DUA pekan menjelang puasa tahun ini –menurut kalender masehi dimulai 13 September 2007—kami sekeluarga piknik ke Bandung. Tidak ada peristiwa istimewa yang membuat kami ke sana. Kebetulan saja Tante Agustina ada acara di kantor. Ia menginap di Hotel Horison Inn, Dago. Kami pun menginap di hotel yang sama-sama di Dago. Namanya Reindy Guest House.
Reindy bukan sebuah hotel. Dalam bahasa populer sekarang, ia masuk kelompok hotel butik. Ini merupakan sepetak tanah kecil (sekitar 500 m2) yang disulap menjadi rumah, dengan kamar-kamar yang disiapkan untuk disewakan. Reindy terletak di tengah kebon jagung. Bangunannya 4 lantai. Untuk menuju ke situ dibutuhkan penguasaan cukup dalam mengenai Dago.
Jalannya berkelok-kelok, menanjak. Untuk mencarinya kami harus membeli peta Bandung lebih dulu (di Gramedia Hero, harganya Rp 19.000). Eh, itu pun belum cukup. Begitu masuk Bandung, kami harus menelepon si penjaga hotel.
‘’Pokoknya Bapak cari jalan ke arah Cibeureum. Nanti ketemu papan Café Sierra..’’
‘’Jalan ke Cibeureum itu cirinya apa?’’
‘’Jalannya gampang kok pak dicari…’’
Ya amplop. Memangnya kami tahu jalan ke Cibeureum? Tak ada jalan lain kecuali bertanya ke sopir taksi, dan satpam. Kami akhirnya dijemput penjaga hotel di depan sebuah ruko.
*****
Rombongan kami cukup besar: ayah, mommy, darrel, opung, rejo (sopir), dan iqbal (anaknya).
Sebelum sampai di Bandung, kami mengisi bensin di Km 57, sebuah kawasan peristirahatan di jalan tol Cikampek. Ada masjid besar di kawasan itu. Pengelolanya menyiapkan rest area itu dengan seksama.
Parkir, salat, kencing, buang air besar, semua digratiskan. Tapi, makan, minum, belanja, harus membayar. Pintar juga si pengelola. Kenyamanan dan kebersihan tempat membuat pengunjung merasa betah. Kadang-kadang kita kan tidak nyaman, membayar Rp 1.000 untuk membayar kencing. Sebaliknya, untuk membeli bakso semangkok Rp 13.000, kita merasa ikhlas saja.
Di Km 57, kencing digratiskan. Tapi semangkok bakso Lapangan Tembak, Rp 13.000. Hehehe… padahal di luar, bakso seperti itu harganya di bawah Rp 7.500. Tapi nggak apa-apalah. Toh si pengelola Km 57 sudah mengeluarkan duit cukup besar untuk mendirikan masjid nan megah.
******
Sejak Jakarta-Bandung terhubung dengan jalan tol, ibukota Provinsi Jawa Barat, Bandung, ekonominya membubung. Tahun lalu, tumbuh 8%, lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional yang diperkirakan 6,3%.
Pariwisata memegang peran penting dalam mendongkrak perekonomian Bandung. Setiap libur panjang, orang-orang Jakarta menyerbu hotel di Bandung. Maret lalu, tatkala ada libur panjang tiga hari, Hotel Jayakarta, tingkat huniannya mencapai 99 persen. Hanya satu kamar yang tidak ditempati, yaitu penthouse. Dari 211 kamar, sekitar 80% dihuni orang Jakarta.
Hotel lainnya, Arion Swiss Belhotel Bandung, juga mendapat kenikmatan sama. Setiap akhir pekan dan libur panjang akhir pekan, kamarnya diluberi tamu. Bahkan, hotel kelas melati juga kelimpahan tamu. Kalau bos tidur di hotel berbintang, sopirnya cukup menginap di hotel melati.
Reindy bukan sebuah hotel. Dalam bahasa populer sekarang, ia masuk kelompok hotel butik. Ini merupakan sepetak tanah kecil (sekitar 500 m2) yang disulap menjadi rumah, dengan kamar-kamar yang disiapkan untuk disewakan. Reindy terletak di tengah kebon jagung. Bangunannya 4 lantai. Untuk menuju ke situ dibutuhkan penguasaan cukup dalam mengenai Dago.
Jalannya berkelok-kelok, menanjak. Untuk mencarinya kami harus membeli peta Bandung lebih dulu (di Gramedia Hero, harganya Rp 19.000). Eh, itu pun belum cukup. Begitu masuk Bandung, kami harus menelepon si penjaga hotel.
‘’Pokoknya Bapak cari jalan ke arah Cibeureum. Nanti ketemu papan Café Sierra..’’
‘’Jalan ke Cibeureum itu cirinya apa?’’
‘’Jalannya gampang kok pak dicari…’’
Ya amplop. Memangnya kami tahu jalan ke Cibeureum? Tak ada jalan lain kecuali bertanya ke sopir taksi, dan satpam. Kami akhirnya dijemput penjaga hotel di depan sebuah ruko.
*****
Rombongan kami cukup besar: ayah, mommy, darrel, opung, rejo (sopir), dan iqbal (anaknya).
Sebelum sampai di Bandung, kami mengisi bensin di Km 57, sebuah kawasan peristirahatan di jalan tol Cikampek. Ada masjid besar di kawasan itu. Pengelolanya menyiapkan rest area itu dengan seksama.
Parkir, salat, kencing, buang air besar, semua digratiskan. Tapi, makan, minum, belanja, harus membayar. Pintar juga si pengelola. Kenyamanan dan kebersihan tempat membuat pengunjung merasa betah. Kadang-kadang kita kan tidak nyaman, membayar Rp 1.000 untuk membayar kencing. Sebaliknya, untuk membeli bakso semangkok Rp 13.000, kita merasa ikhlas saja.
Di Km 57, kencing digratiskan. Tapi semangkok bakso Lapangan Tembak, Rp 13.000. Hehehe… padahal di luar, bakso seperti itu harganya di bawah Rp 7.500. Tapi nggak apa-apalah. Toh si pengelola Km 57 sudah mengeluarkan duit cukup besar untuk mendirikan masjid nan megah.
******
Sejak Jakarta-Bandung terhubung dengan jalan tol, ibukota Provinsi Jawa Barat, Bandung, ekonominya membubung. Tahun lalu, tumbuh 8%, lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional yang diperkirakan 6,3%.
Pariwisata memegang peran penting dalam mendongkrak perekonomian Bandung. Setiap libur panjang, orang-orang Jakarta menyerbu hotel di Bandung. Maret lalu, tatkala ada libur panjang tiga hari, Hotel Jayakarta, tingkat huniannya mencapai 99 persen. Hanya satu kamar yang tidak ditempati, yaitu penthouse. Dari 211 kamar, sekitar 80% dihuni orang Jakarta.
Hotel lainnya, Arion Swiss Belhotel Bandung, juga mendapat kenikmatan sama. Setiap akhir pekan dan libur panjang akhir pekan, kamarnya diluberi tamu. Bahkan, hotel kelas melati juga kelimpahan tamu. Kalau bos tidur di hotel berbintang, sopirnya cukup menginap di hotel melati.
*****Kepada Harian KOMPAS, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Bandung, Eddy Rachmat mengatakan, tingkat hunian kamar hotel berbintang di Bandung pada libur panjang, seperti pertengahan Mei lalu, lebih dari 90 persen. Bahkan banyak yang mencapai 100 persen. Okupansi hotel melati lebih dari 75 persen. Libur panjang itu terjadi bila tanggal merahnya lebih dari dua hari. Seperti Jumat-Sabtu-Minggu.
Atau Sabtu-Minggu-Senin. Ketua Perhimpunan Hotel-hotel Melati (Bumi Melati) di Bandung Momon Abdulrahman, mengatakan hal sama. Hotel melati di Bandung dipenuhipengunjung di libur panjang, 70-80 persen dari jumlah kamar. Di libur Mei lalu, Hotel Grand Serela, yang punya 77 kamar, dipenuhi tamu. Hanya tersisa dua kamar yang tak dipesan. Tapi itu pun ternyata laku juga oleh tamu yang datang tanpa memesan lebih dulu. Jenis hotel yang diminati adalah hotel berbintang dengan harga diatas Rp 400.000 per malam. Sementara hotel melati, alternatif keduabagi wisatawan yang kehabisan kamar di hotel berbintang.
******
Reindy, tempat kami menginap, hawanya cukup dingin. Pengelol a tak memasang AC. Tapi itu pun sudah cukup membuat kami menggigil.
Semoga Dago tetap dingin. Tidak memanas, seperti dikhawatirkan orang Bandung sendiri.
Reindy, tempat kami menginap, hawanya cukup dingin. Pengelol a tak memasang AC. Tapi itu pun sudah cukup membuat kami menggigil.
Semoga Dago tetap dingin. Tidak memanas, seperti dikhawatirkan orang Bandung sendiri.
3 comments:
Bisa diinfo no telp reindy dan info harganya ?
Thanks,
Amri
kyrie 5 shoes
yeezy boost 350 v2
supreme outlet
kenzo
golden goose sneakers
jordan shoes
kobe 11
supreme t shirt
supreme clothing
pandora jewelry official site
birkin bag
yeezy boost 350 v2
bape hoodie
supreme clothing
cheap jordans
kd13
golden goose sneakers
curry 6
golden goose sneakers
adidsas yeezy
Post a Comment