.
Tiap Senin, mommy berangkat kerja jam 05.30. Ia harus memandu acara di Radio Trijaya. Karena itu, kalo mommy ngopyak-opyak Darrel, itu jamnya sekitar 05.00. Wuah… Pasti Darrel susah bangun. Susah.
Habis, tiap hari Minggu, ia mainnya banyak sekali. Pagi-pagi, ia ngajak ayah keliling komplek dengan mobil listriknya, sambil nemani mommy yang jogging keliling komplek. Setelah itu, main bola di halaman belakang. Habis itu, nonton Dora dan Maisy. Pokoknya, acara Darrel sampe Minggu malam ‘’full’’ dan ‘’padat’’.
Maka, pada Senin itu, ketika mommy menggoyang-goyang tubuh Dayen, ia bergeming. Baru setelah mommy mengangkat tubuhnya, ia baru bergerak. Itu pun pake nangis. ‘’Aku nggak mau bangun. Aku mau bobok….’’
Susah payah, akhirnya Dayen bangun. Rupanya mommy sudah menyebar instruksi. Mbak Mur harus segera memandikan Dayen, menyiapkan sarapan. Jangan lupa, memasukkan susu, popok sekali pake, juga minuman dikemas, ke dalam tas. Maklum, acara Dayen hari itu istimewa: untuk pertama kalinya, ia pergi jauh, cukup lama lagi. Ia disuruh kumpul jam 08.00 pagi. Menurut jadwal, ia sampe di rumah jam 15.00. Tujuh jam. Lama kan?
Jam 07.30, Dayen diantar ayah ke tempat pemberangkatan. Sebelumnya, ayah menjemput eyang. Jadinya, Dayen pergi ke Sea World bersama eyang dan mbak Mur. Wah, mommy harus membayar tiga tiket sekaligus. Mbak Mur juga dibekali kamera oleh ayah.
Dengan naik bis, Darrel, mbak Mur, dan Eyang, berjalan menuju Ancol. Tujuannya adalah Sea World –dunia laut--, kawasan wisata yang berupa akuarium raksasa di Ancol, pantai utara Jakarta.
Kata Eyang, selama di tempat wisata, Darrel riang gembira. Ia suka melihat ikan. Juga melihat gurita. Ia juga ikut bermain lomba. Macam-macam. ''Tadi Darrel dapat banyak hadiah,'' kata Eyang.
Tapi, ada satu lomba yang Darrel nggak bisa ikut. Yaitu lomba memasukkan bola berwarna, ke kantong yang sama warnanya. ''Darrel bobok,'' kata Mur.
Darrel suka sekali menari dan menyanyi bersama uncle dan aunty. Luar biasa lo. Biasanya, Darrel tidak tertib. Kalo di kelas, paling ia hanya betah lima menit duduk bersama uncle dan aunty. Setelah itu, gerakannya seperti ''bola liar''. Naik prosotan, naik ayunan, ke luar kelas. Wah, dijamin uncle, aunty, dan mbak Mur pusing. Maka, kalo di Sea World Darrel bisa tertib, luar biasa juga.. hehe
Darrel meninggalkan Ancol jam 14.30. Ia dijemput Opung di ILP Kalimalang. Asik ya, pergi nonton ikan di akuarium raksasa?
Friday, September 02, 2005
Media Besar Terkadang Takut
Uni Zulfiani Lubis:
Wawancara | 01/09/2002
Sebabnya begini: terkadang memang ada sindrom pada media yang sudah besar. Yaitu takut akan terganggu.
Setelah Soeharto jatuh, kalangan media dituntut untuk mempertahankan kebebasan persnya yang diperjuangkannya selama ini. Tentu pekerjaan ini sangat sulit. Karena ancaman dan larangan tidak lagi datang dari penguasa yang sewaktu-waktu bisa menebas leher pers untuk menyuarakan kebebasan berpendapat dan berekspresi, tapi —ironisnya— sekelompok orang pun mampu memberangus hak dasar tersebut dengan memakai baju agama. Akankah media kembali menjadi “korban” selamanya? Masihkah para penggiat media memakai jalur-jalur di “bawah meja” untuk menyelesaikan kasus yang berulang kali terjadi?
Untuk membicarakan ihwal persoalan-persoalan ini, Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Utan Kayu (KIUK) mewawancarai Uni Zulfiani Lubis, mantan Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat yang sekarang menjabat Humas TV7. Uni juga aktif di Editors Club, sebuah organisasi pers yang merupakan kumpulan para pemimpin redaksi dan praktisi media. Wawancara berlangsung pada hari Kamis, 29 Agustus 2002 di Kantor berita Radio 68H. Berikut petikannya:
Sekarang banyak bermunculan kelompok berlabel agama yang radikal dan pada taraf tertentu mengancam kebebasan media. Kalau dulu ancaman media dari rezim penguasa, sekarang justru dari kelompok minoritas vokal ini. Berdasar pengalaman Anda, apakah hal itu ancaman serius media?
Kalau bentuk ancamannya sudah fisik, tentu saja serius. Ancaman semacam ini bukan hanya terjadi sekarang, tapi sejak reformasi pada tahun 1998 sudah mulai terasa. Ketika saya di Majalah Panji Masyarakat (Panjimas), kami didatangi Pam Swakarsa berkali-kali. Sebagaimana kita tahu, Pam Swakarsa ketika itu mendukung B.J Habibie. Sementara Panjimas mengkritisi B.J Habibie. Bagi mereka, karena Panjimas adalah media Islam, seharusnya tidak mengkritisi Habibie. Tapi kala itu Panjimas malah menulis dengan sangat kritis. Akibatnya, kami didatangi kelompok masyarakat dan pemuda Islam yang mengancam Panjimas, bahkan kalau perlu akan menutup jika Panjimas terus menerus menulis seperti itu. Itu satu contoh.
Contoh kedua, terjadi ketika kita memuat cover story tentang Beddu Amang korupsi. Kasus ini ternyata berjalan sampai sekarang. Hari itu Panjimas keluar, besoknya Beddu Amang memang dipecat. Akibatnya, beberapa tokoh HMI —Beddu Amang adalah ketua umum KAHMI kala itu— lantas menyalahkan Panjimas. Katanya, “media Islam, kok malah menjelek-jelekkan orang Islam?” Mereka juga mengancam. Jadi peristiwa-peristiwa semacam itu sudah pernah kami alami. Panjimas sebagai media Islam, juga tidak luput dari tekanan kelompok-kelompok tadi.
Mungkin itu justru karena label Islam-nya itu. Saya juga mendengar, Republika yang lekat citra Islamnya sering juga mendapat protes dan teror, sekiranya memuat berita yang dianggap sekelompok orang sebagai “anti-Islam.” Apa alasan orang-orang tersebut mengklain demikian?
Kadangkala, argumentasi yang mereka kemukakan adalah ketidaksesuaian liputan kita dengan standar dan lain-lain. Akhirnya, teman-teman kita yang agak emosional mengatakan: “Oke, kalau kalian tahu liputan yang sesuai standar lebih baik, kenapa tidak bikin koran dan majalah sendiri? Buktikan saja, kalau berita-berita yang sesuai dengan selera kalian itu, memang bisa diterima publik!” Kalau mereka mengklaim punya banyak pendukung, mengapa tidak? Itu debat yang selalu terjadi antara kami dengan kelompok-kelompok seperti itu.
Selain aktif di Editors club, sekarang Anda kan terlibat di dunia TV. Kalau TV7 sendiri bagaimana pengalamannya?
Di TV 7, tayangan kami yang menjadi kontroversi dan keberatan sekelompok orang adalah kartun Subasa yang dituntut perubahan jam tayang. Subasa itu adalah tayangan kartun yang ditayangkan stripping dari hari Senin sampai Jumat, setiap jam 6 sore. Kami menerima banyak sekali email, faks, surat, bahkan telepon. Selama seminggu, ada sekitar 20 lebih yang menelpon tanpa menyebutkan nama dan alamat yang jelas. Memang ada juga email dan surat yang jelas. Mereka mengancam akan mendatangai kantor TV 7 beramai-ramai kalau kami tidak memindahkan jam tayang.
Alasan mereka, anak mereka tidak shalat maghrib dan malas belajar dengan tayangan tersebut. Beberapa dari mereka itu memang mengatasnamakan kelompok-kelompok yang bernuansa Islam. Misalnya, kelompok persatuan orang tua murid dan guru SD yang namanya bernuansa Islam. Mereka mengklaim berasal dari kelompok yang secara positif taat beragama dan merasa anak-anak mereka terganggu.
Mengapa terjadi ketidakpuasan kelompok-kelompok itu?
Prinsipnya begini: media, baik cetak maupun elektronik, membuat suatu produk untuk kepentingan masyarakat banyak dan sangat luas. Kita tidak mungkin membuat produk untuk kelompok-kelompok tertentu saja. Artinya, memang ada kelompok yang puas —dan ini tentu tidak masalah— tapi juga ada kelompok yang keberatan. Tapi masalahnya, kita ‘kan tidak serta merta bisa mengikuti kemauan kelompok yang merasa keberatan.
Kesulitan itu mungkin lebih besar ketika Anda mengelola sebuah media Islam. Karena Islam agama mayoritas dan liputan tentang Islam perlu mendapat porsi lebih banyak. Tapi Anda menggunakan cara pandang tertentu yang tidak disukai sementara kelompok Islam itu. Nah, bagaimana menyikapi ini?
Sedari dulu saya termasuk orang yang tidak mau tunduk pada protes-protes semacam itu. Sebab, saya tahu persis, mayoritas umat Islam itu moderat, toleran, tidak radikal dan tidak berpandangan sempit. Saya juga sadar, memang ada beberapa kelompok yang memrotes. Mereka itu dari berbagai aliran dan bermacam “baju.” Berdasar pengalaman di Panjimas dan hasil pergaulan dengan mereka ini, saya berkesimpulan: rasa-rasanya, orang yang memrotes dari itu-itu juga. Setahu saya yang memerotes iklan “Islam Warna Warni” sajian Komunitas Islam Utan Kayu, figur-figur di dalamnya itu-itu juga. Hanya saja, mereka menggunakan bendera ini dan itu. Jadi ada vocal minority.
Mengapa Anda tidak begitu saja tunduk pada kelompok yang berlabel agama itu?
Begini. Faktanya, umat Islam memang mayoritas, tapi semua agama dan kepercayaan berhak hidup dengan sama. Saya akan kasih illustrasi yang mungkin tidak terlalu tepat. Kadangkala, ada progran televisi yang sangat menarik dan seru. Tapi, ketika maghrib, semua TV, kecuali Metro TV, ‘kan menayangkan azan maghrib. Azan maghrib itu minimal dua menit, dan versi panjangnya ada yang empat menit. Akan tetapi, toh tidak pernah ada kelompok non-Islam yang memrotes. Padahal, mungkin gangguannya sama juga.
Dari sisi subjektivitas ‘kan gangguannya sama. Bedanya, kasus kartun Subasa tadi dianggap menyebabkan anak tidak shalat, tidak belajar dan lain-lain. Susahnya, kalau kita pindah ke jam lain, lebih sore misalnya, ada juga anak lain yang les atau mengaji. Ini juga bisa memunculkan protes. Jadi memang kita tidak mungkin bisa memuaskan semua. Dan kita percaya, mayoritas umat Islam moderat.
Menurut Anda, bagaimana sebaiknya konsumen media menanggapi hal-hal seperti ini?
Dalam kasus TV 7, sebagaimana kami sebutkan tadi, kami menerima banyak email. Menurut kami, itu salah satu bentuk ekspresi. Bentuk ekspresi itu, banyak juga kalimatnya yang sopan, dan berbentuk keprihatinan orang tua dan imbauan. Kami menerima surat-surat seperti itu dengan penuh empati. Itu menjadi bahan diskusi yang sangat serius bagi kami. Tapi di TV7, kami berusaha melanjutkan tayangan sampai selesai. Kalau nanti selesai, kami akan meninjau ulang. Kami tidak mengambil keputusan saat itu juga (saat muncul reaksi). Menurut saya, tidak baik kalau sebuah media, cepat tunduk pada kemauan sekelompok orang yang menggunakan ancaman kekerasan atau fisik.
Bagaimana kalau mereka menggunakan jalur wajar seperti hukum dengan mengadu ke polisi, misalnya dengan alasan menghina agama?
Masalah itu bisa diperdebatkan panjang sekali. Itu hak mereka. Tapi, bagaimana nantinya aparat bisa menyikapi hal-hal seperti ini? Aparat tentu punya keterbatasan karena hal ini sifatnya mendalam, teologis dan filosofis. Jadi polisi mungkin juga bingung bagaimana menyikapinya. Jangan-jangan, polisinya malah menggantung atau membiarkan. Orang-orang seperti ini biasanya menekan polisi dengan sekelompok massa dan lain-lain.
Ada sebuah kasus: seorang teman menulis tentang jihad di media massa dengan perspektif lain. Dia kemudian diadukan ke polisi dengan alasan “penghinaan Islam”. Yang kita khawatirkan itu bukan betul-betul bentuk penghinaan terhadap Islam, tapi lebih pada keinginan memberangus suatu pendapat. Bagaimana tanggapan Anda?
Dalam konteks pers misalnya, kita anjurkan mereka menggunakan jalur hukum, agar ada saluran jurisprudensi untuk hal-hal sejenis. Itu lebih baik ketimbang mengunakan kekerasan. Jadi saya melihat, sah-sah saja kalau mereka menggunakan jalur hukum. Dan itu, menjadi pengalaman untuk dunia pers tentunya.
Apakah cara-cara seperti ini menimbulkan was-was bagi kalangan pers?
Tentu ada, tapi tergantung pada pihak pengelola juga. Tapi masalahnya, kami memplot suatu acara tanpa niatan jelek di belakangnya. Contohnya, penempatan jam tayang kartun pada pukul enam, tidak berarti sejak awal ditujukan untuk menggoda anak-anak untuk tidak shalat. Tolonglah mencoba untuk tidak berprasangka buruk dulu. Kasus iklan “Islam warna warni” juga. Sebaiknya, mereka bertanya atau mengajak berdiskusi dulu. Saya juga termasuk yang heran: mengapa TV yang menayangkan iklan itu, tunduk pada kemauan kelompok tertentu itu.
Menurut Anda, apakah protes-protes yang terlalu mudah dituruti itu akan mengancam kebebasan pers?
Jelas! Itu sangat jelas! Itu akan membuat sekelompok orang akan memaksakan kehendaknya. Sebab, boleh jadi itu hanya mewakili kepentingan sekelompok orang saja. Karena, seperti yang saya katakan tadi, apakah kita harus tunduk pada yang minoritas? Tuntutan yang muncul itu, mungkin harus digodok dan dipelajari dulu, sebelum kita memperturutkannya.
Saya menduga, mungkin iklan yang dibuat Garin Nugroho dan KIUK itu bukan sesuatu yang masih dianggap penting oleh institusi yang menayangkannya. Lantas, ketimbang pusing-pusing, ya sudah didrop saja. Mungkin ada juga pertimbangan tidak mau berperkara. Tapi mungkin kasusnya akan berbeda kalau kita sepakat dengan semangat yang dicoba untuk dituangkan acara atau iklan seperti itu. Tapi memang, acara atau iklan dalam bentuk toleransi dan lain-lain bagi sekelompok orang dianggap bermasalah. Saya selalu menekankan, kalau mereka itu (yang menganggap bermasalah itu) kecil dan orangnya itu ke itu saja.
Kata orang: kecil memang, tapi pedas kayak cabe rawit.
Bagi saya, lebih baik mengajak bertemu dalam bentuk yang positif. Kita berdebat dan mendiskusikan mana salahnya. Jangan-jangan, mereka tidak ngerti dan melihat sepintas saja, lalu menyimpulkan. Jangan-jangan, ada maksud lain juga. Dulu, kita tahu, ada media semacam RCTI atau SCTV yang ketika didatangi sekelompok orang yang protes ini dan itu. Ujung-ujungnya, mereka ternyata mengharap sesuatu yang materil dan lalu mereda. Apakah kita ingin memelihara kelompok-kelompok seperti itu? Untuk mengamankan institusi pers, saya kira, tradisi itu bukan sesuatu yang perlu dipertahankan.
Bisa-bisa itu akan membudayakan kultur pemerasan. Bukan begitu?
Ya, semacam itu. Yang paling menyedihkan buat saya adalah mereka itu selalu mengatasnamakan agama.
Sebetulnya, umat Islam Indonesia itu moderat dan tidak menakutkan. Tapi setelah reformasi, banyak kelompok yang bermunculan, sekalipun mereka yang keras. Bagaimana Anda melihat suasana sekarang ini?
Ya. Memang setelah reformasi, aparat pun mengalami degradasi moral. Mereka tidak lagi berani melakukan tindakan tegas. Dulu bila muncul lima atau sepuluh orang, demonstrasi tidak mungkin terjadi. Sekarang mereka berani, apalagi yang menggunakan simbol-simbol agama. Bagi mereka, polisi akan ngeper untuk melarang. Jadi memang di pihak aparat terjadi degradasi keberanian untuk menegakkan hukum.
Tapi, saya pikir tv-tv kita sudah berbuat baik untuk umat Islam. Buktinya, ada azan maghrib-subuh dan lain-lain. Apalagi pada bulan Ramadlan. Bagaimana menurut Anda?
Ya. Agama lain sekali seminggu digilir. Agama Islam paling banyak porsinya. Hampir ketika kuliah shubuh digelar acara keagamaan. Belum lagi kalau bulan puasa. Pada bulan puasa, semua stasiun tv berlomba-lomba bikin acara keislaman.
Tapi ada juga yang berseloroh: “Itu dagang saja!”
Ya, he..he.. Tapi, intinya dagang sambil ibadah juga. Sebab idealisme itu tidak akan langgeng kalau tidak juga laku. Betul ‘kan?
Oh, ya, sedikit komentar tentang iklan “Islam Warna-warni”. Saya tidak tahu konsep KIUK dan Garin Nugroho tentang iklan tersebut. Tapi, saya kira, kawan-kawan hanya tidak ingin kalau sekelompok umat Islam yang radikal, diklaim itulah Islam. Padahal Islam itu warna warni. Mungkin pesan itu bentuknya bisa macam-macam. Konteksnya mungkin karena kita sedang dalam sorotan.
Negara-negara Barat, khususnya Amerika, melihat seolah-olah Islam itu adalah seratus orang yang berdemo di kedutaan Amerika. Itu ‘kan efeknya secara nasional sangat merugikan. Saya justru menangkap pesan lain yang ingin Anda dan Garin sampaikan: umat Islam jangan disamaratakan. Tidak semua umat Islam begitu, dan ada banyak ragam umat Islam. Itu juga yang saya tangkap.
Sebetulnya, demo di depan kedutaan AS bukan masalah. Yang bermasalah adalah ancaman sweeping. Artinya, kelompok-kelompok yang cenderung menggunakan kekerasan itu, cenderung memberikan citra buruk untuk Islam.
Ya. Kalau kita berpikir dengan kepala dingin, mestinya banyak pesan yang bisa ditangkap dengan iklan seperti itu.
Ah, terkadang justru media yang takut dengan kewarna-warnian itu!
Sebabnya begini: terkadang memang ada sindrom pada media yang sudah besar. Yaitu takut akan terganggu. []
*) dari situs Jaringan Islam Liberal
Wawancara | 01/09/2002
Sebabnya begini: terkadang memang ada sindrom pada media yang sudah besar. Yaitu takut akan terganggu.
Setelah Soeharto jatuh, kalangan media dituntut untuk mempertahankan kebebasan persnya yang diperjuangkannya selama ini. Tentu pekerjaan ini sangat sulit. Karena ancaman dan larangan tidak lagi datang dari penguasa yang sewaktu-waktu bisa menebas leher pers untuk menyuarakan kebebasan berpendapat dan berekspresi, tapi —ironisnya— sekelompok orang pun mampu memberangus hak dasar tersebut dengan memakai baju agama. Akankah media kembali menjadi “korban” selamanya? Masihkah para penggiat media memakai jalur-jalur di “bawah meja” untuk menyelesaikan kasus yang berulang kali terjadi?
Untuk membicarakan ihwal persoalan-persoalan ini, Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Utan Kayu (KIUK) mewawancarai Uni Zulfiani Lubis, mantan Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat yang sekarang menjabat Humas TV7. Uni juga aktif di Editors Club, sebuah organisasi pers yang merupakan kumpulan para pemimpin redaksi dan praktisi media. Wawancara berlangsung pada hari Kamis, 29 Agustus 2002 di Kantor berita Radio 68H. Berikut petikannya:
Sekarang banyak bermunculan kelompok berlabel agama yang radikal dan pada taraf tertentu mengancam kebebasan media. Kalau dulu ancaman media dari rezim penguasa, sekarang justru dari kelompok minoritas vokal ini. Berdasar pengalaman Anda, apakah hal itu ancaman serius media?
Kalau bentuk ancamannya sudah fisik, tentu saja serius. Ancaman semacam ini bukan hanya terjadi sekarang, tapi sejak reformasi pada tahun 1998 sudah mulai terasa. Ketika saya di Majalah Panji Masyarakat (Panjimas), kami didatangi Pam Swakarsa berkali-kali. Sebagaimana kita tahu, Pam Swakarsa ketika itu mendukung B.J Habibie. Sementara Panjimas mengkritisi B.J Habibie. Bagi mereka, karena Panjimas adalah media Islam, seharusnya tidak mengkritisi Habibie. Tapi kala itu Panjimas malah menulis dengan sangat kritis. Akibatnya, kami didatangi kelompok masyarakat dan pemuda Islam yang mengancam Panjimas, bahkan kalau perlu akan menutup jika Panjimas terus menerus menulis seperti itu. Itu satu contoh.
Contoh kedua, terjadi ketika kita memuat cover story tentang Beddu Amang korupsi. Kasus ini ternyata berjalan sampai sekarang. Hari itu Panjimas keluar, besoknya Beddu Amang memang dipecat. Akibatnya, beberapa tokoh HMI —Beddu Amang adalah ketua umum KAHMI kala itu— lantas menyalahkan Panjimas. Katanya, “media Islam, kok malah menjelek-jelekkan orang Islam?” Mereka juga mengancam. Jadi peristiwa-peristiwa semacam itu sudah pernah kami alami. Panjimas sebagai media Islam, juga tidak luput dari tekanan kelompok-kelompok tadi.
Mungkin itu justru karena label Islam-nya itu. Saya juga mendengar, Republika yang lekat citra Islamnya sering juga mendapat protes dan teror, sekiranya memuat berita yang dianggap sekelompok orang sebagai “anti-Islam.” Apa alasan orang-orang tersebut mengklain demikian?
Kadangkala, argumentasi yang mereka kemukakan adalah ketidaksesuaian liputan kita dengan standar dan lain-lain. Akhirnya, teman-teman kita yang agak emosional mengatakan: “Oke, kalau kalian tahu liputan yang sesuai standar lebih baik, kenapa tidak bikin koran dan majalah sendiri? Buktikan saja, kalau berita-berita yang sesuai dengan selera kalian itu, memang bisa diterima publik!” Kalau mereka mengklaim punya banyak pendukung, mengapa tidak? Itu debat yang selalu terjadi antara kami dengan kelompok-kelompok seperti itu.
Selain aktif di Editors club, sekarang Anda kan terlibat di dunia TV. Kalau TV7 sendiri bagaimana pengalamannya?
Di TV 7, tayangan kami yang menjadi kontroversi dan keberatan sekelompok orang adalah kartun Subasa yang dituntut perubahan jam tayang. Subasa itu adalah tayangan kartun yang ditayangkan stripping dari hari Senin sampai Jumat, setiap jam 6 sore. Kami menerima banyak sekali email, faks, surat, bahkan telepon. Selama seminggu, ada sekitar 20 lebih yang menelpon tanpa menyebutkan nama dan alamat yang jelas. Memang ada juga email dan surat yang jelas. Mereka mengancam akan mendatangai kantor TV 7 beramai-ramai kalau kami tidak memindahkan jam tayang.
Alasan mereka, anak mereka tidak shalat maghrib dan malas belajar dengan tayangan tersebut. Beberapa dari mereka itu memang mengatasnamakan kelompok-kelompok yang bernuansa Islam. Misalnya, kelompok persatuan orang tua murid dan guru SD yang namanya bernuansa Islam. Mereka mengklaim berasal dari kelompok yang secara positif taat beragama dan merasa anak-anak mereka terganggu.
Mengapa terjadi ketidakpuasan kelompok-kelompok itu?
Prinsipnya begini: media, baik cetak maupun elektronik, membuat suatu produk untuk kepentingan masyarakat banyak dan sangat luas. Kita tidak mungkin membuat produk untuk kelompok-kelompok tertentu saja. Artinya, memang ada kelompok yang puas —dan ini tentu tidak masalah— tapi juga ada kelompok yang keberatan. Tapi masalahnya, kita ‘kan tidak serta merta bisa mengikuti kemauan kelompok yang merasa keberatan.
Kesulitan itu mungkin lebih besar ketika Anda mengelola sebuah media Islam. Karena Islam agama mayoritas dan liputan tentang Islam perlu mendapat porsi lebih banyak. Tapi Anda menggunakan cara pandang tertentu yang tidak disukai sementara kelompok Islam itu. Nah, bagaimana menyikapi ini?
Sedari dulu saya termasuk orang yang tidak mau tunduk pada protes-protes semacam itu. Sebab, saya tahu persis, mayoritas umat Islam itu moderat, toleran, tidak radikal dan tidak berpandangan sempit. Saya juga sadar, memang ada beberapa kelompok yang memrotes. Mereka itu dari berbagai aliran dan bermacam “baju.” Berdasar pengalaman di Panjimas dan hasil pergaulan dengan mereka ini, saya berkesimpulan: rasa-rasanya, orang yang memrotes dari itu-itu juga. Setahu saya yang memerotes iklan “Islam Warna Warni” sajian Komunitas Islam Utan Kayu, figur-figur di dalamnya itu-itu juga. Hanya saja, mereka menggunakan bendera ini dan itu. Jadi ada vocal minority.
Mengapa Anda tidak begitu saja tunduk pada kelompok yang berlabel agama itu?
Begini. Faktanya, umat Islam memang mayoritas, tapi semua agama dan kepercayaan berhak hidup dengan sama. Saya akan kasih illustrasi yang mungkin tidak terlalu tepat. Kadangkala, ada progran televisi yang sangat menarik dan seru. Tapi, ketika maghrib, semua TV, kecuali Metro TV, ‘kan menayangkan azan maghrib. Azan maghrib itu minimal dua menit, dan versi panjangnya ada yang empat menit. Akan tetapi, toh tidak pernah ada kelompok non-Islam yang memrotes. Padahal, mungkin gangguannya sama juga.
Dari sisi subjektivitas ‘kan gangguannya sama. Bedanya, kasus kartun Subasa tadi dianggap menyebabkan anak tidak shalat, tidak belajar dan lain-lain. Susahnya, kalau kita pindah ke jam lain, lebih sore misalnya, ada juga anak lain yang les atau mengaji. Ini juga bisa memunculkan protes. Jadi memang kita tidak mungkin bisa memuaskan semua. Dan kita percaya, mayoritas umat Islam moderat.
Menurut Anda, bagaimana sebaiknya konsumen media menanggapi hal-hal seperti ini?
Dalam kasus TV 7, sebagaimana kami sebutkan tadi, kami menerima banyak email. Menurut kami, itu salah satu bentuk ekspresi. Bentuk ekspresi itu, banyak juga kalimatnya yang sopan, dan berbentuk keprihatinan orang tua dan imbauan. Kami menerima surat-surat seperti itu dengan penuh empati. Itu menjadi bahan diskusi yang sangat serius bagi kami. Tapi di TV7, kami berusaha melanjutkan tayangan sampai selesai. Kalau nanti selesai, kami akan meninjau ulang. Kami tidak mengambil keputusan saat itu juga (saat muncul reaksi). Menurut saya, tidak baik kalau sebuah media, cepat tunduk pada kemauan sekelompok orang yang menggunakan ancaman kekerasan atau fisik.
Bagaimana kalau mereka menggunakan jalur wajar seperti hukum dengan mengadu ke polisi, misalnya dengan alasan menghina agama?
Masalah itu bisa diperdebatkan panjang sekali. Itu hak mereka. Tapi, bagaimana nantinya aparat bisa menyikapi hal-hal seperti ini? Aparat tentu punya keterbatasan karena hal ini sifatnya mendalam, teologis dan filosofis. Jadi polisi mungkin juga bingung bagaimana menyikapinya. Jangan-jangan, polisinya malah menggantung atau membiarkan. Orang-orang seperti ini biasanya menekan polisi dengan sekelompok massa dan lain-lain.
Ada sebuah kasus: seorang teman menulis tentang jihad di media massa dengan perspektif lain. Dia kemudian diadukan ke polisi dengan alasan “penghinaan Islam”. Yang kita khawatirkan itu bukan betul-betul bentuk penghinaan terhadap Islam, tapi lebih pada keinginan memberangus suatu pendapat. Bagaimana tanggapan Anda?
Dalam konteks pers misalnya, kita anjurkan mereka menggunakan jalur hukum, agar ada saluran jurisprudensi untuk hal-hal sejenis. Itu lebih baik ketimbang mengunakan kekerasan. Jadi saya melihat, sah-sah saja kalau mereka menggunakan jalur hukum. Dan itu, menjadi pengalaman untuk dunia pers tentunya.
Apakah cara-cara seperti ini menimbulkan was-was bagi kalangan pers?
Tentu ada, tapi tergantung pada pihak pengelola juga. Tapi masalahnya, kami memplot suatu acara tanpa niatan jelek di belakangnya. Contohnya, penempatan jam tayang kartun pada pukul enam, tidak berarti sejak awal ditujukan untuk menggoda anak-anak untuk tidak shalat. Tolonglah mencoba untuk tidak berprasangka buruk dulu. Kasus iklan “Islam warna warni” juga. Sebaiknya, mereka bertanya atau mengajak berdiskusi dulu. Saya juga termasuk yang heran: mengapa TV yang menayangkan iklan itu, tunduk pada kemauan kelompok tertentu itu.
Menurut Anda, apakah protes-protes yang terlalu mudah dituruti itu akan mengancam kebebasan pers?
Jelas! Itu sangat jelas! Itu akan membuat sekelompok orang akan memaksakan kehendaknya. Sebab, boleh jadi itu hanya mewakili kepentingan sekelompok orang saja. Karena, seperti yang saya katakan tadi, apakah kita harus tunduk pada yang minoritas? Tuntutan yang muncul itu, mungkin harus digodok dan dipelajari dulu, sebelum kita memperturutkannya.
Saya menduga, mungkin iklan yang dibuat Garin Nugroho dan KIUK itu bukan sesuatu yang masih dianggap penting oleh institusi yang menayangkannya. Lantas, ketimbang pusing-pusing, ya sudah didrop saja. Mungkin ada juga pertimbangan tidak mau berperkara. Tapi mungkin kasusnya akan berbeda kalau kita sepakat dengan semangat yang dicoba untuk dituangkan acara atau iklan seperti itu. Tapi memang, acara atau iklan dalam bentuk toleransi dan lain-lain bagi sekelompok orang dianggap bermasalah. Saya selalu menekankan, kalau mereka itu (yang menganggap bermasalah itu) kecil dan orangnya itu ke itu saja.
Kata orang: kecil memang, tapi pedas kayak cabe rawit.
Bagi saya, lebih baik mengajak bertemu dalam bentuk yang positif. Kita berdebat dan mendiskusikan mana salahnya. Jangan-jangan, mereka tidak ngerti dan melihat sepintas saja, lalu menyimpulkan. Jangan-jangan, ada maksud lain juga. Dulu, kita tahu, ada media semacam RCTI atau SCTV yang ketika didatangi sekelompok orang yang protes ini dan itu. Ujung-ujungnya, mereka ternyata mengharap sesuatu yang materil dan lalu mereda. Apakah kita ingin memelihara kelompok-kelompok seperti itu? Untuk mengamankan institusi pers, saya kira, tradisi itu bukan sesuatu yang perlu dipertahankan.
Bisa-bisa itu akan membudayakan kultur pemerasan. Bukan begitu?
Ya, semacam itu. Yang paling menyedihkan buat saya adalah mereka itu selalu mengatasnamakan agama.
Sebetulnya, umat Islam Indonesia itu moderat dan tidak menakutkan. Tapi setelah reformasi, banyak kelompok yang bermunculan, sekalipun mereka yang keras. Bagaimana Anda melihat suasana sekarang ini?
Ya. Memang setelah reformasi, aparat pun mengalami degradasi moral. Mereka tidak lagi berani melakukan tindakan tegas. Dulu bila muncul lima atau sepuluh orang, demonstrasi tidak mungkin terjadi. Sekarang mereka berani, apalagi yang menggunakan simbol-simbol agama. Bagi mereka, polisi akan ngeper untuk melarang. Jadi memang di pihak aparat terjadi degradasi keberanian untuk menegakkan hukum.
Tapi, saya pikir tv-tv kita sudah berbuat baik untuk umat Islam. Buktinya, ada azan maghrib-subuh dan lain-lain. Apalagi pada bulan Ramadlan. Bagaimana menurut Anda?
Ya. Agama lain sekali seminggu digilir. Agama Islam paling banyak porsinya. Hampir ketika kuliah shubuh digelar acara keagamaan. Belum lagi kalau bulan puasa. Pada bulan puasa, semua stasiun tv berlomba-lomba bikin acara keislaman.
Tapi ada juga yang berseloroh: “Itu dagang saja!”
Ya, he..he.. Tapi, intinya dagang sambil ibadah juga. Sebab idealisme itu tidak akan langgeng kalau tidak juga laku. Betul ‘kan?
Oh, ya, sedikit komentar tentang iklan “Islam Warna-warni”. Saya tidak tahu konsep KIUK dan Garin Nugroho tentang iklan tersebut. Tapi, saya kira, kawan-kawan hanya tidak ingin kalau sekelompok umat Islam yang radikal, diklaim itulah Islam. Padahal Islam itu warna warni. Mungkin pesan itu bentuknya bisa macam-macam. Konteksnya mungkin karena kita sedang dalam sorotan.
Negara-negara Barat, khususnya Amerika, melihat seolah-olah Islam itu adalah seratus orang yang berdemo di kedutaan Amerika. Itu ‘kan efeknya secara nasional sangat merugikan. Saya justru menangkap pesan lain yang ingin Anda dan Garin sampaikan: umat Islam jangan disamaratakan. Tidak semua umat Islam begitu, dan ada banyak ragam umat Islam. Itu juga yang saya tangkap.
Sebetulnya, demo di depan kedutaan AS bukan masalah. Yang bermasalah adalah ancaman sweeping. Artinya, kelompok-kelompok yang cenderung menggunakan kekerasan itu, cenderung memberikan citra buruk untuk Islam.
Ya. Kalau kita berpikir dengan kepala dingin, mestinya banyak pesan yang bisa ditangkap dengan iklan seperti itu.
Ah, terkadang justru media yang takut dengan kewarna-warnian itu!
Sebabnya begini: terkadang memang ada sindrom pada media yang sudah besar. Yaitu takut akan terganggu. []
*) dari situs Jaringan Islam Liberal
Anak dan Badut
08/20/2005
DARREL beruntung, ia tidak takut pada badut. Pas perayaan 17an lalu, ia bersalaman dengan badut, yang diundang panitia datang ke kolam renang Permata Timur, tempat warga se-RT berpesta. Kalo ada badut, ia malah bergegas menghampirinya.
Ternyata, tak semua anak seberuntung Darrel. Banyak yang masih takut menghadapi badut. Bahkan, ada juga yang grogi melihat logo, boneka, dan mobil. Cobalah baca surat yang saya kopikan dari milis Putera Kembara, jalinan komunikasi bapak-ibu yang anggota keluarganya menderita autis ini.
----- Original Message -----
From: AM
To: peduli-autis
Sent: Tuesday, May 03, 2005 1:58 PM
Subject: [Puterakembara] Takut sama BadutRekan milis,
Mohon sharingnya, karena anak kami Nadhif (2,8 Th) saat ini TK O kecil, masih tetap terapi, Supplement dan saat ini sudah verbal dan bisa diajak berkomunikasi.
Masalah yang timbul saaat ini anak kami Nadhif sangat takut diajak ketempat tempat yang ramai, kalau diajak ke tempat tersebut Nadhif akan menangis dan kelihataan sekali dari raut wajahnya semacam kecemasan yang berlebihan.
Kami tanyakan kenapa dia kenapa tidak mau dijak ketempat tersebut Nadhif menjawab Ada "Badut", rupanya Nadhif sangat trauma dengan Badut, kami sudah jelaskan secara perlahan bahwa didalam baju badut itu ada orangnya seperti Bapak yang lagi pakai pakaian Badut.akan tetapi Nadhif masih tetap tidak mau. Kejadian trauma dengan badut pada saat kami dan istri tidak dapat mendapingi Nadhif selama +/- 1 bulan . Nadhif pernah diajak OM nya jalan jalan ke Mall dan berjumpa dengan Badut dan si Badutnya menghapiri Nadhif dan disitulah awal kejadiannya Nadhif menangis ketakutan.dan sampai sekarang ini kalau kita ajak pergi ke Mall, Nadhif akan jawab " Nadhif di rumah saja"
Mohon sharing dari rekan rekan milis, langkah langkah apa yang harus kami lakukan.terima kasih sebelumnya
salam
AM
Bapaknya Nadhif (2,8 Th) Palembang
----- Original Message -----
From: WW
To: peduli-autis
Sent: Tuesday, May 03, 2005 4:00 PM
Subject: [Puterakembara] RE: Takut sama Badut
Pak AM,
Saya punya pengalaman kurang lebih sama dengan Bapak. Anak saya, Gilang 7,5 tahun verbal, dulu juga sangat ketakutan dengan badut dan barang-barang lain(seperti logo SCTV,robot, jam dinding di lobby Plaza Senayan) malahan juga takut sama tetangga sebelah rumah yang sebelumnya sangat dia sukai. Lucunya saking takutnya sama logo SCTV, kalau lewat gedung studio SCTV pun jerit-jerit minta putar balik. Begitu juga karena saking takutnya sama Om tetangga sebelah, kalau melihat si Om itu di luar langsung lari masuk rumah, malahan pernah suatu hari pas kami baru pulang dan si Om ada di luar rumah, Gilang tidak mau keluar mobil sampai ngompol segala. Saat itu saya bingung sekali kok.. ketakutan sama sesuatu yang sebetulnya tidak apa2.
Untuk mengatasinya, pelan-pelan Gilang saya beri penjelasan bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dan benda-benda yang ditakuti saya perlihatkan tetapi kalau sudah ketakutannya keluar buru-buru saya masukin lemari. Begitu juga untuki mengatasi ketakutan terhadap logo SCTV, sesekali saya ajak dia lewat gedung SCTV dan kalau sudah teriak mutar lagi, sampai suatu hari dia mau diajak lewat gedung SCTV tetapi kepalanya tidak mau melihat ke arah gedung SCTV (wah.. kemajuan sedikit).
Alhamdulillah setelah sekian lama melalui pembiasaan dan terus menerus diberikan penjelasan, beberapa ketakutannya sudah hilang kecuali rasa takut terhadap Jam dinding di Plaza Senayan.
Sampai saat ini saya masih berusaha pelan-pelan membiasakan mengajak dia ke Plaza Senayan, meskipun baru sampai Tempat Parkir udah ngajak pulang. Cara lain yang saya lakukan adalah kalau dia minta dibelikan mainan, saya akan bilang mainan itu hanya ada di Plaza Senayan, biasanya dia akan mau diajak kesana meskipun sesudah dapat yang diinginkan buru-buru minta pulang dan tidak mau melewati lokasi Jam dinding.
2 Minggu lalu saya ajak Gilang nonton "Sponge Bob Movie" di Plaza Senayan, Kebetulan dapat parkir langsung masuk ke area bioskop tanpa harus melewati Jam Dinding, Gilang merasa aman masuk ke area Plaza Senayan. Kami tadinya mau nonton yang jam 3 sore tetapi penuh akhirnya saya dapat tiket untuk jam 5 sore. Kami harus nunggu 2 jam, dan disekitar area bioskop tidak ada tempat duduk, bayangin harus berdiri 2 jam, dia sih.. enak lari sana-lari sini, nah.. yang nganter ini pegel kakinya.
Gilang tidak mau diajak untuk muter-muter mall dulu atau ke toko buku bahkan diajak duduk di area mall juga tidak mau, alasannya ada jam dinding. Sesudah 1 jam berdiri tidak tahan juga, akhirnya saya bujuk dan saya bilang "kalau tidak mau diajak duduk di area mall, nontonnya batal". Sesudah negosiasi, akhirnya mau juga diajak duduk di area mall.
Berdasarkan pengalaman saya, bahwa mengatasi rasa ketakutan yang tidak beralasan perlu waktu, anak perlu pembiasaan terus menerus tetapi jangan dipaksa karena akan trauma.
Sekian pengalaman saya, mudah-mudahan bermanfaat.
salam,
WW (Ibunya Gilang, 7,5 tahun)
----- Original Message -----
From: LW
To: peduli-autis
Sent: Tuesday, May 03, 2005 8:14 PM
Subject: [Puterakembara] RE: Takut sama BadutDear Pak Ach,
Putri saya yang kurang 3 bulan lagi mau 7 tahun juga masih takut ama badut & balon. Padahal saya sudah pernah mengundang badut kerumah especially membuat "exlusive show" untuk dia, sibadut datang sebagai orang biasa, berkenalan, ajak ngobrol hingga dandan, hingga menyulap sampe menghapus dandannya kembali. Malah saat itu saya yakin dia sudah tidak takut lagi karena dia ikutan dandan kayak badut & pakai bajunya
sibadut. Semua itu saya record handycam & foto, 2minggu sekali saya mengingatkan kembali tentang cerita itu, ternyata saat ketemu badut dia kembali mengumpet. Saya langsung bilang itukan Oom Adit, badut yang dia kenal, dia jawab, bukan... itu badut lain bukan Oom Adit (sambil cari tempat ngumpet).
Jadi, emang tidak gampang menghilangkan rasa takut yang sudah ada dalam diri mereka. Saya saja belum berhasil.
Rgds,
LW ( Mami Elaine, 6thn 9 bulan)
----- Original Message -----
From: Id
To: peduli-autis
Sent: Wednesday, May 04, 2005 1:00 PM
Subject: [Puterakembara] RE: Takut sama BadutSi Syauqi (Autistic 8th) dan adiknya Nadiva (6 th) tidak ada masalah dengan si badut, sedang kan keponakan saya yang berusia 3 tahun yang tidak spesial takut dengan badut, jadi menurut saya tidak perlu dikhawatirkan, mudah mudahan dengan berjalannya waktu akan ada perubahan yang sifatnya positif.
salam,
Id
17 an di Sekolah
LOMBA 17AN
HARI Minggu pagi aku balapan dengan ayah keliling kompleks. Siangnya, aku diantar ayah dan mbak Mur ke sekolah, untuk lomba 17an. Hari itu, di sekolahku ada beberapa pertandingan. Ada adu cepat mengambil bendera. Ada lomba makan kerupuk untuk ibu-ibu. Juga memasukkan bolpen ke botol, melalui tali yang digantungkan di pantat.
Sore itu banyak sekali yang datang ke sekolahku. Penuh. Tempat duduk yang biasa dipakai ayah dan mommy menungguku, digeser, dipakai untuk duduk murid-murid Tumble Todd. Bapak dan ibu yang mengantar putera-puteranya disuruh menunggu di luar. Wah, pokoknya rame banget.
Aku hanya ikut lomba mengambil bendera. Balapan. Seneng sekali. Tapi aku tidak menang. Aku hanya dapat hadiah hiburan. Isinya ada coklat, makanan, minuman, juga ada majalah Walt Disney dan Oki-Nirmala.
Selama lomba, ayah hanya duduk di luar. Membaca koran, majalah, dan main SMS. Aku juga melihat ketika ayah masuk ke Toko Buku Karisma, membeli buku-buku. Serius banget sih ayah ini? Kata ayah, kalo mau sukses bekerja di media, memang harus membaca. Harus banyak beli koran, majalah, dan mengikuti buku-buku.
''Kalo sampe tidak ngerti apa-apa, bahaya. Malu kalo ketemu orang-orang pintar,'' kata ayah.
Ayo Balapan
Ahad, 28 Agustus 05, aku bangun pagi-pagi. Hanya ada ayah di sampingku. Mommy pergi ke Surabaya, sejak sehari sebelumnya. Ia mendapat tugas dari kantor untuk mengikuti KKG Fair. Ini adalah acara Kelompok Kompas Gramedia, yang diadakan untuk memperingati ulang tahun tempat mommy bekerja. Selain itu, mommy juga harus mengurus ‘’jumpa darat’’ di Surabaya. Sabtu-Minggu itu, kantornya menggelar ‘’off air’’ Liga Inggris dan GP 500.
Aku sih biasa ditinggal mommy begini. Pernah kok mommy pergi ke Eropa, juga lama. Aku tidak takut.
Pagi-pagi, aku dibangunin ayah. Disuruh salat Subuh. Uhhhhhh. Lebih baik deh aku nangis. Aku kan masih kecil Yah, kok dipaksa salat subuh.
Waktu mommy di Surabaya itu, aku diajak main bola di halaman belakang. Setelah itu, aku disuruh maem. Aku tidak mau. Mbak Minah membujukku dengan mengeluarkan mobil kuningku. Aku seneng.
Ayah juga mengeluarkan sepeda balapnya dari kandang. Asyiiiikkkkkkkk. Ayah naik sepeda, aku naik mobil. Balapan. Jelas saja, aku kalah. Mobilku hanya bisa jalan pelan. Berkali-kali ayah bolak-balik, mengajakku ngebut. Hehe, ayah rupanya tidak tahu. Ini bukan mobil beneran. Ini cuma mobil plastik, yang diberi motor. Kecepatannya paling cuma 5 km/jam. Diajak naik gundukan saja nggak bisa.
Lain kali ayah harus membelikanku sepeda motor beneran. Akan kukebut, cepet. Ayo Yah, berani tidak balapan?
Subscribe to:
Posts (Atom)