IKUT Pemilihan Kepala Daerah –sekarang biasa disingkat pilkada—ternyata tidak mudah. Dibutuhkan keseriusan, kesediaan, dan yang tak kalah penting, informasi cukup mengenai siapa calon yang akan kita pilih. Repotnya lagi, semakin banyak informasi yang kita dapat, kita malah makin kesulitan menentukan gambar mana mau kita coblos.
Situasi itu yang kami hadapi ketika mendapat undangan pilkada gubernur Jawa Barat, 13 April lalu. Sebagai warga Jawa Barat –rumah kami sekitar 100 meter dari tugu perbatasan Jakarta Timur dan Bekasi—kami mendapat ‘’Surat Pemberitahuan Waktu dan Tempat Pemungutan Suara’’.Lokasinya di lapangan sepakbola Permata Timur 2. Jamnya 07.00-13.00. Tempat kami mencoblos di TPS 19 Kelurahan Jaticempaka, Kecamatan Pondokgede.
Begitu mendapat undangan itu, mommy bilang, ‘’Hebat juga, kali ini nama kita kedaftar.’’
Dalam pilkada dua bulan sebelumnya, untuk menentukan walikota Bekasi, kami memang tidak daftar undangan mencoblos. Heran juga, padahal yang dijadikan acuan untuk membuat daftar adalah pemilu 2004. Waktu itu kami ikut pemilu baik legislatif maupun untuk memilih presiden. Tapi kami waktu itu tidak mempersoalkan kenapa tidak kedaftar.
****
Pilkada Jawa Barat melibatkan tiga pasang calon: Danny Setiawan – Iwan Sulanjana (DaI –gubernur dan bekas Pangdam Siliwangi); Agum Gumelar-Ahmad Nukman (Aman –bekas menteri dan wakil gubernur), serta Ahmad Heryawan – Dede Yusuf (Hade –wakil ketua DPRD Jakarta dan artis plus anggota DPR).
Pilkada itu sebagaima kita ketahui dmienangkan pasangan Ahmad-Dede. Ketika tulisan ini dibuat, mereka tinggal menunggu pelantikan. Nomor dua adalah Aman, dan di paling buncit adalah DaI.
Kemenangan Hade sungguh di luar dugaan. Semua polling yang dilakukan seminggu sebelum pilkada menempatkan Agum sebagai kandidat kuat pemenang. Hade di paling buncit. Hanya dalam seminggu, ramalan itu dibantah habas.
Saya memaklumi komentar Pak Agum. ‘’Kredibilitas lembaga polling dipertanyakan,’’ katanya. Lembaga polling ini ada yang bekerja karena diupah calon tertentu. Apapun hasil pollingnya, mereka tetap dibayar. Menjadi pertanyaan juga, sejauh mana kredibilitas ilmu statistik yang mereka jabarkan dengan teori yang rumit-rumit itu.
Pak Agum pasti amat kecewa, karena ia banyak diunggulkan. Eh, ternyata meleset. Pasti ada penjelasan dari kacaunya hasil polling ini. Apakah metode sampling yang mereka gunakan salah, atau ada perubahan situasi yang membuat hasil pilkada amat di luar dugaan. Tapi saya belum membaca penjelasan para pengelola polling.
*****
Siapa yang kami pilih?
Jujur, saya dan mommy Uni Lubis betul-betul kesulitan. Kami mendapat kesulitan yang sama dalam menentukan pilihan.
Pasangan Pak Danny dan Pak Iwan kami akui keduanya orang baik. Pak Danny orang yang merintis karir dari bawah, hingga akhirnya menjadi Sekretaris Daerah Provinsi, sebelum akhirnya menjadi gubernur. Ia bukan tipe orang yang neko-neko. Pak Iwan Sulanjana, sebagai bekas Panglima Kodam, pasti orang yang logika berpikirnya mudah dipahami.
Cara berpikir dengan logis ini menurut saya cukup penting. Seorang pemimpin harus bisa menjelaskan suatu kebijakan lengkap dengan argumentasinya. Jangan zigzag, atau gampang mengobral ucapan.
Nah, ketika Indonesia dipimpin Gus Dur –mohon maaf dengan para pendukung beliau—saya merasa sulit memahami tindakan-tindakan beliau. Jumpa pers yang bikin deg-degan tiap habis salat Jumat, misalnya, adalah hal yang sulit kami pahami. Perjalanan ke luar negeri yang amat banyak, juga pernyataan beliau yang menyetujui referendum bagi rakyat Aceh kalau mau memisahkan diri dari Indonesia, juga sulit kami terima. Mungkin Gus Dur terlalu cerdas, sehingga kami kurang mudeng.
Dari sisi logika berpikir, Pak Danny dan Pak Iwan pasti oke. Hanya saja, dengan segala maaf kepada Pak Danny, sebagai warga perbatasan, kami belum merasakan manfaat kepemimpinan beliau. Jalan-jalan di sekitar rumah kami masih saja hancur lebuh. Walau, kami juga sadar, peran Walikota Bekasi lebih dominan dalam hal ini.
Pak Agum juga orang baik. Saya beberapa kali bertemu dengan beliau secara langsung, jadi sedikit banyak agak paham mengenai caranya berpikir. Nasionalis, persuasif, tidak banyak cerita negatif tentang beliau. Ketika menjadi Menteri Perhubungan di era Gus Dur, juga Megawati, beliau tampak bekerja keras.
Namun, saya lebih mengenalnya sebagai orang Jakarta yang tiba-tiba saja ingin pulang kampung menjadi gubernur. Mohon maaf, rasanya kok tidak elok. Saya tidak banyak menemukan catatan mengenai apa yang sudah dilakukan Pak Agum terhadap Jawa Barat selama ini.
Pasangan pemenang, Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf, lebih sulit lagi untuk dipertimbangkan. Keduanya punya KTP Jakarta. Apa yang sudah mereka lakukan untuk Jawa Barat?
Ahmad Heryawan adalah Wakil Ketua DPRD Jakarta. Ia dikenal orang baik. Ustadz. Penguasaan terhadap Al Quran pasti bagus. Tapi itu saja tidak cukup. Sebagai Wakil Ketua DPRD, ia ikut bertanggungjawab atas pencoretan anggaran perbaikan ratusan gedung sekolah di Jakarta. Ia juga turut bertanggungjawab atas bertele-telenya pengesahan APBD. Jalanan berlobang, banjir, juga jadi tanggungjawab legislatif, mengingat di era reformasi, peranan legislatif dalam ketatanegaraan kita amat penting.
Dan Dede Yusuf? Mohon maaf, ia pantas untuk menjadi bintang iklan bodrex. Untuk menjadi wakil gubernur, saya belum bisa memberi komentar. Yang jelas, tidak ada peran menonjol dia sebagai anggota DPR.
*******
Di luar kesulitan menentukan nama, kami juga merasa, pilkada yang lumayan sering membuat kami jenuh. Baru dua bulan sebelumnya kami memilih walikota, kali ini harus bekumpul lagi untuk memilih gubernur. Saya merasakan, Pak Hansip, Pak RW, Pak RT, lebih capek lagi. Apalagi, anggaran yang disediakan pemerintah amat minim.
Kalau pemilu legislatif, presiden, dan pilkada, bisa digabung, saya yakin, tingkat partisipasti warga akan lebih banyak. Di komplek saya, jumlah pemilih juga tidak banyak.
‘’Sepi Pak, tidak banyak yang memilih,’’ kata Usman Hadi, petugas keamanan yang bertugas.
Pertanyaan lebih penting lagi, apakah gubernur mesti dipilih lewat pilkada? Kita sudah menganut Undang-undang Otonomi Daerah yang berbasis kabupaten. Peran bupati dan walikota amat sentral. Gubernur ibarat menjadi wakil pemerintah pusat di daerah, yang fungsinya sekadar mengoordinasi. Mirip kanwil sebuah departemen.
Bila demikian, mengapa gubernur tidak ditunjuk saja? Lebih irit, lebih cepat, dan mengurangi potensi konflik.