SANGAT tidak mudah untuk menentukan sikap dalam kaitan sikap politik Indonesia dengan Israel. Secara fakta, Israel memiliki peran cukup penting, baik di Timur Tengah maupun di dunia internasional. Dengan lobi yahudi-nya yang luar biasa, Israel memiliki banyak kaki, baik di pasar uang, pasar industri, politik internasional, maupun di pasar saham.
Anda tentu masih ingat, Paul Wolfowitz pernah tampil dalam demo mendukung Israel, di Washington. Padahal ketika itu ia menjadi wakil menteri pertahanan. Dalam perang Mesir-Israel pada 1973, yang dikenal sebagai perang sinai, Israel mendapat dukungan luar biasa dari Amerika, Inggris, dan negara Eropa lainnya.
Tapi di Indonesia, Israel belum mendapat tempat di hati. Indonesia belum memiliki hubungan diplomatik, walau hubungan nonformal sebetulnya berlangsug secara diam-diam. Israel masih menjadi faktor sensitif, di negara yang mayoritas penduduknya muslim ini. Tahun lalu, tim tenis Indonesia dilarang bertanding tennis melawan Israel, sehingga kena denda dan sanksi.
Tidak memiliki hubungan diplomatik terkadang menyulitkan. Kalau Anda, atau saya, ingin menjadi mediator dua pihak yang bertikai, tentunya Anda harus mengenal kedua pihak.
Dengan itu, Anda bisa ngomong baik ke pihak Israel maupun ke Palestina, Suriah. Sikap ini yang dimainkan Indonesia dalam kasus konflik Korea Selatan dan Korea Utara.
Ujian bagi Sikap Indonesia
Dunia bergerak makin memalukan! Kesetimbangan, keadilan, dan keberpihakan ternyata bisa diperjualbelikan secara gamblang di atas penderitaan kemanusiaan. Konflik Israel-Hezbollah dan tanggapan dunia makin menggamblangkan peta dunia sebenarnya.
Dunia seolah hanya seonggok roti konflik yang terpecah-belah dalam ideologi berbeda-beda. Siap meledak, tinggal menunggu pemicu. Tak akan ada lagi pidato soal kearifan kepada kemanusiaan, kebajikan, dan kebaikan, yang ada bagaimana mendominasi dan meluaskan hegemoni, apa pun caranya.
Amerika Serikat, setidaknya, telah tegas memilih garis politiknya untuk selalu membela Israel. Sekaligus mendekonstruksi peran badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi impoten.
Setidaknya political choice Amerika sudah tegas. Dalam politik, ketegasan pilihan politik itu penting, bahkan lebih penting dari soal benar-salah itu sendiri karena dalam politik kebenaran itu bersifat tak absolut.
Pertanyaannya, bagaimana garis pilihan politik Indonesia menanggapi konflik ini? Seperti biasa, pemerintah telah mengutuk agresi Israel. Namun, apakah itu cukup mencerminkan political choice sebagai sebuah bangsa yang katanya besar?
Ahli peneliti bidang politik Timur Tengah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga Ketua Indonesian Society for Middle East Studies M Hamdan Basyar mengatakan, Indonesia memang jelas mengecam tindakan Israel, namun ekspektasi publik belum terpuaskan dengan sikap pemerintah.
Hingga kini politik Indonesia masih dianggap tidak mandiri menghadapi kolaborasi Israel-Amerika Serikat. Politik yang katanya bebas aktif itu tak bisa bicara banyak menghadapi konflik di Timur Tengah ini.
"Kita tergantung secara ekonomi, terutama dengan Amerika Serikat. Itu permasalahannya. Kita ini kan di sisi lain mengecam Israel, tapi secara ekonomi Indonesia masih membutuhkan Amerika Serikat. Politik luar negeri kita jadi terombang-ambing," kata Hamdan.
"Kita tidak bebas secara politik maupun ekonomi. Namun, kita bisa bangkit kembali dan membuat kebijakan yang memperkuat politik maupun ekonomi. Kebangkitan ekonomi akan menjadikan posisi tawar Indonesia makin kuat dan tidak lagi terkungkung pada sistem kapitalis yang merugikan kelompok lemah," ujar Hamdan lagi.
Indonesia bukan mustahil bisa berperan aktif dalam mencari pemecahan konflik di Timur Tengah. Sejarah mencatat, Indonesia pernah punya inisiatif menggerakkan gerakan Nonblok. Apa pun hasil akhirnya, yang jelas Indonesia pernah menjadi leader dalam pergerakan dunia.
Di Timur Tengah kita bisa ikut terlibat aktif dalam agenda perdamaian. Namun syaratnya, Indonesia harus membenahi faktor ekonomi dan politik dalam negeri. "Di dalam negeri saja masih berantem, bagaimana kita mau memperjuangkan politik luar negeri?" katanya.
Pasukan perdamaian
Dalam konflik ini, salah satu komitmen Indonesia akan mengirim pasukan perdamaian. "Kita akan mengirim pasukan perdamaian dalam kerangka PBB, tapi kita belum tahu persis kerangkanya seperti apa," kata Hamdan.
"Jangan hanya ikut saja, kita perlu hati-hati dan mencermati agar tidak terjebak dalam skenario yang menjebak dan merugikan diri kita sendiri. Kalau kita jadi mengirim pasukan perdamaian, kita harus tahu betul bagaimana agenda yang disepakati bersama itu," lanjut Hamdan.
Menurut Hamdan, jangan sampai Indonesia mengirim pasukan perdamaian, namun akhirnya muncul agenda gencatan senjata yang akan melucuti senjata pasukan Hezbollah, misalnya. "Saya kok khawatir kalau kita ikut melucuti Hezbollah ini bisa dijadikan suatu momen politik oleh kelompok-kelompok Islam di Indonesia sendiri untuk mengacaukan pemerintah," begitu pesannya.
Kalau Hezbollah dilucuti, Israel juga harus diberikan hukuman karena sudah melakukan perang yang membunuh sekian banyak orang. Kalau tanpa itu, hanya sekadar melucuti senjata Hezbollah, akan ada ketimpangan dan ketidakadilan.
"Kalau pasukan kita ikut ke sana, saya justru khawatir akan dimanfaatkan oleh elite politik kita untuk menyerang pemerintah," kata Hamdan. Karena itu, Indonesia harus mencermati betul apa yang terjadi di sana.
Upaya untuk menggunakan jalur Dewan Keamanan PBB hanya sia-sia karena sudah jelas Amerika Serikat akan memberikan hak vetonya. Namun, setidaknya upaya ke sidang majelis PBB bisa ditempuh untuk memetakan sikap negara-negara dunia.
Cara lain, menurut Hamdan, sebenarnya bisa dilakukan masyarakat, yaitu dengan memboikot produk-produk negara yang mendukung Israel. Terdengar klise dan sulit dilakukan. "Memang sulit, makanya dibutuhkan penggalangan kesadaran," katanya.
Seperti peristiwa-peristiwa sebelumnya yang terkait konflik Israel-Palestina, respons yang nyata justru datang dari kelompok masyarakat yang memiliki ikatan dengan Palestina. Seperti yang sudah-sudah, kali ini mereka juga siap diberangkatkan sebagai pasukan jihad melawan Israel. Berbagai tanggapan muncul terkait pengiriman pasukan jihad ke Lebanon karena dianggap konyol.
Kejadian yang berulang-ulang ini timbul setidaknya dipicu rasa tidak puas atas sikap politik Indonesia yang tak tegas. Bisa jadi sikap santai ini justru sikap rasional, namun bisa juga cerminan lain dari efek ketergantungan ekonomi.
Soal pengiriman relawan atau semacam pasukan berani mati ke Lebanon, Hamdan justru mengkhawatirkan gerakan seperti ini. "Ketika mengirim pasukan berani mati ke sana hanya bermodalkan semangat tapi tak ada keahlian, justru akan merepotkan mereka, bukan membantu," katanya.
Melihat lebih luas
Pengamat konflik dari Universitas Gadjah Mada Samsurizal Panggabean mengatakan, saat ini yang harus dihadapi pemerintah adalah opini publik untuk menentang serangan Israel. Sudah banyak yang menuntut pemerintah agar mengambil langkah-langkah yang tegas untuk mengecam pihak yang bertikai supaya ada gencatan senjata.
Indonesia siap mengirim pasukan pemelihara perdamaian, tapi sekarang keadaannya masih gawat. "Sebenarnya tidak banyak yang bisa diperbuat Indonesia, paling hanya menggalang solidaritas di tingkat ASEAN maupun Organisasi Konferensi Islam (OKI)," kata Panggabean.
Panggabean mengingatkan, Indonesia harus melihat konflik ini dalam skala yang lebih luas. Fokusnya adalah ikut memikirkan penyelesaian jangka panjang untuk menghentikan konflik sampai ke akar-akarnya.
Diperlukan terobosan upaya internasional untuk ikut menyelesaikan persoalan ini di luar PBB. Karena PBB sering kali menempatkan Israel dalam posisi bersalah, Israel tidak lagi tunduk pada aturan lembaga internasional ini. Oleh karena itu, menurut Panggabean, PBB bukan menjadi lembaga yang cocok untuk mengatasi konflik itu.
Dalam perjalanan lebih lanjut, akhirnya Lebanon tidak lagi bisa mengendalikan Hezbollah. Organisasi perlawanan tersebut bagaikan "negara dalam negara". Bahkan, Hezbollah memiliki angkatan darat yang tidak patuh kepada angkatan darat Lebanon.
Beberapa negara Timur Tengah sendiri menyalahkan Hezbollah karena dengan aksinya itu memberi alasan bagi Israel untuk memulai peperangan. "Kalau sudah marah, Israel sering ngawur," ujar Panggabean. Sabtu, 29 Juli 2006
Ujian bagi Sikap Indonesia
Dunia bergerak makin memalukan! Kesetimbangan, keadilan, dan keberpihakan ternyata bisa diperjualbelikan secara gamblang di atas penderitaan kemanusiaan. Konflik Israel-Hezbollah dan tanggapan dunia makin menggamblangkan peta dunia sebenarnya.
Dunia seolah hanya seonggok roti konflik yang terpecah-belah dalam ideologi berbeda-beda. Siap meledak, tinggal menunggu pemicu. Tak akan ada lagi pidato soal kearifan kepada kemanusiaan, kebajikan, dan kebaikan, yang ada bagaimana mendominasi dan meluaskan hegemoni, apa pun caranya.
Amerika Serikat, setidaknya, telah tegas memilih garis politiknya untuk selalu membela Israel. Sekaligus mendekonstruksi peran badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi impoten.
Setidaknya political choice Amerika sudah tegas. Dalam politik, ketegasan pilihan politik itu penting, bahkan lebih penting dari soal benar-salah itu sendiri karena dalam politik kebenaran itu bersifat tak absolut.
Pertanyaannya, bagaimana garis pilihan politik Indonesia menanggapi konflik ini? Seperti biasa, pemerintah telah mengutuk agresi Israel. Namun, apakah itu cukup mencerminkan political choice sebagai sebuah bangsa yang katanya besar?
Ahli peneliti bidang politik Timur Tengah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga Ketua Indonesian Society for Middle East Studies M Hamdan Basyar mengatakan, Indonesia memang jelas mengecam tindakan Israel, namun ekspektasi publik belum terpuaskan dengan sikap pemerintah.
Hingga kini politik Indonesia masih dianggap tidak mandiri menghadapi kolaborasi Israel-Amerika Serikat. Politik yang katanya bebas aktif itu tak bisa bicara banyak menghadapi konflik di Timur Tengah ini.
"Kita tergantung secara ekonomi, terutama dengan Amerika Serikat. Itu permasalahannya. Kita ini kan di sisi lain mengecam Israel, tapi secara ekonomi Indonesia masih membutuhkan Amerika Serikat. Politik luar negeri kita jadi terombang-ambing," kata Hamdan.
"Kita tidak bebas secara politik maupun ekonomi. Namun, kita bisa bangkit kembali dan membuat kebijakan yang memperkuat politik maupun ekonomi. Kebangkitan ekonomi akan menjadikan posisi tawar Indonesia makin kuat dan tidak lagi terkungkung pada sistem kapitalis yang merugikan kelompok lemah," ujar Hamdan lagi.
Indonesia bukan mustahil bisa berperan aktif dalam mencari pemecahan konflik di Timur Tengah. Sejarah mencatat, Indonesia pernah punya inisiatif menggerakkan gerakan Nonblok. Apa pun hasil akhirnya, yang jelas Indonesia pernah menjadi leader dalam pergerakan dunia.
Di Timur Tengah kita bisa ikut terlibat aktif dalam agenda perdamaian. Namun syaratnya, Indonesia harus membenahi faktor ekonomi dan politik dalam negeri. "Di dalam negeri saja masih berantem, bagaimana kita mau memperjuangkan politik luar negeri?" katanya.
Pasukan perdamaian
Dalam konflik ini, salah satu komitmen Indonesia akan mengirim pasukan perdamaian. "Kita akan mengirim pasukan perdamaian dalam kerangka PBB, tapi kita belum tahu persis kerangkanya seperti apa," kata Hamdan.
"Jangan hanya ikut saja, kita perlu hati-hati dan mencermati agar tidak terjebak dalam skenario yang menjebak dan merugikan diri kita sendiri. Kalau kita jadi mengirim pasukan perdamaian, kita harus tahu betul bagaimana agenda yang disepakati bersama itu," lanjut Hamdan.
Menurut Hamdan, jangan sampai Indonesia mengirim pasukan perdamaian, namun akhirnya muncul agenda gencatan senjata yang akan melucuti senjata pasukan Hezbollah, misalnya. "Saya kok khawatir kalau kita ikut melucuti Hezbollah ini bisa dijadikan suatu momen politik oleh kelompok-kelompok Islam di Indonesia sendiri untuk mengacaukan pemerintah," begitu pesannya.
Kalau Hezbollah dilucuti, Israel juga harus diberikan hukuman karena sudah melakukan perang yang membunuh sekian banyak orang. Kalau tanpa itu, hanya sekadar melucuti senjata Hezbollah, akan ada ketimpangan dan ketidakadilan.
"Kalau pasukan kita ikut ke sana, saya justru khawatir akan dimanfaatkan oleh elite politik kita untuk menyerang pemerintah," kata Hamdan. Karena itu, Indonesia harus mencermati betul apa yang terjadi di sana.
Upaya untuk menggunakan jalur Dewan Keamanan PBB hanya sia-sia karena sudah jelas Amerika Serikat akan memberikan hak vetonya. Namun, setidaknya upaya ke sidang majelis PBB bisa ditempuh untuk memetakan sikap negara-negara dunia.
Cara lain, menurut Hamdan, sebenarnya bisa dilakukan masyarakat, yaitu dengan memboikot produk-produk negara yang mendukung Israel. Terdengar klise dan sulit dilakukan. "Memang sulit, makanya dibutuhkan penggalangan kesadaran," katanya.
Seperti peristiwa-peristiwa sebelumnya yang terkait konflik Israel-Palestina, respons yang nyata justru datang dari kelompok masyarakat yang memiliki ikatan dengan Palestina. Seperti yang sudah-sudah, kali ini mereka juga siap diberangkatkan sebagai pasukan jihad melawan Israel. Berbagai tanggapan muncul terkait pengiriman pasukan jihad ke Lebanon karena dianggap konyol.
Kejadian yang berulang-ulang ini timbul setidaknya dipicu rasa tidak puas atas sikap politik Indonesia yang tak tegas. Bisa jadi sikap santai ini justru sikap rasional, namun bisa juga cerminan lain dari efek ketergantungan ekonomi.
Soal pengiriman relawan atau semacam pasukan berani mati ke Lebanon, Hamdan justru mengkhawatirkan gerakan seperti ini. "Ketika mengirim pasukan berani mati ke sana hanya bermodalkan semangat tapi tak ada keahlian, justru akan merepotkan mereka, bukan membantu," katanya.
Melihat lebih luas
Pengamat konflik dari Universitas Gadjah Mada Samsurizal Panggabean mengatakan, saat ini yang harus dihadapi pemerintah adalah opini publik untuk menentang serangan Israel. Sudah banyak yang menuntut pemerintah agar mengambil langkah-langkah yang tegas untuk mengecam pihak yang bertikai supaya ada gencatan senjata.
Indonesia siap mengirim pasukan pemelihara perdamaian, tapi sekarang keadaannya masih gawat. "Sebenarnya tidak banyak yang bisa diperbuat Indonesia, paling hanya menggalang solidaritas di tingkat ASEAN maupun Organisasi Konferensi Islam (OKI)," kata Panggabean.
Panggabean mengingatkan, Indonesia harus melihat konflik ini dalam skala yang lebih luas. Fokusnya adalah ikut memikirkan penyelesaian jangka panjang untuk menghentikan konflik sampai ke akar-akarnya.
Diperlukan terobosan upaya internasional untuk ikut menyelesaikan persoalan ini di luar PBB. Karena PBB sering kali menempatkan Israel dalam posisi bersalah, Israel tidak lagi tunduk pada aturan lembaga internasional ini. Oleh karena itu, menurut Panggabean, PBB bukan menjadi lembaga yang cocok untuk mengatasi konflik itu.
Dalam perjalanan lebih lanjut, akhirnya Lebanon tidak lagi bisa mengendalikan Hezbollah. Organisasi perlawanan tersebut bagaikan "negara dalam negara". Bahkan, Hezbollah memiliki angkatan darat yang tidak patuh kepada angkatan darat Lebanon.
Beberapa negara Timur Tengah sendiri menyalahkan Hezbollah karena dengan aksinya itu memberi alasan bagi Israel untuk memulai peperangan. "Kalau sudah marah, Israel sering ngawur," ujar Panggabean.
Namun, ditegaskan Panggabean, perang ini tak akan ada akhirnya dan tak ada kaitannya dengan agama. Ini persoalan negara bangsa yang selalu merasa terancam.
Apa pun alasannya, Hezbollah-Israel-Palestina diharapkan tidak lagi mengadu kekuatan senjata, roket, dan tentaranya untuk mencari penyelesaian. Hanya ada satu cara penyelesaian beradab yang bisa ditempuh: perundingan damai. (IRN/AMR)
Namun, ditegaskan Panggabean, perang ini tak akan ada akhirnya dan tak ada kaitannya dengan agama. Ini persoalan negara bangsa yang selalu merasa terancam.
Apa pun alasannya, Hezbollah-Israel-Palestina diharapkan tidak lagi mengadu kekuatan senjata, roket, dan tentaranya untuk mencari penyelesaian. Hanya ada satu cara penyelesaian beradab yang bisa ditempuh: perundingan damai. (IRN/AMR)