Situs Iwan Qodar Himawan - Uni Lubis - Darrel Cetta. Iwan, terakhir bekerja di GATRA. Uni, wartawan, pernah di Warta Ekonomi, Panji Masyarakat, TV7, kini di Antv. Darrel, murid Embun Pagi Islamic International School, Jakarta Timur. Website of The Family of Iwan Qodar Himawan-Uni Lubis-Darrel Cetta. Iwan, journalist. Now running his own company. Uni, journalist, now working for Antv, Jakarta based private TV Station. We live in Permata Timur, Jaticempaka, Pondokgede, Indonesia.
Search This Blog
Tuesday, September 06, 2005
Ke Aceh (Lagi) Setelah Tsunami
GEMPA disusul gelombang tsunami yang mengguncang Aceh, 26 Desember tahun lalu, bekasnya masih terasa hingga kini. Sebuah pembangkit terapung di Aceh masih teronggok di daratan. Pembangkit itu dulunya persis di tepi pantai. Gelombang dahsyat menyeretnya ke tengah daratan. Luar biasa.
Pekan lalu, 3 dan 4 September 2005, mommy pergi ke Banda Aceh. Ini kepergiannya yang mungkin sudah ke-6. Mommy pertama kali ke Aceh dalam rangka tsunami pada 27 Desember, alias sehari setelah badai dahsyat. Waktu itu, banyak sekali jenazah yang berserakan. Kisah perjalanan mommy, yang nebeng pesawat Wakil Presiden itu, sudah dimuat di posting bulan lalu. Karena mengerikan, foto-foto jenazah yang berserakan tidak dimuat di situs ini.
Setelah itu, mommy pergi beberapa kali. Sebagian besar untuk urusan TV7. Bahkan, mommy juga pernah ke Meulaboh, daerah yang dihantam tsunami dengan kerusakan hampir 80%.
Kali ini mommy ke Aceh lagi, karena Dana Kemanusiaan Kompas dan TV7 meresmikan proyek sosialnya. Ada pembangunan asrama, sekolah, masjid, yang tersebar di dua kota: Meulaboh dan Banda Aceh. Mommy juga sempat mampir ke PLTD terapung, yang jasadnya masih teronggok. Ia berfoto dengan mas Bambang Sukartiono, bosnya di bagian pemberitaan, di kantor.
Untuk menggambarkan dahsyatnya tsunami itu, dimuat di sini berita dari Banjarmasin Post, edisi 23 Januari 2005.
PLTD Itu Terbawa Hingga 2,5 km
"Kapal (PLTD) itu menahan tsunami dan menyelamatkan ratusan nyawa"
ADA banyak kisah di balik dahsyatnya gempa dan gelombang tsunami yang memporandakan Aceh, 26 Desember lalu. Salah satu bukti dahsyatnya gelombang tsunami adalah terhempasnya PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel) Apung (terapung) milik PLN seberat 200 ton (225 ton termasuk BBM) dari tambatannya di komplek dermaga Ulelheu Banda Aceh.
PLTD berbentuk kapal itu terbawa arus gelombang hingga ke kawasan Punge Blang Cut yang jaraknya (perhitungan garis lurus) tidak kurang 2,5 kilometer. Masya Allah!
Hingga kemarin --empat pekan pascabencana-- PLTD Apung itu masih teronggok di antara puing-puing bangunan. Kawasan Punge Blang Cut sebelum bencana terjadi merupakan kawasan padat penduduk. Hebatnya, meski ‘terlempar’ hampir tiga kilometer, PLTD itu tetap utuh.
"Tak ada kerusakan apa-apa. Kalaupun sekarang difungsikan, masih bisa," kata Subaktian, koordinator Posko Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada, di pendopo Gubernur Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Banda Aceh, Sabtu (22/1).
Kisah PLTD Apung tak sebatas menjadi simbol dahsyatnya gelombang tsunami. Pembangkit listrik itu juga menjadi simbol heroik di tengah bencana dahsyat tersebut. Setidaknya pengakuan satu keluarga dari kawasan Punge Blang Cut yang selamat dari hantaman gelombang tsunami, karena ‘bantuan’ PLTD Apung.
Menyusul gempa dahsyat pada Minggu (26/12) pagi, semua orang cemas dan takut. Semua ke luar rumah mencari tempat-tempat yang dinilai aman untuk berlindung dari reruntuhan bangunan.
Adalah keluarga Midun (46) bersama istrinya, Idah (40) dan beberapa anaknya. Ketika bencana itu mengguncang Desa Punge Blang Cut, Banda Aceh, sebagaimana orang-orang lainnya, Midun bersama anak-istrinya serta menantu perempuan yang sedang hamil tua berkumpul di luar rumah.
Belum lagi hilang panik akibat gempa, tiba-tiba terdengar jeritan hiksteris air laut naik. Semua berlarian mencari selamat, termasuk keluarga besar Midun.
Menurut cerita keluarga Midun yang bertempat tinggal di kawasan Lambhuk Ulee Kareng, di tengah kejaran gelombang tsunami maha dahsyat itu, mendadak para korban melihat sebuah kapal diseret gelombang. Kapal itu diseret posisi melintang. Dengan posisi kapal seperti itu, gelombang dari arah belakang tertahan di badan kapal, sehingga ada celah air kosong di bagian depan.
"Terbentuk seperti parit besar tanpa air di bagian depan kapal. Di situlah orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Lengah sedikit akan digilas kapal dan gelombang yang datang dari kiri-kanan," ungkap satu korban yang selamat dari amukan tsunami.
Tidak gampang memang menyelamatkan diri dari terkaman tsunami dahsyat itu. Tapi kalau Allah SWT berkehendak seseorang itu selamat, maka tak ada yang bisa mencegahnya. Itulah yang dialami keluarga Midun. Seluruh anggota keluarganya luput dari maut setelah dikejar, bukan hanya oleh gelombang tetapi juga oleh kapal (yang ternyata PLTD Apung). Bahkan, menantu perempuannya yang sedang hamil tua selamat, dan kini dilaporkan sudah melahirkan di sebuah rumah sakit di Medan.
Lalu, bagaimana kondisi PLTD Apung sendiri?
Menurut Subaktian, koordinator Posko ESDM di pendopo Gubernur NAD, meski terhempas sejauh 2,5 kilometer dari tambatannya namun PLTD itu tak kurang suatu apapun. Menurut seorang relawan dari UNDP (United Nations Development Programme), Phill Elders, butuh waktu sebulan mengangkat kembali PLTD Apung itu ke tempat semula, di Ulelheu. Perusahaan yang dilaporkan mampu untuk tugas itu adalah Kellihers Electrical.
"Kami mengatakan pihak PLN oke-oke saja kalau mereka punya donatur untuk tugas tersebut, karena program penempatan kembali PLTD Apung ke tempat semula belum termasuk prioritas untuk sementara ini," ucap Subaktian. SI/nasir nurdin
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment