Situs Iwan Qodar Himawan - Uni Lubis - Darrel Cetta. Iwan, terakhir bekerja di GATRA. Uni, wartawan, pernah di Warta Ekonomi, Panji Masyarakat, TV7, kini di Antv. Darrel, murid Embun Pagi Islamic International School, Jakarta Timur. Website of The Family of Iwan Qodar Himawan-Uni Lubis-Darrel Cetta. Iwan, journalist. Now running his own company. Uni, journalist, now working for Antv, Jakarta based private TV Station. We live in Permata Timur, Jaticempaka, Pondokgede, Indonesia.
Search This Blog
Thursday, January 05, 2006
Dari Genting Menuju Pulang
DI Malaysia kami berlibur selama empat hari. Dari Rabu sampai Sabtu. Lumayan nyaman. Tidak terburu-buru, juga tidak terlalu lama. Kalau sampe waktunya kelamaan, bisa-bisa kantong yang berontak.
Sabtu pagi, kami menuju bandara Kuala Lumpur International Airport, biasa disingkat KLIA. Sopir dari hotel mengantar kami hingga bandara. Perjalanan cukup lama, hampir satu jam.
Kalau rombongan ramai begini, pakai taksi tidak ada salahnya. Berlima, dengan satu Darrel, ongkos taksi tetap saja RM 100. Sementara kalau pakai kereta, tarifnya per orang RM 25. Kalau kita bepergian sendiri, naik kereta api memang jauh lebih murah.
*****
Hari Kamis, kami masih sempat menikmati suasana Genting. Cukup lama lo kami di situ. Tak mudah untuk pulang, karena Darrel berontak. Ia ingin saja terus bermain. Memang, masih banyak permainan yang belum ia coba. Ada kereta yang relnya di langit-langit, memutari arena dalam ruang. Juga ada mainan putaran yang bergerak seperti ombak. Semuanya ia ingin coba. Everything ingin dicoba-lah, kata datin dan datuk di Malaysia.
Kami pulang jam 15-an. Ternyata kami harus menunggu bus. Jadwal semula di tiket, kami memang pulang jam 17.30. Tapi kalo acara sudah selesai, lagi pula hujan deras, buat apa?
Tak mudah juga untuk naik bus. Sopirnya ngotot. ‘’Yang boleh naik hanya yang tiketnya jam 15.30. Selebihnya menunggu sampe menjelang berangkat. Kalo kosong, baru boleh naik,’’ katanya. Akhirnya kami menunggu. Alhamdulillah, kosong lah.
Tak banyak cerita sepulang dari Genting. Saya capek, dan harus menulis naskah Lensa, di hotel. Darrel menemaniku. Mommy, Opung, dan Tante jalan-jalan keluar. Tunggu saja ya, tulisan beliau-beliau.
******
Di Jumat, kami bergerak ke Putrajaya. Ini adalah ibukota pemerintahan. Kota ini diciptakan berdasar gagasan Mahathir Mohammad. Kotanya masih baru, sehingga pohon-pohonnya masih pendek. Tapi semuanya teratur rapi. Bagus sekali. Tak ada sampah. Jalanan lebar. Ada danau, yang kelihatannya itu buatan.
Selama di Putrajaya, kegiatan kami berpusat di sekitar masjid. Tujuannya memang untuk salat Jumat. Tapi kami datang terlalu pagi, jam 11-an. Kalau yang dipakai jadwal Jakarta, salat Jumat ya sekitar jam 11.45. Tapi ini Kuala Lumpur. Salat Jumat baru jam 13.15.
Walhasil, kami pun makan di kantin sebelah masjid. Sambil kami makan, seperti biasa, Darrel bergerak bebas. Kalao bola, mirip bola liar. Bergerak ke sana ke mari.
Di sebelah masjid terdapat danau. Mommy, Tante Agus, dan Darrel sempat berfoto-fotoan di Putrajaya. Cuma, tak bisa lama-lama mejeng di sekitar danau. Hawanya panas sekali. Matahari sedikit menyamping dari ubun-ubun.
Makanan di Putrajaya rasanya hampir sama dengan di Jakarta. Kebanyakan pake nasi. Bumbunya mendekati nasi padang.
Di Putrajaya, saya dan Opung salat Jumat. Masjidnya juga bagus sekali. Saya sertakan di sini gambar masjid, juga kaligrafi di kubahnya.
Di Indonesia, masjid yang bagus seperti ini juga banyak. Di Taman Mini, ada Masjid At Tiin. Di Makassar, ada Masjid Al Markaz al Islami, yang pembangunannya digagas almarhum Jenderal M. Jusuf. Di Surabaya juga ada Masjid Agung. Pembangunannya melibatkan orang-orang ‘’suroboyoan’’ dan ‘’madura-nan’’ yang sukses di Jakarta. Ada Pak Mar’ie Muhammad, Pak Husein Suropranoto (waktu itu direktur utama Rajawali Nusantara Indonesia).
Dari segi kualitas rancangan dan mutu bangunannya, kita tidak kalah. Barangkali, yang harus diperhatikan adalah perawatannya. Sering masjid yang dibangun dengan susah payah, kamar pipisnya bau pesing. Atau airnya tidak mengalir dengan baik.
Masjid di Putrajaya, perawatan untuk hal-hal begini harus dipuji. Tentu kami berharap, Masjid Al Abraar di Jati Cempaka, yang pembangunannya melibatkan Opung, juga Masjid Al Ihsan di Suryodiningratan, yang masih ditakmiri Eyang Kakung, masuk ke kelompok bersih, dan mendatangkan limpahan rahmat dunia-akhirat.
Amien.
****
Dari Putrajaya, kami kembali ke hotel. Sebelumnya, mobil ngedrop mommy dan tante di KLCC. Ini pusat belanja di bawah Petronas Tower itu lo. Tapi jalanan untuk menuju pulang luar biasa macet.
‘’How long it will take to hotel,’’ tanya saya ke sopir.
‘’Depend on traffic,’’ katanya.
Tak pikir tidak ada macet. Ternyata KL pun juga mengalami problem serupa dengan tol cikampek. Hanya saja, sedikit lebih longgar.
Toh tetap saja kami harus antre. Syukur tidak ada pengemudi yang main serobot seperti di Jakarta. Kalao ada, walah-walah…
*****
Di Bandara Sepang, kami menunggu cukup lama. Sekitar 2 jam. Memang lebih nyaman menunggu di airport ketimbang di hotel. Di airport kami bisa berjalan-jalan. Mencuci mata. Juga makan.
Kalau mau makan yang harganya standar, masuk saja ke kios KFC atau McDonalds. Juga ada Burger King. Kalau mau merasakan pengalaman lain, tempat makan lain juga ada.
Di airport, Darrel merasakan suasana berbeda. Maklum, kursinya bersih. Karpetnya tebal dan bagus, tidak seperti di Bandara Soekarno Hatta. Ia main petak umpet dengan saya. Bahasa saya, main jethungan. Ia bersembunyi di bawah kursi. Mbrangkang. Weleh-weleh…
Syukur pesawat Lion tidak terlambat. Begitu petugas di bandara KL mengumumkan keberangkatan Lion, kami segera dipersilakan masuk. Darrel pun, bersama mommy dan tante, bareng-bareng menuju kabin.
Alhamdulillah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment