Situs Iwan Qodar Himawan - Uni Lubis - Darrel Cetta. Iwan, terakhir bekerja di GATRA. Uni, wartawan, pernah di Warta Ekonomi, Panji Masyarakat, TV7, kini di Antv. Darrel, murid Embun Pagi Islamic International School, Jakarta Timur. Website of The Family of Iwan Qodar Himawan-Uni Lubis-Darrel Cetta. Iwan, journalist. Now running his own company. Uni, journalist, now working for Antv, Jakarta based private TV Station. We live in Permata Timur, Jaticempaka, Pondokgede, Indonesia.
Search This Blog
Wednesday, March 28, 2012
KISAH MAS TOTOK PENGUNGSI MERAPI
Liburan Nyepi tahun ini, Darrel dan kawan-kawan berlibur ke Yogya. Kunjungan ke Merapi paling berkesan baginya.
“Kenapa kog kolam lelenya kosong?Waktu terjadi letusan Merapi Mas Totok lari ke mana? Kog posko pengamatannya dibangun dekat sekali dari Gunung Merapi? Kan bahaya? Nggak boleh!”.
Rentetan kalimat di atas datang dari Darrel. Yang dituju Mas @HartantoTotok, salah satu korban letusan Merapi 2010, Sabtu sore lalu (24/3). Selain Darrel yang banyak melontarkan pertanyaan, ada Rayhan Kamajaya putra @Ray_nia, Ebhin putranya @VenturaE dan Rayhan Galih putra @Blanthik_Ayu. Empat ibu berlibur menikmati akhir pekan panjang karena Hari Raya Nyepi. Tujuan liburan yang sudah direncanakan sejak dua bulan lalu ini: Yogyakarta. Berdelapan kami menumpang kereta Argo Dwipangga berangkat dari Stasiun Gambir Jam 8 pagi, tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta Jam 4 sore. Perjalanan seru.
Wisata kuliner adalah salah satu tema penting liburan ini. Tapi liburan yang mencerdaskan juga perlu bagi anak-anak (selain kesempatan belanja tas buatan pengrajin lokal buat ibu-ibunya....;-). Keempat jagoan sempat mengeksplorasi Taman Pintar, sebuah taman hiburan sekaligus arena pengenalan dunia sains. Darrel sudah pernah berkunjung ke sini bersama ayahnya (baca http://iwan-uni.blogspot.com/2006/11/taman-pintar-yogya_08.html).
Bagi Darrel, highlight liburan bersama kawan kali ini adalah kunjungan ke Merapi. Kali ini Mas Totok yang baru saya kenal via Mas @budhihermanto, pentolan akun informasi dan komunitas @jalinmerapi, memandu kami ke posko 1 Kepuharjo, posko pengamatan Gunung Merapi. Letaknya paling dekat dengan Merapi, yakni 6 km dari puncaknya. Anak-anak (dan ibunya) sangat antusias menaiki bangunan posko ini. Sayang, saat kami ke sana, sudah sore dan kabut tebal menutupi keindahan gunung. Jadi, kami gagal melihat gunung.
Pemandangan sekitar cantik. Sejauh mata memandang kami bisa melihat bekas aliran lahar hujan di Kali Gendol, juga hamparan tanah kosong yang ditinggalkan penghuninya. Di area posko 1 Kepuharjo beberapa warung makanan siap melayani ”turis” seperti kami. Ada juga rumah yang baru diperbaiki tak jauh dari posko. ”Kog masih boleh tinggal di sini? Bahaya kan,” gugat Darrel ke Mas Totok. Waks!
Kepada kami, Totok bercerita bahwa dia adalah salah satu korban letusan Merapi. Rumahnya hancur tak berbekas. Tak ada harta tersisa. Ia menjadi salah satu penghuni Hunian Sementara (huntara) korban Merapi di Dongkelsari, Desa Wukirsari. Sebelum mengungsi, Totok dan keluarganya tinggal di Srodokan, Desa Wukirsari. “Saya dan keluarga sempat mengungsi ke Klaten saat terjadi erupsi Merapi,” kisah Totok. Darrel bertanya: “Jauh nggak Klaten?”. Kali ini saya yang menjawab, “Klaten itu kan tempat keluarganya eyang kakung. Darrel tiap tahun ke sana saat lebaran. Lumayan jauh dari sini. Sekitar satu sampai satu setengah jam perjalanan.” Darrel manggut-manggut.
Di huntara Dongkelsari ada 204 Kepala Keluarga (KK), yang masing-masing menghuni rumah terbuat dari dinding gedek (anyaman bambu) seluas 30 meter persegi. Huntara dibangun di atas tanah kas desa. Ada dua jenis huntara bagi korban letusan Merapi, yakni huntara yang dibangun secara mandiri di atas tanah milik sendiri, maupun huntara yang dibangun di atas tanah kas desa. Yang diprioritaskan pemerintah daerah adalah huntara mandiri.
Kami sempat diajak mampir ke huntara Dongkelsari Sabtu sore itu. Sejumlah orang duduk di depan huntara. Puluhan kolam ikan lele nampak kosong, ada juga yang terisi air berlumut. Kolam ikan lele itu dibuat dengan menggali tanah, dilapisi plastik terpal tebal warna biru. “Ini program dinas sosial. Tapi warga enggan melanjutkan karena baunya menyengat.” Kata Totok.
Kolam-kolam itu memang dibangun bersisian dengan huntara. Membangun kolam lele menjadi sebuah program rutin yang ditawarkan dinas sosial manakala terjadi bencana alam. Belum tentu cocok untuk warga. Kini warga huntara memilih kembali ke pekerjaan lama, menjadi penambang pasir di Kali Gendol. Jatah hidup yang pernah diterima warga paska erupsi Merapi, senilai Rp 5.000/orang/hari cuma diterima sebulan pertama setelah Oktober 2010.
Menurut Totok, huntara Dongkelsari tergolong kurang diperhatikan. Kami memang melihat nyaris tak ada aktivitas komunitas di sana. Sekolah bagi anak-anak pun agak jauh. Listrik ada. Totok membeli voucher PLN senilai Rp 5.000, bisa bertahan selama sebulan dengan pemakaian minimal. Kini dia membantu Mas @budhihermanto menjadi community organizer di Combine, sebuah gerakan komunitas di lingkar Merapi. Huntara lain relatif baik keadaannya karena dibantu oleh sejumlah perusahaan besar baik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kami melihat sejumlah logo perusahaan dipasang di huntara yang ada di Desa Wukirsari. Padahal, warga huntara mulai resah karena tersiar kabar dua pekan lagi huntara mereka akan dibongkar. Di lokasi itu akan dibangun hunian tetap (huntap). “Kami belum tahu akan mengungsi ke mana? Warga ada juga yang kembali ke rumah lama yang masih bisa ditempati, atau menumpang di rumah saudaranya, “ kata Totok.
Bukan cuma Darrel yang suka mengingat kisah Mas Totok dari Merapi. Saya penasaran dengan kenyataan bahwa warga Dongkelsari resah akan dipindah. Selasa siang (27/3) saya menelpon Pak Urip Bahagia, pelaksana tugas kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman. Pak Urip menjawab dengan ramah saat saya menelpon ke ruangannya di BPBD Sleman.
Soal rencana pindah, menurut Pak Urip warga Dongkelsari tak perlu resah. Saat ini pembangunan huntap di Batur, Desa Kepuharjo sudah tahap akhir. Ada 194 rumah diperkirakan siap dihuni secara tetap pada awal April 2012.
“Prioritas pertama yang dipindahkan adalah warga Gondang 1,” kata Pak Urip. Huntap Batur dibangun di atas tanah kas desa. Awal April pula pembangunan hunian tetap Pager Jurang, Desa Kepuharjo. Akan dibangun 340-an rumah. Baik Batur maupun Pager Jurang adalah lokasi hunian baru, bukan eks lokasi hunian sementara. Tautan ini menunjukkan lokasi pembangunan huntap (http://www.mpbi.org/files/workshops/20111205-Rani-Sjamsinarsi-Pendekatan-Kultural-dalam-Relokasi.pdf).
Pemindahan warga dari huntara ke huntap akan menggunakan metode “dakon”. Ini nama permainan saat saya masih kecil. Mayoritas orang Jawa mengenalnya. Intinya, biji sawo yang digunakan untuk permainan dakon akan mengisi lobang yang kosong, susul menyusul. Jadi, jika huntap Batur selesai, akan diisi oleh warga Gondang1. Sampai Gondang 1 kosong, sehingga bisa dibangun huntap, begitu juga dengan pengisian huntam Pager Jurang. “Intinya warga Dongkelsari tak perlu kuatir,” kata Pak Urip.
Soal perhatian yang kurang, Urip malah mengeluhkan pihak pemberi bantuan yang seringkali memilih langsung ke lokasi untuk menyalurkan bantuan tanpa koordinasid dengan pemda atau instansinya. “Kalau kami di pemda, prinsipnya semua dapat perlakuan sama,” ujar Urip. Masalahnya, Dongkelsari secara lokasi memang dianggap “tidak menarik” bagi donatur untuk mengadakan acara penyerahan bantuan. Urip merasa instansinya tak memiliki kemampuan memaksa donatur untuk memperhatikan huntara yang luput dari perhatian.
“Kalau perusahaan koordasi, kami siap bantu informasi area mana yang masih perlu, mana yang sudah banyak bantuan,” katanya. Good point! Kasus seperti ini sering terjadi dalam setiap penyaluran bantuan paska bencana. Informasi Pak Urip saya teruskan ke Totok. Lewat pesan pendek via telpon seluler dia menjawab, “ok makasih infonya mbak, ini rencana jam 1 mau rapat warga shelter bahas itu.’
Kunjungan ke Posko 1 Merapi di Kepuharjo dan Huntara Dongkelsari bagi Darrel adalah pengalaman ke sekian berinteraksi dengan bencana Merapi. Sepekan setelah Merapi meletus, dua tahun lalu, Darrel saya ajak mengunjungi posko pengungsian di Magelang dan Klaten. Bersama @VenturaE dan Ebhin, kami membantu menyalurkan bantuan dari teman-teman dari komunitas Twitter.
Selain membagikan susu dan makanan, Darrel dan Ebhin berbagi buku gambar dan buku cerita untuk anak-anak. Lebaran tahun lalu, bersama sepupunya Darrel berkunjung ke kawasan yang terkena dampak Merapi di Wukirsari juga, tapi bukan lokasi yang kami kunjungi akhir pekan lalu. Di lokasi itu puluhan rumah tertimbun letusan, ditinggalkan kosong. Kunjungan yang berkesan. Dahsyatnya dampak sebuah bencana letusan gunung berapi.
Minggu malam saat belajar membuat puisi untuk tes bahasa, Darrel membuat puisi tentang Merapi. Isinya? Nanti baca di akun Facebooknya ya
Wednesday, March 07, 2012
Menjadi Pasien Jantung By-Pass di US
Oleh: Didi Prambadi
Rasa senut-senut, nyeri di dada kiri yang datang dan pergi sejak tiga hari sebelumnya, kembali muncul saat saya di meja kerja, Senin dua pekan lalu. Melihat ini, teman saya langsung berinisiatif memanggil ambulans dan saya yang sudah lemas diangkut menuju ke rumah sakit terdekat, Montgome Medical Center. Selama perjalanan dua petugas mencecar dengan sejumlah pertanyaan seputar jantung, kapan dirasakan, adakah keluarga yg menderita jantung (ibu dan kakak saya meninggal karena jantung. Adik saya, satu kamar dan sama-sama oprasi dengan almarhum Mas Widi Yarmanto di RS Harapan Kita, Jakarta). Masuk ke ICU tidak terlihat tanda-tanda mengkhawatirkan, dan baru keesokan harinya menjalani stress tes (diminta lari dan jalan cepat di atas treadmill), tetap tak ada kelainan. Barulah setelah diperpanjang waktunya satu menit, saya gelagapan dan hampir pingsan. Saya lantas ingat almarhum Yulizar Kasiri yang tidak kuat lari saat dites ini bersama saya dulu.
Saya pun dikirim menjalani tes kateter, pakai selang dimasukkan ke pinggang kanan. Hasilnya? Ada empat penyumbatan pembuluh darah menuju jantung. ‘’Anda harus operasi. Besok,’’ kata dokter. ‘’Kabar baiknya, jantung anda masih berfungsi 55%. Biasanya penderita lain hanya 5% sampai 10% saja, itu yg rawan,’’ lanjutnya. Malam itu juga saya dikirim ke Lankenau Medical Center, sebuah rumah sakit lebih lengkap yang letaknya di pusat kota. Menjelajah keramaian kota dalam ambulans tidak begitu menyenangkan, karena saya harus terbaring menatap pohon-pohon kering di jendela belakang.
Tiba di Lankenau, masuk ke ruang biasa dan diberi penjelasan proses operasi oleh dua dokter ahli: Jantung dan Thoracic Surgery (ahli bedah rusuk/rongga dada). Dada akan dibuka dan beberapa rusuk dipotong, lantas dokter Roberto akan mencangkokkan pembuluh darah lain ke sana. ‘’Diambil dari pembuluh darah di lengan kiri, pembuluh dari paha kiri, plus satu pembuluh yang khusus disediakan oleh Allah SWT di dada anda. Proses ini semua berlangsung tanpa menghentikan detak jantung sedetik pun. Biasanya jantung dikendalikan di mesin. Ini tidak. Jantung tetap pada tempatnya dan bekerja seperti biasa!’’ kata ahli jantung Roberto Rodriguez, ditemani dr. Scholtz (ahli toracic) yang tampan seperti Richard Burton itu. Ada pertanyaan?
(Bagaimana gue mau tanya, wong nggak tahu apapun soal jantung. Kalau soal laporan reporter sih bolehlah, tapi ini?) Berapa lama prosesnya? ‘’Memakan waktu sekitar tujuh jam! Anda tidak ingat apapun. Jangan khawatir, kami menangani ratusan pasien selama sebulan. Jantung anda bakal sehat kembali. Yang penting, setelah sembuh, jangan berlagak seperti orang normal. Anda sudah cacat dan tidak sempurna seperti remaja lagi,’’ kata Roberto. Hindari merokok, sodium (garam), dan banyak olahraga. (Saya ingat potret teman-teman seperti Iwan QH, Taufik Alwie dan lainnya main badminton tanpa henti, futsal, dll., sementara saya hanya naik sepeda. Paling-paling seminggu sekali keliling museum).
Pukul 1.00 siang saya digelandang masuk ke ruang operasi oleh seorang perawat lelaki berkulit hitam. Badan sudah disteril sejak pagi dan ditelanjangi, dan hanya mengenakan baju longgar. Lampur-lampu neon di langit-langit koridor yang berseliweran cepat, menandai ruang operasi itu cukup jauh. Begitu sampai, saya disambut perawat hitam lain yang membawa vakum dan mesin pencukur. ‘’Saya asisten pasien dan tugas saya membersihkan bulu di dada, tangan, kaki, termasuk ‘dua bola’ sahabat anda di sana, (dia menunjuk di kawasan pribadi),’’ katanya, langsung membuka baju saya sehingga saya kedinginan.
Tetap cuek, dia cepat bergerak dan setelah bersih barulah saya disambut dr. Roberto dan Scholtz ditemani sejumlah perawat, ahli anestesia. Semuanya mengenakan topeng dan seragam operasi biru muda. ‘’Wah Di, saya sudah menunggu lama, ke mana aja?’’ katanya bercanda. Saya melirik perawat membuka plastik pembungkus peralatan operasi dan gunting lainnya. Oooh berarti benar-benar steril. Saya senyum saja dan pasrah (Mau ngapain lagi? Mau berontak? Saya pasrah dan berdoa semoga operasi ini tidak gagal! Aku masih pengin hidup. Aku ingin sembuh. Tiba-tiba ada rasa takut, kenapa operasi sejenis ini ada yang gagal? Kenapa Mas Widi wafat? Kenapa Yulizar wafat? Kenapa familiku ada yg wafat juga, tapi kenapa adikku masih bertahan? Dan… blessss…. Saya tidak ingat sama sekali. Sejumlah mimpi – entah apa saya lupa – menghiasi pikiran saya selama tujuh jam menjalani operasi.
Saya baru siuman saat berada di ICU, melihat Billy Cristal nongol di televisi membawa acara Academy Awards 2012 (Oscar) di televisi. Mulut dimasuki pipa napas dan penyedot darah. Leher ditancapi jarum infus dan dada diberi perekat lem dan dipasangi dua pipa (penampung darah dan cairan dari dada). Saya melihat putri dan istri saya di samping tempat tidur. Mereka memberi isyarat agar tidak banyak bicara dan operasi berlangsung lancar. ‘’Bagaimana merasa sakit di mana?’’ tanya perawat. Saya tidak bisa menjawab karena saya tidak merasakan sakit apapun. Belakangan saya baru tahu saya diberi obat pain-killer Oxycodone yang dikonsumsi Michael Jackson dan Whitney Houston serta selebriti lainnya? Seumur-umur baru ngrasain hebatnya narkoba.
Besoknya pipa napas dan penyedot darah di mulut sudah dilepas dan keesokan harinya dua kantung plastik penampung darah dan cairan di dada juga dilepas. Saya diminta turun dari tempat tidur dan berdiri. Tidak ada pusing atau mual, yang ada selera makan luar biasa dan pengin makan ‘Sayur Asem’ dan ‘Tempe Goreng’. Awalnya daging turki dan kentang rebus serta kopi terasa nikmat, tapi lama kelamaan bosen juga dan pengin masakan Indonesia. Hari ketiga sudah dikirim ke ruang biasa dan diberi obat sembilan macam sehari sekali. Oxycodone masih diberikan jika ada rasa sakit saja.
‘’Kapan mau pulang?’’ tanya dokter Roberto sambil menekan dada saya agar batuk. ‘’Sering batuk dan latihan napas pakai ini’’ sambil memberi alat plastik pengukur napas dari angka terendah 250 sampai 2500 angka tertinggi. Keesokan harinya saya pulang sendirian naik taksi, karena sanak famili dan istri harus masuk kerja. Sampai di rumah sudah tersedia Sayur Asem dan Tempe Goreng. Saya makan sepuasnya sampai dua piring. ‘’Jangan makan banyak2, sedikit2 dulu,’’ kata istri saya mengingatkan. Hemm. Benar-benar nikmat rasanya sayur asem itu.
Hingga kini saya latihan naik turun tangga, dan berjalan. Selain sayur asem, ada sup ikan, tempe, tahu dan nasi sedikit. Saya bersyukur karena operasi berlangsung lancar, dan ingin mengingatkan pada seluruh keluarga Eureka: Hati-hati bila ada terasa nyeri di dada kiri. Jangan dianggap remeh, karena itu gejala jantung. Periksa ke dokter agar ditangani sejak dini, karena di dunia – termasuk Indonesia – Serangan Jantung merupakan ‘The Silent Killer’ yang sewaktu-waktu mampu mencabut nyawa. Ribuan orang terkena penyakit ini setiap bulannya. Di samping itu, mendaftarlah ke asuransi kesehatan sejak awal, karena operasi ini membutuhkan biaya cukup banyak. Dan tentu saja sering olahraga seperti Iwan QH, Taufik A., dan teman2 lainnya. Badan terasa capek tapi sehat. Atau jalan kaki setiap hari selama 15 sampai 30 menit cukup.
Saya baru tahu bahwa kegagalan Mas Widi karena proses pemulihannya (bukan operasi), akibat gula darah yang cukup tinggi sehingga luka di dalam tak sembuh2. Demikian pula Yulizar Kasiri dan salah satu famili saya yang gula darahnya tinggi dan membuat luka tetap becek tak sembuh-sembuh. Proses operasi di RS Harapan Kita, Jakarta tidak kalah dan tak berbeda dengan proses operasi di Lenkenau Medical Center, USA. Yang terpenting lagi berdoa dan pasrah kepada Allah SWT. Amiin…. Semoga pengalaman ini dapat bermanfaat bagi keluarga Eureka.
*)Didi Prambadi, wartawan, pernah menjadi senior saya di TEMPO dan GATRA. Mas Didi, demikian saya memanggilnya, kini bekerja di Philadelphia, Amerika Serikat. Sewaktu tahun lalu kami sekeluarga ke Amerika Serikat, mas Didi dan istrinya menemui kami di hotel di New Jersey. Ketika itu mas Didi kelihatan sehat dan energik.. Semoga beliau segera sembuh.. Amien..
Rasa senut-senut, nyeri di dada kiri yang datang dan pergi sejak tiga hari sebelumnya, kembali muncul saat saya di meja kerja, Senin dua pekan lalu. Melihat ini, teman saya langsung berinisiatif memanggil ambulans dan saya yang sudah lemas diangkut menuju ke rumah sakit terdekat, Montgome Medical Center. Selama perjalanan dua petugas mencecar dengan sejumlah pertanyaan seputar jantung, kapan dirasakan, adakah keluarga yg menderita jantung (ibu dan kakak saya meninggal karena jantung. Adik saya, satu kamar dan sama-sama oprasi dengan almarhum Mas Widi Yarmanto di RS Harapan Kita, Jakarta). Masuk ke ICU tidak terlihat tanda-tanda mengkhawatirkan, dan baru keesokan harinya menjalani stress tes (diminta lari dan jalan cepat di atas treadmill), tetap tak ada kelainan. Barulah setelah diperpanjang waktunya satu menit, saya gelagapan dan hampir pingsan. Saya lantas ingat almarhum Yulizar Kasiri yang tidak kuat lari saat dites ini bersama saya dulu.
Saya pun dikirim menjalani tes kateter, pakai selang dimasukkan ke pinggang kanan. Hasilnya? Ada empat penyumbatan pembuluh darah menuju jantung. ‘’Anda harus operasi. Besok,’’ kata dokter. ‘’Kabar baiknya, jantung anda masih berfungsi 55%. Biasanya penderita lain hanya 5% sampai 10% saja, itu yg rawan,’’ lanjutnya. Malam itu juga saya dikirim ke Lankenau Medical Center, sebuah rumah sakit lebih lengkap yang letaknya di pusat kota. Menjelajah keramaian kota dalam ambulans tidak begitu menyenangkan, karena saya harus terbaring menatap pohon-pohon kering di jendela belakang.
Tiba di Lankenau, masuk ke ruang biasa dan diberi penjelasan proses operasi oleh dua dokter ahli: Jantung dan Thoracic Surgery (ahli bedah rusuk/rongga dada). Dada akan dibuka dan beberapa rusuk dipotong, lantas dokter Roberto akan mencangkokkan pembuluh darah lain ke sana. ‘’Diambil dari pembuluh darah di lengan kiri, pembuluh dari paha kiri, plus satu pembuluh yang khusus disediakan oleh Allah SWT di dada anda. Proses ini semua berlangsung tanpa menghentikan detak jantung sedetik pun. Biasanya jantung dikendalikan di mesin. Ini tidak. Jantung tetap pada tempatnya dan bekerja seperti biasa!’’ kata ahli jantung Roberto Rodriguez, ditemani dr. Scholtz (ahli toracic) yang tampan seperti Richard Burton itu. Ada pertanyaan?
(Bagaimana gue mau tanya, wong nggak tahu apapun soal jantung. Kalau soal laporan reporter sih bolehlah, tapi ini?) Berapa lama prosesnya? ‘’Memakan waktu sekitar tujuh jam! Anda tidak ingat apapun. Jangan khawatir, kami menangani ratusan pasien selama sebulan. Jantung anda bakal sehat kembali. Yang penting, setelah sembuh, jangan berlagak seperti orang normal. Anda sudah cacat dan tidak sempurna seperti remaja lagi,’’ kata Roberto. Hindari merokok, sodium (garam), dan banyak olahraga. (Saya ingat potret teman-teman seperti Iwan QH, Taufik Alwie dan lainnya main badminton tanpa henti, futsal, dll., sementara saya hanya naik sepeda. Paling-paling seminggu sekali keliling museum).
Pukul 1.00 siang saya digelandang masuk ke ruang operasi oleh seorang perawat lelaki berkulit hitam. Badan sudah disteril sejak pagi dan ditelanjangi, dan hanya mengenakan baju longgar. Lampur-lampu neon di langit-langit koridor yang berseliweran cepat, menandai ruang operasi itu cukup jauh. Begitu sampai, saya disambut perawat hitam lain yang membawa vakum dan mesin pencukur. ‘’Saya asisten pasien dan tugas saya membersihkan bulu di dada, tangan, kaki, termasuk ‘dua bola’ sahabat anda di sana, (dia menunjuk di kawasan pribadi),’’ katanya, langsung membuka baju saya sehingga saya kedinginan.
Tetap cuek, dia cepat bergerak dan setelah bersih barulah saya disambut dr. Roberto dan Scholtz ditemani sejumlah perawat, ahli anestesia. Semuanya mengenakan topeng dan seragam operasi biru muda. ‘’Wah Di, saya sudah menunggu lama, ke mana aja?’’ katanya bercanda. Saya melirik perawat membuka plastik pembungkus peralatan operasi dan gunting lainnya. Oooh berarti benar-benar steril. Saya senyum saja dan pasrah (Mau ngapain lagi? Mau berontak? Saya pasrah dan berdoa semoga operasi ini tidak gagal! Aku masih pengin hidup. Aku ingin sembuh. Tiba-tiba ada rasa takut, kenapa operasi sejenis ini ada yang gagal? Kenapa Mas Widi wafat? Kenapa Yulizar wafat? Kenapa familiku ada yg wafat juga, tapi kenapa adikku masih bertahan? Dan… blessss…. Saya tidak ingat sama sekali. Sejumlah mimpi – entah apa saya lupa – menghiasi pikiran saya selama tujuh jam menjalani operasi.
Saya baru siuman saat berada di ICU, melihat Billy Cristal nongol di televisi membawa acara Academy Awards 2012 (Oscar) di televisi. Mulut dimasuki pipa napas dan penyedot darah. Leher ditancapi jarum infus dan dada diberi perekat lem dan dipasangi dua pipa (penampung darah dan cairan dari dada). Saya melihat putri dan istri saya di samping tempat tidur. Mereka memberi isyarat agar tidak banyak bicara dan operasi berlangsung lancar. ‘’Bagaimana merasa sakit di mana?’’ tanya perawat. Saya tidak bisa menjawab karena saya tidak merasakan sakit apapun. Belakangan saya baru tahu saya diberi obat pain-killer Oxycodone yang dikonsumsi Michael Jackson dan Whitney Houston serta selebriti lainnya? Seumur-umur baru ngrasain hebatnya narkoba.
Besoknya pipa napas dan penyedot darah di mulut sudah dilepas dan keesokan harinya dua kantung plastik penampung darah dan cairan di dada juga dilepas. Saya diminta turun dari tempat tidur dan berdiri. Tidak ada pusing atau mual, yang ada selera makan luar biasa dan pengin makan ‘Sayur Asem’ dan ‘Tempe Goreng’. Awalnya daging turki dan kentang rebus serta kopi terasa nikmat, tapi lama kelamaan bosen juga dan pengin masakan Indonesia. Hari ketiga sudah dikirim ke ruang biasa dan diberi obat sembilan macam sehari sekali. Oxycodone masih diberikan jika ada rasa sakit saja.
‘’Kapan mau pulang?’’ tanya dokter Roberto sambil menekan dada saya agar batuk. ‘’Sering batuk dan latihan napas pakai ini’’ sambil memberi alat plastik pengukur napas dari angka terendah 250 sampai 2500 angka tertinggi. Keesokan harinya saya pulang sendirian naik taksi, karena sanak famili dan istri harus masuk kerja. Sampai di rumah sudah tersedia Sayur Asem dan Tempe Goreng. Saya makan sepuasnya sampai dua piring. ‘’Jangan makan banyak2, sedikit2 dulu,’’ kata istri saya mengingatkan. Hemm. Benar-benar nikmat rasanya sayur asem itu.
Hingga kini saya latihan naik turun tangga, dan berjalan. Selain sayur asem, ada sup ikan, tempe, tahu dan nasi sedikit. Saya bersyukur karena operasi berlangsung lancar, dan ingin mengingatkan pada seluruh keluarga Eureka: Hati-hati bila ada terasa nyeri di dada kiri. Jangan dianggap remeh, karena itu gejala jantung. Periksa ke dokter agar ditangani sejak dini, karena di dunia – termasuk Indonesia – Serangan Jantung merupakan ‘The Silent Killer’ yang sewaktu-waktu mampu mencabut nyawa. Ribuan orang terkena penyakit ini setiap bulannya. Di samping itu, mendaftarlah ke asuransi kesehatan sejak awal, karena operasi ini membutuhkan biaya cukup banyak. Dan tentu saja sering olahraga seperti Iwan QH, Taufik A., dan teman2 lainnya. Badan terasa capek tapi sehat. Atau jalan kaki setiap hari selama 15 sampai 30 menit cukup.
Saya baru tahu bahwa kegagalan Mas Widi karena proses pemulihannya (bukan operasi), akibat gula darah yang cukup tinggi sehingga luka di dalam tak sembuh2. Demikian pula Yulizar Kasiri dan salah satu famili saya yang gula darahnya tinggi dan membuat luka tetap becek tak sembuh-sembuh. Proses operasi di RS Harapan Kita, Jakarta tidak kalah dan tak berbeda dengan proses operasi di Lenkenau Medical Center, USA. Yang terpenting lagi berdoa dan pasrah kepada Allah SWT. Amiin…. Semoga pengalaman ini dapat bermanfaat bagi keluarga Eureka.
*)Didi Prambadi, wartawan, pernah menjadi senior saya di TEMPO dan GATRA. Mas Didi, demikian saya memanggilnya, kini bekerja di Philadelphia, Amerika Serikat. Sewaktu tahun lalu kami sekeluarga ke Amerika Serikat, mas Didi dan istrinya menemui kami di hotel di New Jersey. Ketika itu mas Didi kelihatan sehat dan energik.. Semoga beliau segera sembuh.. Amien..
Labels:
amerika serikat,
by pass,
iwan qh,
sakit jantung
Subscribe to:
Posts (Atom)