Situs Iwan Qodar Himawan - Uni Lubis - Darrel Cetta. Iwan, terakhir bekerja di GATRA. Uni, wartawan, pernah di Warta Ekonomi, Panji Masyarakat, TV7, kini di Antv. Darrel, murid Embun Pagi Islamic International School, Jakarta Timur. Website of The Family of Iwan Qodar Himawan-Uni Lubis-Darrel Cetta. Iwan, journalist. Now running his own company. Uni, journalist, now working for Antv, Jakarta based private TV Station. We live in Permata Timur, Jaticempaka, Pondokgede, Indonesia.
Search This Blog
Saturday, October 30, 2010
Sensor Internet: Gerakan Internet Sehat (3)
SEORANG pengelola ISP mengungkapkan kepada saya bahwa ISP tengah mencermati dasar hukum perintah blokir yang dibebankan ke ISP. Selain tidak efektif karena tak semua ISP ikut serta, dan situs porno masih bisa diakses via BlackBerry yang servernya diproteksi kerahasiannya oleh RIM, kebijakan yang ditempuh Menkominfo nyaris tanpa sosialisasi. “Kami langsung sepakat untuk menghormati bulan Ramadan.
Sesudah itu ya harus jelas dasar hukumnya. Peraturan Pemerintahnya. Petunjuk pelaksananya,” kata sumber ini. Artinya, boleh jadi blokir situs porno oleh ISP hanya terjadi selama Ramadan.Kecuali Pemerintah mau pake cra kekuasaan, dan intervenÃs urusan privasi warganya. Membuka situs porno di kamar pribadi tentu sah saja. Bukan kejahatan. Dosanya ditanggung sendiri, tapi negara tak berhak menghukum.
Bagi ISP, dan masyarakat pengguna internet, ketimbang menempuh cara blokir, yang terpenting dalam membangun kesadaran internet sehat adalah pendidikan melek media dan kampanye internet sehat. Kampanye Internet sehat ini yang digagas oleh ICT Watch yang digagas oleh @donnybu, pakar IT, menggandeng sejumlah mitra. Swakelola dan Swadana tentunya. ICT Watch sudah melakukannya sejak tahun 2002. Dan informasinya bisa diakses via www.internetsehat.com. Pertengahan tahun lalu Menkominfo pernah mencanangkan kampanye internet sehat ke sekolah-sekolah. Targetnya 5.000 sekolah.
Rencana kick-off Agustus 2009. Berapa yang sudah dicapai Agustus tahun ini? “Yang sudah terpasang baru 400 desa ibukota kecamatan. Diharapkan dapat selesai akhir tahun ini, karena kontrak baru dilakukan bukan April 2010,” kata Kapus Info Gatot S. Dewabroto via pesan pendek kepada saya, Kamis, 19 Agustus 2010.
Yang jelas, rame-rame dukungan masyarakat terhadap kampanye internet sehat ketimbang blokir situs porno, justru menginspirasi istri Menkominfo Tifatul Sembiring, Sri Rahayu. Rabu, 18 Agustus, Bu Menteri meluncurkan Hotline Internet Sehat dan Aman melalui Yayasan Keluarga Kreatif Indonesia (YKKI). Acara diadakan di Komplek Pondok Mandala II Blok N/1 Tugu Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Hasilnya? Dibuka hotline Internet-Sehat-Aman di sambungan telpon bebas pulsa nomor 0-800-1000-147. YKKI bekerjasama dengan SpeedyTelkom dan Kemkominfo serta beberapa pihak lain. Ibu Menteri Tifatul Sembiring adalah Dewan Pembina YKKI. Dari mana dananya? Wallahu’ alam.
Kasus Jerman dan Cina
Selain Cina, Jerman ternyata punya pengalaman menarik ketika melahirkan aturan blokir situs porno. Adalah Menteri Urusan Keluarga, Ursula von der Leyen, yang memotori pembahasan dalam Pemerintahan Federal Jerman untuk memblokir situs internet. Tujuannya adalah memberantas pornografi anak. Ide besarnya ialah membangun arsitektur sensor yang memungkinkan pemerintah untuk memblokir konten yang mengandung pornografi anak. Federal Office of Criminal Investigation atau Kantor Investigasi Kriminal Federal akan menyusun daftar situs yang perlu diblok. Penyedia jasa internet wajib mematuhi aturan sensor dari pemerintah.
Rancangan peraturan sensor internet berbaju blokir situs pornografi anak ini memicu protes luas dari kalangan pengguna internet. Tidak hanya dari para hacker, maupun aktivis media digital, kecaman penolakan datang dari para blogger dan penggiat twitter. Hastag yang digunakan mereka yang menolak peraturan sensor internet ini adalag #zensursula, mengacu pada sensor yang diprakarsai Menteri Ursula von der Leyen. Mereka juga mengganti istilah sensor dengan #censursula. Mirip dengan para pengguna Twitter di Indonesia yang mengganti kata macet dengan #Foke yang merujuk pada nama panggilan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo.
Sebagai bagian dari protes publik, sebuah petisi elektronik resmi disampaikan kepada Parlemen Jerman. Dalam tiga hari 50.000 orang meneken petisi yang diberi judul “No Indexing and Blocking of Internet Sites”. Selama enam pekan, petisi elektronik itu terus dapat dukungan, dan mencapai 130.000 tanda-tangan, lebih dari jumlah minimal 80.000 tandatangan yang disyaratkan agar sebuah persoalan dibahas resmi di Parlemen Jerman. Petisi penolakan sensor internet ini menjadi petisi yang paling banyak didukung dalam sejarah petisi publik di Jerman. The Power of Social Media. Sensor internet dianggap ancaman terhadap kemerdekaan informasi di Jerman.
Komunitas internet di Jerman tidak hanya teriak-teriak protes. Mereka juga mengusulkan solusi bagaimana menangani problem pornografi anak tanpa memberlakukan peraturan setingkat Undang-undang yang berpotensi melanggar hak-hak kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi mereka. Kelompok kerja sensor bentukan masyarakat pengguna internet mendemonstrasikan altenatif solusi dengan, misalnya, menghapus lebih dari 60 situs yang mengandung konten pornografi anak dalam waktu selama 12 jam. Caranya? Gampang.
Mereka kirim surat elektronik ke provider internasional yang kemudian menghapus konten yang relevan dari internet. Situs-situs ini dikenali dari daftar hitam yang dilansir berbagai negara dan didokumentasikan di Wikileaks. Demonstrasi ini mendasari argumen utama mereka yang menolak sensor internet: ketimbang secara efektif alokasikan waktu untuk menghilangkan konten ilegal dari internet, Pemerintah Jerman memilih sensor dan blokir internet. Sensor dan blokir internet adalah cara yang gampang bagi pemerintah, namun berbahaya.
Yang paling dikuatirkan para pengguna internet di Jerman adalah, manakala infrastruktur sensor dan blokir internet itu dipasang maka infrastruktur itu akan digunakan menyensor konten internet yang tidak diinginkan, tidak terbatas pada pornografi anak. Para politisi Jerman pendukung rancangan peraturan sensor internet itu bahkan sudah punya daftar konten yang perlu disensor berikutnya: situs judi, website Islam, mereka yang hobinya memaki Pemerintah. Bahkan, sebagaimana dimuat dalam artikel berjudul Internet The Dawning of Internet Censorship in Germany, 16 Juni 2009, penjualan musik via internet pun direncanakan akan disensor untuk melarang pembajakan.
Bagaimana dengan Cina? Negeri Tirai Bambu ini selalu dijadikan contoh manakala kita bicara soal pembatasan atas kebebasan informasi dan berekspresi. Sensor Internet adalah salah satunya. Sejak lama Cina terapkan sensor Internet. Bulan lalu sebuah artikel menarik muncul dari kantor berita AP, ditulis oleh Anita Chang, 22 Juli 2010. Meski belum pernah diumumkan secara resmi oleh Pemerintah Presiden Hu Jintao, berita soal Cina membuka akses atas atas sejumlah situs porno bocor. Awalnya informasi muncul dalam diskusi penggiat Twitter.
Bagaikan punya kaki, informasi ini menjelajah ke mana-mana dan menjadi perhatian dunia. “Beneran nih, mereka sudah tidak lagi menutup situs web porno? Banyak situs porno dan forum diskusinya kini bisa diakses,” kata blogger William Long, via Twitter. Pesan itu sontak menarik perhatian para penjelajah Internet Cina yang selama ini terbiasa dengan blokir Internet di sana.
Aneh memang, pemerintah di sana sedang getol-getolnya kampanye anti pornografi, dan tak ada tanda-tanda adanya perubahan kebijakan menyangkut sensor Internet. Nyatanya, delapan pekan setelah kicauan William Long itu, sejumlah situs porno masih terbuka. Belum jelas apakah ini upaya mengubah kebijakan Internet secara diam-diam dan tak resmi, problem kebocoran secara teknis atau sebuah uji coba polisi Internet di Cina. Meski banyak yang heran, tapi kelonggaran yang diberikan oleh otoritas Internet di Cina disambut gembira. Soalnya selama ini sensor Internet di sana dipandang sebagai “selubung”atas tujuan utama sensor yang agresif, yakni memblokir situs dan konten yang berisi kritikan kepada pemerintahan Komunis di Cina.
Situs soal hak asasi manusia dan aktivitas komunikasi para pembangkang politik juga menjadi sasaran pelarangan. “Jangan-jangan mereka (Pemerintah) berpikir, jika pengguna internet bisa melongok dan menikmati situs porno, mereka nggak akan memprhatikan soal-soal politik,” kata Anti. Michael Anti adalah nama samaran dari analis internet Cina, Zhao Jing.
Monday, October 25, 2010
Sensor Internet (2): Kita di Era Konvergensi Media
This summary is not available. Please
click here to view the post.
Labels:
cut tari,
dewan pers,
kode etik,
majalah playboy,
RPM Konten,
sensor,
tifatul sembiring
Thursday, October 21, 2010
Blokir Internet: How Far Can You Go? (1)
Atas nama pemberantasan pornografi, Menkominfo paksa ISP menyensor Internet. Efektifkah?
Uni Z. Lubis*)
“Godaan puasa hari pertama malah dari @tifsembiring terkait pemblokiran situs secara ngawur. Tobat. Tobat”. Ini bunyi tweet @budionodarsono, pemimpin redaksi media online detik.com, yang dikirim ke dunia pengkicau pada hari Rabu, 11 Agustus 2010, pukul 11.44 wib. Ada nuansa geram. Jengkel. Kesal.
Ikhwal sepak-terjang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyensor internet dengan memblokir situs yang dianggap bermuatan pornografi mulai diketahui publik lewat posting Budiono pukul 11.27 wib hari yang sama. “Wah, Kominfo nge-blok salah satu layanan detik.com. Dah ngawur”. Kicauan Budiono sontak menuai pertanyaan, komentar dari penghuni twitterland, jejaring sosial mikro. Semua bernada marah. Protes kepada pemerintah. Wabil khusus, protes ke Menkominfo Tifatul Sembiring.
Hari itu adalah hari pertama umat Islam di Indonesia melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan. Perilaku sabar disarankan agar ibadah khusyu. Bagi penggiat internet, nampaknya hari itu ujian kesabaran lumayan berat. Tengoklah pengakuan Budiono sore itu, beberapa jam setelah fasilitas add surfing, alias iklan detik.com diblokir. “Hari pertama puasa cuma dapat lapar dan haus. Pasrah”. Bukan cuma detik.com yang alami nasib aksesnya terblokir pisau sensor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Media online kompas.com alami juga. Mereka yang kena sayatan sensor kebablasan ini terutama yang menggunakan Internet Service Provider (ISP) alias penyedia layanan telekomunikasi Telkomsel.
Budiono pantas gusar. Iklan adalah pemasukan amat penting bagi media. Bagi media online, selain pendapatan lain-lain dari komisi penjualan tiket misalnya, iklan adalah andalan utama untuk hidup. Gangguan atas akses iklan gara-gara pemblokiran situs oleh pemerintah adalah hal yang merugikan secara bisnis, belum lagi kalau bicara soal ancaman terhadap kemerdekaan berekspresi sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 hasil amandemen di Pasal 28.
Siang itu pelanggan Telkomsel tak bisa akses iklan detik.com. “Access is denied due to security policy enforcement,” begitu kata yang tertera, sebagaimana dijelaskan pengurus pusat APJII Valens Riyadi lewat akun Twitter-nya. Mengapa niat memblokir situs dan konten porno malah salah sasaran? Ini jawaban Menkominfo Tifatul Sembiring via Twitter, 11 Agustus itu, Pk 11.40 wib. “1 hari blokir situs-situs porno DIAKUI ada kekurangan. Kalau ada yang tidak porno diblokir, harap hubungi c/p masing-masing provider.” Media detik.com lantas memuat berita berjudul “Blokir Internet: Menkominfo Cuci Tangan, Provider Cuci Piring”.
Menteri Tifatul membantah bahwa kebijakan blokir internet dilakukan karena memasuki bulan puasa. Menurutnya, pemerintah punya dasar kuat untuk memblokir internet guna melindungi dampak pornografi bagi anak-anak. “Dasarnya adalah UU Pornografi dan UU ITE,” kata Tifatul Sembiring. UU No 44/2008 tentang Pornografi memang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk memblokir penyebaran materi pornografi termasuk lewat internet.
Hal itu diatur di Pasal 18. Sedangkan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) Pasal 27 ayat (1) melarang penyebarluasan materi asusila melalui internet. Pelanggaran atas aturan ini diancam sanksi penjara/pidana dari 6 (enam) bulan sampai 12 tahun penjara, dan sanksi denda dari Rp 250 juta sampai Rp 6 Milyar. Menilik SE diatas, yang diancam diputus ijin, bahkan masuk penjara adalah ISP.
*)Wartawan ANTV/Anggota Dewan Pers
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari lima tulisan. Naskah ini pernah dimuat di majalah Rolling Stone, terbit September 2010.
Labels:
budiono darsono,
kebebasan berekspresi,
media online,
pornografi,
tifatul sembiring,
twitter,
uni lubis
Subscribe to:
Posts (Atom)